HIV AIDS HIV DAN AIDS

inkontinensia tidak dapat menahan keluarnya kotoran, menjadi sangat lemas hingga tidak dapat berjalan tanpa bantuan, menjadi pikun dan pelupa. Selain itu, ODHA juga biasanya mengalami masalah badan bau dan kotor karena adanya penurunan kemampuan fisik yang menyulitkan mereka untuk merawat tubuh mereka. ODHA juga kerap mendapatkan stigma negatif dari masyarakat karena infeksi HIV tidak dapat diterima di kebanyakan negara. Bahkan, wanita yang terinfeksi HIVAIDS biasanya dilabeli sebagai wanita yang berzinah. Stigamatisasi semacam ini sangat merusak kepribadian seseorang, dari yang semula merupakan manusia yang utuh, hingga akhirnya menjadi seorang manusia yang terstigmatisasi. ODHA yang terstigma akan kehilangan status sosialnya dan mendapatkan label-label tertentu. Stigma dan diskriminasi terkait dengan HIV dan AIDS dapat berupa isolasi, penolakan, mempersalahkan, atau devaluasi yang tampak jelas ketika seorang ODHA diperlakukan tidak sama dan tidak adil. Stigma dan diskriminasi tersebut dapat secara negatif mempengaruhi ODHA dan menyebabkan mereka menunda atau menolak tritmen, ataupun menyembunyikan penyakit mereka dari orang lain. Padahal, perilaku merahasiakan dan menyangkal status kesehatan terkait HIVAIDS dapat mengarah pada berlanjutnya perilaku seksual yang berisiko. Selain itu, ketakutan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI akan diskriminasi dan stigma juga mempengaruhi sikap ODHA dalam mengakses tritmen dan layanan kesehatan, termasuk dalam hal kesediaan untuk melakukan tes HIV, serta menjadi halangan bagi ODHA dalam mencari pertolongan Saki, Kermanshahi, Mohammadi Mohraz, 2015. Keadaan yang dialami oleh ODHA, baik berupa kondisi fisik yang menurun ataupun adanya diskriminasi dan stigmatisasi dari masyarakat, dapat menyebabkan ODHA mengalami kesulitan dalam hal mengampuni. ODHA biasanya sulit untuk mengampuni anggota keluarga dan tradisi sosial, terkait keadaan yang menyebabkan mereka terinfeksi HIV. Misalnya, wanita dengan HIVAIDS cenderung menyalahkan orangtua yang membuat dirinya menikah dengan pria yang memiliki kebiasaan buruk, hingga dirinya terinfeksi HIV Temoshok Chandra, 2000.

D. PENGAMPUNAN

1. Definisi Pengampunan

Pengampunan adalah salah satu cara untuk memperbaiki hati. Saat hati yang terluka berhasil disembuhkan, maka akan tersedia ruang bagi orang-orang yang telah menyakiti hati tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pengampunan adalah sebuah perilaku yang mencerminkan belas kasihan yang berlimpah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kepada orang yang telah berperilaku tidak pantas Holter, Magnuson, Enright, 2008. Mudah untuk mengatakan bahwa, “semua orang pantas untuk mendapatkan belas kasihan”. Namun, dibutuhkan pengorbanan yang tidak kecil untuk mewujudkannya. Pengorbanan itulah yang sebenarnya tengah dilakukan oleh orang-orang yang mengampuni, yakni berjuang untuk melihat kepantasan yang inheren bagi orang yang telah berlaku tidak adil, serta pada waktu yang bersamaan melihat diri sendiri juga memiliki kepantasan yang serupa. Maka, dengan mengampuni dan diampuni, orang akan memahami bahwa dirinya dan orang lain sama pantas dan sama berharganya Holter dkk., 2008. Pengampunan dimaknai sebagai sebuah rangkaian perubahan prososial motivasional yang muncul pada seseorang setelah orang lain melakukan kesalahan pada orang tersebut. Oleh karena itu, ketika seseorang mengampuni, ia menjadi kurang termotivasi untuk menyakiti orang yang bersalah kepadanya ataupun merusak hubungannya dengan pelaku kesalahan, dan secara stimultan menjadi lebih termotivasi untuk bertindak dalam cara-cara yang akan menguntungkan pelaku kesalahan ataupun hubungannya dengan pelaku kesalahan McCullough, 2001. Sementara itu, menurut APA Dictionary of Psychology, pengampunan adalah perbuatan sengaja menyisihkan perasaan