Makna Pengampunan Bagi Informan
meninggal dan menyebabkan informan II harus menjadi janda dengan anak, dalam kondisi sakit dan tidak bekerja, padahal harta
informan II habis untuk pengobatan suaminya. Perasaan negatif informan II diperkuat dengan kesadaran bahwa dirinya akan
mengalami kerugian lainnya yakni tidak ada yang merawat dirinya kelak, dan tidak ada yang merawat anaknya bila ia meninggal
kelak, yang menyebabkan informan II merasa putus asa. Sementara itu, informan I memang tidak sempat merasakan
perasaan-perasaan negatif terhadap suaminya setelah mengetahui status HIV-nya karena hanya berselang beberapa jam, suami
informan I meninggal dunia. Namun, informan I merasa marah kepada Tuhan karena merasa Tuhan tidak adil dengan mengizinkan
dirinya terkena HIV. Hal ini sesuai dengan temuan Riasnugrahani dan Wijayanti 2011 bahwa wanita yang terinfeksi HIVAIDS dari
suaminya cenderung merasa tidak adil akan keadaan tersebut. Setelah suaminya meninggal, informan I baru mulai
mengenali pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh suaminya, yaitu menjadi sumber infeksi HIV dan meninggal.
Informan I juga menyadari cedera psikologis yang dialaminya sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan suaminya, yakni
dirinya merasa kesepian, sedih, bahkan depresi. Informan I kemudian memunculkan emosi negatif berupa rasa benci pada
almarhum suaminya. Bahkan, informan I menyalahkan Tuhan yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mempertemukan dirinya dengan almarhum suaminya dan bertanya mengapa harus dirinya yang mengalami hal tersebut. Hal ini sesuai
dengan penemuan Temoshok Chandra 2000 bahwa seorang ODHA biasanya merasa tidak mampu mengampuni keadaan yang
menyebabkan mereka memperoleh infeksi HIV, misalnya wanita dengan HIVAIDS
yang menyalahkan orangtuanya karena membuat dirinya menikah dengan pria yang berkelakuan buruk
sehingga dirinya terinfeksi HIVAIDS. Sebagai akibat dari perasaan-perasaan negatif yang muncul,
informan I seringkali menangis hingga menjerit-jerit, berpikiran kosong, bahkan berpikiran untuk bunuh diri. Secara umum,
pengalaman informan I dan informan II sesuai dengan penemuan Keawpimon, Songwathana Chuaprapaisilp 2010 bahwa
seorang ODHA
biasanya mengalami
pengalaman ketidakharmonisan berupa stress karena menjadi orang yang
terinfeksi HIV, perasaan tidak menentu seperti putus asa dan muncul pikiran untuk mati; merasa bersalah dan tidak
mengampuni, serta merasa tidak berdaya. Namun, hasil penelitian dengan informan I dan informan II
kurang sesuai dengan penemuan Keawpimon, Songwathana Chuaprapaisilp 2010 bahwa wanita yang terinfeksi HIVAIDS
dari pasangannya merasa marah pada pasangan, bahkan cenderung tidak lagi menghormati dan memperlakukan pasangan dengan
buruk. Hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa informan I mengaku bahwa dirinya tetap bersikap baik pada suaminya
hingga suaminya meninggal. Kendati demikian, sebelum
mengetahui status HIV-nya, informan I sempat tidak mau membersihkan luka-luka di tubuh suaminya karena takut tertular
HIV. Informan II juga bersikap seperti biasa terhadap suaminya,
bahkan tetap melayani dan menyemangati suaminya. Namun, sikap informan II tersebut terjadi karena kondisi suaminya yang sudah
sangat sakit sehingga infoman II tidak mungkin mengekspresikan kemarahannya. Bahkan, informan II menerima permintaan maaf
suaminya dan menyatakan pengampunan. Pada tahap ini, sikap informan II menunjukkan jenis
pengampunan decisional forgiveness, yakni intensi untuk
meminimalisir perilaku negatif terhadap orang yang bersalah, tetapi sesungguhnya belum mengampuni secara emosional, yakni
masih merasakan marah, sakit hati, dan lain sebagainya Exline, Worthington, Hill McCullough, 2003 dalam Hook dkk., 2012.
Selain itu, sikap informan II tersebut juga menunjukkan bahwa informan II berada pada tahap hollow forgiveness, yakni
menunjukkan atau mengungkapkan pengampunan, tetapi secara psikologis belum mengampuni, sehingga tetap merasakan sakit hati
Baumeister dkk., 1998. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI