memisahkan diri dari kesatuan jama ʻah, maka apabila ia mati, ia mati
sebagaimana matinya orang jahiliyah. ”
35
Hadis lain dari Rasulullah yang berkaitan dengan pemimpin adalah:
ع بأ ْخأ ْ ع ن ْع ْب لا ّْع ثّح ل ق ي وْ ْلا ْ ْب ّ
ل ق ْ ش ْب فْ ع ْ ع ق ع ْب د ْ ع ة ْ ح بأ لا ص لا ل ق
ھ يّْعب ن تس إ سو ْ ع ت
تْأر ْ ف ّْ عفرو ت ھو ت ھو ْ ئ ك تْق ف ع ج ْ ھو سو ْ ع لا ص ّ
أ ْ أ ْ ّ
س لا ْ ن ك
“Telah mengabarkan kepada kami Abu Ali Muhammad bin Yahya Al Marwazi, Ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Utsman dari
Abu Hamzah dari Ziyad bin Ilaqah dari Arfajah bin Syuraih, ia berkata; Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya akan terjadi setelahku
fitnah dan fitnah -dan beliau mengangkat kedua tangannya- maka siapa yang kalian lihat telah ingin memecah belah keadaan umat sedang mereka telah bersatu
maka bunuhlah dia siapapun dia.”
36
Dari teks-teks di atas dapat disimpulkan bahwa umat Islam harus memilih
seorang khalifah yang memimpin mereka. Apabila dalam hidupnya seorang Muslim tidak mempunyai khalifah, maka apabila dia meninggal akan meninggal
dalam keadaan seperti orang jahiliyah. Dari beberapa teks tersebut juga dapat disimpulkan bahwa umat Islam harus mengangkat satu pemimpin, apabila ada dua
khalifah dibaiat maka yang terakhir dibaiat harus diperangi apabila ia tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada yang pertama. Begitu juga wajib bagi umat Islam
memerangi orang atau kelompok yang ingin memecah belah persatuan umat Islam yang berada di bawah kekuasaan satu pemimpin.
37
35
Abu Husain Muslim bin Hajjâj bin Muslim. Sahîh Muslim Beirut: Dâr al-Jîl, t.th. Juz 6, h. 20.
36
Ahmad bin Syu ʻaib Abu Abd al-Rahman al-Nasâ’i. Sunan al-Nasâ’i Beirut: Maktab al-
Matbû ʻah al-Islâmiyah, 1986 juz 7, h. 93.
37
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 482.
Kelima, Allâh Swt. menetapkan bahwa umat Islam adalah umat yang satu,
meskipun mereka berbeda bahasa, jenis dan bangsanya.
38
Allâh Swt berfirman dalam surah al-
Mu’minûn23: 52:
“Sesungguhnya agama Tauhid ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-
Ku.”
39
Pada ayat lain Allâh Swt. berfirman:
“Sesungguhnya agama Tauhid ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan A
ku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” Q.S. al-Anbiyâ21: 92.
40
Sa ʻîd Hawwa mengatakan tuntutan dari ayat-ayat ini adalah umat Islam
harus menjadi umat yang satu, mempunyai kesatuan politik yang satu dan mempunyai negara yang satu yang didirikan oleh mereka sendiri.
41
Keenam, sesungguhnya Allâh Swt. telah menetapkan bahwa umat Islam
adalah umat yang satu, Allâh Swt. juga mewajibkan umat Islam untuk mendirikan satu negara yang dibentuk oleh mereka sendiri dan menetapkan bahwa masalah
pemerintahan harus didasarkan atas syura. Allâh Swt. berfirman, “Dan urusan-
urusan mereka diselesaikan dengan cara syura di antara mereka.” Apabila umat Islam diharuskan menjadi umat yang satu dan diwajibkan memilih seseorang
untuk memimpin pemerintahan, maka tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali memilih seorang pemimpin untuk memimpin negara Islam di saat memang belum
38
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 482.
39
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, h. 345.
40
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, h. 330.
41
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483.
ada pemimpinnya. Mereka harus mengangkat hanya satu pemimpin karena pertimbangan mereka adalah umat yang satu dan harus memiliki satu negara.
42
C. Syarat-syarat yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin
Tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, karena tugas sebagai pemimpin di samping memang memang merupakan tugas yang penting dan berat,
ia juga mengharuskan orang tersebut memiliki sifat-sifat khusus. Sa ʻîd Hawwa
menyebutkan ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
43
1. Islam
Sa ʻîd Hawwa mengatakan tugas kekhalifahan dengan sendirinya
mensyaratkan orang yang memegang jabatan khalifah harus beragama Islam. Tugas seorang khalifah adalah menegakkan agama Islam dan mengarahkan politik
negara sesuai dengan aturan-aturan Islam. Tugas seperti itu tidak bisa dijalankan dengan benar kecuali oleh seorang Muslim yang meyakini agamanya dengan
sungguh-sungguh, mengetahui dasar-dasar dan petunjuk Islam. Sehingga bisa disimpulkan, dengan sendirinya seorang pemimpin negara Islam haruslah seorang
Muslim.
44
Kemusliman seorang khalifah merupakan konsekuensi logis dari karakter negara Islam dan juga sesuai dengan logika normal. Islam sendiri
melarang jabatan khalifah dipegang oleh non-Muslim.
