193 karena ada subsidi silang dengan sekolah-sekolah yang ada di kota-kota.
Seperti yang dicontohkan oleh film Laskar Pelangi, bagaimana keadaan di pedalaman seperti itu dengan murid yang sedikit, yang minim fasilitasnya,
yang untuk pergi sekolah harus berjalan kaki berkilo-kilometer, maka yayasan yang mengelola itu mengadakan subsidi silang. Artinya surplus dari hasil yang
diperoleh sekolah-sekolah yang ada kota dia gunakan untuk sekolah-sekola yang ada di pedalaman karena terpanggil untuk menghidupi pendidikan di
daerah pedalaman, memberikan bantuan kepada pendidikan untuk anak-anak di sekolah pedalaman.
• Bahwa dengan UU BHP, tidak ada lagi subsidi silang, akan kesulitan
menyiapkan ketersediaan organ-organ seperti yang dikehendaki badan hukum pendidikan, yang akibatnya pendidikan di daerah pedalaman, daerah
tertinggal tidak bisa dikembangkan dan lama-kelamaan pasti akan mati.
5. Ahli Richardus Djokopranoto,S.E.
• Bahwa tata kelola pada dasarnya meliputi tiga tingkatan pengaturan, yakni,
prinsip tata kelola, struktur tata kelola, dan mekanisme tata kelola. struktur tata kelola, dan mekanisme tata kelola merupakan teknik pelaksanaan tata
kelola, prinsip tata kelola yang umum dianut adalah akuntabilitas, tanggung jawab, transparansi, keadilan dan independen. Struktur tata kelola adalah
pengaturan tentang organisasi dan mekanisme tata kelola adalah tata cara pelaksanaan.
• Pasal 14 UU BHP memuat fungsi dasar tata kelola. Namun Pasal 15 sampai
dengan Pasal 36 UU BHP sudah menyangkut hal-hal mengenai struktur dan mekanisme tata kelola, yaitu teknis tata kelola. Sebaiknya suatu Undang-
Undang membatasi diri pada prinsip tata kelola saja dan bukan mengatur lebih lanjut tentang struktur dan mekanisme pelaksanaan tata kelola.
• Dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 UU BHP justru sama sekali tidak
disinggung prinsip-prinsip tata kelola yang baik yang harus diikuti seperti yang telah disampaikan di atas. Memang di dalam Pasal 4 ayat 2 UU BHP
disinggung mengenai prinsip-prinsip, namun prinsip-prinsip yang dimaksudkan adalah prinsip-prinsip pengelolaan bukan prinsip-prinsip tata kelola. Perlu
dibedakan antara pengelolaan yaitu manajemen, dan tata kelola atau govarnance.
Manajemen adalah
suatu proses
perencanaan,
194 pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan tertentu melalui orang lain dengan menggunakan sumber daya lain. Sedangkan tata kelola adalah sistem bagaimana suatu intensitas itu
diarahkan dan diawasi dengan mengemukakan prinsip-prinsip transparansi, keadilan akunstabilitas dan sebagainya. Dengan demikian pengaturan
keseragaman tentang teknik pelaksanaan tata kelola penyelanggaraan pendidikan dalam UU BHP merupakan pelanggaran hak-hak asasi dan asas
kebhinekaan yang di jamin oleh UUD 1945. Melanggar persyaratan utama dalam
penyelenggaraan pendidikan,
menghambat kemajuan
penyelenggaraan pendidikan, bertentangan dengan otonomi dan tidak sesuai dengan best practice penyelenggaraan pendidikan.
• Pertama
, dipandang dari hak asasi manusia. Bagi yayasan perkumpulan atau badan sejenis yang menyelenggarakan pendidikan formal, pelaksanaan tata
kelola adalah bagian dari pelaksanaan pengelolaan yang merupakan ciri khas, merupakan cara hidup, dan cara untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Cara hidup dan cara mempertahankan hidup ini sudah merupakan ragam yang dipilih, merupakan ciri khas dan merupakan
pengalaman yang sudah dipraktikkan selama puluhan tahun, dan yang telah terbukti mampu mempertahankan yayasan, perkumpulan dan badan hukum
sejenis sampai saat ini. UU BHP adalah pelaksanaan Pasal 53 UU Sisdiknas. Pengertian nasional terkait dengan terdapatnya potensi-potensi bangsa yang
telah terbukti mempunyai andil besar memajukan pendidikan bangsa ini, baik di masa yang lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Terhadap
potensi ini negara perlu mendukung dan justru harus membuka ruang yang lebih luas.
