Saksi Dimas Ari Nurdianto

111 9. Bukti P-8 : Fotokopi Kajian Terhadap UU BHP sebagai Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi; 10. Bukti P-9 : Fotokopi Makalah “Pendidikan yang Membumi dalam Konteks Mencerdaskan Kehidupan Bangsa ” oleh Prof. Dr. Winarno Surakhmad; 11. Bukti P-10 : Fotokopi tulisan “Tirani Kapital dalam Pendidikan-Menolak UU BHP ”, tulisan Darmaningtyas; 12. Bukti P-11 : Fotokopi tulisan “UU BHP Membawa Bangsa ke Kehancuran Total” , tulisan Darmaningtyas; 12. Bukti P-12 : Fotokopi tulisan “Pendidikan Sebagai barang Publik: Telaah Pendidikan dalam Berbagai Perspektif Teori Sosial Pendidikan”, tulisan M. Zainudin; 13. Bukti P-13 : Kumpualn Artikel; 14. Bukti P-14 : The Pure Theory of Public Expenditure, Paul A. Samuelson; 15. Bukti P-15 : A Theory of Public Goods, Randall G Holcombe ; 16. Bukti P-16 : Pendidikan Tinggi sebagai Sarana Publik, Amich Alhumami; Bahwa di samping mengajukan bukti-bukti surat atau tulisan, Pemohon Perkara Nomor 21PUU-VII2009 juga mengajukan seorang saksi dan empat orang ahli yang memberikan keterangan di bawah sumpah pada persidangan tanggal 3 September 2009, pada pokoknya sebagai berikut:

