jumlahnya tidak terhitung. Namun di sisi lain, ia juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh umat Islam, selagi ia melaksanakan kewajiban-kewajibannya
dan tidak ceroboh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya tersebut.
101
1. Kewajiban-kewajiban Seorang Pemimpin
Sa ʻîd Hawwa mengatakan, bahwa kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukan oleh seorang pemimpin sangat banyak, namun secara umum bisa dikelompokkan kepada dua tugas utama, menegakkan ajaran agama Islam dan
mengatur urusan negara sesuai dengan ajaran-ajaran yang ditetapkan oleh Islam.
102
Pemimpin berkewajiban mengatur urusan-urusan negara sesuai dengan ajaran yang ditetapkan oleh Islam. Maksud dari uraian tersebut adalah dalam
mengatur urusan-urusan negara, seorang pemimpin harus menggunakan mekanisme musyawarah, karena agama Islam menetapkan bahwa musyawarah
merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh semua umat Islam. Seorang pemimpin harus mengajak musyawarah pihak-pihak yang dipimpinnya dalam
segala permasalahan yang beruhubungan dengan pemerintahan. Pemimpin harus mengambil pendapat atau sebagian besar pendapat dari mereka apabila memang
mereka tidak sepakat dalam suatu masalah.
103
Musyawarah merupakan sebuah ungkapan yang sering diidentikkan dengan kata demokrasi di era modern. Meskipun ada perbedaan, dalam pandangan
Yûsuf al-Qardâwî, musyawarah dan demokrasi memiliki titik persamaan. Di
101
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 505.
102
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506.
103
Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506.
antaranya adalah bahwa substansi demokrasi adalah memberikan bentuk dan beberapa sistem yang praktis seperti pemilu untuk meminta pendapat rakyat,
kebebasan berpendapat dan lain-lain. Hal-hal tersebut jelas adalah bagian penting dari musyawarah yang diajarkan Islam.
104
Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab musyâwarah yang merupakan bentuk isim masdar dari kata kerja syâwara, yusyâwiru. Kata ini
terambil dari akar kata syin, wau, dan ra yang bermakna pokok mengambil sesuatu, menampakkan dan menawarkan sesuatu.
105
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata tersebut pada mulanya bermakna dasar mengeluarkan
madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk
pendapat. Kata ini pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas.
106
Salah satu ayat yang mengajarkan bahwa seseorang pemimpin harus bermusyawah di dalam mengambil keputusan adalah surah
Âli ‘Imrân3: 159.
“Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
104
Yûsuf al-Qardâwî, Min Fiqh al-Daulah fî al-Islâm Kairo: Dâr al-Syurûq, 1997, h. 125.
105
Al-Râghib Al-Asfahânî, al-Mufradât, h. 270; Ibnu Faris. Mu’jam Maqâyis, h. 541.
106
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid II, h. 244; Bandingkan dengan Al-Râgib al-Asfahânî. al-Mufradât, h. 270.
bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
”
107
Ayat ini turun berkenaan denga peristiwa perang Uhud yang terjadi pada tahun ketiga hijrah. Dalam peperangan tersebut pada mulanya pasukan muslim di
bawah pimpinan Nabi Muhammad Saw. memperoleh kemenangan. Namun, karena sebagian pasukan Islam tidak disiplin, maka akhirnya kaum kafir Quraisy
berhasil memporak-porandakan pasukan Nabi. Beliau sendiri menderita luka agak serius dalam pertempuran tersebut dan bahkan sempat beredar kabar di kalangan
pasukan muslim bahwa Nabi sudah wafat. Akhirnya, berkat pertolongan Allâh, pasukan muslim berhasil mengusai keadaan dan memenangkan pertempuran
kembali.
108
Ayat ini menjelaskan bagaimana Rasulullah diajarkan oleh Allâh untuk melakukan musyawarah dengan para sahabat atau pasukan Islam dalam peristiwa
perang Uhud. Sa ʻîd Hawwa menjelaskan makna bermusyawarah pada kalimat di
atas adalah bahwa Rasulullah harus bermusyawarah dengan para sahabat dan pasukan muslim, dalam seluruh urusan yang khusus ada pada mereka, baik berupa
urusan peperangan, perdamaian dan lain-lain. Sa ʻîd Hawwa juga menerangkan
bahwa termasuk harus mengadakan musyawarah terhadap hal-hal yang belum diturunkan wahyu atas nabi Muhammad, hal ini untuk menyenangkan hati mereka
pasukan Muslim, menggembirakan jiwa mereka, mengangkat derajat mereka, memberikan kesadaran kepada mereka terhadap pernyataan-pernyataan yang
mereka sampaikan di dalam musyawarah dan menggerakkan mereka ke arah yang membuat mereka merasa puas, karena musyawarah adalah hal yang maslahat,
107
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, h. 71.
108
Abû Al-H asân ‘Ali bin Ahmad Al-Wâhidi Al-Naisaburi, Asbâb al-Nuzûl tkp:
Maktabah wa Mathba’ah al-Manâr, t.t., h. 112.