LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN
dengan lebih mudah dan efektif. Dukungan sosial terbukti menjadi faktor kunci dalam mempertahankan kesehatan yang baik dan relevan bagi
ODHA, terutama yang biasanya merasa ditolak. Sementara itu, ketidakpercayaan dan rasa tidak mengampuni sistem medis, serta
kenyataan bahwa belum ada obat yang dapat menyembuhkan AIDS menyebabkan ODHA tidak patuh dalam meminum obat. Padahal, obat-
obatan tersebut harus dikonsumsi ODHA secara teratur dengan keakuratan waktu konsumsi di atas 95, untuk mencegah perkembangan jenis virus
yang kebal obat. Keadaan tidak mengampuni
juga menciptakan komunikasi yang buruk antara ODHA dengan penyedia layanan
kesehatan, yang dapat berujung pada rasa putusasa dan hilang harapan. Padahal, rasa memiliki harapan adalah salah satu kunci dalam proses
biomedis yang dapat menuntun pada keberhasilan tritmen dan pemulihan. Secara biomedis, kemampuan untuk mengampuni dan melupakan
akan memunculkan keadaan yang mampu mengembalikan sistem
psikologis yang hyperaroused pada keadaan homeostatis. Keadaan relaksasi psikologis dan homeostatis otonomik ini merupakan sebuah pola
psikologis yang terkait dengan long term survival pada ODHA. Namun, “pengampunan bertopeng” yang menutupi perasaan belum mengampuni
dan berperilaku seolah-olah telah mengampuni, tidak akan mengatasi peristiwa atau dilema pengampunan, dan malah akan menghasilkan gairah
arousal otonomik dan mengaktifkan imunitas yang tidak tepat Temoshok, 2003a dalam Temoshok dan Wald, 2005.
Pengampunan adalah perilaku yang mencerminkan belas kasihan berlimpah kepada orang yang telah berperilaku tidak pantas Holter,
Magnuson Enright, 2008. Holter dkk. 2008 mengatakan, mudah untuk mengatakan bahwa “semua orang pantas mendapatkan belas
kasihan”. Namun, dibutuhkan pengorbanan yang tidak kecil untuk mewujudkannya. Pengampunan bukan hal yang mudah untuk dilakukan
karena menyangkut proses yang panjang, kompleks, bahkan seringkali menyakitkan Walton, 2005. Pembahasan mengenai pengampunan itu
sendiri sulit terlepas dari topik mengenai lukasakit hurt dan kebencian resentment Walton, 2005. Oleh DiBlasion Proctor 1993 dalam
Walton, 2005, hurt didefinisikan sebagai rasa sakit yang diderita karena kesalahan orang lain, sementara resentment digambarkan sebagai perasaan
negatif terhadap pelaku kesalahan karena telah menyebabkan luka. Hurt dapat terjadi pada siapa saja, misalnya korban kekerasan
emosional dalam rumah tangga Reed Enright, 2006, korban incest Walton, 2005, dan lain sebagainya. Pengalaman akan rasa sakit hurt
tersebut dapat menyebabkan seorang individu mengalami posttraumatic stress disorder PTSD. Hal ini diperkuat oleh gagasan yang disampaikan
oleh American Psychiatric Association 1994 dalam Bonin, Norton, Asmundson, Dicurzio Pidlubney, 2000 bahwa PTSD mungkin muncul
mengikuti peristiwa ketika seorang individu yakin bahwa dirinya dapat saja terluka atau terbunuh secara serius, ataupun ketika menyaksikan orang
lain terluka secara serius atau bahkan terbunuh. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bentuk trauma itu sendiri dapat bermacam-macam, misalnya: kematian orang yang dicintai, pengasingan atau pengabaian secara fisik
dan emosional, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau komunitas, mengalami kecelakaan atau bencana alam yang serius, serta
