LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

dengan lebih mudah dan efektif. Dukungan sosial terbukti menjadi faktor kunci dalam mempertahankan kesehatan yang baik dan relevan bagi ODHA, terutama yang biasanya merasa ditolak. Sementara itu, ketidakpercayaan dan rasa tidak mengampuni sistem medis, serta kenyataan bahwa belum ada obat yang dapat menyembuhkan AIDS menyebabkan ODHA tidak patuh dalam meminum obat. Padahal, obat- obatan tersebut harus dikonsumsi ODHA secara teratur dengan keakuratan waktu konsumsi di atas 95, untuk mencegah perkembangan jenis virus yang kebal obat. Keadaan tidak mengampuni juga menciptakan komunikasi yang buruk antara ODHA dengan penyedia layanan kesehatan, yang dapat berujung pada rasa putusasa dan hilang harapan. Padahal, rasa memiliki harapan adalah salah satu kunci dalam proses biomedis yang dapat menuntun pada keberhasilan tritmen dan pemulihan. Secara biomedis, kemampuan untuk mengampuni dan melupakan akan memunculkan keadaan yang mampu mengembalikan sistem psikologis yang hyperaroused pada keadaan homeostatis. Keadaan relaksasi psikologis dan homeostatis otonomik ini merupakan sebuah pola psikologis yang terkait dengan long term survival pada ODHA. Namun, “pengampunan bertopeng” yang menutupi perasaan belum mengampuni dan berperilaku seolah-olah telah mengampuni, tidak akan mengatasi peristiwa atau dilema pengampunan, dan malah akan menghasilkan gairah arousal otonomik dan mengaktifkan imunitas yang tidak tepat Temoshok, 2003a dalam Temoshok dan Wald, 2005. Pengampunan adalah perilaku yang mencerminkan belas kasihan berlimpah kepada orang yang telah berperilaku tidak pantas Holter, Magnuson Enright, 2008. Holter dkk. 2008 mengatakan, mudah untuk mengatakan bahwa “semua orang pantas mendapatkan belas kasihan”. Namun, dibutuhkan pengorbanan yang tidak kecil untuk mewujudkannya. Pengampunan bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena menyangkut proses yang panjang, kompleks, bahkan seringkali menyakitkan Walton, 2005. Pembahasan mengenai pengampunan itu sendiri sulit terlepas dari topik mengenai lukasakit hurt dan kebencian resentment Walton, 2005. Oleh DiBlasion Proctor 1993 dalam Walton, 2005, hurt didefinisikan sebagai rasa sakit yang diderita karena kesalahan orang lain, sementara resentment digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap pelaku kesalahan karena telah menyebabkan luka. Hurt dapat terjadi pada siapa saja, misalnya korban kekerasan emosional dalam rumah tangga Reed Enright, 2006, korban incest Walton, 2005, dan lain sebagainya. Pengalaman akan rasa sakit hurt tersebut dapat menyebabkan seorang individu mengalami posttraumatic stress disorder PTSD. Hal ini diperkuat oleh gagasan yang disampaikan oleh American Psychiatric Association 1994 dalam Bonin, Norton, Asmundson, Dicurzio Pidlubney, 2000 bahwa PTSD mungkin muncul mengikuti peristiwa ketika seorang individu yakin bahwa dirinya dapat saja terluka atau terbunuh secara serius, ataupun ketika menyaksikan orang lain terluka secara serius atau bahkan terbunuh. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Bentuk trauma itu sendiri dapat bermacam-macam, misalnya: kematian orang yang dicintai, pengasingan atau pengabaian secara fisik dan emosional, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau komunitas, mengalami kecelakaan atau bencana alam yang serius, serta trauma yang terasosiasi dengan perang dan pertempuran, dan lainnya. Pengalaman-pengalaman tersebut berpotensi menghasilkan reaksi PTSD bagi sebagian besar korban. Kendati demikian, belum banyak penelitian empiris yang memeriksa keterkaitan spesifik