45
Jika dilihat pandangan Sa
ʻîd Hawwa, pemimpin harus Muslim jika negara tersebut adalah negara Islam.
42
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483.
43
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 483-484.
44
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484.
45
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484.
Syarat ini tentunya agak sulit terpenuhi jika negara tersebut bukanlah negara Islam. Namun, syarat ini terlihat akan lebih mudah terpenuhi jika negara tersebut
mayoritas berpenduduk Muslim sekalipun negaranya tidak berbentuk negara Islam, seperti negara Indonesia yang ber-azaskan demokrasi.
Sa ʻîd Hawwa menjelaskan hal ini dengan mengangkat firman Allâh
Swt. surah Âli ‘Imrân3: 28 sebagai berikut:
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat seperti itu,
niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allâh, kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allâh
memperingatkan kamu terhadap diri siksa-Nya. dan hanya kepada Allâh kembali
mu.”
46
Dalam ayat ini ajaran Islam melarang seorang mukmin menjadikan non-
Muslim sebagai penolong, begitu juga ajaran Islam melarang seorang mukmin menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin mereka, karena pemimpin juga
termasuk penolong.
47
Sa ʻîd Hawwa mengatakan bahwa surah Âli ‘Imrân3: 28 merupakan sebuah
larangan bagi orang-orang mukmin agar mereka tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, baik itu karena faktor kekerabatan, persahabatan, ingin
mendapatkan manfaat, karena faktor kecintaan ataupun karena rasa takut.
48
Maka
46
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, h. 53.
47
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 484.
48
Sa ʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II Kairo: Dâr al-Salâm, 1985, h. 730.
jelas bahwa orang mukmin hanya boleh memilih orang yang beriman untuk dijadikan pemimpin mereka.
Di dalam menafsirkan kata لا نود
,
Sa ʻîd Hawwa mengatakan bahwa
orang-orang mukmin dipersilahkan untuk mengangkat sebagian dari mereka orang mukmin sebagai pemimpin, hal ini sebagai alternatif atau untuk
menghindar dari menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, sehingga orang-orang mukmin tidak mengutamakan orang-orang kafir di atas orang-orang
mukmin.
49
Selanjutnya Sa ʻîd Hawwa mengatakan bahwa bagi siapa saja yang
menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, bahwa dia telah keluar dari wilayah Allâh. Karena menjadikan Allâh sebagai pemimpin dan sekaligus menjadikan
musuh-Nya orang kafir sebagai pemimpin, merupakan dua hal yang bertentangan.
50
Di sini akan terlihat sebuah pertentangan jika orang mukmin memilih orang kafir sebagai pemimpin, karena orang kafir adalah orang yang
memiliki keyakinan yang berbeda dengan orang mukmin di dalam hal keyakinan agama. Maka antara hukum atau aturan yang berasal dari Allâh dengan hukum
aturan yang berasal dari orang kafir, sangat mungkin sekali untuk terjadi pertentangan.
Kemudian Sa ʻîd Hawwa mengutip pendapat Ibnu Katsîr dalam menafsirkan
kalimat ة
ا ت نأ اإdimana Ibnu Katsîr mengatakan; “kecuali orang mukmin yang khawatir terhadap kejahatan orang-orang kafir dalam sebagian negeri dan
waktu, maka boleh bagi orang mukmin tersebut untuk menghindari kejahatan mereka secara lahiriyahtaqiyah menyembunyikan identitas, tidak secara batin
49
Sa ʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730.
50
Sa ʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730.
dan niat”.
51
Di sini diperbolehkan jika memiliki pemimpin kafir, dikarenakan mayoritas penduduk negeri itu adalah orang kafir, atau karena orang yang beriman
takut atau khawatir terhadap kejahatan yang dilakukan orang kafir. Namun menjadikan mereka sebagai pemimpin, hanya sebatas lahiriyah saja, namun di
dalam hati tetap beriman kepada Allâh dan selalu mengikuti aturan-aturan-Nya. Sa
ʻîd Hawwa mengutip sebuah hadis dari Imâm Bukhâri yang meriwayatkan dari Abû Dardâ bahwa ia berkata: “sesungguhnya kita bermanis-manis di hadapan
beberapa kaum orang kafir, padahal hati kami melaknat mereka”. Imâm Bukhâri berkata yang berasal dari Imâm Hasan bahwa taqiyah diperbolehkan sampai hari
kiamat.
52
Imâm al- Nasafî mengomentari dalam makna pengecualian berikut: “kecuali
kamu khawatir terhadap orang-orang kafir akan satu perkara yang wajib menghindarinya, maksudnya adalah kecuali bila orang kafir tersebut mempunyai
kekuasaan atasmu. Jika kamu khawatir terhadap jiwa dan hartamu, maka ketika itu dibolehkan bagimu untuk menampakkan muwâlah bersahabatpersahabatan
dan menyembunyikan permusuhan”.
53
Sa ʻîd Hawwa mengatakan Allâh telah memperingatkan siksaan-Nya
terhadap kita di dalam menentang Allâh. Dia juga telah memperingatkan siksaan dan azab-Nya terhadap orang-orang yang menolong musuh-Nya dan memusuhi
para kekasih-Nya. Karena hanya kepada Allâh kita kembali dan siksaan tersebut telah dipersiapkan di sisi-Nya.
54
51
Sa ʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730.
52
Sa ʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730.
53
Sa ʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730.
54
Sa ʻîd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid II, h. 730-731.