260
Tinjauan Yuridis
Salah satu latar belakang lahirnya gagasan dan desakan perlunya badan hukum pendidikan itu diatur dalam UU Sisdiknas serta badan hukum itu
diatur tersendiri dengan Undang-Undang, diawali dari masalah yang dihadapi sejumlah perguruan tinggi negeri yang berstatus BHMN, yang lahir hanya
berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum. Hal ini menyebabkan
kehadiran BHMN dianggap tidak memiliki payung hukum yang kuat, karena tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Oleh karena itu Departemen Keuangan kesulitan mengakui status BHMN, sehingga perguruan tinggi negeri yang berstatus
BHMN tersebut mengalami kesulitan dalam pengelolaan keuangan secara mandiri seperti SPP Sumbangan Pembinaan Pendidikan dari mahasiswa
dan sumber dana lainnya dari masyarakat. Meskipun BHMN itu merupakan sebuah upaya demokratisasi
pengelolaan pendidikan tinggi yang dikenal dengan otonomi kampus, namun dipandang landasan hukumnya sangat lemah dan bahkan ada substansi yang
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP. Oleh karena itu gagasan
pembentukan Badan Hukum Pendidikan dipandang perlu diatur dengan Undang-Undang sebagai payung hukum bagi penyelenggara danatau satuan
pendidikan formal. Hal ini semakin dipandang relevan dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang hanya
bertujuan kemanusiaan, sosial dan keagamaan.
,
Meskipun UU Yayasan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, namun tidak
menyentuh sama sekali kaitan yayasan dengan pengelolaan pendidikan.
B. Fungsi Pelayanan Pendidikan
Pasal 53 ayat 2 UU Sisdiknas secara tegas menetapkan fungsi badan hukum pendidikan yaitu memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta
didik. Hal ini dimaksudkan bahwa badan hukum pendidikan wajib memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik. Badan hukum
pendidikan yang akan diatur dengan Undang-Undang harus sesuai dengan prinsip pendidikan yang diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas yang
261 berbunyi,
”Pendidikan dilakukan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural dan kemajemukan bangsa”. Selanjutnya Pasal 4 ayat 6 UU
Sisdiknas menyatakan, ”Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan
semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraaan
dan pengendalian mutu layanan.” Artinya, pembentukan badan hukum
pendidikan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada semua warga negara sesuai prinsip pendidikan tersebut, supaya semua lapisan
masyarakat memperoleh hak sama atas pendidikan yang bermutu sebagaimana tercermin dalam Pasal 5 UU Sisdiknas. Oleh karena itu,
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah
juga wajib menyediakan dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun seperti tersebut dalam
Pasal 11 UU Sisdiknas. Oleh karena menurut Pasal 6 UU Sisdiknas, setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun diwajibkan mengikuti
pendidikan dasar, yang disebut dengan wajib belajar. Artinya wajib belajar sebagaimana dimaksud Pasal 34 UU Sisdiknas adalah tanggung jawab
negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Menurut UU Sisdiknas pelayanan satuan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi memiliki karakteristik tertentu, karena
diselenggarakan dengan sistem terbuka. Hal ini tercermin dalam Pasal 19 ayat 2 UU
Sisdiknas. Satuan perguruan tinggi juga diwajibkan menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat
seperti diatur dalam Pasal 20 ayat 2 UU Sisdiknas. Selanjutnya menurut Pasal 24 UU Sisdiknas, satuan perguruan tinggi dalam menyelenggarakan
pendidikan dan pengembangan ilmu melalui penelitian diberikan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, otonomi keilmuan, serta memiliki
otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian pada masyarakat.
262 Sesuai Pasal 24 UU Sisdiknas, perguruan tinggi juga dapat
memperoleh sumber dana dari masayarkat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. Kewenangan ini diberikan kepada
perguruan tinggi, karena Pemerintah dan pemerintah daerah tidak dapat menyediakan seluruh biaya yang diperlukan dalam memberikan pelayanan
pendidikan kepada peserta didik. Pemberian otonomi pada perguruan tinggi dimaksudkan agar perguruan tinggi memiliki kemandirian untuk mengelola
sendiri lembaganya dalam penggunaan dana, penyelenggaraan pendidikan, pengadaan tenaga kependidikan dan pembangunan sarana dan prasarana.
Itulah sebabnya perguruan tinggi harus berbadan hukum pendidikan agar otonominya dapat terwujud dalam menjalankan tri darmanya pendidikan,
penelitian dan pengabdian pada masyarakat sebagai bentuk pelayanan pendidikan kepada peserta didik mahasiswa.
Jelas bahwa substansi BHP perguruan tinggi harus ada perbedaan dengan substansi BHP satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Dengan pengaturan seperti itu maka UU BHP memperhatikan keunikan, serta keragaman pengelolaan dan pelayanan setiap jenjang dan jenis pendidikan.
UU BHP itu harus diolah sebaik-baiknya dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, termasuk sejarah, kultur dan kepentingan
penyelenggara danatau satuan pendidikan.
C. Tujuan Memajukan Satuan Pendidikan.