antara pengampunan dan kesembuhan dari trauma, termasuk hubungan PTSD dan tidak memaafkan. Berdasarkan penjabaran mengenai macam-macam trauma di atas, dapat dilihat bahwa ada beberapa trauma yang disebabkan oleh perilaku orang lain dan ada yang tidak. Dalam trauma yang disebabkan oleh orang lain, beberapa kasus membutuhkan proses pengampunan yang berbeda dari biasanya, misalnya kasus kekerasan seksual pada masa kanak-kanak. Pengampunan dalam konteks kekerasan seksual pada masa kanak- kanak berbeda dengan mengampuni kesalahan lainnya karena beberapa alasan. Pertama, pelaku kesalahan dalam kekerasan seksual pada masa kanak-kanak seringkali merupakan individu yang seharusnya bertanggungjawab atas keselamatan dan kesejahteraan korban dan secara ekstrim memiliki keintiman emosional dengan korban, sehingga sulit mengampuni pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diperkeruh oleh adanya pelanggaran keamanan. Kedua, mengampuni kasus kekerasan seksual tersebut merupakan proses yang kompleks dan dinamis, sulit untuk dimulai dan membutuhkan waktu yang signifikan. Terakhir, perubahan prososial motivasional terhadap pelaku kesalahan mungkin tidak dapat dijalani danatau tidak dianjurkan, berkaitan dengan potensi terulangnya kekerasan setelah rekonsiliasi. Kendati demikian, penelitian-penelitian selanjutnya menemukan bahwa pengampunan dapat terjadi tanpa rekonsiliasi, dan korban dapat mencapai transformasi emosi, kognitif, dan perilaku terhadap pelaku kesalahan tanpa perlu adanya kedekatan fisik ataupun kembali berelasi dengan pelaku kesalahan Noll, 2005. Meskipun belum banyak studi empiris yang berfokus pada pengalaman traumatik, termasuk pengampunan pada kasus kekerasan seksual, beberapa penelitian ternayata mampu menunjukkan efek positif pengampunan terhadap para korban pengalaman traumatik. Freedman Enright 1996 dalam Noll, 2005 menemukan bahwa intervensi pengampunan menurunkan kecemasan dan depresi, serta meningkatkan pengampunan dan harapan pada korban incest dalam penelitian yang mereka lakukan. Sementara itu, penelitian lainnya menemukan bahwa intervensi pengampunan efektif bagi beberapa korban kekerasan seksual dan sebagian besar aspek pengampunan memberikan keuntungan pada proses penyembuhan para korban Noll, 2003; Noll McCullough, 2004 dalam Noll. 2005. Minimnya penelitian mengenai pengampunan pada korban dengan pengalaman traumatik, serta efek positif praktik pengampunan terhadap para korban, membangkitkan ketertarikan peneliti untuk meneliti tentang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pengampunan pada wanita yang terinfeksi HIV dari suaminya. Para wanita dengan HIVAIDS tersebut juga merupakan korban pengalaman traumatik dan harus menanggung hurt berupa beban secara fisik, psikologis, dan sosial akibat perbuatan suami. Pada kasus wanita dengan HIVAIDS yang terinfeksi dari suami, sekalipun tidak terjadi rekonsiliasi atau bahkan korban putus hubungan dengan pelaku kesalahan, korban tetap akan menanggung hurt akibat pengalaman traumatiknya, misalnya: kesehatan fisik yang buruk karena adanya HIV dalam tubuh, dan lain sebagainya. Ketertarikan untuk meneliti tersebut diperkuat oleh temuan bahwa ODHA seringkali merasa tidak mampu untuk mengampuni anggota keluarganya atas keadaan yang menyebabkan mereka memperoleh infeksi HIV, terutama pada wanita dengan HIVAIDS. Wanita dengan HIVAIDS cenderung menyalahkan keluarga dan tradisi sosial atas kerentanan mereka. Misalnya, seorang informan mengaku bahwa dirinya tidak mampu mengampuni kedua orangtuanya yang telah membuatnya menikahi pria dengan kebiasaan buruk, hingga dirinya terinfeksi