Sejarah Etnis Tionghoa di Lingkungan VII dan VIII Kelurahan Kota Bangun

tetap memiliki kesamaan dengan etnis lainnya. Maka tidak perlu heran jika di Kelurahan Kota Bangun ini terlihat jelas bagaimana harmonisasi, hormat menghormati antara etnis Tionghoa dengan etnis lainya berjalan dengan baik sampai sekarang ini. Namun ketika saya datang dan berkunjung di kediaman Bapak Billy 50 tahun, terlihat jelas bagaimana simbol-simbol etnis Tionghoa tersebut tidak lepas dari sisi rumahnya sebagai tempat pemujaan mereka terhadap dewa dewinya. Pertanyaan muncul ketika saya mencoba mengidentifikasi etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun ini, dari mana sebenarnya asal mereka sehingga pertumbuhan mereka telah bertambah setiap tahunnya. Dan Sejak kapan mereka bermukim disini dan lain sebagainya hingga bagaimana mereka bisa bertahan sampai sekarang ini, hal tersebut akan terjawab di dalam sejarah kedatangan mereka seperti di bawah ini.

2.2. Sejarah Etnis Tionghoa di Lingkungan VII dan VIII Kelurahan Kota Bangun

Masyarakat etnis CinaTionghoa sebenarnya sudah ada di Indonesia ini sejak berabad-abad yang lalu. Mereka telah melebur menjadi ‘warga setempat’ yang memiliki kisah pasang surut sejarah panjang di Indonesia, meski tak selalu mulus. Sebab, adalah suatu fakta sejarah yang tak terbantah, bahwa warga etnis Cina adalah pendatang terlepas dari kenyataan bahwa kedatangannya terjadi berabad-abad yang lampau, sehingga keberadaannya bukan lagi hal yang baru. Fakta sejarah ini tak bisa dihapus dan harus diterima sebagai bagian dari integral kehidupan dan keberadaan masyarakat Cina di Indonesia. Leluhur masyarakat Tionghoa-Indonesia telah berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan yang berasal dari Cina 23 Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan arus lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan begitu juga sebaliknya. Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia, termasuk juga kedatangannya di Sumatera Utara yang nantinya akan menyebar keberbagai wilayah di Sumatera Utara termasuk di Kelurahan Kota Bangun. Dimulai pada masa kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman Kalimantan, atau tepatnya di Kabupaten Kutai, yang daerahnya kaya akan hasil tambang emas dari situlah mereka dibutuhkan sebagai pandai perhiasan emas. Karena kebutuhan akan emas semakin meningkat, maka didatangkan emas dari Cina daratan, disamping itu dan sejalan juga dengan itu ikut dalam kelompok tersebut para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan. Mereka telah bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan daerah sekitarnya. 5 Beberapa bukti peninggalan zaman dahulu yang menyebutkan tentang kedatangan etnis Tionghoa ada, baik di Indonesia maupun di negeri Cina. Pada prasasti-prasasti yang berasal dari Jawa menyebutkan bahwa masyarakat Cina adalah warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari berbagai Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa “To lo mo” dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Budha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta terlebih dahulu. Di Jawa ia berguru pada masyarakat bernama Jñânabhadra dalam suatu prasasti perunggu 5 Dikutip dari Ong Okh Ham, Tionghoa di Indonesia, Bambu asiek Kota Bangun 24 Universitas Sumatera Utara bertahun 860 dari Jawa Timur disebut sebagai suatu istilah Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus masyarakat-masyarakat Tionghoa yang tinggal di sana. Kedatangan etnis Tionghoa pada masa lampau tujuan utamanya adalah untuk berdagang. Mereka memasarkan dagangannya di Indonesia serta bermukim bertempat tinggal di Indonesia. Saat mereka bermukim itulah etnis Tionghoa lambat laun berbaur menjadi satu dengan warga pribumi. Dengan kata lain suatu proses pembauran pun terjadi. Untuk daerah Sumatera Utara kedatangan etnis Tionghoa tidak sekedar untuk berdagang, namun ada pula etnis Tionghoa yang bermukim dan membuka lahan ataupun bekerja sebagai buruh tani. Hal ini telah tergambar ketika pada masa pendudukan Kolonial Belanda yang dimana pada saat itu dibutuhkan banyak buruh perkebunan untuk mengerjakan kebun-kebun milik Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara ketika itu. Hal ini pun sesuai dengan kondisi etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun. Menurut penuturan yang diucapkan oleh Bapak Billy 50 tahun masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Kelurahan Kota Bangun, sudah ada di tempat ini sejak tahun 1917. Sejak saat itu etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun sudah bercocok tanam. Oleh karena keberhasilan usahanya dalam bercocok tanam, pemerintah Kolonial Belanda pada masa itu memberikan hak kepada etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun untuk memiliki sebidang tanah yang ditandai dengan sebuah surat LANDREFORM. Isi dari surat LANDREFROM ini adalah : penghargaan dalam usaha-usaha apa pun yang telah dilakoni oleh masyarakat-masyarakat di tanah jajahan. 25 Universitas Sumatera Utara Surat tersebut sah untuk mereka dengan berbagai kebebasan menanam apa saja dan bermukim, membangun rumah dan lain sebagainya. Pada saat itu petani Tionghoa ini memilih untuk menanam sayur mayur. Oleh karena itulah muncullah pada saat itu sebuah ungkapan Cina kebun sayur, yang mengidentifikasikan diri sebagai etnis CinaTionghoa yang melakukan usaha bercocok tanam sayur. Sampai sekarang keberadaan Cina kebun sayur di Kelurahan Kota Bangun ini terus bertahan dengan surat yang telah lama dikeluarkan oleh pemerintah Kolonial Belanda, yang memberikan mereka hak untuk mengelola areal selama dua puluh lima 25 tahun. Ketika menjelang habisnya perjanjian tersebut, Indonesia telah merdeka yang tetap terdapat di dalam surat perjanjian LANDREFORM. Dimana hak kepemilikan tanah akan menjadi hak etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun apabila telah mencapai dua puluh lima 25 tahun. Menurut penuturan Bapak Billy 50 tahun, seharusnya etnis Cina di Kelurahan Kota Bangun sudah merasa aman dengan hak kepemilikan tanah atas berakhirnya perjanjian LANDREFORM tersebut. Namun pemerintah Indonesia pada saat itu, tidak menanggapi hak-hak yang seharusnya mampu di akomodir dengan memberikan hak kepemilikan tanah kepada etnis Tionghoa yang telah dua puluh lima 25 tahun mengerjakan tanah ini. Sejak saat itu etnis Tionghoa kian masuk dalam ruang kehidupan mereka sendiri, termasuk usaha pertanian sayur mayur yang mereka buat sendiri. Begitu juga dengan etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun masuk dalam ruang kehidupan sosial mereka sendiri. Rasa ketakutan mereka terhadap komunis pada saat itu masih membuat trauma yang membekas, yang telah mengakibatkan mereka tidak berani untuk keluar. Termasuk juga menjual sayur mayur mereka ke 26 Universitas Sumatera Utara pasar-pasar umum. Alhasil mereka hanya menjual pada tempat-tempat yang menjadi basis etnis mereka. Bahasa hokkien yang biasa mereka gunakan, tidak begitu bebas mereka gunakan lagi akibat dari trauma itu. Etnis Tionghoa Kelurahan Kota Bangun yang bermukim di lingkungan VII dan VIII, banyak yang menghabiskan waktu sehari-hari mereka di warung-warung. Warung inilah yang menjadi pusat segala informasi tersebut, dengan tema pagi yang cerah, mereka selalu memulai obrolan pagi dengan duduk di warung-warung ini. Berteman kopi dan beberapa sarapan pagi, obrolan tidak pernah putus mereka bincangkan hingga menghabiskan waktu sampai matahari benar-benar berada di tengah sebagai tanda waktu siang hari. Dengan ketersediaan pusat informasi ini mereka mengolah segala bentuk informasi tersebut, termasuk membangun jaringan keluar dan lain sebagainya. Mereka hidup pada jaringan atau masyarakat-masyarakat yang itu-itu saja, atau masyarakat-masyarakat yang telah mereka percaya dari golongan mereka sendiri untuk membuat berbagai suatu bentuk kerja sama. Termasuk dalam hal pertanian sayur mayur yang mereka lakukan.

2.3. Keadaan Penduduk di Kelurahan Kota Bangun

Dokumen yang terkait

Partisipasi Petani dalam Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi non Hibrida

1 80 95

Sistem Pemasaran Sayur Mayur Di Kelurahan Tanah Enam Ratus, Kecamatan Medan Marelan Kota Medan

0 64 143

Sistem Agribisnis Usahatani Sayur Mayur di Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan

0 28 121

Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Sayur Mayur di Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan Kota Medan

1 39 115

Tingkat Adopsi Petani Sayur Mayur Terhadap Teknologi Budidaya Anjuran di Kelurahan Tanah Enam Ratus ( Studi Kasus : Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan Kota Medan )

0 29 95

Sikap Petani Terhadap Pedagang dan Harga Sayur Mayur di Kelurahan Tanah enam ratus kecamatan medan Marelan Kota Medan.

0 31 118

Tingkat Adopsi Petani Sayur Bayam Jepang Terhadap Teknologi Budidaya Anjuran Dan Hubungannya Dengan Sosial Ekonomi Petani (Studi Kasus Desa Rumah Berastagi Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo )

10 71 79

BAB II GAMBARAN UMUM ETNIS TIONGHOA DI LINGKUNGAN VII DAN VIII KELURAHAN KOTA BANGUN 2.1. Lokasi dan Keadaan Alam - Cina Kebun Sayur (Studi Mengenai Pengetahuan Petani dan Pengelolaan Tanaman Sayur Mayur di Kelurahan Kota Bangun, Kecamatan Medan Deli)

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Cina Kebun Sayur (Studi Mengenai Pengetahuan Petani dan Pengelolaan Tanaman Sayur Mayur di Kelurahan Kota Bangun, Kecamatan Medan Deli)

0 0 18

Cina Kebun Sayur (Studi Mengenai Pengetahuan Petani dan Pengelolaan Tanaman Sayur Mayur di Kelurahan Kota Bangun, Kecamatan Medan Deli)

0 0 14