Adil Syarat-syarat yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin

oleh al-Marâghî. Ia tidak meilhat keadilan dari segi persamaan hak, tetapi menekankan aspek terselenggaranya atau terpenuhinya hak-hak yang telah ditetapkan menjadi milik seseorang. Konsep al-Marâghî ini lebih relevan dengan kata al-qist dari pada kata al- ‘adl. 72 Sa ʻîd Hawwa menjelaskan tentang makna keadilan pada ayat tersebut, bahwa di dalam menetapkan hukum antar sesama manusia, maka harus memutuskan dengan sama rata, tidak dicampuri atau tidak disertai dengan hawa nafsu dan kecurangan, dan memutuskannya dengan menggunakan hukum Allâh. 73 Itulah pendapat Sa ʻîd Hawwa di dalam menjelaskan tentang makna “menetapkan hukum dengan adil.”

6. Mempunyai Kemampuan

Sa ʻîd Hawwa memberikan syarat bahwa seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakat di samping tentunya harus mempunyai keahlian dalam melaksanakan tugas-tugas administratif dan perpolitikan. Barangsiapa mengerjakan hal itu dengan adil maka ia telah melaksanakan apa yang menjadi tugasnya. 74 Tidak dijelaskan oleh Sa ʻîd Hawwa secara spesifik bagaimana kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin. Namun, sudah menjadi keniscayaan bahwa seorang pemimpin harus mempunayi kemampuan di dalam memimpin. Negara merupakan sebuah institusi besar, yang di dalamnya hidup manusia yang banyak terdiri dari berbagai agama, suku, kebudayaan, adat-istiadat, 72 Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik , h. 190. 73 Sa ʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 1088. 74 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486 dan lain-lain. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan beragam masalah, baik itu permasalahan dalam bidang agama, ekonomi, sosial, budaya serta permasalahan- permasalahan lain yang lazimnya muncul dari sebuah negara. Makan menjadi keharusan bagi seorang pemimpin, untuk memiliki kemampuan mengahadapi setiap permasalahan, serta mengatur segala hal yang berhubungan dengan negara, sehingga negara akan terus menjadi lebih baik.

7. Sehat Jasmani

Sa ʻîd Hawwa memasukkan pendapat sebagian ulama yang mensyaratkan seorang pemimpin harus berbadan sehat dan tidak cacat. Orang yang buta, tuli, bisu, dan hilang sebagian anggota badannya tidak boleh menjadi seorang pemimpin. Argumentasi ulama yang berpendapat seperti ini adalah, kecacatan seseorang akan mengurangi kemampuan kerja atau paling tidak pekerjaannya tidak akan terselesaikan dengan sempurna. 75 Jika seseorang secara jasmani tidak sehat atau cacat, bisa dikhawatirkan hal tersebut akan menjadi penghambat bila ia ditugaskan untuk memimpin sebuah negara. Namun hal ini bisa jadi menimbulkan pertentangan, karena tidak menutup kemungkinan seseorang yang tidak sehat secara jasmani, tetapi memiliki kemampuan untuk memimpin sebuah negara dikarenakan memiliki illmu yang luas, gagasan-gagasan besar yang bisa menjadi solusi untuk kemajuan sebuah negara. Sehingga harus dikaji lebih dan spesifik syarat seorang pemimpin dalam poin ini. 75 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486-487.

8. Keturunan Quraisy

Pada syarat yang terakhir ini untuk dipenuhi seorang pemimpin, Sa ʻîd Hawwa mengatakan bahwa syarat ini masih banyak yang memperdebatkan. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa seorang khalifah harus dari keturunan Quraisy, argumentasi mereka adalah hadis-hadis Rasulullah yang berkaitan dengan masalah ini. Sabda nabi Muhammad Saw. yang menyangkut masalah ini adalah sebagai berikut: 76 ْ ع ثر ْلا ْب س ْلا ع تب ث بأ ْب ب ح ْ ع ن ْس ثّح ْع بأ ثّح ل ق د عْس بأ ْ ع ْتع ْب لا ّْع لا ل سر ل ق سو ْ ع لا ص لا ل ْ أْلا ا ھ نإ شْ ل ط س كلذ ْ تْعف اذإف ا ثّْ ْ ل لو ْ تْأو ْ ف ب ض ْلا تْ ك ْ كْ تْلاو ْخ را ش ْ ْ ع لا “Telah menceritakan kepada kami Abu Nuaim telah bercerita kepada kami Sufyan dari Habib bin Abu Tsabit dari Al Qosim bin Al Harits dari Abdullah bin Utbah dari Abu Masud berkata; Rasulullah Shallallahualaihiwasallam bersabda kepada kaum Quraisy; Masalah kekuasaan ini akan tetap ada pada kalian dan kalian yang menguasainya selama kalian tidak membuat-buat hal-hal baru. Bila kalian melakuannya, Allah akan memberi kuasa pada makhlukNya yang jahat untuk menguasai kalian lalu mereka akan menguliti kalian laksana pedang tajam meng uliti.” 77 Sa ʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Khaldun, yang memberikan alasan bahwa keharusan kepemimpinan dipegang oleh Quraisy adalah karena soliditas dan fanatisme suku Quraisy yang sangat kuat. 78 “Sesungguhnya kaum Quraisy merupakan kaum yang paling kuat solidaritasnya dalam komunitas bani Mudhir, dia juga merupakan asal-usul keberadaan komunitas ini dan ia jga kaum yang paling kuat dalam komunitas ini. 76 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 487. 77 Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdullâh al-Syaibâni. Musnad Ahmad bin Hanbal Kairo: Mu’assasah Qurtbah, t.th Juz 5, h. 274. 78 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 489. Orang-orang Arab selain suku Quraisy mengakui keistimewaan Quraisy tersebut. Kalau seandainya para pemimpin diangkat dari selain kaum Quraisy, maka hampir dipastikan akan muncul perpecahan karena suku Quraisy pasti menentang dan tidak mau tunduk kepadanya. Suku-suku lainnya yang masih dalam komunitas bani Mudhir juga tidak mampu menghalangi atau memaksa kaum Quraisy ini untuk menghentikan pembangkangan ini. Maka akan muncul banyak kelompok dan kekuatan akan terpecah belah. Padahal syara’ melarang hal itu dan sangat mengharapkan adanya persatuan.” Dari uraian Ibnu Khaldun, Sa ʻîd Hawwa menyimpulkan bahwa alasan disyaratkanya seorang khalifah atau pemimpin harus dari keturunan Quraisy adalah karena kaum Quraisy mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Hak mereka untuk diprioritaskan menjadi khalifah hilang dengan sendirinya di saat kekuatan mereka melemah. 79 Sa ʻîd Hawwa mengingatkan untuk perlu diperhatikan bahwa kelompok yang masih tetap mensyaratkan khalifah harus dipegang oleh keturunan Quraisy, membolehkan kekhalifahan atau kepemimpinan tersebut dipegang oleh orang yang menang dalam perebutan kekuasaan, walaupun ia bukan orang Quraisy. Namun mereka membolehkan hal itu karena darurat. 80 Demikianlah delapan syarat menurut pandangan Sa ʻîd Hawwa yang harus dimiliki dan dipenuhi oleh seorang pemimpin. Kemudian Sa ʻîd Hawwa juga mengatakan, apabila kondisi menuntut ditambahnya beberapa syarat karena pertimbangan kemaslahatan umum, maka boleh menambahkan syarat-syarat tersebut. Seperti, persyaratan pemimpin harus dipegang oleh seseorang yang sudah mencapai umur tertentu, juga diperbolehkan. Boleh juga mensyaratkan pemimpin harus sudah mencapai tingkatan akademis tertentu. Al-hasil, syarat- syarat lain boleh ditetapkan apabila memang kondisi yang berubah dan 79 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490. 80 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 490.