• Pasal 15 sampai dengan Pasal 36 UU BHP tidak mengakui cara hidup dan
cara mempertahankan hidup yayasan, perkumpulan dan badan hukum sejenisnya, dan justru memaksakan penyeragaman tentang cara bagaimana
yayasan, perkumpulan atau badan hukum sejenis harus hidup dan mempertahankan hidupnya. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28A UUD
1945 tentang hak hidup dan hak mempertahankan hidup dan kehidupan serta mengembangkan diri secara bebas melalui pendidikan. Pasal-pasal tersebut
juga telah melanggar asas kebhinnekaan sebagaimana dimaknai dalam Pasal 36A UUD 1945. Sementara itu tidak ada cukup alasan yang secara rasional
195 mendesak
compelling rational yang memberi hak kepada negara untuk
melakukan penyeragaman tersebut. •
Kedua , dipandang dari makna dan maksud pendidikan. Makna dan maksud
terdalam dari pendidikan adalah menyiapkan anak muda menjadi orang dewasa yang mandiri, bertanggung jawab dan bermartabat atau dengan
perkataan lain menjadi manusia seutuhnya yang mempunyai kemampuan untuk mengelolah hidupnya sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Mengelola hidup sendiri sesuai dengan nilai-nilai mensyaratkan suatu kebebasan yaitu kebebasan memilih maka dalam bidang pendidikan yang
terarah pada perkembangan seluruh kepribadian manusia, kebebasan memilih merupakan prinsip sentral dan utama.
• Prinsip-prinsip hidup hanya akan berubah melalui menjadi nilai-nilai hidup jika
dipilih secara sadar dan bebas. Untuk itu lembaga pendidikan yang melakukan pendidikan melalui pengajaran juga perlu diberikan ruang gerak
yang lebih luas dan lebih bebas agar mampu pula menciptakan lingkungan yang luas dan bebas bagi anak didiknya. Bebas tidak berarti
”semau gue” atau
hidup tanpa kewajiban dan tanggung jawab. Kebebasan adalah keterampilan untuk menciptakan dan memilih cara hidup yang sesuai dengan nilai-nilai
yang dipilihnya. •
Dengan kebebasan justru orang didorong untuk mentaati peraturan dengan keyakinan bukan dengan keterpaksaan. Oleh karena itu memaksa suatu
lembaga atau penyelenggaraan pendidikan untuk melakukan hal-hal yang bersifat teknis secara seragam merupakan tindakan yang justru bertentangan
dengan prinsip utama yang disyaratkan dalam proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri dan akan memberikan hasil yang berlawanan dengan
maksud sesungguhnya dari penyelenggaraan pendidikan. •
Ketiga , dipandang dari manajemen pendidikan. Penyeragaman tata kelola
penyelenggara pendidikan by defination
menghambat perbaikan dan kemajuan mutu pendidikan. Penyeragaman tata kelola apalagi yang belum
teruji akan dapat menimbulkan risiko yang sangat besar dalam bidang pendidikan. Jika suatu teknik tata kelola yang seragam gagal dalam
pelaksanaan atau terjadi kesulitan-kesulitan di kemudian hari maka seluruh sistem penyelenggaraan pendidikan nasional akan terganggu dan akan terjadi
196 chaos
. Jika suatu teknik tata kelola yang seragam mencapai hasil, maka hasil itu sudah maksimal dan tidak dapat ditingkatkan lagi karena tidak tersedia
alternatif lain. Sebaliknya jika terdapat alternatif teknik tata kelola, pengguna teknik tata kelola yang merasa kurang berhasil dapat mengambil pelajaran
atau mencontoh mereka yang lebih atau telah berhasil. Di samping itu tetap tersedia alternatif, tersedia ruang untuk terus menerus memperbaiki dan
menyempurnakan teknik tata kelola sehingga cara penyelenggaraan pendidikan dan pada gilirannya mutu pendidikan akan terus menerus dapat
ditingkatkan. Yang perlu diseragamkan adalah prinsip-prinsip tata kelola penyelenggaraan pendidikan, bukan teknik struktur dan mekanisme tata
kelolanya. •
Keempat , dipandang dari segi otonomi. Pertimbangan utama pembentukan
UU BHP, sebagaimana tercantum dalam menimbang adalah mewujudkan otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya pendidikan tinggi agar
