Referensi Penulisan Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr

1. Bahwa untuk pertama kali diketengahkan teori baru tentang kesatuan al- Qur’an dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr, berdasarkan teori komprehensif yang mencakup segala dimensi kesatuan al- Qur’an. 2. Kitab tafsir ini sangat rinci didalam menjelaskan kesatuan al-Qur’an secara keseluruhan, sehinga kita akan mengetahui mengapa ayat-ayat al- Qur’an yang mempunyai kandungan yang sama tidak dicantumkan secara berdampingan, serta hikmah turunnya al- Qur’an secara berangsur-angsur akan lebih jelas dan terang untuk kita ketahui. 3. Kitab tafsir ini juga berusaha memanfaatkan berbagai literatur berupa buku-buku agama klasik, dan berupaya menyederhanakan dan mempermudah redaksi-redaksi dari literatur-literatur klasik tersebut. 4. Di dalam tafsir ini tidak akan ditemukan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan inti persoalan, karena Sa ʻîd Hawwa mengesampingkan semua persoalan yang dianggap tidak ilmiah. 5. Tafsir ini berupaya secara maksimal untuk memanfaatkan kenunggulan zaman sekarang, yaitu ketelitian dan kecenderungan spesialisasi dalam melakukan kajian terhadap satu sisi kehidupan, alam dan manusia, 6. Tafsir ini juga merupakan buku ilmu pengetahuan, dakwah, pendidikan dan jihad sekaligus. Itulah beberapa kelebihan dan keistimewaan dari kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr. Setelah membahas beberapa kelebihan dari kitab tafsir al-Asâs fi al-Tafsîr, adapula kekurangan dalam kitab tafsir ini. Kekurangan di dalam sebuah hasil karya, merupaka hal yang niscaya terjadi, karena hal ini tidak terlepas dari kodrat manusia yang hanya manusia biasa. Di antara beberapa kekurangan yang menjadi catatan untuk kitab tafsir ini adalah: 1. Penulisan kitab tafsir ini dilakukan Saʻîd Hawwa ketika ia sedang berada di dalam penjara atau tahanan. Hal ini diakui Sa ʻîd Hawwa menjadi penghalang untuk mencapai kesempurnaan tafsir ini, karena pada saat berada di dalam penjara, pada mulanya ia hanya mengandalkan dua tafsir saja, yakni tafsir Ibnu Katsîr dan tafsir al- Nasafî. Sehingga harus diakui bahan-bahan rujukan untuk menulis tafsir ini sangat terbatas. 2. Saʻîd Hawwa berkata bahwa ia menyesalkan dan merupakan suatu ketidakadilan jika ada yang mengatakan tafsir karyanya merupakan ringkasan dari tafsir Ibnu Katsîr dan al-Nasafî. Di sini dapat dipahami bahwa ada sebagian orang yang mengatakan bahwa tafsir al-Asâs fî al- Tafsîr tidak lain merupakan ringkasan dari dari tafsir Ibnu Katsîr dan al-Nasafî. Itulah beberapa kekurangan yang menjadi catatan terhadap kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr. 36

BAB III KEPEMIMPINAN PERSPEKTIF SA

ʻÎD HAWWA A. Khilafah Kepemimpinan secara luas memilki arti yakni proses memengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok budayanya. 1 Jadi dapat dikatakan kepemimpinan merupakan cara untuk memimpin, sedangkan pemimpin adalah orang yang diteladani oleh masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan dalam membimbing masyarakatnya. Quraish Shihab mengatakan bahwa seorang pemimpin bukan hanya harus mampu menunjukkan jalan meraih cita-cita rakyat yang dipimpinnya, tetapi juga harus dapat mengantarkan mereka ke pintu gerbang kebahagiaan. Seorang pemimpin tidak sekedar menunjukkan, tetapi mampu memberi contoh aktualisasi, sebagaimana halnya dengan pemimpin imâm shalat. 2 Selain itu, kepemimpinan dan keteladanan harus berdasarkan pada keimanan, ketakwaan, pengetahuan dan keberhasilan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ujian. 3 Sa ʻîd Hawwa menjelaskan, bahwa umat Islam sama sekali tidak boleh berada dalam kondisi vacuum of caliphate kosong dari seorang pemimpin atau khalifah. Karena dasar kekuatan hukum wajibnya pembentukan institusi adalah 1 Veithzal Rivai dan Dedi Mulyadi, kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Jakarta: Rajawali Press, 2011, h. 2. 2 M. Quraish Shihab. Menabur Pesan Ilahi Jakarta: Lentera Hati, 2006, h. 387. 3 M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur’an Jakarta: Lentera Hati, 2000, Vol. 1, h. 318.