253 mungkin satu rupiah, dua rupiah sesuai dengan kemampuannya. Ini adalah
keadilan proporsional, jadi tidak benar kalau akses orang miskin untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya tertutup oleh BHP ini. Yang
ditanggung oleh pemerintah sekurang-kurangnya, jadi boleh lebih banyak. Jadi boleh pemerintah menanggung seluruhnya, itu tadi pertanyaan kalau anggaran
pendidikan sudah melebihi 20 dua puluh perseratus dari APBN boleh Pemerintah membebaskan semua anak-anak untuk sekolah dari pendidikan
dasar sampai perguruan tinggi. Bahwa Pasal 46 UU BHP semangatnya adalah Pemerintah dan
pemerintah daerah serta BHP menyediakan beasiswa sekurang-kurangnya 20 dua puluh perseratus wajib kepada mahasiswa yang miskin tetapi prestasi
akademiknya baik. Tetapi mungkin saja beasiswa ini tersedia tetapi anak yang mau diberi beasiswa itu tidak ada di sekolah itu, maka masuklah di Pasal 46 ayat
1 itu, badan hukum pendidikan wajib menjaring...”,
seperti model yang dilakukan oleh IPB dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki
potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, paling sedikit 20 dua puluh perseratus dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. Bagi
siswa yang cerdas juga dapat mendapatkan beasiswa dan hal ini sudah diatur dalam UU Sisdiknas.
Bahwa di samping itu, DPR juga menyerahkan tambahan keterangan tertulis, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9 September
2009, yang pada pokoknya sebagai berkut:
A. LATAR BELAKANG. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional UU Sisdiknas. Tinjauan Filosofis
Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal
itu dengan tegas disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut, negara memberikan hak konstitusional kepada setiap warga negara
untuk memperoleh pendidikan, dan sebaliknya setiap warga negara juga diberikan kewajiban konstitusional mengikuti pendidikan dasar dan terhadap
hal itu negara bertanggung jawab menanggung pembiayaan. Dari sisi
254 kebijakan, ini menjadi satu unsur dalam sistem pendidikan nasional. Dalam
rangka mewujudkan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945,
Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 memerintahkan negara memprioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangya
20 dua puluh persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Penyebutan prosentase anggaran dalam konstitusi untuk pendidikan mengandung nilai filosofis, pertama berkaitan dengan kecerdasan dan kedua
berkenaan dengan kemakmuran dan kesejahteraan yang tentu saja juga didasari oleh nilai Pancasila. Gerakan reformasi di Indonesia secara sosiologis
dan politik ikut mempengaruhi penentuan kebijakan prosentase anggaran pendidikan dalam UUD 1945. Gerakan reformasi juga menuntut diterapkannya
prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Implementasi atas prinsip ini akan
berimplikasi terhadap pendidikan nasional, Iebih lanjut perlu dilakukan suatu reformasi pendidikan yang meliputi pembaharuan kurikulum, penyusunan
standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip- prinsip pemerataan dan keadilan, pelaksanaan manajemen pendidikan
berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi, penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multi makna, penghapusan diskriminasi antara
pendidikan yang dikelola Pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan
umum. Untuk mewujudkan tuntutan seperti itu, pendidikan nasional harus diarahkan melalui visi yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu
dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Tinjauan Sosiologis.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat mendorong munculnya gagasan dan ide baru dalam segala aspek kehidupan,
termasuk dalam bidang pendidikan. Sistem pendidikan nasional dituntut untuk memberikan jaminan pemerataan kesempatan pendidikan bagi seluruh
lapisan masyarakat dibarengi dengan peningkatan mutu dan manajemen
255 pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
sosial masyarakat secara nasional di era globalisasi dan demokratisasi. Untuk menjawab tantangan itu, perlu dilakukan pembaharuan atau reformasi
pendidikan nasional secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Pengelompokan satuan pendidikan menurut sistem pengelolaan antara
Pemerintah dan masyarakat swasta, serta pendidikan keagamaan dan pendidikan umum menimbulkan perbedaan dalam penyelenggaraan
pendidikan. Kondisi ini memungkinkan memunculkan diskriminasi karena adanya pembedaan status sosial dan ekonomi dalam pengelolaan pendidikan
oleh Pemerintah dengan masyarakat swasta, antara satuan pendidikan keagamaan dengan pendidikan umum. Dari perspektif sejarah pendidikan
sesungguhnya ” gap
atau kesenjangan” dalam pengelolaan pendidikan harus dihindari. Apresiasi terhadap masyarakat dalam penyelenggaran pendidikan
hendaknya diperhatikan dari konteks historis yaitu pendidikan tidak mungkin dapat dilepaskan dari peran masyarakat. Tokoh sejarah pendidikan
memperlihatkan bahwa dia bukan semata-mata lahir atau dilahirkan oleh suatu pemerintahan, melainkan muncul dari semangat dan gerakan sosial.
