Latar Belakang Masalah Konsep kepemimpinan menurut saʻîd hawwa dalam kitab al-asâs fî al-tafsîr dan al-islâm

عار ْ ف لأ ْع ل ْس ھو ّ س ل ع عار ج لا ّْعو ْ ْع ل ْس ت عر ْ ع ل ْس ْ كو 9 “Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku Malîk dari ‘Abdullah bin Dinâr dari ‘Abdullâh bin ‘Umâr radiallahu anhuma, Rasûlullah Saw. bersabda: ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Membicarakan kepemimpinan memang menarik, dan dapat dimulai dari sudut mana saja ia akan diteropong. Dari waktu ke waktu kepemimpinan menjadi perhatian manusia. Ada yang berpendapat masalah kepemimpinan itu sama tuanya dengan sejarah manusia. Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Di satu pihak manusia memiliki kemampuan terbatas untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin. Di sinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan. 10 Kepemimpinan di bidang apapun berhubungan dengan ketaatan dan loyalitas. Dalam kepemimpinan rumah tangga, loyalitas pertama adalah kepada Allâh dalam menjalankan hukum di dalam keluarga. Pria sebagai suami adalah pemimpin yang harus ditaati oleh seorang istri dan anak-anaknya sebagai anggota keluarga. Ketaatan kepada suami dan ayah dalam batas-batas yang telah 9 Mu ẖammad bin Ismâ’il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Juz 9 Mesir: Dâr Ṯuq al-Najâh, 2001, h. 42. 10 Miftah Thoha, Kepemimipnan dalam Manajemen, h. 3. ditetapkan hukum Allâh, sebagai kepala rumah tangga, merupakan suatu keharusan. Rumah tangga adalah unit terkecil masyarakat. 11 Begitu juga di dalam masyarakat, ada yang disebut dengan pemimpin formal seperti lurah, camat, bupati, gubernur, dan presiden; dan warga atau rakyat harus taat kepada pemimmpinnya. Keberhasilan pemimpin sangat ditentukan oleh kepemimpinan informal di rumah tangga dan keberhasilan kepemimpinan rumah tangga adalah anak tangga dasar menuju kepemimpinan masyarakat yang berhasil. Realitas di berbagai negara di seluruh dunia berbicara, kepemimpinan pada umumnya dimulai dari bawah. Keberhasilan dari bawah inilah yang membuat masyarakat memilih seseorang untuk kepemimpinan yang lebih tinggi. 12 Di dalam al- Qur’an, minimal terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan kepemimpinan manusia atas manusia lainnya. Kata tersebut adalah khalîfah, imâmah dan imârahamîr. Kata imâmah atau imâm terambil dari kata amma- ya’ummu, yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Ibu, dinamai dengan umm, karena anak selalu menuju kepadanya; depan dinamai amâm karena mata selalu tertuju kepadanya dan sebab ia berada di depan. Demikian juga seorang imam dalam salat adalah orang yang posisinya berada di depan makmum dan gerak-geriknya diteladani oleh para makmum. Dengan demikian, secara umum dipahami bahwa seorang imam pemimpin adalah orang yang diteladani oleh masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan dalam membimbing masyarakatnya. 13 11 Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, h. 182. 12 Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an Jakarta: Khairul Bayan, 2005, h. 70. 13 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi Jakarta: Lentera Hati, 2006, h. 387. Beberapa hal penting yang berkaitan dengan kepemimpinan, bahwa setelah kematian Rasulullah Saw. tidak dijelaskan secara pasti apakah Islam memerintahkan umatnya untuk membentuk dan mendirikan negara Islam. Hal penting lain ialah kurang spesifiknya ketentuan-ketentuan Islam dalam mengatur sistem politik dan pemerintahan. 