1. Saksi Dimas Ari Nurdianto

• Bahwa pada program Pasca sarjana terdapat dua jalur yaitu jalur SIMAK dan Jalur ujian susulan. Artinya jika dijalur SIMAK belum terpenuhi maka diproses tes berikutnya. • Bagi calon mahasiswa lulusan SMA atau SLTA tersedia jalur SIMAK, UMB, SNPTN, KSDI dan PMDK atau PPKB; • Jalur PPKB merupakan sebuah jalur yang proses penyaringannya dari SMASLTA melalui cara pengecekan pada raport, diproses pembayarannya; • Pada jalur SIMAK menampung calon mahasiswa dari semua program baik program D3, S1, S2 dan S3; • Dengan membayar jumlah uang tertentu, mahasiswa bisa memilih jalur yang diinginkan. 112 • Di Universitas Indonesia, biaya pendidikan S1 untuk Fakultas Kedokteran, Teknik, Fasilkom, FKG berkisar Rp.85.000.000,00 delapan puluh lima juta rupiah dan untuk fakultas ilmu-ilmu sosial berkisar Rp.65.000.000,00 enam puluh lima juta rupiah; • Bahwa di Universitas Indonesia, sumber pemasukan biaya pendidikan berasal dari Pemerintah, masyarakat, industri dan dari pinjaman luar negeri. Untuk sumber pemasukan dari Pemerintah pada tahun 2008 sekitar 14 empat belas perseratus dan pada tahun 2009 mencapai 24 dua puluh empat perseratus dan sebagian besar untuk investasi fisik. • Ada program khusus yang diperuntukkan untuk menggalang dana, yaitu program KSD Kerja Sama Daerah, yakni satu program yang dimaksudkan untuk menjaring mahasiswa daerah yang berminat membangun daerahnya dan seharusnya dibeasiswakan tetapi kenyataannya tidak terjadi. Biaya pendidikan untuk program ini untuk Fakultas Kedokteran bisa mencapai Rp. 400.000.000,00 empat ratus juta rupiah, Fakultas Kedokteran Gigi Rp.300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah dan FISIP per semester sebesar Rp. 20.000.000,00 dua puluh juta rupiah. 2 . Ahli Prof. Dr. Winarno Surakmad • Di bidang pendidikan berbangsa diharapkan lahir visi yang lebih jelas terkait dalam konstitusi serta kebijakan pendidikan yang sama-sama bersumber dari konstitusi, bukan sekedar kebijakan sekolah untuk kepentingan politik praktis. Ini berguna karena ia bukan saja konstitusional tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih berarti bagi generasi muda. Kebijakan pendidikan adalah kebijakan dalam arti kebijakan hidup, kebijakan berbudaya dan kebijakan pengindonesiaan. • Sungguh pun kita baru menjalani 65 tahun merdeka mengatur diri sendiri, kita telah mempercayakan pendidikan berbangsa kepada setidaknya 35 orang Menteri Pendidikan. Itu bukan berarti kurang dari 2 tahun untuk setiap menteri, dan 35 menteri itu adalah orang-orang yang semuanya profesional. Tidak, Sekaligus kita mengetahui bahwa 65 tahun ini adalah masa yang penuh dengan konflik dan penyederhanaan masalah pendidikan, bahkan seringkali memberi kesan terlepas dari tujuan yang semula. Ini berarti bahwa peluang setiap menteri sangat berbeda-beda. Menteri pertama berpeluang 113 hanya 3 bulan. Ki Hadjar Dewantara, jelas mempunyai visi dan kebijakan kependidikan walaupun baru disebut Menteri Pengajaran tetapi menteri lainnya, seperti Dr. Prijono, berpeluang jauh lebih lama delapan tahun untuk mempengaruhi jalan pendidikan yang bukan saja sekedar berbeda tetapi secara filosofis bertentangan dengan kebijakan-kebijakan yang terdahulu. Kita mengetahui bahwa bukan saja kebijakan pendidikan sejumlah menteri tidak sejalan dengan menteri lainnya tetapi juga karena pengaruh reduksionisme, para menteri masa lalu tersebut cenderung melahirkan kebijakan tersendiri yang sangat bertentangan dengan kebijakan yang ada. Hal ini membuat bingung para pelaku terutama guru dan kepala sekolah di lapangan. Karena itu, 65 tahun merdeka dalam dunia pendidikan bukanlah satu garis lurus yang bernilai positif dari menteri pertama sampai dengan menteri yang terakhir, dan juga bukan satu garis lurus bagi generasi muda serta masyarakat pada umumnya. Menteri tertentu, misalnya Ing. Wardiman merumuskan kebijakan yang telah dapat dijadikan pemikiran berkelanjutan. Tetapi karena reduksionisme, maka menteri yang satu tidak setia kepada menteri yang lain sejauh mengenai kebijakan tersebut. Dengan perkataan lain hampir setiap menteri yang datang kemudian terjebak dalam kebijakan yang pada dasarnya tidak lain dari kebijakan sekolah dalam arti kata yang sempit. • Yang makin menonjol adalah kebijakan sekolah ini yang terbatas. Kebijakan tersebut semakin terlepas dari amanah konstitusi dan semakin terikat pada kepentingan praktis sehari-hari. Karena itu para pelaku di lapangan dan harusnya setiap anggota masyarakat tidak dapat memperoleh manfaat dari kebijakan semacam itu. Dalam sejarah kita tidak dapat menentukan menteri siapa yang melanjutkan pemikiran menteri terdahulu dan menteri siapa yang merumuskan kebijakan pendidikan berdasarkan pandangan menteri terdahulu saja misalnya, yang melanjutkan pemikiran dan kebijakan tentang “link and match” . Ini menyebabkan tiadanya juga garis lurus yang terbentang antara menteri yang pertama sampai pada menteri yang berikutnya. • Untuk tahun-tahun yang akan datang kita akan tetap gamang sekedar menyatakan bahwa kita memerlukan generasi yang cerdas dan kompetitif oleh karena tidak pernah jelas cerdas yang bagaimana dan kompetisi terhadap siapa yang menjadi pegangan generasi muda. Generasi muda, 114 generasi yang berhak terhadap masa depan, tidak diilhami oleh ketidakikutsertaan rumusan Renstra Menteri Pendidikan Nasional Prof. Bambang Sudibyo, 2004-2009 mereka di dalam memaknai masa depan tersebut. Kebijakan pendidikan bukan sekedar kebijakan sekolah yang penting sekarang sedikitnya perlu mengutamakan tiga hal sebagai berikut: 1. Perlu memperlihatkan pendidikan yang mengutamakan wujudnya nilai- nilai kehidupan seperti yang diamanahkan di dalam UUD 1945 dan Pancasila. Dengan demikian, kebijakan pendidikan menjadi kebijakan hidup, berdasarkan Pancasila. 2. Pendidikan sebagai proses dan sumber pembudayaan di mana keluarga, sekolah dan masyarakat yang mengutamakan keluarga, sekolah dan masyarakat masing-masing menjadi para petinggi di dalamnya sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan sekaligus adalah kebijakan pembudayaan. 3. Pendidikan yang mengutamakan satunya semangat keindonesiaan yang sangat penting dalam memastikan satuanya Indonesia bukan hanya karena penduduknya besar serta pulaunya banyak tetapi oleh karena desentralisasi yang diterapkan mencari kesatuan dalam keberagaman. Dengan demikian, kebijakan pendidikan barulah betul-betul bersifat kebijakan pendidikan nasional. Dengan semakin merajalelanya reduksionisme akhir-akhir ini maka cara memandang pendidikan sebagaimana yang dimaksud oleh konstitusi pendidikan tersesat menjadi tidak lebih dari kebijakan sekolah, dalam arti yang sangat sempit. Makanya yang benar-benar dibutuhkan sekarang juga bukan sekedar kebijakan, tetapi kebijakan yang jelas bersifat konstitusional.

3. Ahli Prof. Dr. Imam Chourmain