orang yang dipercayai seperti pemuka agama dan kepala lingkungan. Tapi saya rasa apabila terjadi konflik antara sesama
etnis Cina, kepala lingkungan jarang turun,justru peran pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat yang lebih dominan.
4.6. Life History Keluarga Bapak A Quii Petani Cina Kebun Sayur
A Quii adalah salah seorang penduduk yang tinggal di komunitas Cina kebun sayur. Secara kasat mata akan terjadi kekeliruan apabila melihat A Quii. Ia
memiliki kulit sawo matang dan mata yang tidak terlalu sipit. Justru A Quii lebih Nampak seperti seorang jawa daripada seorang tionghoa. Namun identitas
tionghoa tidak dapat ia tinggalkan. Karena itulah suatu kebanggaan yang ia punya. A Quii adalah seorang petani Cina kebun sayur di lingkungan VII dan VIII
Kelurahan Kota Bangun. Ia banyak menghabiskan waktunya di pekarangan belakang rumahnya. Hal ini dikarenakan A Quii mengubah lahan belakang
rumahnya menjadi lahan kebun sayur. Bapak A Quii hidup dengan rumah yang dibangun dengan setengah batu
dan setengah papan. Rumah yang sederhana itu ia tinggali dengan seorang istri dan seorang anak. Rumah yang ia bangun dari sebidang tanah milik orang tuanya.
Tanah tersebut kini menjadi miliknya sebagai warisan yang diberikan oleh orang tuanya. Beliau memiliki dua orang anak dan satu orang istri. Istri yang ia nikahi
20 tahun lalu telah menemaninya dalam suka dan duka. A Quii sangat menyayangi istrinya begitu pula dengan dua orang anaknya. Ia menginginkan hal
yang terbaik pada dua orang anaknya. Untuk itu ia bekerja keras dari bertani dan bekerja di pabrik untuk menafkahi mereka. Menurut A Quii anak adalah sebuah
karunia, untuk itu ia berusaha menjaga karunia tersebut. 99
Universitas Sumatera Utara
Dalam usahanya menjaga karunia tersebut, A Quii memberi anak- anaknya sebuah nasihat, bahwa pendidikan adalah sesuatu yang penting. Ia tidak
menginginkan kedua anaknya mengikuti jejaknya. A Quii adalah seorang yang menamatkan jenjang pendidikan terakhirnya di SMP. Saat itu ia tidak melanjutkan
ke jenjang berikutnya karena persoalan keadaan. keadaan saat itu dimana diskriminasi terhadap etnis Cina menguat dan sulitnya mereka diterima dalam
ruang-ruang publik membuat ia mengambil pilihan yang rasional. Dan menjadi petani dengan menggarap lahan ayahnya adalah pilihan yang A Quii ambil.
Aku tamat smp, dulu aku gak lanjutin sekolah karena kondisinya gak aman. Semua lagi rusuh. Susah lagi nyari kerja makanya
aku milih lanjutin kerja bapakku jadi petani. Aku gak mau anakku ngikutin jejakku, sekarang kan dah aman, mereka harus
bisa sekolah dan kerja yang layak. A Quii tidak hanya menasehati. Ia pun berusaha agar anaknya
mendapatkan apa yang tidak ia dapatkan. Ia menyekolahkan anak pertamanya sampai tamat SMA. Saat ini anaknya telah bekerja dan merantau ke Jakarta.
Sedangkan anak keduanya masih dalam proses belajar. Ia masih sekolah di yayasan Sinar Husni di Helvetia.
Dalam kegiatan pertanian sayur A Quii bukan orang baru. Ia telah lama mengenal dengan baik seperti apa dunia bertani sayur. Ia telah mengenal jauh saat
ia pun masih anak-anak. Ayah nyalah yang telah mengenalkannya dunia ini padanya. Ayahnya saat itu memiliki lahan pertanian tiga ratus kali seratus meter.
A Quii banyak belajar dari ayahnya bagaimana bertani yang baik. Namun seiring perjalanan waktu, masa-masa sulit terjadi. Saat-saat yang
tidak ia dan keluarganya inginkan. Kami benar-benar mengalami kesusahan. Saat
100
Universitas Sumatera Utara
itu ayahnya telah rentan dan sakit-sakitan sementara kebutuhan banyak dan hasil pertanian tengah buruk.
Saya ingat waktu itu sekitar tahun 98, ayah tengah sakit keras sementara hasil pertanian juga sedang tidak bagus. Harga sangat
kacau, sayur-sayur yang kami hasilkan tidak berharga. Alhasil kami harus bertahan dengan menjual sebagian besar tanah yang
kami miliki. Belum lagi krisis yang mengakibatkan kami etnis Cina menjadi bulan-bulanan membuat kami benar-benar s usah.
Ditengah kesusahan tersebut A Quii masih terus bertahan. Hingga akhirnya beliau berhasil melewati masalah ini. Kini A Quii hanya
memiliki lahan tujuh kali lima meter. Lahan inilah yang ia garap untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Bapak A Quii bekerja menggarap lahan. Lahan pekarangan ia kerjakan untuk menghasilkan rezeki. Baginya setiap jengkal tanah yang ada memiliki nilai.