14 Melihat begitu pentingnya peran pemimpin di tengah-tengah masyarakat, penulis ingin membahas bagaimana konsep kepemimpinan yang telah diajarkan Allâh di dalam al- Qur’an, dengan mengangkat salah seorang tokoh ulama yaitu Sa ʻîd Hawwa, dengan merujuk pada kitab tafsirnya yang diberi nama al-Asâs fî al- Tafsîr dan kitab al-Islâm. Beberapa alasan penulis mengangkat tokoh Sa ʻîd Hawwa untuk membahas tema tentang kepemimpinan ialah, Sa ʻîd Hawwa merupakan tokoh yang terlibat langsung dalam politik dan banyak menulis buku-buku yang banyak membicarakan masalah politik dan kepemimpinan dalam karya-karyanya, serta Sa ʻîd Hawwa merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh dalam jamaʻâh Ikhwân al-Muslimîn. 15 Sa ʻîd Hawwa memiliki nama lengkap Syaikh Saʻîd bin Muẖammad Dib Hawwa. Beliau dilahirkan di kota Hamat, Suriah, pada tahun 1935 M. Ibunya meninggal dunia ketika usianya baru dua tahun, lalu diasuh oleh neneknya. Di bawah bimbingan bapaknya yang termasuk salah seorang mujahidin pemberani melawan Prancis, Sa ʻîd Hawwa muda berinteraksi dengan banyak pemikiran. 14 Mhd. Yunus RKT, Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014, h.3. 15 Muhammad Pisol, Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Sa ʻ îd Hawwa Disertasi: Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000. h. I. Tetapi akhirnya Sa ʻîd Hawwa bergabung ke dalam jamâ’ah Ikhwân al-Muslimîn pada tahun 1952 M, ketika masih duduk di kelas satu SMA. 16 Bergabungnya Sa ʻîd Hawwa ke dalam jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn membawanya masuk ke dalam banyak perseteruan dengan rezim pemerintah yang berkuasa saat itu. Sa ʻîd Hawwa semasa kuliah pernah mengikuti tiga kali demonstrasi, pertama ketika Ikhwân al-Muslimîn Suriah menuntut dimasukannya kepanduan di sekolah tsanawiyah, kedua pembelaan terhadap pembantaian Ikhwân al-Muslimîn di Mesir, ketiga peringatan duka atas perjanjian Belfour. Dalam ketiga aksi demonstrasi ini Sa ʻîd Hawwa menjadi pembicara resmi dari Ikhwân al-Muslimîn. 17 Ikhwân al-Muslimîn, yang kalau disalin secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti Saudara-saudara Sesama Muslim, adalah organisasi yang didirikan di Ismailiyah, sebelah Timur Laut Kairo, pada tahun 1928 oleh seorang tokoh agama yang karismatis, Syeikh Hasan al-Banna. Dalam sepuluh tahun pertama sejak didirikan, organisasi itu memusatkan perhatiannya kepada kegiatan- kegiatan reformasi moral dan sosial. 18 Seiring berjalannya waktu, akhirnya Ikhwân al-Muslimîn terlibat secara langsung dalam pergolakan politik di Mesir lewat kegiata-kegiatannya menentang kekuasaan pendudukan Inggris dan berdirinya negara Israel di atas bumi Palestina. 16 Sa ʻîd Hawwa, Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. Jakarta: Robbani Press, 1995 Jakarta: Robbani Press, 1998, h. 6. 17 Al-Mustasyar ‘Abdullah Al-‘Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemprer, Penerjemah Fachruddin Jakarta: al- I’tisham Cahaya Umat, 1998, h. 406. 18 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI-Press, 1993, h. 145. Aspirasi politiknya juga makin terkristalisasi, yakni secara jelas mendambakan berdirinya negara Islam di Mesir. 19 Pandangan keagamaan serta politik dari Ikhwân al-Muslimîn yang paling sentral dan mendasar adalah: Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial; oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al- Qur’an dan Sunah Nabi, mencontoh pola hidup Rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat. 20 Setelah membahas secara singkat tentang Ikhwân al-Muslimîn, tentu akan menjadi hal yang menarik jika meneliti lebih jauh tentang sosok Sa ʻîd Hawwa, yang di atas telah dikatakan bahwa ia mempunyai latar belakang yang berasal dari jamâ ʻah Ikhwân al-Muslimîn. Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa ada salah satu kata dalam al- Qur’an yang beruhubungan dengan kepemimpinan, yakni kata imâmahimâm. Salah satu ayat al- Qur’an yang di dalamnya terdapat kalimat tersebut adalah surah al-Baqarah2: 124:                        “Dan ingatlah, ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan, lalu Ibrahim menunaikannya. Allâh berfirman: 19 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 146. 20 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 148. Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: Dan saya mohon juga dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku ini tidak berlaku bagi orang yang zalim.” 21 Sa ʻîd Hawwa mengatakan bahwa imâm adalah orang yang ditakuti dan dijadikan suri tauladan. Keimaman Ibrahim adalah keimaman yang langgeng, yang didukung oleh semua pengikut agama kitabi. Nampaknya, pelaksanaan Ibrahim secara sempurna atas beberapa kalimat yang diberikan Rabbnya tersebut merupakan faktor utama yang menjadikannya layak sebagai imâm. Seolah-olah, beliau pada mulanya adalah seorang nabi, kemudian karena beliau melaksanakan d engan sempurna semua “kalimat”. Maksudnya adalah perintah dan larangan yang diberikan Allâh kepadanya, maka beliau diberi jabatan rasul pembawa risalah, sebagai imbalan atas kepatuhannya itu. Jadi, mematuhi semua perintah dan larangan Allâh secara sempurna dapat mencalonkan seseorang untuk menduduki jabatan imâm dalam agama Allâh. Betapa kelirunya orang-orang yang merampas jabatan imam dengan cara-cara yang tidak benar. Kemudian, kata janji pada kalimat tersebut dapat diartikan dengan imâmah atau kepemimpinan. Dengan demikian, maka ayat itu berarti, “Orang zalim tidak akan memegang imâmah atau kepemimpinan dalam agama Allâ h.” 22 Itulah merupakan sekilas gambaran penafsiran Sa ʻîd Hawwa terhadap ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Maka selanjutnya, penelitian yang akan dilakukan adalah ingin mengetahui bagaimana konsep kepemimpinan yang ditawarkan oleh Sa ʻîd Hawwa, dengan merujuk pada kitab tafsir al-Asâs fî al- 21 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, h. 14. 22 Sa ʻîd Hawwa, Tafsir al-Asas, Penerjemah Syafril Halim Jakarta: Robbani Press, 1999, h. 346-347. Tafsîr karyanya, dengan lebih banyak menggali ayat-ayat al- Qur’an lain yang berkaitan dengan konsep kepemimpinan. Setelah melihat begitu pentingnya peran pemimpin di tengah-tengah masyarakat, serta setelah kita mengetahui secara sekilas tentang tokoh Sa ʻîd Hawwa yang merupakan seorang ulama yang memiliki latar belakang jamâ ʻah Ikhwân al-muslimîn, maka dari itu penulis ingin mengangkat sebuah penelitian dengan judul “Konsep Kepemimpinan Menurut Saʻîd Hawwa Dalam Kitab Al- Asâs Fî Al-Tafsîr dan Al-Islâm ”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penafsiran yang dikaji pada penulisan ini dikhususkan pada ayat-ayat yang membicarakan tentang kepemimpinan, baik itu kriteria dan syarat-syarat seorang pemimpin, pengangkatan seorang pemimpin, serta hak dan kewajiban dari seorang pemimpin. Untuk memudahkan pembahasan ini, diperlukan adanya perumusan masalah yang menjadi tema pokok pembahasan, perumusan masalah yang ingin dibahas dalam penulisan ini adalah, Bagaimana penafsiran Sa ʻîd Hawwa terhadap ayat-ayat tentang kepemimpinan dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna dan pesan tentang konsep kepemimpinan, dengan menjadikan kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm karya Sa ʻîd Hawwa sebagai rujukan. Penelitian ini juga bertujuan untuk memenuhi syarat akhir guna memperoleh gelar Strata Satu S1 pada Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan demikian, penelitian ini memiliki manfaat atau kegunaan akademis dan praktis. Kegunaan akademis yaitu dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang bagaimana konsep kepemimpinan di tengah masyarakat dalam pandangan Sa ʻîd Hawwa. Sedangkan kegunaan praktis dalam penelitian ini dapat menjadi solusi alternatif atau dapat dijadikan khazanah pengetahuan dalam membangun masyarakat yang lebih baik dengan cara mengikuti konsep kepemimpinan yang telah diajarkan Allâh Swt. melalui kitab suci al- Qur’an.

