Relasi Informan dengan Suami Sebelum Informan Terkena
untuk mengetahui sumber infeksi suaminya mengingat suaminya memiliki 2 faktor risiko, yakni sebagai seorang pecandu narkoba
dan dari perilaku berselingkuhnya. Namun, informan I cukup yakin suaminya terkena HIV dari penggunaan jarum suntik secara
bergantian dengan teman-teman pecandunya, yang banyak yang telah meninggal.
Kejadian serupa dialami oleh informan II. Informan II mengetahui suaminya terinfeksi HIV pada tahun 2009, saat
suaminya sakit hingga sudah tidak mampu bangun. Awalnya, suami informan II didiagnosa sakit tipus dan lambung karena
keterbatasan medis. Setelah dipindah ke rumah sakit di Yogyakarta, suami informan II diketahui merupakan seorang
ODHA. Informan II mengakui bahwa sebelum menikah, suaminya tersebut sempat menyampaikan pada informan II bahwa dirinya
telah melakukan tes HIV dan hasilnya negatif. Peristiwa ini dapat dilihat dalam penggalan verbatim wawancara berikut:
“Terus, dia… dia katanya sih, tapi aku kan nggak tahu juga… katanya dia itu dulu udah pernah periksa,
segala macem… cek segala macem. Itu katanya…
hasilnya… negatif. Kayak gitu… semua negatif. Tapi kan aku nggak tahu, nggak liat hasilnya juga.” Informan II,
Baris 1533-1541.
Informan II juga langsung percaya saat mendapatkan informasi mengenai status HIV suaminya. Keyakinan terhadap
kebenaran informasi tersebut muncul karena informan II terlibat lansung dalam proses pemeriksaan HIV VCT suaminya yang
sudah tidak mampu mengikuti sendiri seluruh rangakain proses pemeriksaan. Selain itu, keyakinan informan II juga muncul karena
kenyataan bahwa suaminya adalah seorang pecandu narkoba yang tentunya berisiko untuk terkena HIV. Informan II mengaku bahwa
dirinya tidak mengetahui dengan pasti kapan suaminya mulai terinfeksi HIV. Namun, informan II menduga bahwa suaminya
terinfeksi sejak sebelum menikah, akibat memakai narkoba dengan jarum suntik secara bergantian.
Setelah mengetahui status HIV suaminya, informan I pasrah dan menerima hal tersebut sebagai takdir dan risiko dari
perilaku suaminya. Namun, informan I berpikir bahwa dirinya juga harus mengetahui status HIV-nya sendiri. Kendati demikian, saat
itu informan I tidak menyadari risiko dirinya dan berpikir bahwa hasil tesnya pasti negatif. Informan I sempat berpikir demikian:
“Ah aku pasti hasilnya negatif, aku kan nggak berisiko. Kan yang… kan kalau yang berisiko mbak-mbak
Pekerja Seks. Aku dulu mikirnya gitu. Aku nggak mungkin, aku nggak berisiko.” Informan 1, Baris 763-768.
Selama menunggu kesempatan untuk melakukan tes HIV, informan I merasa takut tertular HIV dari suaminya. Oleh karena
itu, informan I meminta suaminya untuk membersihkan sendiri luka-lukanya, dan suaminya menurut. Namun, informan I mengaku
bahwa dirinya tetap bersikap baik pada suaminya sampai suaminya tersebut meninggal.
Setelah memperoleh hasil tes HIV, dan menemukan bahwa statusnya positif, informan I merasa syok. Namun, informan I
hanya diam, tidak menangis. Informan I juga sempat merasa tidak percaya dan menyangkal hasil tesnya tersebut.
“Ndak percaya Nggak percaya sama hasil tes, jangan-jangan hasil tesnya salah. Namanya juga kan em…
petugas lab itu manusia, gitu. Jangan-jangan hasil labnya salah. Atau alatnya rusak, atau… jadi, nggak percaya
waktu itu. Nggak mungkin.” Informan 1, Baris 795-802.
Berbeda dengan informan I yang pasrah menerima informasi mengenai status suaminya, informan II terlebih dahulu
merasa sedih dan kecewa setelah mengetahui status HIV suaminya. Bahkan, informan II sempat berpikir mengapa dulu dirinya
menikah dengan suaminya tersebut. Hal ini dibuktikan dengan penggalan verbatim wawancara berikut ini:
“Ya sedih sih Mbak. Sedih, kayak kecewa, pasti ada. Terus, ‘Kok aku dulu kok bisa ya nikah sama ini. Kok
aku dulu nggak tahu…’, waktu itu kan ada pikiran juga kayak gitu.” Informan II, Baris 915-920.
Informan II juga sempat merasa ingin marah kepada suaminya, tetapi tidak bisa karena suami sakit, sehingga akhirnya
informan II pasrah dan menerima peristiwa tersebut sebagai jalan Tuhan dan cobaan yang harus dijalani. Informan II kemudian
menjalani tes HIV bersama dengan anaknya sesuai dengan rujukan rumah sakit.
Sebelum tes HIV, informan II merasa takut jika dirinya dan anaknya ternyata positif HIV. Informan II khawatir bahwa jika