Sedangkan peristiwa-peristiwa, para pelaku dan perincian-perincian yang tidak mempunyai hubungan dengan tujuan tersebut tidak perlu disebutkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita Al- Qur’an tidak bermaksud mengajarkan peristiwa-peristiwa sejarah, seperti halnya
buku-buku sejarah. Yang sangat dipentingkan dari cerita Al-Qur’an ialah memberi nasihat, bukan mensejarahkan perorangan atau golongan bangsa-bangsa.
21
3. Percakapan
Tidak pada setiap cerita harus ada percakapan, sebab cerita-cerita pendek sering hanya berisi gambaran pelaku atau peristiwa semata. Cara semacam ini
lazim ditemui pada cerita yang bermaksud mengancam. Namun pada cerita Al- Qur’an yang lainnya, percakapan merupakan unsur yang sangat menonjol, yang
biasanya terdapat dalam cerita yang banyak pelakunya. Melalui dialog, cerita akan terasa hidup dan menarik perhatian pembacanya.
22
Pada surat Al-Qashash ayat 76-81 ini, terlihat bahwa cerita Qarun didominasi oleh unsur percakapan. Hanya permulaan ayat 76 dan 79, serta
keseluruhan ayat 81 saja yang bukan percakapan. Selebihnya dari pertengahan ayat 76 sampai akhir ayat 80 semuanya berbentuk percakapan, di mana di situlah
terjadinya konflik cerita. Artinya kurang lebih 4 dari 6 ayat yang menceritakan tentang Qarun itu berbentuk percakapan. Hal ini dikarenakan pesan atau pelajaran
yang ingin disampaikan lebih banyak terdapat dalam percakapan dalam cerita tersebut. Sehingga penggambaran pelaku dan peristiwa tidak banyak disebutkan.
Isi percakapan yang terdapat dalam cerita tersebut ialah nasihat-nasihat agama, seperti perkataan kaumnya yang mengingatkan Qarun agar tidak sombong
dan menjadikan harta benda malah menjadi penyebab melalaikan diri kepada Allah. Lalu perkataan Qarun menjawab nasihat kaumnya dengan kesombongan
yang semakin menjadi-jadi, hingga ia keluar dari istananya dengan segala kemewahannya yang membuat kaumnya terbagi menjadi dua yang menginginkan
sama sepertinya dan yang tidak tergoda dengan kekayaan tersebut, dan memang kenyataannya manusia kini pun terbagi dua seperti itu.
21
Hanafi, op. cit., h.25-26.
22
Hijazi, op. cit., h.117.
Adapun cara Al-Qur’an dalam menggambarkan percakapan didasarkan atas riwayat, atau menurut istilah tata bahasa ialah “direct speech” percakapan
langsung. Jadi Al-Qur’an menceritakan kata-kata pelaku dalam bentuk aslinya, seperti “Ia berkata ...”, “mereka berkata ...” dan sebagainya.
23
Meski begitu, pada hakikatnya mutakallim dalam Al-Qur’an jelas adalah Allah SWT. Allah dalam menyampaikan suatu makna, ada yang secara langsung,
atau melalui lisan para rasul-Nya, atau tokoh-tokoh yang namanya diabadikan dalam kitab suci ini, seperti Luqman al-Hakim, Maryam, dan sebagainya.
24
D. Hilangnya Unsur Waktu dan Tempat dalam Cerita Qarun
Cara penuturan cerita dalam Al-Qur’an ada yang ditunjukkan nama tempat dan tokoh pelakunya serta gambaran peristiwanya, ada yang hanya disebut
peristiwanya tanpa ditunjukkan tempat pelakunya. Ini karena kisah di dalam al- Qur’an dimaksudkan untuk menarik pelajaran darinya, bukan untuk menguraikan
sejarah kejadiannya.
25
Saat menuturkan cerita, Al-Qur’an banyak menghilangkan unsur waktu dan tempat, bahkan terkadang juga pelaku-pelakunya. Di dalam Al-Qur’an tidak
ada satu cerita pun yang fokus terhadap waktu kapan peristiwa itu terjadi. Untuk tempat, hampir-hampir Al-Qur’an mengabaikannya juga. Hanya beberapa tempat
saja yang disebutkan karena memang pengetahuan tentang tempat tersebut berkaitan dengan ajaran yang ingin disampaikan.
26
Cerita-cerita Al-Qur’an merupakan penginformasian kembali terhadap peristiwa tertentu yang telah terjadi pada kurun waktu yang lama, bahkan
sebagiannya sangat lama. Akan tetapi, Al-Qur’an tidak begitu menekankan secara detail kapan peristiwa itu terjadi; apakah seribu atau dua ribu tahun sebelum Nabi
Muhammad diutus, atau sesudahnya, dan sebagainya. Penekanan lebih diberikan kepada jalannya peristiwa itu sendiri, guna menyingkap berbagai pelajaran yang
23
Hanafi, op. cit., h.65.
24
D. Hidayat, op. cit., h.66.
25
M. Quraish Shihab, dkk. Ensiklopedi Alquran Kajian Kosakata dan Tafsirnya, Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002, jilid I, hal.1-2.
26
Ma’rifat, op. cit., h.56.