HIVAIDS. Informan tersebut juga mengatakan bahwa seharusnya orangtuanya mendidik dan membantunya menjadi mandiri Temoshok Chandra, 2000. Penelitian lainnya yang dilakukan di Thailand menemukan bahwa ODHA biasanya mengalami kehidupan tidak harmonis yang disebabkan infeksi HIV dan juga tritmen yang terkait dengan HIV. Keadaan yang ideal, yaitu keharmonisan, dapat diperoleh, salah satu caranya, dengan terapi energik energetic therapy. Keharmonisan yang dimaksud adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI suatu keadaan yang muncul saat seseorang menemukan diri mereka yang sesungguhnya real self, yang dapat meningkatkan keharmonisan di dalam pikiran, tubuh, dan jiwa, serta meningkatkan derajat kesehatan. Perolehan keharmonisan tersebut telah terbukti memunculkan perasaan puas atau berhasil, konsep diri yang positif, serta lingkungan yang lebih menyenangkan. Pada intinya, keharmonisan yang hendak dicapai adalah keadaan seimbang antara diri seseorang dengan alam semesta. Adapun pengalaman-pengalaman ketidakharmonisan yang dialami oleh ODHA biasanya berupa: stres karena menjadi orang yang terinfeksi HIV; perasaan tidak menentu, merasa putus asa, berpikiran untuk mati; rasa bersalah dan tidak mengampuni; dan merasa tidak berdaya Keawpimon, Songwathana Chuaprapaisilp, 2010. Sementara itu, penelitian lainnya juga menemukan bahwa pria yang terinfeksi HIV sebagai konsekuensi dari perilaku berisiko yang mereka lakukan, cenderung bergumul dengan isu pengampunan terhadap diri sendiri Temoshok Chandra, 2000. Pengampunan terutama sulit dilakukan oleh ODHA yang terinfeksi melalui pasangan. Sebuah studi kasus oleh Riasnugrahani dan Wijayanti 2011 memunjukkan bahwa wanita yang terinfeksi HIVAIDS melalui suami cenderung merasa tidak adil akan keadaan tersebut dan tidak mengampuni. Penelitian lainnya menemukan bahwa wanita yang terinfeksi HIVAIDS melalui pasangan merasa marah, bahkan cenderung tidak lagi menghormati pasangan dan memperlakukannya dengan buruk Keawpimon, Songwathana Chuaprapaisilp, 2010. Perilaku tidak mengampuni tersebut terkait dengan beban-beban sosial dan psikologis yang ditanggung ODHA ketika statusnya terungkap Hidayah, 2014. Temoshok dan Chandra 2000 juga menemukan bahwa wanita di India yang terinfeksi HIV melalui pasangannya cenderung tidak mengampuni situasi yang membuat mereka rentan terhadap infeksi, serta merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi yang mereka alami. Para wanita tersebut kemudian berusaha menerima infeksi HIV mereka sebagai takdir untuk berekonsiliasi dengan perasaan tidak mengampuni tersebut. Sementara itu, wanita yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial PSK, cenderung tidak mampu mengampuni pria yang membuat mereka terinfeksi, sebagai bentuk dari amarah, serta terbukti tetap tidak berhasil mengampuni setelah diberi intervensi berupa pendekatan rohaniagama. Para wanita yang berprofesi sebagai PSK tersebut juga tidak dapat mengampuni orang lain dan masyarakat yang mengisolasi mereka dan meminta mereka bertanggungjawab atas penyebaran infeksi HIV. Penelitian-penelitian terdahulu memberikan gambaran mengenai berbagai konsekuensi dari perilaku mengampuni dan tidak mengampuni pada ODHA Martin, Vosvick Riggs, 2012; Riasnugrahani Wijayanti, 2011; Temoshok Wald, 2005. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut secara umum menunjukkan bahwa pengampunan pada akhirnya akan mampu meningkatkan status kesehatan ODHA. Sebaliknya perilaku tidak mengampuni, baik terhadap diri, orang lain, bahkan sistem pengobatan, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menyebabkan kesehatan ODHA semakin memburuk. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pada umumnya sulit bagi ODHA untuk melakukan pengampunan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, termasuk keluarganya sendiri Hidayah, 2014; Temoshok Chandra, 2000. Kesulitan untuk mengampuni tersebut biasanya terjadi pada wanita dengan HIVAIDS Temoshok Chandra, 2000, terutama yang terinfeksi melalui pasangannya Keawpimon, Songwathana, Chuaprapaisilp, 2010; Riasnugrahani Wijayanti, 2011; Temoshok Chandra, 2000. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Riasnugrahani dan Wijayanti 2011 berusaha mengungkap kaitan pengampunan dengan tingkat kesehatan pada wanita dengan HIVAIDS yang terinfeksi melalui suaminya. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha memetakan proses pengampunan yang dilalui oleh kedua subjeknya. Peneliti mencocokkan hasil wawancara mengenai proses pengampunan yang dilalui subjek dengan teori mengenai 20 unit dari proses pengampunan, yang dirangkum ke dalam empat fase, yakni: uncovering, decision, work, dan deepening Enright, et. al., 1998 dalam Riasnugrahani Wijayanti, 2011. Penelitian tersebut secara umum menjelaskan keadaan-keadaan yang dialami oleh kedua subjek dalam setiap fase, tetapi tidak secara rinci membandingkan keadaan-keadaan yang dialami para subjek dengan tahap- tahap dalam fase pengampunan Enright. Hal ini dilakukan karena penelitian tersebut memang berfokus dalam melihat perbedaan kondisi kesehatan subjek sebelum dan sesudah memasuki rangkaian proses pengampunan. Dengan mempertimbangkan penelitian-penelitian terdahulu, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi proses yang dilalui oleh wanita dengan HIVAIDS dalam mengampuni pasangan yang menjadi sumber penularan HIV. Adapun wanita dengan HIVAIDS yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah wanita yang telah menikah dan terinfeksi HIV dari suaminya. Latar belakang suami terinfeksi dapat berupa faktor risiko apa saja, misalnya: hubungan seksual, penggunaan jarum suntik secara bergantian, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, proses yang dilalui informan, dari awal hingga mencapai tahap mengampuni, dicermati sampai tingkatan unit. Dengan demikian, penelitian ini akan mampu mengungkap variabel psikologis yang muncul saat seseorang menjalani proses mengampuni. Selain itu, hal tersebut juga dapat mengungkap aspek-aspek kognitif, behavioral, dan afektif dari proses pengampunan Enright Coyle, 1996. Terkait dengan penggunaan teori proses pengampunan Enright, yang dikenal sebagai Enright Psychological Process Model of Forgiveness, peneliti berusaha untuk memperhatikan berbagai kritik yang muncul mengenai teori tersebut. Terhadap kritik yang disampaikan oleh Lamb 2002 bahwa tahapan pengampunan tersebut tidak selalu dialami oleh orang yang mengampuni, Freedman, Enright Knutson 2005 menjelaskan bahwa tahapan tersebut bukanlah sesuatu yang kaku. Bahkan, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI terkadang mereka mengganti beberapa unit guna menyesuaikan dengan pengalaman aktual orang yang diteliti. Selain itu, mereka juga tetap berkeyakinan bahwa pengampunan paling baik ditawarkan tanpa paksaan pada waktu orang yang mengampuni sudah siap, terlepas bagaimana perilaku dari pelaku kesalahan. Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas kritik Lamb 2002 yang mengatakan bahwa seharusnya orang yang mengampuni dan orang yang diampuni saling bergantung, misalnya dengan cara pelaku kesalahan menunjukkan penyesalannya. Menurut Freedman, Enright Knutson 2005, tidak selalu ada kesempatan bagi relasi antara orang yang mengampuni dan diampuni untuk terjadi. Murphy 2002, dalam Lamb 2002 juga mengkritik bahwa pelepasan perasaan negatif dan perasaan ingin membalas dendam, yang merupakan salah satu unit dalam tahapan pengampunan Enright, terdengar seperti melepaskan harga diri, pertahanan diri, serta kepatuhan pada tatanan moral. Sebagai respon atas kritikan tersebut, Freedman, Enright Knutson 2005 mengutip diskusi Holmgren 2002, dalam Freedman, Enright Knutson, 2005 bahwa tahap pertama menunju pengampunan adalah orang yang terluka perlu memulihkan harga dirinya dan menyadari bahwa luka yang diterimanya salah, serta bahwa dirinya adalah orang yang berharga dan pantas untuk diperlakukan dengan baik, juga bahwa kesalahan yang terjadi bukan kekeliruannya. Selain itu, Freedman, Enright Knutson 2005 juga menegaskan bahwa mereka tidak pernah menyatakan pengampunan sebagai cara tunggal untuk sembuh setelah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI terluka secara mendalam, tetapi pengampunan adalah salah satu cara untuk pulih dan secara efektif mengurangi kemarahan dan sakit hati, sebagai tanggapan atas kritik bahwa kemungkinan ada pendekatan atau tritmen lainnya yang lebih efektif daripada praktik pengampunan Lamb, 2002. Sementara itu, berkaitan dengan lokasi penelitian yang berada di Indonesia, sebuah penelitian menemukan bahwa sensitivitas terhadap situasi dan kerelaan untuk mengampuni, dalam kaitannya dengan forgivingness-sebuah disposisi keseluruhan untuk mengampuni, cenderung lebih tinggi pada orang Indonesia yang dikenal memiliki budaya kolektivitas daripada orang Prancis yang diketahui lebih individualistik. Sementara itu, kebencian yang berkepanjangan memiliki tingkatan yang lebih rendah pada orang Indonesia dibandingkan orang Perancis. Penemuan tersebut berkaitan dengan pandangan kolektivitis yang cenderung menekankan norma kolektif, relasi, serta kesejahteraan bersama, sehingga pengampunan dipahami sebagai konstruk interpersonal yang harus dilakukan karena merupakan suatu tugas sosial. Sementara itu, dalam budaya individualistik, diri dipandang berdikari dan yang ditekankan adalah tanggungjawab serta kesejahteraan pribadi, sehingga pengampunan dipahami sebagai sebuah konstruk intrapersonal Suwartono, Prawasti Mullet, 2006. Selain itu, Sandage Williamson 2005 menemukan bahwa studi terkait efek dari konteks dan kultur dalam hubungannya dengan pengampunan masih sangat minim dilakukan dengan sampel non-Barat non-western sample. Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa penemuan-penemuan baru mengenai sistem-sistem nilai yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan pengampunan, sehingga pada akhirnya dapat melihat pula unit-unit dalam tahapan pengampunan Enright yang sesuai dan tidak sesuai dengan pengalaman mengampuni pada wanita dengan HIVAIDS di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan HIVAIDS terhadap suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan HIVAIDS terhadap suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai proses mengampuni pada wanita yang terinfeksi HIVAIDS melalui suaminya, hal-hal yang terkait dengan proses pengampunan tersebut, serta pentingnya pengampunan tersebut dilakukan. b. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengampunan yang terjadi dalam konteks kultur Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi panutan bagi orang dengan HIVAIDS ODHA untuk mampu melakukan pengampunan, baik terhadap diri sendiri, orang lain, situasi yang mereka alami, maupun sistem kesehatan, guna meningkatkan status kesehatan mereka. b. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi panduan bagi praktisi psikologi dalam melakukan pendampingan terhadap ODHA guna memberikan dukungan psikologis untuk mencegah terjadinya kesalahan bersikap, misalnya merencanakan untuk bunuh diri. c. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan wawasan baru kepada para praktisi kesehatan guna mendukung mereka dalam memberikan edukasi terkait isu HIV dan AIDS bagi masyarakat luas dan ODHA sendiri. d. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan wawasan baru bagi keluarga ODHA guna mendorong mereka untuk mendukung ODHA agar mampu bangkit dari keterpurukan dan memberdayakan diri tanpa kecemasan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI e. Terakhir, penemuan dalam penelitian ini diharapkan pula dapat mendorong masyarakat luas untuk mencari informasi yang benar terkait HIV dan AIDS agar terhindar dari perilaku diskriminasi serta menumbuhkan kesadaran tentang bahaya penularan HIV. 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. KORBAN PENGALAMAN TRAUMATIK

Korban merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang menjadi target dari perilaku kekerasan, diskriminatif, melecehkan, ataupun menyerang dari orang lain. Selain itu, istilah korban juga merujuk pada orang yang mengalami kecelakaan ataupun bencana alam American Psychological Association, 2015. Para korban tersebut biasanya akan mengalami emosi negatif berupa kecemasan, terluka, kesedihan, kemarahan, dan kebencian dalam tingkatan yang berbeda-beda, juga membangun pola kognisi negatif serta menunjukkan kecenderungan perilaku negatif Rusbult, Hannon, Stocker Finkel, 2005. Reaksi yang muncul pada korban setelah mengalami peristiwa traumatik, kekerasan, bencana alam, dan lain sebagainya Noll, 2005 dapat bervariasi tergantung pada, salah satunya, sifat dari pengalaman traumatik yang terjadi Rusbult, Hannon, Stocker Finkel, 2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korban akan mengalami kecemasan, penghindaran, kebencian, serta hasrat untuk membalas dendam yang lebih kuat atas peristiwa traumatik, terutama yang merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain, yang merupakan pelanggaran berat, pelanggaran yang berdampak pada devaluasi relasi, ataupun pelanggaran yang dirasakan sebagai sesuatu yang disengaja dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dapat dikendalikan Rusbult, Hannon, Stocker Finkel, 2005. Pada trauma-trauma yang terjadi karena perilaku orang lain, korban biasanya akan merasakan hurt, yakni rasa sakit yang diderita karena kesalahan orang lain Walton, 2005. Terkait dengan pengalaman traumatik tersebut, peneliti menemukan bahwa praktik pengampunan berpotensi memunculkan efek positif pada korban pengalaman traumatik. Kendati demikian, hasil penelitian menunjukkan pula bahwa dalam trauma akibat perbuatan orang lain, terdapat kasus-kasus yang membutuhkan proses pengampunan yang berbeda karena kondisi-kondisi tertentu Noll, 2005. Salah satu bentuk trauma yang muncul akibat kesalahan orang lain adalah kasus wanita dengan HIVAIDS yang terinfeksi dari suaminya. Dalam kasus tersebut, sekalipun rekonsiliasi antara pelaku kesalahan dan korban tidak terjadi, atau bahkan terjadi putus hubungan, korban tetap harus menanggung berbagai konsekuensi buruk akibat pelanggaran yang terjadi, misalnya penurunan kesehatan fisik karena virus akan tetap berada di dalam tubuh dan tidak dapat disembuhkan.

B. HIV DAN AIDS

1. HIV

HIV Human Immunodeficiency Virus adalah jenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. HIV bekerja dengan cara masuk ke dalam tubuh manusia dan mereplikasi diri di PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI