Ahli Prof. Dr. J.E. Sahetapy,S.H.,M.A.

206 ”Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.” Kalau saran tersebut diperhatikan mungkin Mahkamah Konstitusi tidak perlu melakukan sidang untuk memutuskan perkara peninjauan terhadap UU BHP.

7. Ahli Prof. Dr. J.E. Sahetapy,S.H.,M.A.

Ahli menyampaikan pendapatnya dari perspektif viktimologi, bertalian dengan UU BHP yaitu: 1. Bahwa sebagaimana sudah dijelaskan oleh ahli beberapa kali, baik secara umum maupun secara khusus, pada berbagai kesempatan bertalian dengan produk Undang-Undang dari badan legislatif maka ungkapan yang paling tepat yang kebetulan dalam bahasa Belanda, yaitu produk Undang-Undang c.q. UU BHP adalah suatu ”legislatieve misbaksel” . Artinya, membikin telor mata sapi ternyata jadi telor dadar. Untung kata subkultur dominan di Indonesia, masih jadi telor dadar. Bagaimana kalau tidak. Badan pembentuk Undang-Undang dengan gorengannya di Senayan, seperti ungkapan Belanda yaitu ”een vos verlies wel zijn haren maar niet zijn streken” . Artinya seekor serigala bisa kehilangan bulunya, tetapi perilakunya yang buruk tidak. Ahli belum tahu DPR yang baru ini, tetapi kalau menyimak berita-berita mass media, yaitu akan ”sami mawon” . Sekali lagi, kata subkultur dominan, untung masih ada Mahkamah Konstitusi untuk mengoreksi yang salahbusuk. 2. Bahwa kalau menyimak UU BHP, ahli teringat waktu di SD berbahasa Belanda di masa kolonial, yaitu Particulere Saparuasche School , nun jauh di Timur di pulau Ambon. Di pulau Saparua inilah ketika ibu saya menyelenggarakan sekolah rakyat di zaman kolonial Belanda. Pada waktu itu tidak ada yang berani membuka sekolah swasta nasional. Itulah sebabnya UU BHP adalah ” sami mawon ” dengan ” wilde sholen ordonantie ”, yang bermakna melumpuhkanmematikan sekolah-sekolah swasta nasionalis. Ibarat cicak versus buaya dewasa ini, di mana sang buaya adalah reptil jahat lagi rakus, pemakan bangkai apa saja dan hidup di air kotorrawa-rawa. Berbeda dengan cicak yang terdapat di gubuk orang-orang miskin maupun di istana. Ia makan nyamuk yang mengkorup darah manusia. Tidak ada air mata cicak; air mata buaya memang ada; 207 3. Bahwa sejak mulai memberi kuliah di tahun 1959, jadi di tahun 1950 silam, PDK alias Depdikbud selalu tidak bermakna dalam masyarakat, apalagi masyarakat di akar rumput. Menteri-menterinya ”sami mawon” kecuali Daud Yusuf yang memiliki visioner dan misi yang terarah, bukan yang serba ” accounting ”. Tidaklah mengherankan kalau produk- produknya juga amburadul dan serba koruptif. Simak kasus guru-guru menangis di Medan beberapa waktu lalu. Melihat fenomena yang tidak sehat ini ahli mengumpulkan beberapa kawan di Jakarta, kata orang Belanda, ”vogels van diverse pluimage” alias burung-burung berwarna- warni dan kemudian membidani Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia. Apa sih sumbangan dan bimbingan Pemerintah selama ini khusus untuk rakyat jelata? Bukankah pihak swasta yang beragam ini juga terus ikut mendidik anak-anak bangsa ini. Dengan segala keterbatasan mereka, mereka telah membanting tulang dengan bahu-membahu bekerja sama. Kini Pemerintah seperti Brutus atau Yudas Iskariot ibarat Dr.Jeckyll and Mr. Hyde ingin berfungsi sebagai juru selamat. Tentu ada buah apel yang mungkin busuk, tetapi apa tidak ada apel yang busuk di keranjang penguasa? Sebagai anak muda, 46 tahun lalu di Surabaya ahli ikut mendirikan UK Petra dengan jumlah beberapa puluh mahasiswa. Anggota-anggota yayasan mengabdi alias tidak dapat gajihonorarium, kecuali uang rapat yang tidak berarti. Kini mahasiswanya menginjak lebih kurang 10.000 dengan beasiswa untuk yang tidak mampu 2 miliar rupiah. Apakah lalu mau diimpotenkan atau di ”anshuls” dengan UU BHP ini. Lalu dimanakah ”raison d’ ê tre” -nya berdasarkan konstitusi UUD 1945 bagi peranan pendidikan swasta. Bahwa ada rektor nakal yang kup yayasan di Jakarta dan ada yayasna di daerah yang ”senin-kemis”, itu tidak boleh jadi alasan pemaaf atau pembenar untuk menggeneralisasi. Bukankah Pemerintah juga ”sami mawon” bahkan dalam beberapa hal lebih buruk, sehingga kesan korupsi membudaya dengan kasus BLBI, konglomerat hitam dan abu-abu, berselingkuh di Senayan di mana dunia penegak hukum sudah amburadul dan dunia pendidikan nampak ikut terkontaminasi. 208 4. Pasal-pasal dalam UUD 1945 menjamin hak hidup dan berkembang bagi dunia pendidikan swasta. Ahli ingin kutip tetapi rasanya ”overbodig” sebab sudah dibahas oleh para penasihat hukum dengan bulat dan tuntas. Aktor-aktor intelektualis di belakang UU BHP ini semoga ”diampuni” mental rekayasa mereka oleh Sang Pencipta, ”ondanks” perbuatan mereka menyulitkan begitu banyak usaha yang kini sedang berkembang. Apa memang ada niat mens rea untuk menjadikan pendidikan swasta semacam ”surogat” BUMN-BUMN yang kemudian harus dijual kepada swasta-swasta asing di negeri jiran. Pasal 28A UUD 1945 menjamin ”raison d’ ê tre” pendidikanperguruan tinggi swasta. Idem ditto dengan Pasal 28C UUD 1945. dan sebelum saya teruskan, interpretasi, bukan ”uitleg” sebab ”uitleg” membutuhkan ”intleg” dan itu sering dilakukan oleh petugas-petugas Pemerintah selagi bertugas, sebab setelah selesai mereka berkicau lain lagi. Pasal-pasal UUD 1945 harus melalui ”creative interpretatie” atau ”anticiperende interpretatie” mengingat perkembangan globalisasi yang begitu cepat dimana hampir tidak dikenal batas-batas negara. Seperti kata mezger ”die verbindung von gestereen zu Heute herzustellen.” Secara ”mutatis mutandis” juga Pasal 28D ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 dan Pasal 28E ayat 3 UUD 1945. Ahli kuatir para aktor intelektualis melakukan ”fallacy” danatau ”sophisme” terhadap UU BHP. 5. Kesimpulan UU BHP: a. memperkosa secara terselubung Pancasila menjadi pencaksilat yang menjamin eksistensi dan ”raison d’ ê tre” -nya plaralismedunia pendidikan tinggi swasta; b. tendensi menyeragamkan adalah fenomena Orde Baru yang akan mematikan gagasan dan inisiatif dinamika masyarakat di akar rumput; c. Orde Reformasi yang ingin menghidupkan kembali nafas kebebasan hak asasi manusia, hendak menjadikan UU BHP sebagai alat deformasi untuk mematikan kembang-kembang harum yang beraneka ragam di dunia pendidikan menjadi semacam bunga bangkai melalui BHP. d. Yayasan-yayasan pendidikan yang selama bertahun-tahun ini membanting tulang menyelenggarakan pendidikan untuk pelbagai 209 kelompok masyarakat di akar rumput, kini dengan dalil dan argumentasi yang tidak jelas, hendak memaksa dipakainya baju yang ”all size” sehingga inisiatif-inisiatif yang luhur dan mulia bukan saja hendak dilumpuhkan tetapi juga hendak dimatikan secara bertahap dan terselubung. e. Menurut Herman Bianchi 1985 ”je kunt slecht niet goed maken door het zogenaamd te humaniseren” . Hukum yang buruk c.q. UU BHP tidak dapat diperbaiki dengan mendandaninya dengan hak asasi manusia, hanya ada satu solusi, dibuang dalam keranjang sampah.

8. Ahli Harry Tjan Silalahi,S.H.