Semangat reformasi pendidikan melalui UU Sisdiknas merupakan kebijakan yang secara substansial berkehendak melakukan pembaruan dengan
meletakkan sistem pendidikan secara tepat dan menghapus berbagai perbedaan yang memungkinkan memunculkan diskriminasi, mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tetap memberikan peran kepada
masyarakat untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berkaitan
dengan prinsip demokratisasi dan pembaharuan sistem pendidikan nasional tentu harus menghapus dominasi Pemerintah, desentralisasi sebagian urusan
perlu dilakukan kepada pemerintah daerah. Di samping itu peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip kebersamaan dan
tanggung jawab sebagai warga negara dalam bingkai NKRI menjadi komponen yang harus dihargai dan bahkan perlu diperkuat. Dengan demikian
pembaharuan pendidikan nasional diarahkan agar mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan pendidikan masyarakat secara mudah dan tidak
terbebani dengan biaya pendidikan yang mahal.
256
Tinjauan Yuridis
UU Sisdiknas dibentuk sebelum dilakukannya Perubahan UUD 1945, sehingga Undang-Undang ini masih bersifat sentralistis, tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip yang dianut dalam Perubahan UUD 1945 yaitu, prinsip demokratisasi, desentralisasi, dan perlindungan HAM. Oleh karena itu perlu
dilakukan penyesuaian terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dengan Perubahan UUD 1945 yang memberikan penguatan pada prinsip
demokratisasi, desentralisasi dan perlindungan atas HAM. Selain itu pembaharuan pendidikan nasional dengan mengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1989 perlu disesuaikan dengan Pasal 18 Perubahan UUD 1945 dan pelaksanaan otonomi daerah yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah
sehingga tidak bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945 dan horizontal dengan Undang-Undang yang terkait.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan UU BHP
Tinjauan Filosofis
Tinjauan filosofis pada UU Sisdiknas tersebut juga menjadi landasan filosofis dalam pembentukan UU BHP. Semangat reformasi di bidang
pendidikan yang terkandung dalam Pasal 31 UUD 1945 telah diatur dalam UU Sisdiknas. Dalam UU Sidiknas menetapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan
pendidikan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dan pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu Iayanan pendidikan. Berdasarkan prinsip tersebut, UU Sisdiknas
mengamanatkan perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolahmadrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta
otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Untuk mewujudkan amanat tersebut, Pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara danatau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan
257 kepada peserta didik yang bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana secara
mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Pengaturan badan hukum pendidikan merupakan implementasi
tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan
sehingga memberatkan masyarakat danatau peserta didik. Walaupun demikian, masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan,
pengendalian mutu, dan penyiapan dana pendidikan.
Tinjauan Sosiologis
Pasal 53 UU Sisdiknas didisain untuk mengakomodasi adanya format baru pengelolaan pendidikan tinggi, yang diperkenalkan oleh Pemerintah
tahun 1998 pada era reformasi yang disebut dengan Badan Hukum Milik Negara BHMN. Status BHMN itu pada awalnya diberikan kepada empat
perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Indonesia UI, Universitas Gajah Mada UGM, Institut Teknologi Bandung ITB, dan Institut Pertanian Bogor
IPB. Keberanian Pemerintah untuk melepaskan sejumlah kewenangannya, dengan memberi otonomi kepada empat perguruan tinggi itu, menimbulkan
protes organisasi mahasiswa yang dikenal dengan BEM Badan Eksekutif Mahasiswa dari keempat perguruan tinggi berstatus BHMN itu, melakukan
kritik dan protes keras, karena dianggap status BHMN itu merupakan upaya Pemerintah melepaskan diri dari tanggung jawab pendanaan. Hak ini
menjadikan perguruan tinggi menjadi komersial. Bahkan BHMN dituduh oleh mahasiswa sebagai upaya privatisasi, kapitalisasi, dan liberalisasi pendidikan,
terutama di perguruan tinggi. Hal tersebut ada benarnya, karena sejak adanya perguruan tinggi yang
berstatus BHMN PTN-BHMN, uang sekolah mahasiswa memang mengalami kenaikan signifikan. Realitas ini menunjukkan bahwa pemerintah memberi
kesempatan kepada PTN BHMN untuk mencari dan mengelola dana sendiri. Hal ini diwujudkan oleh PTN-BHMN dengan menaikan uang sekolah
mahasiswa dengan berbagai cara, seperti membuka ”jalur khusus” atau kelas mandiri non subsidi bagi mahasiswa. Kondisi ini kemudian diikuti oleh
perguruan tinggi non BHMN.
258 Protes dan kritik mahasiswa tersebut mempengaruhi substansi Pasal
53 UU Sisdiknas dengan memasukan kata nirlaba, untuk membendung
liberalisasi pendidikan serta komersialisasi dan kapitalisasi dalam pengelolaan pendidikan formal. Atas dasar hal tersebut, justru pembentukan badan hukum
pendidikan yang diatur dalam UU BHP dimaksudkan sebagai solusi untuk memagari agar pengelolaan pendidikan formal tidak membebani dan menutup
akses masyarakat dalam memperoleh pendidikan. UU BHP harus mengatur agar pendidikan sebagai tanggung jawab negara yang terbuka bagi partisipasi
masyarakat sesuai kemampuannya dengan menggunakan prinsip keadilan proporsional dinamis, serta menggabungkan prinsip otonomi kampus,
pelayanan prima kepada peserta didik, transparansi, akuntabilitas dan nirlaba dalam pengelolaan dana pendidikan.
Sejalan dengan semangat UU Sisdiknas yang mendorong dihapusnya diskriminasi dan dikotomi antara satuan pendidikan formal yang
diselenggarakan oleh
Pemerintah dan
satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh masyarakat swasta, maka digagas tentang badan
hukum pendidikan. Selain itu masuknya substansi badan hukum pendidikan dalam UU Sisdiknas mendapat dukungan dari kalangan perguruan tinggi
swasta. Satuan pendidikan tinggi swasta atau yang diselenggarkan oleh masyarakat itu mengalami kesulitan, jika ada bantuan atau kerja sama dengan
pihak Iuar negeri, terutama dalam era globalisasi saat ini. Hal ini disebabkan nama badan hukum yayasan yang memayunginya tidak sama dengan
perguruan tingginya. Demikian juga nama penanggung jawab yayasan sebagai penyelenggara berbeda dengan nama penanggung jawab perguruan
tinggi yang dinaunginya. Hal lain yang juga penting adalah masalah aset atau harta kekayaan
yang digunakan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat, selalu diakui sebagai milik penyelenggara yayasan, perseroan, koperasi,
perkumpulan. Selain itu terkadang pendiri ”yayasan, perseroan, koperasi, perkumpulan” mengakui harta kekayaan tersebut sebagai milik pribadi,
padahal harta kekayaan itu bersumber dari bantuan Pemerintah dan masyarakat serta sumbangan atau pembayaran dari peserta didik. Hal ini
dapat menimbulkan konflik antara penyelenggara dengan pimpinan satuan pendidikan, yang justru dapat merugikan institusi pendidikan, proses belajar
259 mengajar dan menurunnya pelayanan kepada peserta didik. Hal lain yang
menjadi persoalan ialah karena yayasan selaku badan hukum menurut Pasal 1 angka 1 UU Yayasan memang bergerak dalam bidang sosial, keagamaan
dan kemanusiaan. Bahkan yayasan juga dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan yayasan dengan cara
mendirikan badan usaha danatau ikut serta dalam badan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 UU Yayasan.
Sejumlah kalangan perguruan tinggi swasta juga berpendapat bahwa satu-satunya jalan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kualitas lulusan
untuk dapat bersaing dalam era globalisasi, adalah pemberian otonomi kepada perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya sesuai dengan
idealisme pendidikan dengan menerapkan manajemen rasional, profesional, transparan dan akuntabel. Oleh karena itu perguruan tinggi non pemerintah
hendaknya juga memiliki badan hukum pendidikan, tanpa meninggalkan peranan para pendiri atau penyelenggara yayasan, koperasi, perkumpulan.
Berdasarkan hal tersebut, maka DPR bersama Pemerintah menetapkan bahwa penyelenggara danatau satuan pendidikan formal harus berbentuk
badan hukum pendidikan ditulis dengan huruf kecil,
yang ditetapkan dengan undang-undang. Penulisan badan hukum pendidikan ini
dengan huruf kecil bertujuan agar ada keleluasaan bagi pembentuk undang-undang DPR dan
Pemerintah, mencari formula atau nama yang tepat bagi badan hukum pendidikan. Badan hukum berbentuk yayasan, atau perseroan terbatas, atau
koperasi, atau perkumpulan yang selama ini digunakan oleh penyelenggara pendidikan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini,
yang harus menjawab tuntutan perlunya otonomi pengelolaan satuan pendidikan tinggi dan penerapan manajemen berbasis sekolahmadrasah
serta adanya tantangan globalisasi. Hal tersebut merupakan bentuk reformasi dalam pengelolaan satuan
pendidikan tinggi yang menjadi pemikiran pembentuk UU Sisdiknas waktu yang lalu, dengan tetap memperhatikan kepentingan, latar belakang sejarah,
budaya, sosiologis, dan psikologis setiap penyelenggara danatau satuan pendidikan yang sudah lama eksis, untuk memberikan pelayanan yang prima
kepada peserta didik dalam rangka memenuhi tuntutan perubahan dan amanh reformasi.
260
Tinjauan Yuridis
Salah satu latar belakang lahirnya gagasan dan desakan perlunya badan hukum pendidikan itu diatur dalam UU Sisdiknas serta badan hukum itu
diatur tersendiri dengan Undang-Undang, diawali dari masalah yang dihadapi sejumlah perguruan tinggi negeri yang berstatus BHMN, yang lahir hanya
berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum. Hal ini menyebabkan
kehadiran BHMN dianggap tidak memiliki payung hukum yang kuat, karena tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Oleh karena itu Departemen Keuangan kesulitan mengakui status BHMN, sehingga perguruan tinggi negeri yang berstatus
BHMN tersebut mengalami kesulitan dalam pengelolaan keuangan secara mandiri seperti SPP Sumbangan Pembinaan Pendidikan dari mahasiswa
dan sumber dana lainnya dari masyarakat. Meskipun BHMN itu merupakan sebuah upaya demokratisasi
pengelolaan pendidikan tinggi yang dikenal dengan otonomi kampus, namun dipandang landasan hukumnya sangat lemah dan bahkan ada substansi yang
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP. Oleh karena itu gagasan
pembentukan Badan Hukum Pendidikan dipandang perlu diatur dengan Undang-Undang sebagai payung hukum bagi penyelenggara danatau satuan
pendidikan formal. Hal ini semakin dipandang relevan dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang hanya
bertujuan kemanusiaan, sosial dan keagamaan.
,
Meskipun UU Yayasan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, namun tidak
menyentuh sama sekali kaitan yayasan dengan pengelolaan pendidikan.
B. Fungsi Pelayanan Pendidikan