Laki-laki Akil Balig Syarat-syarat yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin

Sebagian ulama berpendapat bahwa tingkat kemampuan keilmuan seorang pemimpin dalam masalah hukum harus tinggi, tidak boleh hanya taklid kepada ulama-ulama pendahulunya, karena taklid termasuk kekurangan, sehingga disyaratkam harus sudah sampai pada taraf mujtahid. 61 Sa ʻîd Hawwa mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak hanya harus ahli dalam masalah hukum Islam, ia juga harus mempunyai wawasan dan cakrawala pengetahuan yang luas. Mengetahui dengan baik cabang-cabang ilmu yang berkembang pada masanya, meskipun ia tidak sampai pada taraf ahli dalam setiap spesialisasi ilmu-ilmu tersebut. Pemimpin juga disyaratkan harus mengetahui sejarah dan pengetahuan tentang negara-negara di dunia, mengetahui undang-undang internasional, perjanjian-perjanjian internasional, dan juga pengetahuan tentang hubungan-hubungan politik, sejarah dan perdagangan di antara negara-negara di dunia. 62 Kepandaian adalah syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Kepandaian dari seorang pemimpin adalah bekal serta jaminan bagi sebuah negara untuk terus maju. Jika melihat realita yang terjadi sekarang ini, persaingan antara negara yang satu dengan negara lain terjadi, maka apabila seorang pemimpin tersebut adalah orang yang pandai, ia dapat memenangi persaingan tersebut dengan cara yang sehat dan bijak. Tentunya pemimpin harus memiliki kepandain, terutama dalam hal agama. Sehingga nilai-nilai agama akan selaras dan sejalan dengan arah tujuan negara tersebut.

5. Adil

61 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. 62 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. Sa ʻîd Hawwa memberikan syarat bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat adil, karena dia membawahi jabatan-jabatan yang harus dipegang oleh orang-orang yang mempunyai sifat adil juga, oleh karena itu sudah barang tentu apabila jabatan pemimpin harus dipegang oleh orang-orang yang mempunyai sifat adil. 63 Sa ʻîd Hawwa mengutip standar adil menurut para ahli fiqih yakni apabila seseorang telah melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya dan juga keutamaan-keutamaan dalam agama, meninggalkan kemaksiatan, hal-hal yang hina dan semua hal yang bisa menghilangkan kehormatan. Sebagian ulama mensyaratkan sifat adil harus muncul dari kebiasaan diri bukan karena keterpaksaan. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa meskipun sifat adil berawal dari keterpaksaan, namun akhirnya nanti juga akan menjadi kebiasaan pribadi seseorang. 64 Bersikap adil merupakan sebuah etika yang wajib dimiliki oleh s eorang pemimpin. Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang diserap dari bahasa Arab “’adl”. Kata ‘adl terambil dari kata ‘adala yang terdiri dari huruf ‘ain, dal dan lam. Rangkaian huruf-huruf ini mengandung dua makna yang bertolak belakang yaitu, “lurus dan sama” serta “bengkok dan berbeda.” 65 Seorang yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran 63 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. 64 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 486. 65 Abu Husain Ahmad bin Fâris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah Beirut: Dâr al-Fikr, 19941415, h. 745. yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seroang yang adil tidak berpihak kepada yang salah. 66 Salah satu ayat al- Qur’an yang mebicarakan tentang keadilan adalah surah al-Nisâ4: 58, yang menjelaskan bahwa apabila menetapkan hukum harus dengan adil. Berikut surah al-Nisâ4: 58:                             “Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” 67 Al-Baidhâwi menyatakan bahwa al- ‘adl bermakna al-insâf wa al-sawiyyat, “berada di pertengahan dan mempersamakan.” 68 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Râghib 69 dan Rasyîd Ridhâ. 70 Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Qutb menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimilki setiap orang. 71 Ini berarti bahwa manusia mempunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Pengertian yang berbeda dikemukakan 66 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “adil” diartikan: 1 tidak berat sebelah tidak memihak, 2 berpihak kepada kebenaran dan 3 sepatutnya tidak sewenang-wenang. Lihat Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 7. 67 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, h. 87 68 Nasruddin Abu Al- Khair ‘Abdullâh bin ‘Umar Al-Baidhâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al- Ta’wîl, jilid I Mesir: Mustaf al-Bâb al-Halabi, 1939, h. 191. 69 Abi Al-Qâsim Husain Al-Râghib Al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al- Qur’ân Kairo: Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1412 H h. 235. 70 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsir al-Manâr, jilid V, h. 174. Ridhâ menyatakan bahwa keadilan yang diperintahkan dalam ayat itu dikenal oleh ahli bahasa Arab, dan bukan berarti menetapkan hukum memutuskan perkara berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. 71 Sayyid Qutb, Fî Zilâl Al- Qur’ân, jilid V Beirut: Dâr al-‘Arabiyah, 2000, h. 118; Sayyid Qutb menyatakan bahwa dalil di atas menhendaki keadilan yang menyeluruh di antara sesama manusia, bukan keadilan di antara sesama muslim atau sesama ahli kitab dan tidak pula atas sebagian manusia saja. Keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia, dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.