D. Studi Pustaka

Penelitian mengenai konsep kepemimpinan bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia akademis. Penelitian tentang konsep kepemimpinan dalam berbagai perspektif juga bervariasi. Ada beberapa karya yang berkaitan dengan kajian mengenai konsep kepemimpinan, baik dalam bentuk makalah, skripsi, maupun disertasi, diantaranya adalah: 1. Annas Khairullah, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009, skripisnya yang berjudul “Ulil Amri Dalam Al- Qur’an, Analisis Terhadap Tafsir Hamka Dalam Tafsir al- Azhar Surat an- Nisa ayat 59,” skripsi ini menjelaskan bagaimana penafsiran Hamka tentang arti dari ulil amri dalam surat an-Nisa ayat 59. Dimana term ulil amri juga masuk pada pembahasan yang berkaitan dengan kepemimpinan. Pembahasannya hanya difokuskan kepada pengertian tentang ulil amri. 23 2. Noor Rohman, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009, skripsinya yang berjudul “Konsep Kepemimpinan Qiwamah Perempuan Dalam Al- Qur’an; Analisis Tafsir Muh ammad Syahrur,” skripsi ini menjelaskan bagaimana konsep kepemimpinan perempuan dalam al- Qur’an, serta tentang konsep kepemimpinan dalam ranah keluarga dan sosial politik, dengan menjadikan kitab Tafsir Muhammad Syahrur sebagai rujukan utama. 24 3. Masfufah, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2014, skripsinya yang berjudul “Konsep Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian Atas Q.S. An- Nisa’ 4: 34,” skripsi ini berusaha untuk mengetahui bolehkah seorang perempuan menjadi pemimpin di dalam keluarga dengan bersumber kepada Q.S. an-Nisa ayat 34 dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir, buku-buku, dan literatur-literatur lainnya. 25 4. Septiawadi, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, dengan disertasi berjudul “Penafsiran Sufistik Saʻîd Hawwa dalam Al-Asâs Fî Al-Tafsîr”, kesimpulan besar dari penelitian disertasi ini adalah, penafsiran sufistik terhadap al- Qur’an yang dilakukan oleh para mufassir adalah dengan 23 Annas Khairullah. “Ulil Amri Dalam Al-Qur’an, Analisis Terhadap Tafsir Hamka Dalam Tafsir al-Azhar Surat an- Nisa ayat 59”, Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009. 24 Noor Rohman. “Konsep Kepemimpinan Qiwamah Perempuan Dalam Al-Qur’an; Analisis Tafsir Muhammad Syahrur ”, Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009. 25 Masfufah. “Konsep Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian Atas Q.S. An- Nisa’ 4: 34”, Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2014. menggunakan makna isyâri dengan tetap mengacu kepada makna zâhir, termasuk mufassir di dalamnya adalah Sa ʻîd Hawwa. 26 5. Mhd. Yunus RKT, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014, dengan judul skripsi “Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam. ” Skripsi ini mengupas secara mendalam tentang masa jabatan atau batas waktu jabatan dari seorang pemimpin. 27 6. Muhammad Pisol, Mahasiswa Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000, dengan judul disertasi “Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Sa ʻîd Hawwa.” Disertasi ini membahas pandangan politik Saʻîd Hawwa, di mana Sa ʻîd Hawwa mengatakan bahwa keterlibtan seseorang dalam politik termasuk urusan kerja jihad yang akan diberi pahala. Sa ʻîd Hawwa juga membagi negara ke dalam tiga kelompok, yakni negara Islam yang adil, negara Islam yang menyeleweng, dan negara kafir. 28 Dari penelitian-penelitian terdahulu, sejauh penelusuran penulis, belum menemukan suatu karya yang membahas tentang konsep kepemimpinan secara umum, baik itu bagaiamana kita harus memilih seorang pemimpin, apa saja yang menjadi syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin, serta apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari seorang pemimpin, dengan bersumber kepada 26 Septiawadi. “Penafsiran Sufistik Sa ʻ îd Hawwa dalam Al-Asâs Fî Al- Tafsîr”, Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. 27 Mhd. Yunus RKT. “Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam”, Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014. 28 Muhammad Pisol. “Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Sa ʻ îd H awwa”, Disertasi Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000.