Sebenarnya tidak ada nas yang menyatakan bahwa seorang khalifah atau pemimpin harus bertugas hingga meninggalnya, namun ijma’ umat Islam sudah
cukup untuk dijadikan dalil mengenani masalah ini.
89
Karena ijma’ merupakan salah satu dasar syariat Islam.
3. Pencopotan Seorang Pemimpin
Memegang tugas sebagai pemimpin hingga mati merupakan hak seorang pemimpin, namum pencopotan pemimpin dari jabatannya juga merupakan hak
umat apabila pemimpin tersebut melakukan penyimpangan-penyimpangan. Hal ini karena pengangkatan seseorang untuk menjadi pemimpin disertai dengan
syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Apabila dia masih sanggup memenuhi syarat-syarat tersebut maka ia masih berhak memegang jabatannya, namun
apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka ia berhak untuk dicopot dari jabatannya.
90
Seorang pemimpin bisa dianggap berubah dan berhak untuk dicopot dari jabatannya apabila terjadi kecacatan dalam keadilannya atau terjadi kecacata pada
tubuhnya. Sa ʻîd Hawwa menjelaskan hal ini dengan mengutip pendapat al-
Mawardi.
91
4. Cacatnya Keadilan
89
Ijma’ di sini hanya menetapkan kebolehan seorang khalifah bertugas hingga akhir masa hidupnya. Ijma’ ini tidak bisa dipahami sebagai pelarangan pembatasan masa tugas khalifah atau
pemimpin. Jika umat Islam mensyaratkan pembatasan waktu, maka harus dijalankan karena syarat yang ditetapkan oleh umat Islam harus dipenuhi.
90
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 498.
91
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499.
Hal yang bisa menyebabkan keadilan seseorang rusak atau cacat adalah karena ia telah melakukan kefasikan. Kefasikan ada dua macam. Pertama,
kefasikan-kefasikan yang disebabkan menurut hawa nafsu. Kedua, kefasika- kefasikan yang termasuk kategori syubhat, yakni hal-hal yang belum jelas status
hukumnya.
92
Bentuk kefasikan yang pertama berhubungan dengan kerja anggota tubuh. Yaitu di saat anggota tubuh melakukan hal-hal yang diharamkan atau hal-hal yang
munkar karena menuruti syahwat dan hawa nafsu, seperti melakukan perzinaan, meminum khamr atau mengambil sesuatu tanpa izin. Apabila seseorang
melakukan bentuk kefasikan ini, maka ia tidak bisa diangkat menjadi pemimpin. Apabila seseorang sudah menjadi pemimpin dan ia melakukan kefasikan ini,
maka ia harus diberhentikan dari jabatannya. Apabila ia bertaubat dan keadilannya kembali lagi, maka tidak bisa menjadi pemimpin lagi secara otomatis, melainkan
harus dengan akad baru lagi, pendapat seperti ini dikemukakan oleh al-Mawardi dan sebagian ahli fiqih.
93
Adapun bentuk kefasikan yang kedua berhubungan erat dengan masalah keyakinan. Orang yang melakukan penakwilan-penakwilan dengan berdasarkan
hal-hal yang masih belum jelas syubhat akan terjerumus pada kesalahan. Orang yang melakukan jenis kefasikan ini dihukumi sebagaimana orang yang melakukan
kefasikan jenis pertama. Ia tidak bisa diangkat sebagai pemimpin dan harus dicegah untuk melakukan kefasikan itu lagi. Adapun sebagian ulama lain
berpendapat bahwa kefasikan yang berhubungan dengan keyakinan ini tidak sampi menyebabkan dicopotnya seorang pemimpin dari jabatannya. Bahkan ada
92
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499.
93
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 499.