Tergantung bagaimana seorang itu mampu mengelolanya. Menurut A Quii tanah yang dibiarkan tumbuh liar akan semakin menambah kesan negatif dan
mengurangi pintu rezeki untuk datang. Oleh karena itu A Quii memanfaatkan pekarangannya untuk bertanam daripada harus ditumbuhi semak belukar. Lahan
dengan luas tujuh kali lima meter berisi sayur-sayur dengan berbeda jenis. A Quii tidak menentukan sayur apa yang harus ia tanam karena menurutnya tidak ada
ketentuan baku ataupun sistem kalender tentang apa yang harus ia tanam. Hal ini karena A Quii adalah petani sayur yang bekerja untuk subsisten dirinya dan
keluarganya. Sayur-sayur yang berbeda jenis itu menurut A Quii untuk mengantisipasi kebutuhan pajak. Jadi di kebun yang ia garap ia tanam berbagai
macam sayur. Seperti sawi, kekna dan bayam. Saat ini sayur-sayur itu yang sedang banyak dicari dan harganya lumyan bagus.
101
Universitas Sumatera Utara
Sayur-sayur itu dijual A Quii ke agen yang berdomisili di sekitar daerah Cina Kebun sayur. Ia biasa menjualnya pada A Guan 47 tahun, beliau adalah
teman A Quii dan mereka telah lama bermitra. Sayur-sayur tersebut dijual dengan harga yang sesuai pajak. Dan terkadang tidak sesuai dengan hasil yang
seharusnya. Namun A Quii tidak mengeluh dan terus mengusahakan pekerjaannya menanam sayur.
Saya dan A Guan udah lama berteman. Saya dan dia udah terbiasa kerjasama. Saya yang tanam dia yang jual. Kadang
memang gak sesuai harga pajak. Tapi ya sukuri saja. Bapak A Quii bukanlah petani Cina kebun sayur yang menggantungkan
seluruh hidupnya dengan berkebun. Ia masih memiliki pekerjaan lain yang ia anggap lebih menjanjikan. Yakni sebagai buruh tukang di perusahaan besi di jalan
Yos Sudarso. pekerjaan buruh tukang inilah yang membuat ia menjadi harapan hidupnya.
Namun kegiatan berkebun tidak ia tinggalkan begitu saja. A Quii tetap saja menggarap tanah dan menabur benih sayur di kebunnya. Hal ini ia lakukan
setiap kali ia tidak memiliki borongan pekerjaan. Untuk itu ia habiskan waktu- waktu bersama tanaman sayurnya. A Quii bertanam sayur sejak ia kecil bersama
ayahnya. Dahulu ia memiliki kebun sayur yang cukup luas. Berkisar seratus kali lima puluh meter persegi. Saat itu ia dan ayahnya menggunakan jasa para pekerja
lain yang berasal dari etnis Cina juga. Karena saat itu sistem kerjasama sangat erat dimana setiap petani saling membantu. Namun sekarang tanah tersebut telah
terjual dan berganti dengan rumah-rumah yang berada di sekeliling rumahnya. Bagi A Quii berkebun sayur bukan hanya untuk mengisi waktu luang. Namun
sebuah jiwa yang mampu membuat ia bahagia, meski tidak begitu memiliki
102
Universitas Sumatera Utara
penghasilan yang besar. Ia hanya mendapatkan dua ratus sampai tiga ratus per sekali panen. Untuk itu kegiatan berkebun bukan pekerjaan utamanya.
Dengan ia bekerja sebagai tukang diperusahaan besi tersebut. Ia menghasilkan sejuta sampai dua juta rupiah per bulan. Dengan penghasilan
tersebut ia merasa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dengan uang tersebut ia dapat membeli kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anaknya
di sekolah mesin. Selain berkebun A Quii juga sering menghabiskan paginya dengan duduk di warung. A Quii sering menghabiskannya di warung Bapak Billy.
Dengan memesan kopi dan sarapan pagi. Ia biasa bercengkrama dengan warga Cina kebun sayur yang lain. Bercanda dan berbagi cerita. Bagi A Quii duduk di
warung bukan sebuah saran untuk bermalas-malasan. Namun akong mengakui bahwa duduk di warung ia dapat menetralkan pikiran dari penat hidup dan berbagi
informasi. Bapak A Quii termasuk orang Cina yang sangat ulet. Ia berjuang bekerja
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan anaknya yang masih sekolah. Ia memberikan kesempatan anaknya untuk mencapai apa yang ia inginkan. Dan anak
ingin menjadi teknisi. Untuk itu ia masukkan ke sekolah mesin di di yayasan Sinar Husni Medan. A Quii hanya bisa mendukung untuk cita-cita anaknya. Baginya
anak-anak tidak mesti melanjutkan bertanam sayur. Ia tidak pernah memaksakan apa yang anaknya tidak inginkan.
4.7. Life History Keluarga Bapak A Ming Petani Cina Kebun Sayur