penyelenggara pendidikan lebih dapat mandiri untuk memajukan pendidikan nasional. Di pandang dari maksud Undang-Undang ini, penyeragaman teknik
tata kelola justru bertentangan secara diameteral dengan maksud dan pertimbangan
utama Undang-Undang
ini yaitu
otonomi. Dengan
penyeragaman tata kelola, penyelenggara pendidikan kehilangan kebebasan untuk mengatur cara hidup dan mempertahankan hidupnya yang berarti justru
kehilangan otonominya. •
Kelima , dipandang dari
best practice penyelenggaraan pendidikan. Mutu hasil
pendidikan Indonesia khususnya pendidikan tinggi selalu kalah dibandingkan dengan hasil pendidikan di negara-negara yang sudah maju khususnya yang
memiliki perguruan tinggi peringkat dunia seperti Amerika, Inggris, Australia dan sebagainya. Oleh karena itu kita perlu belajar dari cara mereka
melakukan tata kelola penyelenggaraan pendidikannya yang merupakan best practice. Di perguruan tinggi Amerika Serikat misalnya, kebanyakan sistem
struktur tata kelolanya adalah secara satu kamar atau unikameral. Namun ada juga dengan sistem dua kamar atau bikameral seperti Hardvard University,
Brown Univesity dan sebagainya. Demikian juga susunan anggota organ tertinggi, paling tidak ada empat model yaitu
original models terdiri dari siapa
saja yang dianggap mampu, stakeholder models
terdiri dari wakil-wakil pemangku kepentingan,
governance officiall models ada wakil-wakil pejabat
197 pemerintah dan
church officiall models ada wakil-wakil dari pimpinan gereja.
Di United Kingdom, struktur tata kelola dalam perguruan tinggi free
1992 ada dua model yaitu dasar
oxslip models yang dilakukan oleh Oxford dan
Cambridge University, yang sudah berlangsung selama ratusan tahun dan non oxsplit model kurang lebih ada 30 universitas yang menyelenggarakan.
• Struktur tata kelola yang dianut pendidikan
Post 1992, ada dua model dasar
yaitu foundation model
dan company limited model
. Demikian juga di negara- negara maju lainnya, baik yang menyangkut pendidikan dasar, menengah dan
tinggi, tata kelola penyelenggaraan pendidikan tidak pernah diharuskan menggunakan bentuk yang seragam. Mereka selalu diberi kebebasan untuk
mengembangkannya sesuai pengalaman, karakteristik dan kebutuhan masing-masing berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang diturunkan dari
the sevent principles of public life. The sevent principles of public life yang
disiapkan oleh The Nollen Comity
tahun 1994 yang dianggap sebagai cikal bakal prinsip-prinsip tata kelola yang baik atau
good governance merupakan
referensi untuk mengembangkan prinsip-prinsip tata kelola di seluruh dunia, yang mencakup tidak mementingkan diri sendiri, integritas
integrity ,
objektivitas objectifity
, keterbukaan transparancy
, kejujuran honesty
, kepemimpinan
leadership dan akuntabilitas
accountability .
• Bahwa struktur tata kelola perguruan tinggi di RRC saja sudah mulai
meninggalkan sistem seragam dan menuju pada sistem beragam. Dengan mengacu pada perguruan tinggi di Hongkong. Jika Negara komunis saja
bertindak demikian, masak negara Pancasila kita justru meninggalkan sistem beragam dan set back kembali lagi ke sistem seragam.
• Bahwa akibat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
juncto Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, pada waktu ini masih terdapat ribuan yayasan, kalau tidak dapat dikatakan puluhan ribu yang belum mampu
memenuhi ketentuan perubahan akta pendiriannya sesuai dengan UU Yayasan tersebut dalam batas waktu yang ditentukan karena berbagai alasan
sehingga ada puluhan ribu program studi per-sekolahan dan ijazah yang terancam dianggap tidak sah. Oleh karena itu, jika penyeragaman struktur dan
mekanisme tata kelola seperti tercantum dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 36 UU BHP tersebut dipaksakan diberlakukan, kehausan pendidikan
198 kita pasti akan bertambah, dan maksud mencerdaskan kehidupan bangsa
pasti akan terganggu pula.
6. Ahli Prof. Dr. Sofian Effendi