Risalah Pembahasan RUU Sisdiknas Terkait Pasal 53 UU Sisdiknas.

264 lembaga atau sebagai individu dan kelompok tidak terjamin, justru akan menjadi ancaman bagi berkembangnya idealism pendidikan. Dalam hal seperti inilah badan hukum pendidikan diperlukan dan eksistensinya dimasukan dalam UU Sisdiknas, yang lebih lanjut diatur secara tersendiri dalam UU BHP. Pasal 47 UU Sisdiknas mengatur secara jelas mengenai sumber pendanaan pendidikan, yaitu Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada. Bahkan menurut Pasal 12 ayat 2 huruf b UU Sisdiknas, setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 46 ayat 1 UU Sisdiknas menjelaskan mengenai sumber pendanaan pendidikan dari Pemerintah meliputi APBN dan APBD, dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang tentang Wakaf juga sudah terbentuk, sehingga kedua undang-undang itu hendaknya menjadi perhatian dan rujukan dalam RUU BHP.

D. Risalah Pembahasan RUU Sisdiknas Terkait Pasal 53 UU Sisdiknas.

Dalam risalah pembahasan RUU Sisdiknas terlihat adanya keinginan dari Pembentuk Undang-Undang untuk memberikan status hukum yang jelas dari penyelenggara pendidikan, sehingga jelas subjek hukumnya guna menghindari persoalan-persoalan yang muncul sebagai akibat ketidak jelasan status hukum penyelenggara pendidikan. Pada awalnya Pemerintah mengusulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi dilakukan oleh Pemerintah, perkumpulan atau badan hukum sedangkan DPR menyatakan pengelolaan pendidikan tinggi diselenggarakan oleh badan hukum pendidikan, yang mempunyai kekhasan tersendiri. Menurut DPR bentuk perkumpulan sebagai penyelenggara pendidikan tidak jelas siapa subjek hukumnya dan hal tersebut akan menimbulkan 265 persoalan yuridis. sedangkan kalau berbentuk badan hukum tanpa menyebut secara spesifik jenisnya, maka penyelenggara pendidikan bisa jadi berbentuk yayasan, perseroan terbatas, atau bahkan koperasi, yang mempunyai konstruksi hukum masing-masing dalam statusnya sebagai badan hukum yang dalam praktiknya sering timbul persoalan seperti yang terjadi di sebuah Universitas di Sumatra Utara, Universitas Trisakti, Universitas Taruma Negara, Universitas Pancasila dan sebagainya. DPR mengusulkan badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan merupakan suatu badan hukum yang mempunyai kekhasan tersendiri yang berbeda dengan yayasan, perseroan terbatas, atau koperasi, yang disebut dengan Badan Hukum Pendidikan. Bentuk badan hukum pendidikan yang mempunyai kekhasan tersendiri tersebut bertujuan untuk memberikan landasan yuridis yang kuat bagi penyelenggara pendidikan, membentuk lembaga pendidikan tinggi yang mandiri otonom, berwibawa, kredibel, dan akuntabel. Perdebatan DPR dan Pemerintah dapat terlihat dalam risalah Rapat Panja Ke-13 tanggal 24 Maret 2003 sebagai berikut: PEMERINTAH Prof. Suyanto, ”Jadi satuan Pendidikan tinggi diselenggarakan oleh Pemerintah, perkumpulan, atau badan hukum dengan penjelasan penyelenggaraan pendidikan oleh Pemerintah bentuknya adalah Badan Hukum Milik Negara BHMN” F.PPP Lukman Hakim Saifuddin, ” Karena di situ ada kata perkumpulan, perkumpulan itu tidak jelas subjek hukumnya itu siapa, sehingga sebaiknya memang harus berbadan hukum, jangan seperti kasus Trisakti yang sekarang sulit dan tidak jelas .” Ketua Rapat: Ir. Heri Akhmadi, ”DPR melihat ke depan, jadi dengan adanya UU Yayasan juga menimbulkan berbagai persoalan di daerah, karena itu DPR mengambil Iangkah bahwa untuk menyelesaikan itu kita bentuk suatu badan hukum pendidikan, jadi ini memamg Iangkah antisipasi ke depan.”

F. Reformasi : Prof. DR. Ir. Muhammadi, ”Pada waktu ini memang ada tiga