Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KELELAHAN KERJA PADA PEMBUAT TAHU DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT

DAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2014

SKRIPSI

Oleh:

DIO DIRGAYUDHA NIM : 109101000057

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M / 1436 H.


(2)

(3)

ii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, November 2014

Dio Dirgayudha, NIM: 109101000057

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014

xvi + 147 halaman + 18 tabel + 3 bagan + 3 lampiran ABSTRAK

Kelelahan kerja merupakan suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada pekerja, yaitu pekerja tidak sanggup lagi untuk melakukan pekerjaan sehingga mengakibatkan penurunan produktivitas kerja. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2013 di tiga tempat pembuatan tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur diperoleh 91,7% pekerja mengalami kelelahan kerja (11 orang). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain

Cross Sectional Study yang dilaksanakan pada Januari sampai Mei 2014. Populasi penelitian ini adalah pembuat tahu pada tujuh tempat pembuatan tahu yang berada di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur dengan jumlah sampel sebanyak 75 orang. Instrumen yang digunakan adalah reaction timer test, sound level meter,

custom digital lux meter, quest thermal environmental monitor, timbangan, meteran tubuh dan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistik Non-Parametric yaitu uji Spearman Correlations dan Mann-Whitney.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pembuat tahu mengalami tingkat kelelahan kerja sedang dengan nilai median waktu reaksi 483,00 mili detik, dimana sebagian besar mengalami gejala pelemahan kegiatan. Hasil penelitian membuktikan bahwa umur (p-value = 0,00), masa kerja (p-value = 0,00), dan tekanan panas (p-value = 0,01) berpengaruh terhadap kelelahan kerja. Sehingga dapat disarankan kepada pembuat tahu bahwa diharapkan mengerjakan tugas atau beban kerja sesuai kemampuan fisik dan kapasitas kerja, diharapkan beristirahat sejenak dan merotasi kerja. Kemudian kepada pemilik tempat pembuatan tahu diharapkan mendesain tempat pembuatan tahu dengan menambah celah udara di dinding sebagai sumber udara segar dan menambah celah genting sebagai sumber cahaya.

Kata Kunci : kelelahan kerja, waktu reaksi, pembuat tahu. Daftar Bacaan : 88 (1959 – 2013)


(4)

iii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

MAJOR OF OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Undergraduated Thesis, November 2014

Dio Dirgayudha, NIM: 109101000057

Factors that Influence Fatigue to Tofu Maker in the District of Ciputat and East Ciputat 2014

xvi + 147 pages + 18 tables + 3 charts + 3 attachments ABSTRACT

Fatigue is a pattern that occurs in a situation that generally occurs in workers, workers no longer able to do the job, which causes a decrease in labor productivity. Based on a preliminary study conducted in December 2013 in the three sites of tofu manufacturing in the District of Ciputat and East Ciputat was found 91.7% of workers experiencing fatigue (11 people). Therefore, this study aims to determine the factors that influence fatigue to tofu maker in the District of Ciputat and East Ciputat 2014.

This study was an epidemiological analytic with design cross sectional study. It was conducted in January to May 2014. Population of this study are the tofu makers at seven sites of tofu manufacturing in the District of Ciputat and East Ciputat with total sample are 75 people. The instrument used were reaction timer test, sound level meter, custom digital lux meter, quest thermal environmental monitor, scales, meter body and questionnaires. Data analysis was performed by non-parametric test, those are spearman correlations and mann-whitney test.

Based on the research results, it was known that tofu makers were experienced middle level fatigue with the median of reaction time is 483,00 milli seconds. Most of them got symptoms a weaker activity. The research proves that the age (p-value = 0.00), work period (p-value = 0.00), and heat stress (p-value = 0.01) effect on fatigue. So it can be suggested to the tofu makers that are expected do the tasks or workloads corresponding physical ability and work capacity, are expected to rest a while and rotate work. Then the owner of the premises are expected to design sites of tofu manufacturing by adding the air gap in the wall as a source of fresh air and adding gap roof as a source of light.

Keywords : fatigue, reaction time, tofu makers. Reading List : 88 (1959 - 2013)


(5)

(6)

(7)

vi Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat / Tanggal Lahir : Jakarta, 24 Maret 1991

Alamat : Jl. Mawar III Blok C2 / No. 4 RT. 04/ RW. 007 Taman Kedaung, Kel. Kedaung, Kec. Pamulang, Tangerang Selatan 15415

Agama : Islam

Golongan Darah : O (+)

No. Telp : 085691992580

Email : diodirgayudha@gmail.com Riwayat Pendidikan

1996 – 1997 : TK Nurul Huda 1997 – 2003 : SDN 1 Ciputat 2003 – 2006 : SMPN 1 Pamulang 2006 – 2009 : SMAN 1 Ciputat

2009 – 2014 : S-1 Program Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


(8)

vii

terhingga kepada kita semua. Shalawat dan salam juga selalu tercurah kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW. Dengan memanjat rasa syukur atas segala nikmat dan rahmat–Nya hingga skripsi yang berjudul ”FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KELELAHAN KERJA PADA PEMBUAT TAHU DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT DAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2014” ini dapat tersusun dengan baik.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, nasehat, motivasi, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Orang tua dan keluarga serta adik Akbar, yang senantiasa mendoakan dan telah memberikan dukungan moril, dan materil sehingga penulis terus bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Raihana Nadra Alkaff, SKM, M.MA dan Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, selaku pembimbing skripsi yang dalam kesibukannya telah menyempatkan waktu untuk membimbing penulis dan memberi masukan-masukan yang sangat bermanfaat.

5. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Ibu Izzatu Millah, SKM, M.KKK selaku tim penguji skripsi.

6. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku ketua tim penguji dan penanggung jawab peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang banyak memberikan masukan baik mengenai tugas kuliah, maupun penyusunan skripsi.


(9)

viii

semua kebaikanmu Dongsaeng. You’re the best!

9. Teman-teman K3 2009 yang memberikan semangat dan doa (Henny, Amel, Ubay, Pikih, Defri, Fadil, Ipeh, Vj, Diana, Sandy, Desi, Rifqi, Reza, Nia, Denis, Lina, Sca, Novan, dan Mufil).

10.Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta termasuk para dosen tamu, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan.

11.Ka Ami, Ka Septi, dan Ka Ida selaku Laboran Kesmas yang telah memberikan arahan dan informasi dalam perjalanan penyelesaian skripsi ini. 12.Bapak Ajib dan Pa Go selaku Admin Kaprodi Kesehatan Masyarakat yang

telah membantu proses administrasi.

13.Seluruh pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat keterbatasan dan kekurangan sehingga penulis sangat menerima saran dan kritik yang diberikan untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, November 2014


(10)

ix COVER

LEMBAR PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

LEMBAR PERSETUJUAN iv

LEMBAR PENGESAHAN v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR BAGAN xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Pertanyaan Penelitian 9

D. Tujuan Penelitian 11

1. Tujuan Umum 11

2. Tujuan Khusus 11

E. Manfaat Penelitian 13

1. Bagi Peneliti 13

2. Bagi Pekerja 13

3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 14

F. Ruang Lingkup Penelitian 14


(11)

x

1. Definisi Kelelahan 23

2. Definisi Kelelahan Kerja 25

C. Jenis Kelelahan 25

D. Gejala Kelelahan 27

E. Dampak Kelelahan 29

F. Metode Pengukuran Kelelahan 30

1. Kualitas dan Kuantitas Hasil Kerja 30

2. Perasaan Kelelahan Secara Subjektif 31

3. The Electroencephalograph 33

4. Mengukur Frekuensi Subjektif Kelipan Mata (Flicker Fusion Eyes

Test) 34

5. Pengujian Psikomotor 34

6. Pengujian Mental 36

G. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja 38

1. Umur 38

2. Jenis Kelamin 40

3. Masa Kerja 41

4. Status Gizi 42

5. Kebiasaan Merokok 44

6. Shift Kerja 46

7. Tingkat Kebisingan 48

8. Tingkat Pencahayaan 54

9. Tekanan Panas 58


(12)

xi

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN

HIPOTESIS 71

A. Kerangka Konsep 71

B. Definisi Operasional 76

1. Variabel Dependen 76

2. Variabel Independen 76

C. Hipotesis 79

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 80

A. Disain Penelitian 80

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 81

C. Populasi dan Sample Penelitian 81

D. Pengumpulan Data 84

E. Instrumen Penelitian 85

F. Pengolahan Data 94

G. Teknik Analisa Data 96

BAB V HASIL PENELITIAN 100

A. Gambaran Lokasi Penelitian 100

B. Hasil Analisis Univariat 102

1. Gambaran Kelelahan Kerja 102

2. Gambaran Umur, Masa Kerja, dan Status Gizi 104 3. Gambaran Kebiasaan Merokok, Tingkat Kebisingan, Tingkat

Pencahayaan, dan Tekanan Panas di Tempat Kerja 105

C. Hasil Analisis Bivariat 108


(13)

xii

Kerja 111

BAB VI PEMBAHASAN 114

A. Keterbatasan Penelitian 114

B. Gambaran Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu 114 C. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat

Tahu 119

1. Umur 119

2. Masa Kerja 122

3. Status Gizi 125

4. Kebiasaan Merokok 128

5. Tingkat Kebisingan 131

6. Tingkat Pencahayaan 135

7. Tekanan Panas 138

BAB VI PENUTUP 143

A. Simpulan 143

B. Saran 145

1. Bagi Pemilik Pembuatan Tahu 145

2. Bagi Pembuat Tahu 147

3. Bagi Penelitian Selanjutnya 147

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

xiii

Tabel 2.1 Daftar Pertanyaan Kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT) 32 Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengukuran Kelelahan Kerja 37