trauma yang terasosiasi dengan perang dan pertempuran, dan lainnya. Pengalaman-pengalaman tersebut berpotensi menghasilkan reaksi PTSD
bagi sebagian besar korban. Kendati demikian, belum banyak penelitian empiris yang memeriksa keterkaitan spesifik antara pengampunan dan
kesembuhan dari trauma, termasuk hubungan PTSD dan tidak memaafkan. Berdasarkan penjabaran mengenai macam-macam trauma di atas,
dapat dilihat bahwa ada beberapa trauma yang disebabkan oleh perilaku orang lain dan ada yang tidak. Dalam trauma yang disebabkan oleh orang
lain, beberapa kasus membutuhkan proses pengampunan yang berbeda dari biasanya, misalnya kasus kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
Pengampunan dalam konteks kekerasan seksual pada masa kanak- kanak berbeda dengan mengampuni kesalahan lainnya karena beberapa
alasan. Pertama, pelaku kesalahan dalam kekerasan seksual pada masa kanak-kanak
seringkali merupakan
individu yang
seharusnya bertanggungjawab atas keselamatan dan kesejahteraan korban dan secara
ekstrim memiliki keintiman emosional dengan korban, sehingga sulit mengampuni pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diperkeruh oleh
adanya pelanggaran keamanan. Kedua, mengampuni kasus kekerasan seksual tersebut merupakan proses yang kompleks dan dinamis, sulit untuk
dimulai dan membutuhkan waktu yang signifikan. Terakhir, perubahan prososial motivasional terhadap pelaku kesalahan mungkin tidak dapat
dijalani danatau tidak dianjurkan, berkaitan dengan potensi terulangnya kekerasan setelah rekonsiliasi. Kendati demikian, penelitian-penelitian
selanjutnya menemukan bahwa pengampunan dapat terjadi tanpa rekonsiliasi, dan korban dapat mencapai transformasi emosi, kognitif, dan
perilaku terhadap pelaku kesalahan tanpa perlu adanya kedekatan fisik ataupun kembali berelasi dengan pelaku kesalahan Noll, 2005.
Meskipun belum banyak studi empiris yang berfokus pada pengalaman traumatik, termasuk pengampunan pada kasus kekerasan
seksual, beberapa penelitian ternayata mampu menunjukkan efek positif pengampunan terhadap para korban pengalaman traumatik. Freedman
Enright 1996 dalam Noll, 2005 menemukan bahwa intervensi pengampunan menurunkan kecemasan dan depresi, serta meningkatkan
pengampunan dan harapan pada korban incest dalam penelitian yang mereka lakukan. Sementara itu, penelitian lainnya menemukan bahwa
intervensi pengampunan efektif bagi beberapa korban kekerasan seksual dan sebagian besar aspek pengampunan memberikan keuntungan pada
proses penyembuhan para korban Noll, 2003; Noll McCullough, 2004 dalam Noll. 2005.
Minimnya penelitian mengenai pengampunan pada korban dengan pengalaman traumatik, serta efek positif praktik pengampunan terhadap
para korban, membangkitkan ketertarikan peneliti untuk meneliti tentang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pengampunan pada wanita yang terinfeksi HIV dari suaminya. Para wanita dengan HIVAIDS tersebut juga merupakan korban pengalaman traumatik
dan harus menanggung hurt berupa beban secara fisik, psikologis, dan sosial akibat perbuatan suami. Pada kasus wanita dengan HIVAIDS yang
terinfeksi dari suami, sekalipun tidak terjadi rekonsiliasi atau bahkan korban putus hubungan dengan pelaku kesalahan, korban tetap akan
menanggung hurt akibat pengalaman traumatiknya, misalnya: kesehatan fisik yang buruk karena adanya HIV dalam tubuh, dan lain sebagainya.
