Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

239

II. Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Dalam permohonannya, para Pemohon beranggapan bahwa Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 UUD 1945, mengamanatkan negarapemerintah berkewajiban menanggung seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan, sehingga masyarakat, termasuk para Pemohon tidak dibebankan tanggung jawab dalam pendanaan pendidikan, karena itu menurut para Pemohon ketentuan UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap dalil-dalil para Pemohon, DPR menyampaikan pandangan sebagai berikut: 1. Sebagaimana telah diuraikan tersebut, dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV, menyebutkan salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, namun hal tersebut tidak berarti bahwa penyelenggaraan pendidikan in casu pendanaan pedidikan menjadi tanggung jawab Pemerintah sepenuhnya dan menghilangkan pelibatan masyarakat untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan justru membuka peluang dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam membangun sistem pendidikan nasional bagi seluruh warga negara Indonesia. 2. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 mengamanatkan kepada negarapemerintah untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 dua puluh perseratus dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 3. Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan nasional, sesuai amanat Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 dibentuk UU Sisdiknas sebagai landasan yuridis untuk pembaharuan sistem pendidikan nasional guna menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK yang begitu cepat, juga dengan menjunjung tinggi nilai-nilai 240 agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. 4. Pendidikan nasional memiliki misi di antaranya adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dengan memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas diantaranya meliputi: penyediaan sarana belajar yang mendidik; pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; pelaksanaan otonomi pendidikan; pemberdayaan peran masyarakat; pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional; dengan strategi yang baik dapat mempermudah dalam merealisasikan visi dan misi dan tujuan pendidikan nasional, sehingga dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelengaraan pendidikan nasional. 6. Pasal 31 ayat 2 dan ayat 4 UUD 1945 secara eksplisit hanya mengamanatkan dua hal, pertama, kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar dan k edua, kewajiban negara untuk menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20 dua puluh perseratus dari APBN dan APBD. Oleh karena itu dari perspektif keuangan negara segala pendanaan pendidikan tidak mungkin dibebankan sepenuhnya kepada Pemerintah dan perlu melibatkan peran serta masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, sumber pendanaan pendidikan nasional secara jelas dapat dilihat dalam 241 Penjelasan Pasal 46 ayat 1 UU Sisdiknas yang berbunyi, ” Sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah meliputi APBN dan APBD, dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sari;” 7. Terkait dengan pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dimaksud, telah diatur dalam Pasal 54 ayat 2 Undang- Undang a quo berbunyi, ”masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.” 8. Bahwa kalau pun dalam UU Sisdiknas melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, namun berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat 1 dan Penjelasannya, serta Pasal 54 ayat 2 Undang-Undang a quo sudah jelas bahwa pendanaan pendidikan dari masyarakat yang concern dalam dunia pendidikan sifatnya peran serta, bukan bersifat imperatifmemaksa. 9. Dalam risalah pembahasan RUU tentang Sisdiknas dikemukakan, bahwa masyarakat ikut serta menanggung biaya pendidikan memiliki arti bahwa pada dasarnya hal tersebut merupakan keinginan yang wajar jika semua biaya pendidikan ditanggung oleh Pemerintah. Akan tetapi keikutsertaankewajiban masyarakat dalam pendanaan dimaksudkan disini adalah bahwa meskipun tidak secara langsung dari masyarakat akan tetapi dapat diasumsikan keikutsertaan pembiayaan tersebut berasal dari pajak-pajak yang harus dan wajib dibayarkan oleh masyarakat yang salah satu kegunaannya adalah untuk memenuhi biaya pendidikan yang disalurkan melalui Pemerintah. 