Tabel 2.3 Indeks Masa Tubuh (IMT) 43

Tabel 2.4 Intensitas Kebisingan yang Diperbolehkan Berdasarkan Waktu

Pemaparan dalam Satu Hari 51

Tabel 2.5 Standar Tingkat Pencahayaan di Lingkungan Kerja 55 Tabel 2.6 NAB Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang

Diperkenankan 60

Tabel 2.7 Estimasi Pengukuran Panas Metabolik 61

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Dependen 76 Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Independen 76 Tabel 4.1 Perhitungan Sampel Berdasarkan Uji Hipotesis Beda Dua Proporsi

terhadap Hasil Penelitian Terdahulu 83

Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Pembuat Tahu dan Jenis Tahu yang Diproduksi Berdasarkan Kelurahan di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat

Timur Tahun 2014 100

Tabel 5.2 Distribusi Kelelahan Kerja (Reaction Timer Test) pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014 102 Tabel 5.3 Distribusi Kelelahan Kerja (Reaction Timer Test berdasarkan

Subjective Self Rating Test) pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014 103 Tabel 5.4 Distribusi Umur, Masa Kerja, dan Status Gizi Pembuat Tahu di


(15)

xiv

Tabel 5.7 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Masa Kerja, dan Status Gizi terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat

dan Ciputat Timur Tahun 2014 109

Tabel 5.8 Hasil Analisis Pengaruh Kebiasaan Merokok, Tingkat Kebisingan, Tingkat Pencahayaan, dan Tekanan Panas di Tempat Kerja terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat


(16)

xv

Bagan 2.1 Alur Pembuatan Tahu 23

Bagan 2.2 Kerangka Teori 70


(17)

xvi Lampiran 1 Kuesioner Penelitian

Lampiran 2 Pemetaan Titik Pengukuran Tingkat Kebisingan, Tingkat Pencahayaan, dan Tekanan Panas


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1970, pemerintah mewajibkan pada semua bidang usaha agar menerapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja sebagai salah satu wujud profesionalisme. Undang-undang tersebut menjelaskan tentang pentingnya memenuhi syarat-syarat keselamatan kerja untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan kecelakaan, bahaya peledakan, bahaya suhu, kelembaban, radiasi, suara, getaran, bahaya listrik, memadamkan kebakaran, pertolongan pada kecelakaan serta memberi alat pelindung diri (APD) pada para pekerja. Dengan demikian, perusahaan yang bergerak di bidang usaha apapun wajib menerapkan K3 di tempat kerja.

Bidang usaha dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu usaha formal dan informal. Usaha sektor formal adalah pekerjaan yang terstruktur dan terorganisir, secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian, dan syarat-syarat bekerja dilindungi oleh hukum. Sedangkan bidang usaha sektor informal adalah kegiatan usaha yang secara umum sederhana, skala usaha relatif kecil, umumnya tidak mempunyai izin usaha, untuk bekerja di sektor informal lebih mudah dari pada di sektor formal, tingkat pendapatan di sektor


(19)

informal biasanya rendah, keterkaitan sektor informal dengan usaha-usaha lain sangat kecil, dan usaha-usaha di sektor informal sangat beraneka ragam (Effendi, 1993). Di sektor informal, penerapan K3 masih belum terlaksana secara memadai karena kurangnya dukungan landasan hukum untuk pembinaan sektor informal, serta kurangnya kesadaran K3 dan kerjasama lintas sektor yang berkaitan dengan penanganan sektor informal (Setyawati, 2001).

Salah satu bidang usaha sektor informal yang berkembang saat ini adalah industri tahu. Tahu merupakan salah satu makanan utama dan digemari oleh masyarakat Indonesia karena selain harganya murah dan mudah didapat, tahu juga dapat diolah menjadi berbagai bentuk masakan, rasanya enak, dan merupakan salah satu makanan yang menyehatkan (Mudjajanto, 2006). Kebutuhan masyarakat terhadap tahu sangat besar sehingga banyak industri tahu bermunculan. Dengan demikian, industri tahu juga wajib menerapkan K3 di tempat kerja, agar dapat mencegah dan mengendalikan terjadinya kecelakaan dan kesakitan akibat kerja.

Secara umum, terdapat dua golongan penyebab kecelakaan yaitu tindakan atau perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe human acts) dan keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe condition) (Heinrich, 1959). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, faktor manusia menempati posisi yang sangat penting terhadap terjadinya


(20)

kecelakaan kerja yaitu antara 80-85%. Salah satu faktor penyebab utama kecelakaan kerja yang disebabkan oleh manusia adalah stress dan kelelahan (Suma’mur, 1993). Kelelahan yang terjadi di tempat kerja memberi kontribusi 50% terhadap terjadinya kecelakaan di tempat kerja (Setyawati, 2007, Maurits dan Widodo, 2008).

Kelelahan kerja merupakan suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada pekerja, dimana pekerja tidak sanggup lagi untuk melakukan pekerjaan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas kerja akibat faktor pekerjaan (Riyadina, 1996, Sedarmayanti, 2009). Orang yang mengalami kelelahan kerja biasanya mengalami gejala-gejala seperti perasaan lesu, menguap, mengantuk, pusing, sulit berpikir, kurang berkonsenterasi, kurang waspada, persepsi yang buruk dan lambat, kaku dan canggung dalam gerakan, gairah bekerja kurang, tidak seimbang dalam berdiri, tremor pada anggota badan, tidak dapat mengontrol sikap, dan menurunnya kinerja jasmani dan rohani (Kroemer dan Grandjean, 1997, Tarwaka, 2013).

Kelelahan kerja dapat berdampak terhadap menurunnya perhatian, perlambatan dan hambatan persepsi, lambat dan sukar berfikir, penurunan motivasi untuk bekerja, penurunan kewaspadaan, menurunnya konsentrasi dan ketelitian, performa kerja rendah, kualitas kerja rendah, dan menurunnya kecepatan reaksi. Hal-hal tersebut akan menyebabkan banyak terjadi


(21)

kesalahan, sehingga pekerja mengalami cidera, stress kerja, penyakit akibat kerja, kecelakaan kerja, dan pada akhirnya produktivitas berkurang (Sastrowinoto, 1985, Manuaba, 1998, Budiono, dkk, 2003, Tarwaka, 2013).

Kelelahan kerja disebabkan oleh beberapa hal seperti irama sirkadian, masalah lingkungan kerja (tingkat kebisingan, tingkat pencahayaan, dan iklim kerja), intensitas dan lamanya kerja, masalah-masalah fisik (tanggungjawab, kecemasan, dan konflik dalam organisasi), status kesehatan, status gizi (Budiono, dkk, 2003, Kroemer dan Grandjean, 1997, Tarwaka, 2013), kerja monoton, dan beban kerja (Suma’mur, 1999). Pendapat lain menambahkan kelelahan kerja juga dipengaruhi oleh waktu kerja, jenis kelamin, usia, masa kerja, status gizi, dan kondisi kesehatan (Silaban, 1998).

Berdasarkan penelitian menyebutkan kelelahan kerja disebabkan oleh beberapa faktor. Penelitian yang dilakukan pada pekerja penjahit sektor informal faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja adalah faktor usia pekerja dan masa kerja (Umyati, 2010). Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja pada karyawan Laundry informal adalah beban kerja (Wati dan Haryono, 2011). Lalu jenis kelamin dan beban kerja memiliki hubungan dengan kelelahan kerja pada karyawan pengolah dan pendistribusi makanan di instalasi gizi sebuah rumah sakit (Virgy, 2011)

Berdasarkan hasil survey di negara maju, dilaporkan bahwa antara 10-50% penduduk mengalami kelelahan (Silaban, 1998). Sedangkan penelitian


(22)

mengenai kecelakaan transportasi yang dilakukan di Selandia Baru antara tahun 2002 dan 2004 menunjukkan bahwa dari 134 kecelakaan fatal, 11% diantaranya disebabkan faktor kelelahan dan dari 1703 cidera akibat kecelakaan, 6% disebabkan oleh kelelahan pada operator (Baiduri, 2008). Kemudian, berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam kegiatan Workshop Formulasi Strategi Penelitian ASEAN OSHNET (Association of South East Asian Nation-Occupational Safety and Health Network) untuk K3 yang diselenggarakan tahun 2010, angka kecelakaan kerja di Indonesia tahun 2009 masih relatif tinggi yaitu mencapai 96.513 kasus (Kemenakertrans RI, 2010).

Dari hasil penelitian tentang kelelahan kerja yang dilakukan pada pekerja penjahit sektor informal diketahui bahwa sebagian besar responden mengalami lelah yaitu sebanyak 41 (53.9%) responden dari total responden 76 orang (Umyati, 2010). Sedangkan pada karyawan Laundry informal diketahui bahwa dari 30 orang responden, 20 orang mengalami kelelahan kerja (Wati dan Haryono, 2011). Kemudian, penelitian lain menunjukkan sebagian besar karyawan pengolah dan pendistribusi makanan di instalasi gizi sebuah rumah sakit termasuk dalam kategori kelelahan kerja berat lebih banyak yaitu sebanyak 17 orang (53,1%), kelelahan kerja sedang sebanyak 9 orang (28,1%), dan sebanyak 6 orang (18,8%) responden mengalami kelelahan kerja ringan (Virgy, 2011).


(23)

Pembuat tahu adalah pekerja sektor informal yang menggunakan kacang kedelai sebagai bahan baku/utama dalam proses produksinya untuk membuat tahu serta cara kerja yang bersifat tradisional (M.Mikhew, ICHOIS, l997 dalam Effendi, 2007). Terdapat sekitar 2500 pembuat tahu di wilayah Tangerang, Banten. Di Tangerang Selatan sendiri, terdapat beberapa daerah penghasil tahu yang cukup banyak dan tersebar di daerah Ciputat dan Ciputat Timur (Sekarningrum, 2012 dalam Ferdian, 2012).