Ketertarikan untuk meneliti tersebut diperkuat oleh temuan bahwa ODHA seringkali merasa tidak mampu untuk mengampuni anggota
keluarganya atas keadaan yang menyebabkan mereka memperoleh infeksi HIV, terutama pada wanita dengan HIVAIDS. Wanita dengan HIVAIDS
cenderung menyalahkan keluarga dan tradisi sosial atas kerentanan mereka. Misalnya, seorang informan mengaku bahwa dirinya tidak mampu
mengampuni kedua orangtuanya yang telah membuatnya menikahi pria dengan kebiasaan buruk, hingga dirinya terinfeksi HIVAIDS. Informan
tersebut juga mengatakan bahwa seharusnya orangtuanya mendidik dan membantunya menjadi mandiri Temoshok Chandra, 2000.
Penelitian lainnya yang dilakukan di Thailand menemukan bahwa ODHA biasanya mengalami kehidupan tidak harmonis yang disebabkan
infeksi HIV dan juga tritmen yang terkait dengan HIV. Keadaan yang ideal, yaitu keharmonisan, dapat diperoleh, salah satu caranya, dengan
terapi energik energetic therapy. Keharmonisan yang dimaksud adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
suatu keadaan yang muncul saat seseorang menemukan diri mereka yang sesungguhnya real self, yang dapat meningkatkan keharmonisan di
dalam pikiran, tubuh, dan jiwa, serta meningkatkan derajat kesehatan. Perolehan keharmonisan tersebut telah terbukti memunculkan perasaan
puas atau berhasil, konsep diri yang positif, serta lingkungan yang lebih menyenangkan. Pada intinya, keharmonisan yang hendak dicapai adalah
keadaan seimbang antara diri seseorang dengan alam semesta. Adapun pengalaman-pengalaman ketidakharmonisan yang dialami
oleh ODHA biasanya berupa: stres karena menjadi orang yang terinfeksi HIV; perasaan tidak menentu, merasa putus asa, berpikiran untuk mati;
rasa bersalah dan tidak mengampuni; dan merasa tidak berdaya Keawpimon, Songwathana Chuaprapaisilp, 2010. Sementara itu,
penelitian lainnya juga menemukan bahwa pria yang terinfeksi HIV sebagai konsekuensi dari perilaku berisiko yang mereka lakukan,
cenderung bergumul dengan isu pengampunan terhadap diri sendiri Temoshok Chandra, 2000.
Pengampunan terutama sulit dilakukan oleh ODHA yang terinfeksi melalui pasangan. Sebuah studi kasus oleh Riasnugrahani dan Wijayanti
2011 memunjukkan bahwa wanita yang terinfeksi HIVAIDS melalui suami cenderung merasa tidak adil akan keadaan tersebut dan tidak
mengampuni. Penelitian lainnya menemukan bahwa wanita yang terinfeksi HIVAIDS melalui pasangan merasa marah, bahkan cenderung tidak lagi
menghormati pasangan
dan memperlakukannya
dengan buruk
Keawpimon, Songwathana Chuaprapaisilp, 2010. Perilaku tidak mengampuni tersebut terkait dengan beban-beban sosial dan psikologis
yang ditanggung ODHA ketika statusnya terungkap Hidayah, 2014. Temoshok dan Chandra 2000 juga menemukan bahwa wanita di
India yang terinfeksi HIV melalui pasangannya cenderung tidak mengampuni situasi yang membuat mereka rentan terhadap infeksi, serta
merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi yang mereka alami. Para wanita tersebut kemudian berusaha menerima infeksi HIV mereka sebagai
takdir untuk berekonsiliasi dengan perasaan tidak mengampuni tersebut. Sementara itu, wanita yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial
PSK, cenderung tidak mampu mengampuni pria yang membuat mereka terinfeksi, sebagai bentuk dari amarah, serta terbukti tetap tidak berhasil
mengampuni setelah diberi intervensi berupa pendekatan rohaniagama. Para wanita yang berprofesi sebagai PSK tersebut juga tidak dapat
mengampuni orang lain dan masyarakat yang mengisolasi mereka dan meminta mereka bertanggungjawab atas penyebaran infeksi HIV.
