Hasil Proses Kreatif Diciptakan Bukan Semata-Mata Untuk Tujuan Praktis dan Pragmatis

tidaklah benar, karena Al-Qur’an sendiri sudah menepis keraguan tersebut dengan menyatakan,                         Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang- orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Yusuf: 111 8. Mempunyai Nilai Keindahan Tersendiri Ini artinya, karya yang tidak indah tidak termasuk karya sastra. Al-Qur’an, meskipun kitab suci yang berisi petunjuk ajaran-ajaran agama, mempunyai nilai kesusastraan yang tinggi. Tetapi bukan berarti Al-Qur’an adalah karya sastra. Nilai-nilai kesusastraan yang terkandung di dalam Al-Qur’an hanyalah salah satu mukjizat dari Al-Qur’an itu sendiri yang memang sebuah mukjizat. Al-Qur’an diturunkan pada saat kondisi masyarakat Arab menjunjung tinggi sastra lewat syair-syair yang indah. Seorang penyair yang hebat akan dimuliakan dan diagung-agungkan. Ketika Nabi Muhammad menyampaikan wahyu, yang mana wahyu tersebut memiliki gaya bahasa yang sangat indah, orang-orang kafir Quraisy yang tidak percaya kepadanya menuduh Nabi Muhammad sebagai seorang penyair. Banyak penyair yang mencoba menyaingi keindahan Al-Qur’an, salah satunya ialah Musailamah yang membuat syair dengan maksud meniru dan menandingi al-Qur`an sebagai berikut. 13 Hai katak: anak dari dua katak. Bersihkan apa-apa yang akan engkau bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah 13 Sulaiman ath-Tharawanah. Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an. Jakarta: Qisthi Press, 2004, h. 349. Selain tak bermutu, syair itu pun tak jelas maksud dan tujuannya. Berbeda dengan al-Qur`an yang setiap katanya dipilih secara cermat dan membawa pesan- pesan tersendiri yang sering sekali menakjubkan. Al-Qur’an sendiri menantang mereka untuk membuat yang seumpama Al-Qur’an satu ayat saja. Namun telah ditegaskan bahwa manusia tidak akan pernah mampu untuk menandingi keindahan Al-Qur’an sampai kapanpun.                                     Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami Muhammad, buatlah satu surat saja yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuatnya - dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.Al-Baqarah: 23-24. Salah satu contoh mengenai nilai keindahan sastra yang dimiliki Al-Qur’an ialah ketika al-Qur`an memilih kata tâbut untuk menyebut kotak yang digunakan Ibu Nabi Musa saat membuangnya ke sungai Nil. Dalam mitos bangsa Israel, tâbut bermakna kotak kematian dan identik dengan sesuatu yang kelam. Namun, kata itu justru digunakan al-Qur`an untuk membalik keyakinan mereka. Yakni, justru dari kotak itulah akan terbit sebuah kehidupan yang menjanjikan. Lebih menakjubkan lagi, adalah fakta bahwa al-Qur`an tak pernah menyebut sifat seorang tokoh secara transparan, tetapi justru dengan sebuah deskripsi yang dapat melukiskan sifat itu secara lebih tepat. Saat al-Qur`an melukiskan ketampanan Nabi Yusuf misalnya, tak ada satu pun kata tampan dalam kisah itu. Akan tetapi, yang ada adalah sebuah deskripsi bahwa saat melihat