Pencopotan Seorang Pemimpin Cacatnya Keadilan

sepakat bahwa orang yang tuli dan bisu tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, namun para ulama berbeda pendapat apabila kecacatan tersebut terjadi ketika ia sedang menjabat sebagai pemimpin, sebagian mengkategorikannya sebagai hal yang membatalkan kepemimpinannya, dan sebagian lagi menganggapnya tidak, sehingga ia masih berhak menjadi pemimpin. 97 Kedua, hilangnya anggota badan naqsu al- a’dâ. Hilangnya sebagian anggota badan ada yang menyebabkan pengangkatan seorang pemimpin menjadi tidak sah, baik kecacatan tersebut terjadi sebelum atau sesudah pengangkatan. Termasuk ke dalam kategori ini adalah hilangnya anggota badan yang meyebabkan pekerjaan dan tugas tidak bisa dilaksanakan, seperti hilangnya kedua tangan atau yang menyebabkan seseorang sama sekali tidak bisa bergerak dengan aktif, seperti hilangnya kedua kaki. Ada perbedaan pendapat di antara ulama, apabila anggota badan yang hilang tersebut tidak menyebabkan terhentinya pekerjaan dan aktivitas secara total; sebagian berpendapat apabila kecacatan seperti ini terjadi dalam masa kepemimpinannya, maka hal itu menyebabkan gugurnya hak kepemimpinan, dan sebagian ulama yang lain berpendapat hal itu tidak menggugurkan hak kepemimpinan sama sekali. 98 Ketiga, tidak mempunyai kebebasan untuk menjalankan aktivitas naqsu al-tasarruf . Kondisi ini adakalanya disebabkan oleh adanya pihak lain yang mengendalikannya al-hijr atau karena adanya tekanan dan paksaan dari pihak lain al-qahr. Maksud dari al-hijr adalah, adanya pihak-pihak lain semisal kawan pemimpim yang mengendalikan dan berperan secara dominan dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan, namun orang-orang tersebut tidak 97 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 500. 98 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501. melakukan kemaksiatan-kemasiatan dan juga tidak mengangkat perselisihan dan penentangan terhadap pemimpin. Apabila terjadi kondisi seperti ini, maka seorang pemimpin tidak harus diturunkan dari jabatannya, namun harus dilihat terlebih dahulu aksi-aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang mengendalikannya. Apabila aksi-aksianya sesuai dengan hukum-hukum agama dan selaras dengan semangat keadilan, maka pemimpin terus berada pada jabatannya, namun, apabila aksi-aksinya melanggar hukum-hukum agama dan tidak sesuai dengan semangat keadilan, maka pemimpin harus meminta bantuan dari pihak lain untuk melepaskan diri dari kendali orang-orang tersebut. 99 Adapun yang dimaksud dengan al-qahr adalah, suatu kondisi di mana seseorang berada di bawah tekanan dan paksaan musuh, dan dia tidak bisa lepas dari tekanan tersebut. Orang yang seperti ini tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, karena ia tidak mampu memikirkan urusan-urusan umat. Apabila kondisi ini terjadi di tengah masa kepemimpinan, maka umat boleh mencopotnya dari jabatan dan memilih pengganti yang lainnya, karena untuk melepaskan diri dari tekanan dan paksaan musuh tersebut merupakan masalah yang sangat sulit. 100

E. Kewajiban dan Hak-hak Seorang Pemimpin

Apabila ahl al-syura telah memilih dan membaiat seorang pemimpin, maka ia secara resmi menjadi pemimpin dengan pembaiatan tersebut. Ketika pemimpin memegang jabatannya tersebut, ia mendapatkan tugas dan kewajiban- kewajiban dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya tersebut. Pemimpin juga dibebani tanggung jawab-tanggung jawab yang 99 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501. 100 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 501. jumlahnya tidak terhitung. Namun di sisi lain, ia juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh umat Islam, selagi ia melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan tidak ceroboh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya tersebut. 101

1. Kewajiban-kewajiban Seorang Pemimpin

Sa ʻîd Hawwa mengatakan, bahwa kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin sangat banyak, namun secara umum bisa dikelompokkan kepada dua tugas utama, menegakkan ajaran agama Islam dan mengatur urusan negara sesuai dengan ajaran-ajaran yang ditetapkan oleh Islam. 102 Pemimpin berkewajiban mengatur urusan-urusan negara sesuai dengan ajaran yang ditetapkan oleh Islam. Maksud dari uraian tersebut adalah dalam mengatur urusan-urusan negara, seorang pemimpin harus menggunakan mekanisme musyawarah, karena agama Islam menetapkan bahwa musyawarah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh semua umat Islam. Seorang pemimpin harus mengajak musyawarah pihak-pihak yang dipimpinnya dalam segala permasalahan yang beruhubungan dengan pemerintahan. Pemimpin harus mengambil pendapat atau sebagian besar pendapat dari mereka apabila memang mereka tidak sepakat dalam suatu masalah. 103 Musyawarah merupakan sebuah ungkapan yang sering diidentikkan dengan kata demokrasi di era modern. Meskipun ada perbedaan, dalam pandangan Yûsuf al-Qardâwî, musyawarah dan demokrasi memiliki titik persamaan. Di 101 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 505. 102 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506. 103 Sa ʻîd Hawwa. Al-Islâm, h. 506.