Penelitian-penelitian terdahulu memberikan gambaran mengenai berbagai konsekuensi dari perilaku mengampuni dan tidak mengampuni
pada ODHA Martin, Vosvick Riggs, 2012; Riasnugrahani Wijayanti, 2011; Temoshok Wald, 2005. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut
secara umum menunjukkan bahwa pengampunan pada akhirnya akan mampu meningkatkan status kesehatan ODHA. Sebaliknya perilaku tidak
mengampuni, baik terhadap diri, orang lain, bahkan sistem pengobatan, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyebabkan kesehatan ODHA semakin memburuk. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pada umumnya sulit bagi ODHA untuk
melakukan pengampunan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, termasuk keluarganya sendiri Hidayah, 2014; Temoshok Chandra,
2000. Kesulitan untuk mengampuni tersebut biasanya terjadi pada wanita dengan HIVAIDS Temoshok Chandra, 2000, terutama yang terinfeksi
melalui pasangannya Keawpimon, Songwathana, Chuaprapaisilp, 2010; Riasnugrahani Wijayanti, 2011; Temoshok Chandra, 2000.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Riasnugrahani dan Wijayanti 2011 berusaha mengungkap kaitan pengampunan dengan
tingkat kesehatan pada wanita dengan HIVAIDS yang terinfeksi melalui suaminya. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha memetakan proses
pengampunan yang dilalui oleh kedua subjeknya. Peneliti mencocokkan hasil wawancara mengenai proses pengampunan yang dilalui subjek
dengan teori mengenai 20 unit dari proses pengampunan, yang dirangkum ke dalam empat fase, yakni: uncovering, decision, work, dan deepening
Enright, et. al., 1998 dalam Riasnugrahani Wijayanti, 2011. Penelitian tersebut secara umum menjelaskan keadaan-keadaan
yang dialami oleh kedua subjek dalam setiap fase, tetapi tidak secara rinci membandingkan keadaan-keadaan yang dialami para subjek dengan tahap-
tahap dalam fase pengampunan Enright. Hal ini dilakukan karena penelitian tersebut memang berfokus dalam melihat perbedaan kondisi
kesehatan subjek sebelum dan sesudah memasuki rangkaian proses pengampunan.
Dengan mempertimbangkan penelitian-penelitian terdahulu, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi proses yang dilalui oleh
wanita dengan HIVAIDS dalam mengampuni pasangan yang menjadi sumber penularan HIV. Adapun wanita dengan HIVAIDS yang menjadi
informan dalam penelitian ini adalah wanita yang telah menikah dan terinfeksi HIV dari suaminya. Latar belakang suami terinfeksi dapat
berupa faktor risiko apa saja, misalnya: hubungan seksual, penggunaan jarum suntik secara bergantian, dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini, proses yang dilalui informan, dari awal hingga mencapai tahap mengampuni, dicermati sampai tingkatan unit.
Dengan demikian, penelitian ini akan mampu mengungkap variabel psikologis yang muncul saat seseorang menjalani proses mengampuni.
Selain itu, hal tersebut juga dapat mengungkap aspek-aspek kognitif, behavioral, dan afektif dari proses pengampunan Enright Coyle, 1996.
Terkait dengan penggunaan teori proses pengampunan Enright, yang dikenal
sebagai Enright Psychological Process Model of
Forgiveness, peneliti berusaha untuk memperhatikan berbagai kritik yang muncul mengenai teori tersebut. Terhadap kritik yang disampaikan oleh
Lamb 2002 bahwa tahapan pengampunan tersebut tidak selalu dialami oleh orang yang mengampuni, Freedman, Enright Knutson 2005
menjelaskan bahwa tahapan tersebut bukanlah sesuatu yang kaku. Bahkan, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terkadang mereka mengganti beberapa unit guna menyesuaikan dengan pengalaman aktual orang yang diteliti. Selain itu, mereka juga tetap
berkeyakinan bahwa pengampunan paling baik ditawarkan tanpa paksaan pada waktu orang yang mengampuni sudah siap, terlepas bagaimana
perilaku dari pelaku kesalahan. Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas kritik Lamb 2002 yang mengatakan bahwa seharusnya orang yang
mengampuni dan orang yang diampuni saling bergantung, misalnya dengan cara pelaku kesalahan menunjukkan penyesalannya. Menurut
Freedman, Enright Knutson 2005, tidak selalu ada kesempatan bagi relasi antara orang yang mengampuni dan diampuni untuk terjadi.
Murphy 2002, dalam Lamb 2002 juga mengkritik bahwa pelepasan perasaan negatif dan perasaan ingin membalas dendam, yang
merupakan salah satu unit dalam tahapan pengampunan Enright, terdengar seperti melepaskan harga diri, pertahanan diri, serta kepatuhan pada
tatanan moral. Sebagai respon atas kritikan tersebut, Freedman, Enright Knutson 2005 mengutip diskusi Holmgren 2002, dalam Freedman,
Enright Knutson, 2005 bahwa tahap pertama menunju pengampunan adalah orang yang terluka perlu memulihkan harga dirinya dan menyadari
bahwa luka yang diterimanya salah, serta bahwa dirinya adalah orang yang berharga dan pantas untuk diperlakukan dengan baik, juga bahwa
kesalahan yang terjadi bukan kekeliruannya. Selain itu, Freedman, Enright Knutson 2005 juga menegaskan bahwa mereka tidak pernah
menyatakan pengampunan sebagai cara tunggal untuk sembuh setelah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terluka secara mendalam, tetapi pengampunan adalah salah satu cara untuk pulih dan secara efektif mengurangi kemarahan dan sakit hati, sebagai
tanggapan atas kritik bahwa kemungkinan ada pendekatan atau tritmen lainnya yang lebih efektif daripada praktik pengampunan Lamb, 2002.
Sementara itu, berkaitan dengan lokasi penelitian yang berada di Indonesia, sebuah penelitian menemukan bahwa sensitivitas terhadap
situasi dan kerelaan untuk mengampuni, dalam kaitannya dengan forgivingness-sebuah disposisi keseluruhan untuk mengampuni, cenderung
lebih tinggi pada orang Indonesia yang dikenal memiliki budaya kolektivitas daripada orang Prancis yang diketahui lebih individualistik.
Sementara itu, kebencian yang berkepanjangan memiliki tingkatan yang lebih rendah pada orang Indonesia dibandingkan orang Perancis.
Penemuan tersebut berkaitan dengan pandangan kolektivitis yang cenderung menekankan norma kolektif, relasi, serta kesejahteraan
bersama, sehingga pengampunan dipahami sebagai konstruk interpersonal yang harus dilakukan karena merupakan suatu tugas sosial. Sementara itu,
dalam budaya individualistik, diri dipandang berdikari dan yang ditekankan adalah tanggungjawab serta kesejahteraan pribadi, sehingga
pengampunan dipahami
sebagai sebuah
konstruk intrapersonal
Suwartono, Prawasti Mullet, 2006. Selain itu, Sandage Williamson 2005 menemukan bahwa studi
terkait efek dari konteks dan kultur dalam hubungannya dengan pengampunan masih sangat minim dilakukan dengan sampel non-Barat
non-western sample. Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa penemuan-penemuan
baru mengenai sistem-sistem nilai yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan pengampunan, sehingga pada akhirnya dapat melihat pula unit-unit
dalam tahapan pengampunan Enright yang sesuai dan tidak sesuai dengan pengalaman mengampuni pada wanita dengan HIVAIDS di Indonesia.