Sesuai dengan perannya sebagai industri sektor informal, industri tahu mempunyai ciri-ciri dalam aspek keselamatan dan kesehatan di tempat kerja. Ciri-ciri tersebut seperti timbulnya risiko bahaya pekerjaan yang tinggi, keterbatasan sumber daya dalam mengubah lingkungan kerja dan menentukan pelayanan kesehatan kerja yang adekuat, rendahnya kesadaran terhadap faktor-faktor risiko kesehatan kerja dan kondisi pekerjaan yang tidak ergonomis, kerja fisik yang berat dan jam kerja yang panjang (M.Mikhew, ICHOIS, l997 dalam Effendi, 2007). Tempat pembuatan tahu menghasilkan suara bising dari mesin penggiling kedelai, kurangnya tingkat pencahayaan ditempat kerja, dan tekanan panas yang dapat mengganggu proses kerja. Selain itu pada proses penyaringan ini melibatkan seluruh aktifitas tubuh karena dilakukan secara terus-menerus dengan cara menggoyang-goyangkan kain saringan, ada pula yang menginjak-injak alat saringan menggunakan kaki untuk membantu proses penyaringan (Widiantoko, 2010 dalam Ferdian, 2012,


(24)

Fauzi, 2013). Hal-hal tersebut menyebabkan pembuat tahu berisiko mengalami kelelahan kerja.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2013 di tiga tempat pembuatan tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur didapatkan bahwa dari 12 pekerja, 91,7% pekerja mengalami kelelahan kerja yaitu 11 orang, dan 8,3% atau 1 orang pekerja tidak mengalami kelelahan kerja. Maka dari itu penulis mengambil judul “ Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014.”

B. Rumusan Masalah

Kelelahan kerja disebabkan oleh faktor-faktor risiko yang ada di tempat kerja. Pada tempat pembuatan tahu faktor-faktor risiko kelelahan kerja antara lain suara bising dari mesin penggiling kedelai, kurangnya pencahayaan ditempat kerja, tekanan panas yang dapat mengganggu proses kerja, dan proses kerja yang melibatkan seluruh aktifitas tubuh. Hal-hal tersebut menyebabkan pembuat tahu berisiko mengalami kelelahan kerja.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2013 di tiga tempat pembuatan tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur, tingkat kebisingan yang terdapat di tempat pembuatan tahu mencapai 88 dB. Jika dibandingan dengan Nilai Ambang Batas (NAB) yang


(25)

ditetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 Tahun 2011, tingkat kebisingan sudah melebihi NAB yang ditentukan yaitu 85 dB untuk 8 jam kerja.

Kemudian, hasil pengukuran tingkat pencahayaan di tempat kerja bervariasi di masing-masing titik aktivitas kerja. Hasil pengukuran berkisar 13

lux sampai 596 lux, dimana sebagian besar titik berada dibawah 300 lux. Hal tersebut berarti pencahayaan di tempat kerja dibawah NAB pencahayaan minimal untuk industri kecil seperti pembuatan tahu yang ditetapkan oleh Kepmenkes RI No. 1405 Tahun 2002 yaitu 300 lux.

Kemudian, hasil pengukuran tekanan panas mencapai 29,92 °C sampai 31,38 °C dengan alokasi pembagian waktu kerja pembuat tahu yaitu 8 jam bekerja dengan istirahat 30 menit untuk makan siang (75% sampai 100% kerja) sehingga termasuk beban kerja sedang. Hal ini berarti sudah melebihi NAB Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang disesuaikan dengan tingkat beban kerja pekerja dan alokasi pembagian waktu kerja yang diperkenankan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 Tahun 2011, yaitu sebesar 280 C sampai 310 C. Hasil pengukuran kelelahan kerja pada 12 pekerja diketahui bahwa 91,7% pekerja mengalami kelelahan kerja yaitu 11 orang, dan 8,3% atau 1 orang pekerja tidak mengalami kelelahan kerja. Maka dari itu, dengan penelitian ini peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh


(26)

terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

2. Bagaimana gambaran umur pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

3. Bagaimana gambaran masa kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

4. Bagaimana gambaran status gizi pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

5. Bagaimana gambaran kebiasaan merokok pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

6. Bagaimana gambaran tingkat kebisingan di tempat kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

7. Bagaimana gambaran tingkat pencahayaan di tempat kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

8. Bagaimana gambaran tekanan panas di tempat kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?


(27)

9. Apakah ada pengaruh umur terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

10.Apakah ada pengaruh masa kerja terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

11.Apakah ada pengaruh status gizi terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

12.Apakah ada pengaruh kebiasaan merokok terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

13.Apakah ada pengaruh tingkat kebisingan di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

14.Apakah ada pengaruh tingkat pencahayaan di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?

15.Apakah ada pengaruh tekanan panas di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?


(28)

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

b. Diketahuinya gambaran umur pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

c. Diketahuinya gambaran masa kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

d. Diketahuinya gambaran status gizi pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

e. Diketahuinya gambaran kebiasaan merokok pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

f. Diketahuinya gambaran tingkat kebisingan di tempat kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.


(29)

g. Diketahuinya gambaran tingkat pencahayaan di tempat kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

h. Diketahuinya gambaran tekanan panas di tempat kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014. i. Diketahuinya pengaruh umur terhadap kelelahan kerja pada pembuat

tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014. j. Diketahuinya pengaruh masa kerja terhadap kelelahan kerja pada

pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

k. Diketahuinya pengaruh status gizi terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

l. Diketahuinya pengaruh kebiasaan merokok terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

m. Diketahuinya pengaruh tingkat kebisingan di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.


(30)

n. Diketahuinya pengaruh tingkat pencahayaan di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

o. Diketahuinya pengaruh tekanan panas di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana untuk melatih pemikiran yang sistematis dalam menganalisa dan memecahkan suatu masalah. Selain itu sebagai sarana untuk mengaplikasikan keilmuan K3 yang telah didapat di perkuliahan dalam dunia kerja mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelelahan kerja, khususnya pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.

2. Bagi Pekerja

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pikiran dan bahan pertimbangan bagi pekerja mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelelahan kerja pada pekerja


(31)

dalam upaya pengaturan sikap dan sarana kerja sehingga dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam bekerja. Serta dapat mengurangi kelelahan kerja dan meningkatkan kinerja dalam pencapaian produktivitas kerja.

3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kalangan akademis sebagai referensi kepustakaan tambahan yang nantinya dapat menjadi acuan untuk melakukan penelitian berikutnya mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelelahan kerja secara mendetail dan mendalam.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Mei 2014. Populasi penelitian ini adalah pembuat tahu yang berada di wilayah kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur yang berjumlah 80 orang dan sampel berjumlah75 orang

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain Cross Sectional Study karena pada penelitian ini variabel dependen dan variabel independen akan diamati dalam waktu (periode) yang sama. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Reaction Timer Test


(32)

untuk mengukur kelelahan kerja, Sound Level Meter (SLM) untuk mengukur tingkat kebisingan, Custom Digital Lux Meter untuk mengukur tingkat pencahayaan, Quest Thermal Environmental Monitor untuk mengukur tekanan panas dengan mempertimbangkan waktu kerja dan beban kerja yang diukur dengan Estimasi Pengukuran Panas Metabolik dan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB), timbangan dan meteran tubuh untuk menghitung status gizi, dan kuesioner untuk mengetahui umur, masa kerja, dan kebiasaan merokok responden.


(33)

16 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Industri Tahu

Sektor usaha dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu usaha formal dan informal. Jan Breman mengatakan bidang usaha sektor formal adalah sejumlah pekerjaan yang terstruktur dan terorganisir, secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian, dan syarat-syarat bekerja dilindungi oleh hukum. Sedangkan Simanjuntak memberikan ciri-ciri yang tergolong sebagai bidang usaha sektor informal, yaitu kegiatan usaha yang secara umum sederhana, skala usaha relatif kecil, umumnya tidak mempunyai izin usaha, untuk bekerja di sektor informal lebih mudah daripada di sektor formal, tingkat pendapatan di sektor informal biasanya rendah, keterkaitan sektor informal dengan usaha-usaha lain sangat kecil, dan usaha-usaha di sektor informal sangat beraneka ragam (Effendi, 1993). Contoh bidang usaha sektor informal biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan, dagang, pertanian, perikanan atau usaha lain (Setyawati, 2001).

Salah satu bidang usaha sektor informal yang berkembang saat ini adalah industri tahu. Tahu merupakan salah satu makanan utama dan digemari oleh masyarakat Indonesia karena selain harganya murah dan mudah didapat, tahu juga dapat diolah menjadi berbagai bentuk masakan, rasanya enak, dan


(34)

merupakan salah satu makanan yang menyehatkan (Mudjajanto, 2006). Tahu adalah makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan atau dihancurkan menjadi bubur (Kastyanto, 1999 dalam Fredickson, 2011).

1. Pembuat Tahu

Pembuat tahu adalah pekerja sektor informal yang membuat makanan yang terbuat dari kedelai sebagai bahan baku utama yang dilumatkan atau dihancurkan menjadi bubur dengan cara tradisional. Sesuai dengan perannya sebagai industri sektor informal industri tahu mempunyai ciri seperti timbulnya risiko bahaya pekerjaan yang tinggi, keterbatasan sumber daya dalam mengubah lingkungan kerja dan menentukan pelayanan kesehatan kerja yang adekuat, rendahnya kesadaran terhadap faktor-faktor risiko kesehatan kerja dan kondisi pekerjaan yang tidak ergonomis, kerja fisik yang berat dan jam kerja yang panjang (M.Mikhew, ICHOIS, l997 dalam Effendi, 2007).

2. Tahapan Pembuatan Tahu

Berikut ini adalah tahapan pembuatan tahu (Suprapti, 2005): a. Persiapan

Tahap persiapan merupakan kegiatan pokok pada pembuatan tahu meliputi persiapan bahan baku dan persiapan bahan penggumpal.


(35)

Bahan baku harus melalui proses pembersihan, pengeringan dalam oven dengan suhu 400C sampai 600C (sama dengan suhu sinar matahari), pemisahan kulit, pelunakan dilakukan dengan menambahkan soda kue, pencucian dan penirisan agar tidak tercampur soda kue. Sedangkan bahan penggumpal dibutuhkan untuk menggumpalkan protein yang masih tercampur di dalam sari kedelai. Dengan demikian, akan diperoleh bubur tahu yang dapat dicetak. b. Proses Pembuatan Tahu

Proses pembuatan tahu terdiri beberapa tahap yaitu (Widiantoko, 2010 dalam Ferdian, 2012, Fauzi, 2013):

1) Perendaman

Pada tahapan perendaman ini, kedelai direndam dalam sebuah bak perendam selama kurang lebih 3 jam. Jumlah air yang dibutuhkan tergantung dari jumlah kedelai, intinya kedelai harus terendam semua. Tujuan dari tahapan perendaman ini adalah untuk mempermudah proses penggilingan sehingga dihasilkan bubur kedelai yang kental.

2) Pencucian Kedelai

Kedelai dikeluarkan dari bak perendam kemudian dimasukan ke dalam ember-ember plastik untuk kemudian dicuci dengan air mengalir. Tujuannya adalah untuk membersihkan


(36)

biji-biji kedelai dari kotoran-kotoran supaya tidak mengganggu proses penggilingan dan agar kotoran-kotoran tidak tercampur ke dalam adonan tahu.

3) Penggilingan

Proses penggilingan dilakukan dengan menggunakan mesin penggiling biji kedelai dengan tenaga penggerak dari motor berbahan bakar minyak. Mesin penggiling kedelai menghasilkan suara bising mencapai 86 dB. Tujuan penggilingan yaitu untuk merubah biji-biji kedelai menjadi bubur kedelai. Saat proses penggilingan sebaiknya dialiri air untuk didapatkan kekentalan bubur yang diinginkan.

4) Perebusan/Pemasakan

Proses perebusan/pemasakan pada masing-masing tempat pembuatan tahu dibedakan berdasarkan cara pemasakan/perebusan. Ada yang menggunakan cara tradisional yaitu perebusan/pemasakan dalam drum/wadah bubur kedelai dimana kayu bakar diletakan langsung dibawahnya. Sedangkan cara lain yaitu cara perebusan/pemasakan tidak langsung mendapatkan panas dari kayu bakar, namun menggunakan ketel uap yang diletakan agak jauh dari lokasi proses pembuatan tahu yang dialirkan melalui pipa besi. Kayu bakar sebagai bahan bakar


(37)

diperoleh dari sisa-sisa pembangunan rumah. Tujuan perebusan adalah untuk mendenaturasi protein dari kedelai sehingga protein mudah terkoagulasi saat penambahan asam. Titik akhir perebusan ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung panas dan mengentalnya larutan/bubur kedelai. Proses ini menghasilkan tekanan panas sekitar 29° sampai 32° C yang dapat mengganggu proses kerja.

5) Penyaringan

Setelah bubur kedelai direbus dan mengental, dilakukan proses penyaringan dengan menggunakan kain saring. Tujuan dari proses penyaringan ini adalah memisahkan antara sari kedelai dengan ampas atau limbah kedelai yang tidak diinginkan. Pada proses penyaringan ini bubur kedelai yang telah mendidih dan sedikit mengental dipindahkan ke dalam bak yang diatasnya terdapat kain saring. Bubur tersebut dialirkan melewati kain saring yang ada diatas bak penampung.

Proses penyaringan ini melibatkan seluruh aktifitas tubuh karena dilakukan secara terus-menerus dengan cara menggoyang-goyangkan kain saringan, ada pula yang menginjak-injak alat saringan menggunakan kaki untuk membantu proses penyaringan. Proses ini dilakukan sampai memperoleh sari kedelai yang bersih


(38)

dari limbah kedelai yang tidak diinginkan. Kemudian saringan yang berisi ampas diperas sampai benar-benar kering. Ampas hasil penyaringan disebut ampas yang kering, ampas tersebut dipindahkan ke dalam karung. Ampas tersebut dimanfaatkan untuk makanan ternak ataupun dijual untuk bahan dasar pembuatan tempe gembus.

6) Pengendapan

Dari proses penyaringan diperoleh sari kedelai putih seperti susu yang kemudian akan diproses lebih lanjut. Sari kedelai yang didapat kemudian ditambahkan asam cuka yang berfungsi untuk mengendapkan dan menggumpalkan protein tahu sehingga terjadi pemisahan antara lapisan atas (whey) dengan lapisan bawah (endapan tahu). Endapan tersebut yang merupakan bahan utama yang akan dicetak menjadi tahu. Lapisan atas (whey) yang berupa limbah cair merupakan bahan dasar yang akan diolah menjadi

Nata De Soya.

7) Pencetakan dan Pengepresan

Proses pencetakan dan pengepresan merupakan tahap akhir pembuatan tahu. Terdapat dua cetakan yang digunakan, yaitu cetakan kain untuk mencetak tahu berukuran 5×5 atau 10×10 cm dan cetakan yang terbuat dari kayu berukuran 70×70 cm dan berisi


(39)

ruang-ruang berukuran 5×5 cm. Lubang tersebut bertujuan untuk memudahkan air keluar saat proses pengepresan. Sebelum proses pencetakan yang harus dilakukan adalah memasang kain saring tipis di permukaan cetakan. Setelah itu, endapan yang telah dihasilkan pada tahap sebelumnya dipindahkan dengan menggunakan alat semacam wajan secara pelan-pelan. Selanjutnya kain saring ditutup rapat dan kemudian diletakkan kayu yang berukuran hampir sama dengan cetakan di bagian atasnya. Setelah itu, bagian atas cetakan diberi beban untuk membantu mempercepat proses pengepresan tahu. Tahu siap dikeluarkan dari cetakan apabila tahu tersebut sudah cukup keras dan tidak hancur bila digoyang.

8) Pemotongan Tahu

Setelah proses pencetakan selesai, dilakukan proses pemotongan. Proses pemotongan ini untuk tahu yang dicetak menggunakan cetakan kayu. Tahu yang sudah jadi dikeluarkan dari cetakan dengan cara membalik cetakan dan kemudian membuka kain saring yang melapisi tahu. Setelah itu, tahu dipotong sesuai ukuran, kemudian tahu dipindahkan ke dalam bak yang berisi air agar tahu tidak hancur.


(40)

Bagan 2.1 Alur Pembuatan Tahu

B. Kelelahan Kerja 1. Definisi Kelelahan

Kelelahan merupakan kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan yang biasa terjadi kepada semua orang dalam kehidupan sehari-hari dan disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan

Perendaman

Pencucian Kedelai

Penggilingan

Perebusan / Pemasakan

Penyaringan

Pengendapan

Pencetakan dan Pengepresan


(41)

dalam bekerja (Budiono, dkk, 2003, Sedarmayanti, 2009). Pendapat lainnya mendeskripsikan kelelahan menjadi tiga definisi umum yaitu (Bridger, 2003):

a. Kelelahan “kantuk” yaitu kelelahan yang disebabkan karena kurangnya waktu tidur dan adanya gangguan irama sirkadian.

b. Kelelahan “capek” yaitu kelelahan yang disebabkan karena melakukan aktivitas fisik yang berat atau berlebih.

c. Kelelahan “mental” yaitu kelelahan yang mengacu pada mental akibat melakukan pekerjaan yang sama berulang-ulang.

Kelelahan merupakan suatu kondisi menurunnya efisiensi, performa kerja, dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan (Wignjosoebroto, 2003).

Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka, 2013).


(42)

2. Definisi Kelelahan Kerja

Kelelahan kerja adalah suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada pekerja, dimana pekerja tidak sanggup lagi untuk melakukan pekerjaan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas kerja akibat faktor pekerjaan (Riyadina, 1996, Sedarmayanti, 2009). Sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa kelelahan kerja merupakan proses menurunnya efisiensi, performance kerja, dan berkurangnya kekuatan/ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan (Suma’mur, 1996).

Kelelahan kerja akan menambah tingkat kesalahan kerja dan menurunkan kinerja atau produktivitas. Jika kesalahan kerja meningkat, akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri (Nurmianto, 2003).

C. Jenis Kelelahan

Kelelahan dibagi atas dua jenis, yaitu (Budiono, dkk, 2003):

1. Kelelahan otot merupakan tremor pada otot atau perasaan nyeri pada otot. 2. Kelelahan umum merupakan kelelahan yang ditandai dengan

berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh pekerjaan yang sifatnya statis/monoton, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, kondisi mental dan psikologis, status kesehatan, dan gizi.


(43)

Pengaruh-pengaruh tersebut terakumulasi di dalam tubuh manusia dan menimbulkan perasaan lelah yang dapat menyebabkan seseorang berhenti bekerja (beraktivitas).

Di samping itu, kelelahan juga diklasifikasikan menjadi 6 bagian, yaitu (Grandjean, 1988):

1. Kelelahan mata, yaitu kelelahan yang timbul akibat terlalu tegangnya sistem penglihatan.

2. Kelelahan tubuh secara umum, yaitu kelelahan akibat beban fisik yang berlebihan.

3. Kelelahan mental, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh pekerjaan mental atau intelektual.

4. Kelelahan syaraf, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh tekanan berlebihan pada salah satu bagian sistem psikomotor, seperti pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan, melakukan pekerjaan yang berulang-ulang.

5. Kelelahan kronis, yaitu kelelahan akibat akumulasi efek jangka panjang. 6. Kelelahan sirkadian, yaitu bagian dari ritme siang-malam, dan memulai

periode tidur yang baru.

Kelelahan dapat diatasi dengan beristirahat untuk menyegarkan tubuh. Apabila kelelahan tidak segera diatasi dan pekerja dipaksa untuk terus bekerja, maka kelelahan akan semakin parah dan dapat mengurangi


(44)

produktivitas pekerja. Kelelahan sama halnya dengan keadaan lapar dan haus sebagai suatu mekanisme untuk mendukung kehidupan (Budiono, dkk, 2003).

D. Gejala Kelelahan

Gambaran mengenai gejala kelelahan (fatigue symptoms) secara subjektif dan objektif antara lain (Grandjean, 1988):

1. Perasaan lesu, mengantuk, dan pusing 2. Tidak atau kurang konsentrasi

3. Berkurangnya tingkat kewaspadaan 4. Persepsi yang buruk dan lambat

5. Tidak ada atau berkurangnya gairah untuk bekerja 6. Menurunnya kinerja jasmani dan rohani

Sedangkan ada yang menambahkan bahwa gejala kelelahan antara lain (Tarwaka, 2013):

1. Perasaan berat di kepala 2. Merasa lelah seluruh badan 3. Merasa berat di kaki

4. Sering menguap saat bekerja 5. Merasa kacau pikiran saat bekerja 6. Menjadi mengantuk


(45)

8. Kaku dan canggung dalam gerakan 9. Tidak seimbang dalam berdiri 10.Ingin berbaring

11.Merasa susah berpikir 12.Malas untuk bicara 13.Merasa gugup

14.Tidak dapat berkonsentrasi

15.Tidak dapat mempusatkan perhatian terhadap sesuatu 16.Cenderung mudah melupakan sesuatu

17.Kurang kepercayaan diri 18.Cemas terhadap sesuatu 19.Tidak dapat mengontrol sikap 20.Tidak dapat tekun dalam pekerjaan 21.Sakit di bagian kepala

22.Sakit di bagian bahu 23.Sakit di bagian punggung 24.Merasa pernafasan tertekan 25.Haus

26.Suara sesak 27.Merasa pening


(46)

29.Anggota badan terasa gemetar 30.Merasa kurang sehat

Beberapa gejala ini dapat menyebabkan penurunan efisiensi dan efektivitas kerja fisik dan mental. Sejumlah gejala tersebut manifestasinya timbul berupa keluhan oleh tenaga kerja dan seringnya tenaga kerja tidak masuk kerja (Grandjean, 1988).

E. Dampak Kelelahan

Dampak bagi pekerja yang mengalami kelelahan kerja antara lain menurunnya perhatian, perlambatan dan hambatan persepsi, lambat dan sukar berfikir, penurunan motivasi untuk bekerja, penurunan kewaspadaan, menurunnya konsentrasi dan ketelitian, performa kerja rendah, kualitas kerja rendah, dan menurunnya kecepatan reaksi. Hal-hal tersebut akan menyebabkan banyak terjadi kesalahan, sehingga pekerja mengalami cidera, stress kerja, penyakit akibat kerja, kecelakan kerja, dan pada akhirnya dapat mempengaruhi produktivitas menjadi berkurang (Sastrowinoto, 1985, Manuaba, 1998, Budiono, dkk, 2003, Tarwaka, 2013).

Kelelahan di tempat kerja memang tidak bisa dipandang sebelah mata, karena sangat berpengaruh terhadap efektifitas, produktivitas, serta keselamatan pekerja pada umumnya (Job dan Dalziel, 2001 dalam Australian Safety and Compensation Council, 2006).


(47)

F. Metode Pengukuran Kelelahan

Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja (Grandjean, 1993 dalam Tarwaka, 2013). Pengukuran kelelahan dapat dilakukan dengan enam metode yang berbeda (Kroemer dan Grandjean, 1997), yaitu:

1. Kualitas dan Kuantitas Hasil Kerja

Pada metode ini, hasil kerja digambarkan sebagai jumlah proses kerja dan waktu yang digunakan setiap unit proses atau jumlah operasi yang dilakukan setiap unit waktu. Metode ini biasanya digunakan sebagai pengukuran tidak langsung karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan seperti target produksi, perilaku psikologis dalam kerja, dan faktor sosial (Kroemer dan Grandjean, 1997). Sedangkan kualitas hasil kerja seperti kerusakan produk, penolakan produk, atau frekuensi kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukan merupakan faktor penyebab (Tarwaka, 2013).


(48)

2. Perasaan Kelelahan Secara Subjektif

Saat ini telah ada alat untuk mengukur kelelahan dengan menggabungkan beberapa indikator untuk menginterpretasikan hasil yang dapat dipercaya. Mengutamakan perasaan subjektif terhadap kelelahan perlu diperhatikan (Kroemer dan Grandjean, 1997).

Kuesioner khusus digunakan untuk menilai perasaan kelelahan secara subyektif. Subjective Self Rating Test (SSRT) dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dibuat pada tahun 1967, berisi gejala kelelahan umum yang dapat untuk mengukur tingkat kelelahan subjektif (Tarwaka, 2013). Kuesioner ini berisi 30 pertanyaan sebagai indikator yang terdiri dari 10 pertanyaan sebagai indikator tentang pelemahan kegiatan, 10 pertanyaan sebagai indikator tentang pelemahan motivasi, dan 10 pertanyaan sebagai indikator tentang gambaran kelelahan fisik.


(49)

Tabel 2.1

Daftar Pertanyaan Kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT) 10 Pertanyaan tentang

Pelemahan Kegiatan

10 Pertanyaan tentang Pelemahan Motivasi

10 Pertanyaan tentang Gambaran Kelelahan Fisik

a. Perasaan berat di kepala

a. Merasa susah berpikir a. Sakit di bagian kepala b. Merasa lelah seluruh

badan

b. Malas untuk bicara b. Sakit di bagian bahu c. Merasa berat di kaki c. Merasa gugup c. Sakit di bagian

punggung d. Sering menguap saat

bekerja

d. Tidak dapat

berkonsentrasi

d. Merasa nafas tertekan e. Merasa kacau pikiran

saat bekerja

e. Tidak dapat

memusatkan perhatian

e. Haus f. Menjadi mengantuk f. Cenderung mudah

melupakan sesuatu

f. Suara serak g. Merasakan beban

pada mata

g. Kurang kepercayaan diri

g. Merasa pening h. Kaku dan canggung

dalam gerakan

h. Cemas terhadap sesuatu

h. Merasa ada yang mengganjal di kelopak mata

i. Tidak seimbang saat berdiri

i. Tidak dapat

mengontrol sikap

i. Anggota badan terasa gemetar

j. Ingin berbaring j. Tidak tekun dalam pekerjaan

j. Merasa kurang sehat

Sumber: Tarwaka, dkk, 2004.

Semakin tinggi frekuensi gejala kelelahan muncul dapat diartikan semakin besar pula tingkat kelelahan. Kuesioner ini kemudian dikembangkan dimana jawaban-jawaban kuesioner diskoring sesuai empat skala Likert (Susetyo, 2008).

Apabila menggunakan penilaian dengan skala Likert, maka setiap skor atau nilai haruslah memiliki definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden. Jawaban untuk kuesioner IFRC tersebut


(50)

terbagi menjadi 4 kategori jawaban dimana masing-masing jawaban tersebut diberi skor atau nilai sebagai berikut (Tarwaka, 2013):

a. Skor 4 = Sangat Sering (SS) merasakan kelelahan b. Skor 3 = Sering (S) merasakan kelelahan

c. Skor 2 = Kadang-kadang (K) merasakan kelelahan d. Skor 1 = Tidak Pernah (TP) merasakan kelelahan

Setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian kuesioner, maka langkah berikutnya adalah menghitung jumlah skor pada masing-masing kolom (1, 2, 3 dan 4) dari 30 pertanyaan tersebut dan akan dijumlahkan, total nilai yang didapat akan menggambarkan kategori kelelahan dari tiap responden. Kategori tersebut antara lain (Tarwaka, 2013):

a. Nilai 30-52 = Kelelahan rendah b. Nilai 53-75 = Kelelahan sedang c. Nilai 76-98 = Kelelahan tinggi d. Nilai 99-120 = Kelelahan sangat tinggi

3. The Electroencephalograph

The Electroencephalograph adalah alat ukur kelelahan yang baru-baru ini sesuai dengan standar riset di laboratorium, dimana berupa penempelan elektroda pada permukaan kulit kepala untuk menangkap


(51)

aktivitas listrik di otak. Setelah itu ditafsirkan sebagai sinyal yang menunjukkan keadaan kelelahan dan mengantuk (Bridger, 2003).

4. Mengukur Frekuensi Subjektif Kelipan Mata (Flicker Fusion Eyes Test)

Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara dua kelipan. Metode ini, disamping untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja (Kroemer dan Grandjean, 1997, Tarwaka, 2013).

5. Pengujian Psikomotor

Pengujian psikomotor mengukur fungsi-fungsi yang melibatkan persepsi, interpretasi, dan reaksi motorik. Uji yang sering digunakan adalah pengukuran waktu reaksi (Reaction Timer Test) (Tarwaka, 2013).

Reaction time adalah jangka waktu dari adanya pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu kesadaran atau dilaksanakan gerakan/kegiatan. Dalam uji Reaction Timer dapat digunakan rangsangan berupa nyala lampu yang kemudian pekerja akan meresponnya, sehingga dapat dihitung waktu yang dibutuhkan pekerja untuk merespon rangsangan tersebut. Pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk


(52)

adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot (Koesyanto dan Tunggul, 2005).

Pengukuran waktu reaksi dilakukan sebanyak 5 kali, setiap hasil pengukuran dijumlahkan, kemudian diambil nilai rata-ratanya. Eksperimen menggunakan uji Reaction Timer sangat penting dan menarik. Hal tersebut dikarenakan hasil yang didapatkan dari pengukuran ini tidak hanya sekedar mengetahui perbedaan kecepatan persepsi individu, akan tetapi juga mampu mendapatkan informasi mengenai kegunaan fungsi sistem syaraf yaitu atensi, kemampuan proses persepsi, dan proses kecepatan reaksi (Koesyantodan Tunggul, 2005).

Hasil pengukuran dengan Reaction Timer akan dibandingkan dengan standar pengukuran kelelahan yaitu (Koesyanto dan Tunggul, 2005):

a. Normal : waktu reaksi 150,0-240,0 mili detik b. Kelelahan Kerja Ringan : waktu reaksi >240,0-<410,0 mili detik c. Kelelahan Kerja Sedang : waktu reaksi 410,0-<580,0 mili detik d. Kelelahan Kerja Berat : waktu reaksi ≥ 580,0 mili detik

Biro Konsultasi Kesehatan, Keselamatan dan Produktivitas Kerja Lakassidaya yang dipimpin oleh Maurits Charles Soekarno merupakan biro yang memberikan bantuan konsultasi secara K3 dan ergonomi disamping pemberian pendidikan, pelatihan serta penerangan dan


(53)

penelitian di bidang K3 dan ergonomi telah melakukan uji validitas dan reliabilitas dari Reaction Timer Test. Hasil uji validitasnya baik dan hasil reliabilitasnya sangat reliabel (r = 0,9) (Lakassidaya, 2011).

6. Pengujian Mental

Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan. Bourdon Wiersma Test merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian, dan konsentrasi. Hasil test akan menunjukkan bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian, dan konsentrasi akan semakin rendah. Namun demikian Bourdon Wiersma Test lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental (Grandjean, 1993 dalam Tarwaka, dkk, 2004).


(54)

Tabel 2.2

Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengukuran Kelelahan Kerja

No. Metode Kelebihan Kekurangan

1 Kualitas dan Kuantitas Hasil Kerja

Hasil kerja digambarkan sebagai jumlah proses kerja dan waktu yang digunakan setiap unit proses atau jumlah operasi yang dilakukan setiap unit waktu

a. Biasanya digunakan sebagai pengukuran tidak langsung karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti target produksi, faktor sosial, dan perilaku psikologis dalam kerja

b. Kerusakan produk, penolakan produk, atau frekuensi kecelakaan bisa disebabkan bukan hanya karena faktor kelelahan semata 2 Perasaan Kelelahan

Secara Subjektif

Kelelahan dapat dianalisis langsung dari gejala-gejala yang dirasakan oleh seseorang

Pengukuran tidak objektif sehingga hasilnya kurang kuat

3 The

Electroencephalograph

Alat ukur kelelahan yang akurat sesuai dengan standar riset di laboratorium

Pengukuran dapat mengganggu proses dan jam kerja responden karena harus mengikuti tes di laboratorium, dikhawatirkan dapat menurunkan produktivitas responden

4 Mengukur Frekuensi Subjektif Kelipan Mata (Flicker Fusion Eyes Test)

Metode ini selain untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja

Bisa terjadi bias dalam menentukan besar frekuensi yang dihasilkan pada pengukuran

5 Pengujian Psikomotorik

a. Metode pengukuran secara objektif b. Tidak hanya sekedar

mengetahui

perbedaan kecepatan

Pengukuran menggunakan

mouse sehingga bisa terjadi bias bila terdapat responden yang terbiasa menggunakan mouse, dan


(55)

No. Metode Kelebihan Kekurangan persepsi individu,

akan tetapi juga mampu mendapatkan informasi mengenai kegunaan fungsi sistem syaraf yaitu atensi, kemampuan proses persepsi, dan proses kecepatan reaksi

responden yang tidak terbiasa menggunakan

mouse.

6 Pengujian Mental Hasil test menunjukkan bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan konsentrasi akan semakin rendah atau sebaliknya

Lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental

G. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Keja 1. Umur

Faktor umur dapat berpengaruh terhadap waktu reaksi dan perasaan lelah pekerja. Pekerja yang berumur lebih tua terjadi penurunan kekuatan otot, tetapi keadaan ini diimbangi dengan stabilitas emosi yang lebih baik dibanding pekerja yang berumur muda, sehingga dapat berakibat positif dalam melakukan pekerjaan (Setyawati, 2007).

Pekerja yang berumur diatas 35 tahun memiliki kelemahan pada saat melakukan pekerjaan dengan temperatur panas dibandingkan dengan pekerja yang berumur dibawah 35 tahun (Davis, 2001). Pada usia 65-70 tahun kekuatan otot tersebut secara berangsur-angsur akan menurun


(56)

(Permaesih, 2000). Penurunan kekuatan otot ini dipengaruhi oleh bertambahnya umur (Tarwaka, dkk, 2004), aktifitas fisik yang dilakukan, dan dipercepat jika seseorang tidak melakukan latihan (Permaesih, 2000). Proses penuaan serta kurangnya kemampuan kerja disebabkan oleh hilangnya fungsi otot, terjadinya penurunan kerja jantung, dan hilangnya kapasitas aerobik (Bridger, 2003).

Umur seseorang akan mempengaruhi kondisi tubuh. Semakin tua umur seseorang semakin besar tingkat kelelahan. Fungsi faal tubuh yang dapat berubah karena faktor usia mempengaruhi ketahanan tubuh dan kapasitas kerja seseorang. Seseorang yang berumur muda sanggup melakukan pekerjaan berat dan sebaliknya jika seseorang berusia lanjut maka kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat akan menurun karena merasa cepat lelah dan tidak bergerak dengan gesit ketika melaksanakan tugasnya sehingga mempengaruhi kinerjanya (Suma’mur, 1996). Hal ini sebanding dengan hasil penelitian kelelahan pada pekerja proyek dimana kelelahan berat paling banyak dialami oleh pekerja yang berusia diatas 37 tahun, sehingga dapat dikatakan adanya hubungan yang bermakna antara usia pekerja dengan kelelahan kerja (Marif, 2013).


(57)

2. Jenis Kelamin

Pada umumnya wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 2/3 dari kemampuan fisik atau kekuatan otot pria (Tarwaka, dkk, 2004). Bagi seorang wanita, jantung harus bekerja memompa darah yang mengandung oksigen lebih berat dari pada pria untuk mengalirkan satu liter oksigen ke jaringan-jaringan tubuh (Bridger, 2003). Dengan demikian, untuk mendapatkan hasil kerja yang sesuai maka harus diusahakan pembagian tugas antara pria dan wanita. Hal ini harus disesuaikan dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasannya masing-masing (Kroemer dan Grandjean, 1997, Tarwaka, dkk, 2004).

Akan tetapi dalam beberapa hal pekerja wanita lebih teliti dan lebih tahan atau lentur dibandingkan dengan pekerja laki-laki, seperti pada wanita yang telah menikah dan bekerja, waktu kerjanya lebih lama 4 sampai 6 jam jika dibandingkan dengan pria karena selain mencari nafkah wanita juga bertanggung jawab terhadap keluarga dan rumah (Harrington dan Gill, 2003). Berdasarkan hasil penelitian pada perawat di RS Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan. Dari 41 orang responden, terdapat 3 responden yang berjenis kelamin perempuan mengalami kelelahan kerja, sedangkan laki-laki tidak ada yang mengalami kelelahan kerja. (Sophia, 2009).


(58)

3. Masa Kerja

Masa kerja merupakan akumulasi waktu dimana pekerja telah menjalani pekerjaan tersebut. Semakin banyak informasi yang kita simpan, semakin banyak keterampilan yang kita pelajari, akan semakin banyak hal yang kita kerjakan (Malcom, 1998 dalam Wirasati, 2003).

Masa kerja dapat mempengaruhi pekerja baik pengaruh positif maupun negatif. Pengaruh positif terjadi bila semakin lama seorang pekerja bekerja maka akan berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Sebaliknya pengaruh negatif terjadi bila semakin lama seorang pekerja bekerja akan menimbulkan kelelahan dan kebosanan. Semakin lama seorang pekerja bekerja maka semakin banyak pekerja terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Budiono, dkk, 2003). Dampak negatif lainnya berupa adanya batas ketahanan tubuh terhadap proses kerja yang berakibat terhadap timbulnya kelelahan. Pekerjaan yang dilakukan secara kontinyu dapat berpengaruh terhadap sistem peredaran darah, sistem pencernaan, otot, syaraf dan sistem pernafasan (Suma’mur, 1999).

Penelitian pada pekerja bongkar muat di pelabuhan menunjukkan bahwa yang paling banyak merasakan lelah terdapat pada kelompok >10 tahun yaitu sebanyak 17 orang (65,4%). Hal ini dapat disimpulkan bahwa


(59)

masa kerja berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja (Eraliesa, 2009).

4. Status Gizi

Status gizi merupakan salah satu penyebab kelelahan. Seorang pekerja dengan status gizi yang baik akan memiliki ketahanan tubuh dan kapasitas kerja yang lebih baik, sedangkan seorang pekerja dengan status gizi yang tidak baik akan memiliki ketahanan tubuh dan kapasitas kerja yang tidak baik juga (Budiono, dkk, 2003). Apabila dalam melakukan pekerjaan tubuh kekurangan energi baik secara kualitatif maupun kuantitatif, kapasitas kerja akan terganggu sehingga pekerja tidak produktif, mudah terjangkit penyakit dan mempercepat timbulnya kelelahan (Tarwaka, dkk, 2004).

Status gizi seseorang dapat diketahui dari perhitungan Indeks Masa Tubuh (IMT). Adapun cara perhitungan IMT adalah sebagai berikut (Almatsier, 2009):

Hasil perhitungan IMT tesebut akan dibandingkan dengan standar yang diterapkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) Tahun 2004. Adapun standar IMT yang ditetapkan dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini (Almatsier, 2009):


(60)

Tabel 2.3

Indeks Masa Tubuh (IMT)

Status Gizi IMT (Kg/m2)

Sangat Kurus < 17

Kurus 17.0-18.4

Normal 18.5-24.9

Kelebihan Berat Badan (overweight) 25.0-26.9

Gemuk 27.0-28.9

Sangat Gemuk > 29

Sumber: Depkes RI, 2004

Menurut teori kelelahan terjadi pada IMT yang lebih tinggi yaitu obesitas. Secara persentase dapat dilihat bahwa kelelahan kerja berat yang dialami oleh pekerja lebih banyak terjadi pada pekerja yang memiliki status gizi obesitas (Hartz et al, 1999 dalam Safitri, 2008).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan kerja. Dari hasil penelitian pada pekerja wanita diperoleh data bahwa bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan kerja ( p-value = 0,024), dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,204 menunjukan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang lemah, artinya semakin status gizi menjauhi kadar normal, maka semakin meningkat untuk terjadinya kelelahan kerja (Trisnawati, 2012). Penelitian lain yang dilakukan pada pemanen kelapa sawit terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan kerja yang dialami oleh reponden. Responden yang mengalami kelelahan jauh lebih banyak jumlahnya pada


(61)

mereka yang berstatus gizi buruk yakni 24 orang (72.7%) dibandingkan dengan yang berstatus gizi baik (normal) yakni 9 orang (27.3%) (Mentari, dkk, 2012).

5. Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dalam menghisap rokok mulai dari satu batang ataupun lebih dalam satu hari. (Bustan, 2000). Asap rokok yang mengandung sekitar 4% karbon monoksida (CO) dapat bergabung dan terikat pada darah saat dihisap oleh paru-paru 200 kali lebih kuat dari pada oksigen (Bridger, 2003). Setiap menghisap rokok, terdapat 107 radikal dalam komponen asap yang didominasi oleh radikal oksigen, nitrit oksid, peroksil dan lain sebagainya. Secara kimia, radikal oksigen, nitrit oksid ini akan bereaksi secara cepat membentuk peroksilnitrit yang sangat reaktif dan akan berikatan dengan epitelial lining fluid (ELF) saluran napas menghasilkan

reactive oxygen species (ROS). Radikal semikuinon dapat bereaksi dengan radikal oksigen untuk membentuk radikal hidroksil dan peroksida membentuk superoksida. Radikal ini akan memicu sel untuk menghasilkan peroksida yang secara terus menerus dan mengakibatkan kerusakan sel sistem pernapasan (Susanto, dkk, 2011).


(62)

Pendapat lain menambahkan bahwa orang yang mengkonsumsi satu pak atau lebih rokok dalam sehari dapat menurunkan denyut jantung dua atau tiga denyutan tiap menitnya (Hanson dan Venturelli, 1983). Asap rokok yang beracun dan bersifat karsinogenik cenderung dapat berpengaruh pada kemampuan fisik perokok, sehingga mudah mengalami kelelahan (Bridger, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada karyawan di PT. Amoco Mitsui Indonesia menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kelelahan yang dilihat dari kebugaran jasmani. Sebanyak 51 responden (68,9%) dengan status perokok ringan yang mengalami kebugaran jasmani yang baik (tidak lelah), dan sebanyak 8 responden (34,8%) dengan status merokok berat yang mengalami kebugaran jasmani yang baik (tidak lelah) dengan nilai p= 0,007 (Budiasih, 2011).

Perokok dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok menurut jumlah rokok yang dihisap, yaitu (Bustan, 2000):

a. Perokok berat, menghisap lebih dari 20 batang rokok dalam sehari. b. Perokok sedang, menghisap 10 sampai 20 batang rokok dalam sehari. c. Perokok ringan, menghisap kurang dari 10 batang rokok dalam sehari. d. Bukan perokok, tidak menghisap rokok.


(63)

6. Shift Kerja

Kerja shift sebagai pekerjaan yang dilakukan terutama di luar jam kerja normal (La Dou dan Richard, 1994). Pendapat lain mengatakan kerja

shift adalah kerja yang dibagi secara bergiliran dalam waktu 24 jam (Simanjuntak, 1997). Ciri khas dari kerja shift yaitu terdapatnya kontinuitas, pergantian kerja secara bergilir dan terdapat jadwal khusus. Kerja bergilir dikatakan kontinyu apabila dikerjakan selama 24 jam setiap hari termasuk hari minggu dan hari libur (ILO, 1998).

Pekerja yang selama empat jam bekerja terus menerus, kadar gula di dalam darah juga akan menurun. Sehingga akan menurunkan produktivitas. Itulah sebabnya istirahat sangat diperlukan minimal setengah jam setelah empat jam bekerja terus menerus agar pekerja memperoleh kesempatan untuk makan dan menambah energi yang diperlukan tubuh untuk bekerja (Suma’mur, 1996). Jam kerja berlebihan, jam kerja lembur diluar batas kemampuan akan mempercepat timbulnya kelelahan, menurunkan ketepatan, dan ketelitian (Manuaba, 1990).

Selain itu, shift kerja juga memiliki resiko dan mempengaruhi pekerja pada beberapa aspek berikut ini (Tayyari, 2009 dalam Sophia, 2009):


(64)

a. Aspek Fisiologis Circadian Rhythms

Adalah proses-proses yang saling berhubungan yang dialami tubuh untuk menyesuaikan dengan perubahan waktu selama 24 jam atau yang biasa disebut siklus tidur dan bangun harian. Circadian rhythms seseorang akan terganggu jika terjadi perubahan jadwal kegiatan seperti perubahan shift kerja. Dengan terganggunya circadian rhythms pada tubuh pekerja akan terjadi dampak fisiologis pada pekerja seperti gangguan gastrointestinal, gangguan pola tidur dan gangguan kesehatan lain.

b. Aspek Psikologis

Stress akibat shift kerja akan menyebabkan kelelahan (fatique) yang dapat menyebabkan gangguan psikis pada pekerja, seperti ketidakpuasan dan iritasi. Tingkat kecelakaan dapat meningkat dengan meningkatnya stres, fatique, dan ketidakpuasan akibat shift kerja ini. c. Aspek Kinerja

Dari beberapa penelitian baik di Amerika maupun Eropa, shift

kerja memiliki pengaruh pada kinerja pekerja. Kinerja pekerja, termasuk tingkat kesalahan, ketelitian dan tingkat kecelakaan, lebih baik pada waktu siang hari dari pada malam hari, sehingga dalam menentukan shift kerja harus diperhatikan kombinasi dari tipe pekerjaan, sistem shift dan tipe pekerja.


(65)

d. Domestik dan Sosial

Shift kerja akan berpengaruh negatif terhadap hubungan keluarga seperti tingkat berkumpulnya anggota keluarga dan sering berakibat pada konflik keluarga. Secara sosial, shift kerja juga akan mempengaruhi sosialisasi pekerja karena interaksinya terhadap lingkungan menjadi terganggu. Banyak penelitian model shift kerja dilakukan untuk mengurangi pengaruh negatif dari shift kerja tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa pekerja pada shift malam mengalami kelelahan tingkat sedang yaitu sebesar 53,3%, sedangkan pekerja pada shift pagi sebanyak 33,3% mengalami kelelahan tingkat sedang. (Yusri, 2006). Penelitian lain diketahui bahwa pekerja merasa sangat lelah paling banyak pada pekerja shift malam yaitu sebesar 50%. Hal ini dapat disimpuklan bahwa shift kerja berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja (Taligan, Lina dan Kalsum, 2006).

7. Tingkat Kebisingan

Kebisingan merupakan suara atau bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga karena dalam jangka panjang dapat mengganggu ketenangan bekerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan komunikasi, bahkan kebisingan yang serius dapat menyebabkan kematian (Sedarmayanti, 2009). Kebisingan adalah semua suara yang tidak


(66)

dikehendaki yang bersumber dari alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Permenakertrans No. 13, 2011).

Bunyi didengar sebagai rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Terdapat dua hal yang menentukkan kualitas suatu bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut hertz

(Hz) dan intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam decibel (dB) (Suma’mur, 1996).

Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah mengurangi kenyamanan dalam bekerja, mengganggu komunikasi, mengurangi konsentrasi (Budiono, dkk, 2003), sehingga muncul sejumlah keluhan yang berupa perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktivitas. Kebisingan yang tidak terkendalikan dengan baik, juga dapat menimbulkan efek lain yang salah satunya berupa meningkatnya kelelahan kerja (Suma’mur,1996).

Pekerja yang terpapar kebisingan untuk jangka waktu yang panjang dapat menghasilkan perasaan tidak nyaman dan peningkatan kelelahan kerja (Lerman et al, 2012). Beberapa penelitian menyebutkan terdapat hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan perasaan


(67)

kelelahan kerja pada tenaga kerja (Yusri, 2006). Begitu pula dengan hasil penelitian di PT. Indokores Sahabat Purbalingga menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan kelelahan tenaga kerja (Risva, 2002). Selain itu penelitian lain juga menunjukkan 42,8 % dari 18 sampel yang diteliti, mengalami kelelahan akibat kebisingan di tempat kerja (Hanifa, 2006).

NAB yang diperbolehkan untuk kebisingan selama 8 jam bekerja adalah sebesar 85 dBA. Namun, untuk kebisingan lebih dari 140 dBA tidak diperbolehkan terpajan walaupun sesaat. Berikut ini NAB yang diperbolehkan berdasarkan waktu pemaparan yang diperbolehkan (Permenakertrans No. 13, 2011).


(68)

Tabel 2.4

Intensitas Kebisingan yang Diperbolehkan Berdasarkan Waktu Pemaparan dalam Satu Hari

Waktu Pemaparan dalam Satu Hari Intensitas Kebisingan (dBA)

8 Jam 85

4 88

2 91

1 94

30 Menit 97

15 100

7.5 103

3,75 106

1.88 109

0.94 112

28.12 Detik 115

14.06 118

7.03 121

3.52 124

1.76 127

0.88 130

0.44 133

0.22 136

0.11 139

Sumber: Permenakertrans No. 13, 2011

SLM merupakan alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan di tempat kerja. Metode pengukuran intensitas kebisingan di tempat kerja dapat dilihat pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 7231 tahun 2009. a. Prinsip pengukuran

Tingkat tekanan bunyi diukur dengan alat SLM yang mempunyai kelengkapan Leq A dengan rentang waktu tertentu pada pembobotan waktu S. Tekanan bunyi menyentuh membran mikropon


(69)

pada alat, sinyal bunyi diubah menjadi sinyal listrik dilewatkan pada filter pembobotan (weighting network), sinyal dikuatkan oleh amplifier diteruskan pada layar hingga dapat terbaca tingkat intensitas bunyi yang terukur.

b. Peralatan

SLM yang digunakan untuk mengukur tingkat intensitas kebisingan di tempat kerja memiliki kelengkapan untuk mengukur tingkat tekanan SLM bunyi sinambung setara pada pembobotan A secara langsung ataupun tidak langsung. Alat ukur tersebut sesuai dengan yang ditetapkan SNI 05-2962-1992. Yaitu alat ini minimal memiliki kelengkapan berupa skala pembobotan A dan kecepatan respon pada pembobotan waktu slow (S).

Alat ukur SLM sebelum digunakan, harus dikalibrasi sesuai dengan konfigurasi yang dimuat di dalam buku petunjuk alat. Alat ukur tersebut juga harus memiliki sertifikat kalibrasi yang masih berlaku.

c. Proses Pengukuran

1) Hidupkan alat ukur intensitas kebisingan.

2) Periksa kondisi batrei, pastikan bahwa keadaan power dalam kondisi baik.


(70)

4) Sesuaikan pembobotan waktu respon alat ukur dengan karakteristik sumber bunyi yang diukur (S untuk sumber bunyi relatif konstan atau F untuk sumber bunyi kejut).

5) Posisikan mikropon alat ukur setinggi posisi telinga manusia yang ada di tempat kerja. Hindari terjadinya refleksi bunyi dari tubuh atau penghalang sumber bunyi.

6) Arahkan mikropon alat ukur dengan sumber bunyi sesuai dengan karakteristik mikropon (mikropon tegak lurus dengan sumber bunyi, 70° sampai 80° dari sumber bunyi).

7) Pilih tingkat tekanan bunyi (SPL) atau tingkat tekanan bunyi sinambung setara (Leq), sesuaikan dengan tujuan pengukuran. 8) Catatlah hasil pengukuran intensitas kebisingan pada lembar data

sampling. Lembar data sampling minimum memuat ketentuan seperti berikut:

a) Nama perusahaan: b) Alamat perusahaan: c) Tanggal sampling: d) Lokasi titik pengukuran: e) Rentang waktu pengukuran:

f) Hasil pengukuran intensitas kebisingan: g) Tipe alat ukur:


(71)

h) Tipe kalibrator:

i) Penanggung jawab hasil pengukuran:

9) Bila alat ukur SLM tidak memiliki fasilitas Leq, maka dihitung secara manual dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

L1 adalah tingkat tekanan bunyi pada periode t1; Ln adalah tingkat tekanan bunyi pada periode n; T adalah total waktu (t1+t2 + ... tn).

8. Tingkat Pencahayaan

Penerangan ditempat kerja merupakan salah satu sumber cahaya yang menerangi benda-benda ditempat kerja. Banyak objek kerja beserta benda atau alat dan kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan (Suma’mur, 1996). Jika pencahayaan ditempat kerja kurang, dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman, gangguan atau sakit yang meningkat dari waktu ke waktu, dan dapat menyebabkan kelelahan (A. Wolska dalam Karwowski, 2001). Hal ini sebanding dengan hasil penelitian di PT. Indokores Sahabat Purbalingga


(72)

menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan kelelahan tenaga kerja (Risva, 2002).

Pencahayaan di tempat kerja memiliki standar berdasarkan jenis kegiatan pekerjaan tersebut menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405 Tahun 2002:

Tabel 2.5

Standar Tingkat Pencahayaan di Lingkungan Kerja

Jenis Kegiatan

Tingkat Pencahayaan

Minimal (lux) Keterangan

Pekerjaan kasar dan tidak terus-menerus

100 Ruang penyimpanan & ruang peralatan/instalasi yang memerlukan pekerjaan yang kontinyu

Pekerjaan kasar dan terus-menerus

200 Pekerjaan dengan mesin dan perakitan kasar

Pekerjaan rutin 300 Ruang administrasi, ruang kontrol, pekerjaan mesin & perakitan/penyusun

Pekerjaan agak halus 500 Pembuatan gambar atau bekerja dengan mesin kantor, pekerjaan pemeriksaan atau pekerjaan dengan mesin

Pekerjaan halus 1000 Pemilihan warna, pemrosesan tekstil, pekerjaan mesin halus & perakitan halus

Pekerjaan amat halus

1500 Mengukir dengan tangan,

pemeriksaan pekerjaan mesin dan perakitan yang sangat halus

Pekerjaan terinci 3000 Pemeriksaan pekerjaan, perakitan sangat halus

Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405 Tahun 2002

Selain itu standar pencahayaan di dapur atau tempat kerja seperti industri pembuatan makanan membutuhkan pencahayaan minimal 300 lux


(1)

e.

Katagorik (Kebiasaan Merokok, Tingkat Kebisingan, Tingkat Pencahayaan,

dan Tekanan Panas)

Frequencies

Statistics

Rokok bising cahaya tekpanas

N Valid 75 75 75 75

Missing 0 0 0 0

Frequency Table

rokok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid merokok 52 69.3 69.3 69.3

tidak merokok 23 30.7 30.7 100.0

Total 75 100.0 100.0

bising

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Terpapar Kebisingan 8 10.7 10.7 10.7

Tidak Terpapar Kebisingan 67 89.3 89.3 100.0

Total 75 100.0 100.0

cahaya

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Terpapar

Pencahayaan Ideal 32 42.7 42.7 42.7

Terpapar Pencahayaan Ideal 43 57.3 57.3 100.0


(2)

tekpanas

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid terpapar tekanan panas 60 80.0 80.0 80.0

tidak terpapar tekanan panas 15 20.0 20.0 100.0

Total 75 100.0 100.0

2.

Hasil Uji Bivariat

a.

Uji Normalitas

Explore

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kelelahan 75 100.0% 0 .0% 75 100.0%

umur 75 100.0% 0 .0% 75 100.0%

masakerja 75 100.0% 0 .0% 75 100.0%

IMT 75 100.0% 0 .0% 75 100.0%

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

kelelahan .193 75 .000 .742 75 .000

umur .079 75 .200* .975 75 .139

masakerja .149 75 .000 .876 75 .000

IMT .085 75 .200* .952 75 .006

a. Lilliefors Significance Correction


(3)

b.

Uji Korelasi Spearman (Umur, Masa Kerja, dan Status Gizi)

Nonparametric Correlations

Correlations

kelelahan umur

Spearman's rho kelelahan Correlation Coefficient 1.000 .560**

Sig. (2-tailed) . .000

N 75 75

umur Correlation Coefficient .560** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 75 75

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Nonparametric Correlations

Correlations

kelelahan masakerja

Spearman's rho kelelahan Correlation Coefficient 1.000 .525**

Sig. (2-tailed) . .000

N 75 75

masakerja Correlation Coefficient .525** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 75 75


(4)

Nonparametric Correlations

Correlations

kelelahan IMT

Spearman's rho kelelahan Correlation Coefficient 1.000 .128

Sig. (2-tailed) . .274

N 75 75

IMT Correlation Coefficient .128 1.000

Sig. (2-tailed) .274 .

N 75 75

c.

Uji Mann Whitney (Kebiasaan Merokok, Tingkat Kebisingan, Tingkat

Pencahayaan, dan Tekanan Panas)

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

rokok N Mean Rank Sum of Ranks

Kelelahan merokok 52 39.97 2078.50

tidak merokok 23 33.54 771.50

Total 75

Test Statisticsa

kelelahan

Mann-Whitney U 495.500

Wilcoxon W 771.500

Z -1.178

Asymp. Sig. (2-tailed) .239


(5)

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

Bising N Mean Rank Sum of Ranks

Kelelahan Terpapar Kebisingan 8 43.19 345.50

Tidak Terpapar Kebisingan 67 37.38 2504.50

Total 75

Test Statisticsa

kelelahan

Mann-Whitney U 226.500

Wilcoxon W 2504.500

Z -.712

Asymp. Sig. (2-tailed) .476

a. Grouping Variable: bising

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

Cahaya N Mean Rank Sum of Ranks

Kelelahan Tidak Terpapar

Pencahayaan Ideal 32 42.02 1344.50

Terpapar Pencahayaan Ideal 43 35.01 1505.50

Total 75

Test Statisticsa

kelelahan

Mann-Whitney U 559.500

Wilcoxon W 1505.500

Z -1.377

Asymp. Sig. (2-tailed) .169


(6)

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

Tekpanas N Mean Rank Sum of Ranks

kelelahan terpapar tekanan panas 60 41.09 2465.50

tidak terpapar tekanan panas 15 25.63 384.50

Total 75

Test Statisticsa

kelelahan

Mann-Whitney U 264.500

Wilcoxon W 384.500

Z -2.457

Asymp. Sig. (2-tailed) .014