10. Dalam risalah juga berkembang pendapat bahwa masyarakat dicantumkan dalam RUU tentang Sisdiknas karena pada dasarnya untuk menjamin keberhasilan penyelenggaraan pendidikan antara lain dengan, menjaga aturan normanya dan menanggung biaya pendidikan, wajib belajar 9 tahun memang ditanggung oleh Pemerintah. Namun masyarakat harus pula dicantumkan dalam Undang-Undang karena uang yang berada di Pemerintah juga merupakan uang yang berasal 242 dari rakyatmasyarakat, jadi karena masyarakat dianggap ikut memikul biaya maka masyarakat ikut dicantumkan dalam Undang-Undang. 11. Ketentuan Pasal 6 ayat 2 yang mengatur pembebanan tanggung jawab pada setiap warga negara terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, dan Pasal 7 ayat 2 yang mengatur kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dasar pada anak, serta Pasal 9, Pasal 11 ayat 2, dan Pasal 12 ayat 1 huruf c UU Sisdiknas, secara esensial dimaksudkan agar warga negara orang tua memberikan kesempatan kepada anak usia wajib belajar sehingga anak tersebut dapat mengenyam pendidikan. Hal ini penting mengingat masih terdapat sebagian masyarakat yang kurang atau tidak memberikan kesempatan kepada anak usia wajib belajar untuk mengikuti pendidikan, dengan alasan tertentu, misalnya bekerja membantu orang tua dalam memenuhi kehidupan keluarga, padahal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memberikan perlindungan atau hak bagi anak untuk memperoleh pendidikan. 12. Terkait dengan dalil para Pemohon bahwa Pasal 6 ayat 1 UU Sisdiknas bersifat diskriminatif sehingga dianggap bertentangan dengan Pasal 28B ayat 2 UUD 1945, DPR berpendapat bahwa hal tersebut tidak benar. Pasal 6 ayat 1 UU Sisdiknas sesungguhnya mengatur batas maksimum yang mewajibkan warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar, tidak dapat dikatagorikan sebagai ketentuan yang diskriminatif, karena ketentuan ini berlaku bagi semua warga negara. Pada pinsipnya batas usia tersebut dimaksudkan sebagai acuan bagi warga negara yang memiliki anak usia wajib belajar diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dasar. Hal tersebut tidak berarti bahwa anak yang telah melebihi usia wajib belajar menjadi tidak berhak untuk mengikuti pendidikan dasar karena tidak satupun ketentuan dalam UU Sisdiknas yang melarang hal tersebut. Dengan demikian Pasal 6 ayat 1 UU Sisdiknas tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat 2 UUD 1945. 243 13. Dalam risalah pembahasan RUU Sisdiknas, dikemukakan bahwa diambilnya batasan umur peserta didik minimal 7 tahun adalah karena pada usia 7 tahun seorang anak sudah dianggap memiliki hak, namun hal ini tidak membatasi anak yang umur 7 tahun belum masuk sekolah, maka 10 tahun bisa saja baru masuk sekolah sampai dengan batas umur 15 tahun diberikan kesempatan untuk mengikuti pembelajaran dan hal ini pun karena dikaitkan dengan wajib belajar 9 tahun maka yang diwajibkan adalah usia 7 sampai dengan 15 tahun. 14. Dalam risalah pembahasan RUU Sisdiknas mengenai pembatasan usia tersebut karena bertitik tolak pada prinsip mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga pada usia 7 tahun sudah dianggap sebagai usia masuk sekolah, karena jika tidak ada kewajiban dari seorang peserta didik untuk mengikuti pendidikan, maka apa yang diharapkan tersebut tidak akan tercapai dan dalam hal ini Pemerintahpun memiliki kewajiban untuk mempersiapkan segala sesuatunya, sehingga ketika anak usia 7 tahun sudah bisa masuk sekolah, kemudian jika fasilitas telah terpenuhi tetapi tidak juga masuk sekolah, bukan anak yang dihukum tetapi orang tua yang harus bertanggung jawab, karena fasilitas sudah ada, peraturan sudah ada, tetapi anak tidak disekolahkan, mungkin hal tersebut merupakan kelalaian dari orang tuanya. 15. Berdasarkan pandangan tersebut diatas DPR berpendapat Pasal 6 ayat 2, Pasal 7 ayat 2, Pasal 9, Pasal 11 ayat 2, Pasal 12 ayat 1 huruf c, huruf d, dan ayat 2 huruf b, Pasal 24 ayat 3, Pasal 46 ayat 1 dan Penjelasan, Pasal 47 ayat 2, Pasal 53, ayat 1, Pasal 56 ayat 2 dan ayat 3 UU Sisdiknas tidak bertentangan dengan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, dan Pasal 28B ayat 2, Pasal 28I ayat 2 serta Pasal 31 UUD 1945.

III. Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.