terlalu terpapar panas, dan bila timbul gejala-gejala gangguan kesehatan segera rujuk ke sarana kesehatan terdekat.
Tekanan panas yang ada di SPBU membuat pekerja mengeluh sering merasa kehausan. Untuk menghindari keluhan sering haus akibat paparan
tekanan panas, pekerja operator SPBU dianjurkan meminum air putih lebih dari 1 gelas perjam dan menggunakan pakaian yang tipis berbahan kain katun untuk
memudahkan sirkulasi udara dan mengurangi bahaya dehidrasi.
6.6 Hubungan Antara Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja
Pengukuran kebisingan dilakukan dengan tujuan memperoleh data kebisingan di area SPBU sehingga dapat diketahui gambaran tingkat kebisingan
kemudian dianalisis dan dicari pengendaliannya. Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas kebisingan adalah dengan menggunakan sound level meter
dengan satuan intensitas kebisingan sebagai hasil pengukuran adalah desibel dBA. KEP51MEN1999 menjelaskan bahwa NAB kebisingan adalah 85 dB untuk 8
jamhari dan 40 jamminggu. Dari hasil pengukuran di tempat kerja, di dapatkan bahwa tingkat kebisingan
di SPBU masih normal yaitu dibawah nilai Nilai Ambang Batas NAB 85dB untuk pekerjaan 8jam perhari. Dan berdasarkan uji statistik di hasilkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan kelelahan kerja. Menurut Sutaryono 2002 setiap tenaga kerja memiliki kepekaan sendiri-
sendiri terhadap kebisingan, terutama nada yang tinggi, karena dimungkinkan adanya reaksi psikologis seperti stres, kelelahan kerja, hilang efisiensi dan
ketidaktenangan. Orang yang melakukan pekerjaan disertai dengan adanya gangguan dapat menjadikan pekerja merasa tidak nyaman dalam melakukan pekerjaannya.
Tidak adanya hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja yang dialami tenaga kerja berada dilingkungan kerja tersebut, ini dimungkinkan karena kondisi
lingkungan kerja dan sumber kebisingan yang minim yaitu hanya background noise dan suara mesin kendaraan yang lewat memiliki kebisingan yang masih normal.
Pengukuran kebisingan pada titik lokasi SPBU menunjukan nilai kebisingan berkisar 77dBA
– 81dBA dengan rata-rata paparan kebisingan 80,18 dBA. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai kebisingan lingkungan kerja SPBU masih normal dibawah
NAB sehingga paparan yang diterima oleh pekerja relatif normal. Sebagaimana disebutkan dalam Kepmenaker No.51 tahun 1999 dimana
semakin tinggi kebisingan semakin sedikit waktu kerja pada tempat kerja tersebut. Dari hasil penelitian dan hasil pengukuran kebisingan diatas, paparan kebisingan
yang diterima pekerja operator SPBU dan lama jam kerja telah sesuai dengan waktu kerja yang telah ditetapkan oleh Kepmenaker tersebut.
Pekerja operator SPBU di Kecamatan Ciputat menerima paparan kebisingan yang masih dalam tingkat normal sesuai NAB. Kondisi tempat kerja yang tidak
terdapat sumber bising dengan intensitas tinggi serta lokasi yang berada luar bangunan membuat paparan suara yang diterima cenderung normal. Hal ini yang
memungkinkan bahwa kebisingan di SPBU tidak mempengaruhi kelelahan yang di alami oleh pekerja operator.
6.7 Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kelelahan Kerja
Kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa usia 18 tahun ke atas merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit tertentu, juga
dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Hasil uji statistik menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kelelahan kerja.
Status gizi merupakan bagian penting dari kesehatan seseorang, karena status gizi menunjukkan suatu keadaan diri diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan
penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Salah satu cara yang sering digunakan dalam menilai status gizi adalah indeks massa tubuh IMT.
IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka
mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang untuk dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Sedangkan untuk penggunaan IMT ini
hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun Supariasa et al., 2002. Bila status gizi pekerja kurang atau buruk dan berlebih, akan berpengaruh
langsung pada produktivitas, akibat daya tahan kerja menurun. Intake zat-zat gizi yang cukup memenuhi kebutuhan kerja, dapat diukur melalui anamnesis makanan
dan pola makan di rumah dan di tempat kerja, atau dengan suatu metode recall, untuk mengetahui penyebab primer dari status gizi pekerja Matulessy dan Rachmat,
1997 Status gizi pada pekerja operator mempunyai distribusi yang normal. Artinya
mayoritas pekerja memiliki status gizi yang relatif hampir sama. Status gizi ini mempengaruhi aktifitas pekerja dalam melakukan aktifitas kerja. Apabila status
gizinya baik, maka produktifitas kerjanya juga baik. Begitu juga para pekerja operator yang mayoritas memiliki status gizi yang normal sehingga bisa dikatakan
bahwa ketahanan tubuh pekerja dapat mengurangi rasa kelelahan kerja. Depkes RI Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat 1997 menyatakan
bahwa pola makan pekerja mempunyai pengaruh terhadap produktivitas kerja. Orang yang kekurangan energi akan mempengaruhi kemampuan bekerja, memperpanjang
waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang pada akhirnya menurunkan produktivitas kerja. Apabila energi yang dikonsumsi tidak sesuai dengan energi yang
dibutuhkan, maka akan menurunkan kemampuan fisik sehingga dapat menurunkan produktivitas pekerja. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak ada
hubungan antara status gizi dengan kelelahan kerja, karena pekerja operator SPBU bukan merupakan pekerja angkat angkut yang cenderung lebih membutuhkan
kemampuan fisik yang lebih besar. Akan tetapi pekerja operator SPBU cenderung memiliki tipe pekerjaan yang monoton dan dengan beban kerja ringan sehingga
masih bisa bekerja dengan maksimal dan terhindar dari terjadinya kelelahan kerja.
6.8 Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Kelelahan Kerja
Adanya beberapa perbedaan fisiologis mendasar antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan perbedaan dalam aklimatisasi. Tingkat toleransi
perempuan terhadap termoregulasi lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin dengan kelelahan kerja. Hal ini juga di sampaikan oleh Khasanah 2012 yang melakukan penelitian pada 69 orang pada pekerja bagian