Relasi Informan dengan Suami Saat Terkena HIV
Setelah memperoleh hasil tes HIV, dan menemukan bahwa statusnya positif, informan I merasa syok. Namun, informan I
hanya diam, tidak menangis. Informan I juga sempat merasa tidak percaya dan menyangkal hasil tesnya tersebut.
“Ndak percaya Nggak percaya sama hasil tes, jangan-jangan hasil tesnya salah. Namanya juga kan em…
petugas lab itu manusia, gitu. Jangan-jangan hasil labnya salah. Atau alatnya rusak, atau… jadi, nggak percaya
waktu itu. Nggak mungkin.” Informan 1, Baris 795-802.
Berbeda dengan informan I yang pasrah menerima informasi mengenai status suaminya, informan II terlebih dahulu
merasa sedih dan kecewa setelah mengetahui status HIV suaminya. Bahkan, informan II sempat berpikir mengapa dulu dirinya
menikah dengan suaminya tersebut. Hal ini dibuktikan dengan penggalan verbatim wawancara berikut ini:
“Ya sedih sih Mbak. Sedih, kayak kecewa, pasti ada. Terus, ‘Kok aku dulu kok bisa ya nikah sama ini. Kok
aku dulu nggak tahu…’, waktu itu kan ada pikiran juga kayak gitu.” Informan II, Baris 915-920.
Informan II juga sempat merasa ingin marah kepada suaminya, tetapi tidak bisa karena suami sakit, sehingga akhirnya
informan II pasrah dan menerima peristiwa tersebut sebagai jalan Tuhan dan cobaan yang harus dijalani. Informan II kemudian
menjalani tes HIV bersama dengan anaknya sesuai dengan rujukan rumah sakit.
Sebelum tes HIV, informan II merasa takut jika dirinya dan anaknya ternyata positif HIV. Informan II khawatir bahwa jika
dirinya positif kelak, dirinya akan dikucilkan dari masyarakat. Meskipun merasa takut, informan II tidak bisa melakukan apa-apa
karena harus bekerja untuk membayar biaya rumah sakit suami. Setelah menerima hasil pemeriksaan status HIV, dan
mendapatkan bahwa dirinya juga positif, informan II stress dan merasa dunia berakhir. Namun, informan II menjadi sedikit lebih
bersemangat tatkala mengetahui bahwa anaknya bebas HIV. Informan II tidak percaya dengan statusnya sehingga melakukan
tes ulang setelah 3 bulan, dan hasilnya tetap positif. Sebelum melakukan pemeriksaan ulang tersebut, informan II merasa sangat
sedih karena
kondisinya. Informan
II meragukan
hasil pemeriksaannya tersebut karena merasa dirinya tidak pernah
berbuat macam-macam atau berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari penggalan verbatim wawancara berikut
ini: “Ya karena aku merasa kan… aku tuh nggak
pernah yang namanya berhubungan dengan orang lain, terus aku cuma kerjaannya tiap hari di rumah, berladang…
kayak gitu kan waktu itu. Terus… kok bisa kena sakit seperti ini. Jadi bayangannya kan kayak gitu Mbak. Kok
bisa sih kena sakit seperti ini. Aku loh nggak pernah yang namanya macem-macem, neko-neko, kayak gitu. Tapi kok…
kok bisa toh kena sakit seperti ini. Kenapa nggak… nggak yang orang-orang yang… yang sering… sering buat yang
neko-neko. Kayak gitu pikirannya. Makanya aku masih… dites ulang lagi, siapa tahu salah” Informan II, Baris 588-
607.
Selain itu, informan II juga berpikir bahwa dirinya akan segera meninggal, dalam waktu kurang dari 1 tahun. Hal tersebut
terjadi karena pada saat itu, pengetahuan informan II mengenai HIV dan AIDS masih sangat awam. Namun, mengingat anaknya
yang bebas HIV, informan II berpikir bahwa dirinya harus berjuang meskipun sakit.
Setelah mengetahui statusnya, informan I kemudian
memberitahu suaminya mengenai hasil tes tersebut. Suami informan I syok menerima informasi tersebut dan meminta maaf,
sebelum akhirnya meninggal karena sakit AIDS. Informan I tidak sempat merasa marah ataupun benci pada suaminya karena rentang
waktu antara dirinya mengetahui status HIV dan kematian suaminya terbilang cukup singkat, yakni hanya hitungan jam.
Pada saat itu, informan I hanya berpesan pada suaminya agar mau mengurus dirinya apabila mulai sakit-sakitan nanti.
Suami informan I mengiyakan permintaan tersebut dan sempat memuji informan I sebagai perempuan yang luar biasa atas jasa-
jasa dalam rumah tangga mereka. Namun, informan I memandang pujian tersebut sebagai sesuatu yang berlebihan. Menurut informan
I, apa yang telah dirinya lakukan bagi suaminya adalah semata- mata kewajibannya sebagai seorang istri. Informan I merasa tidak
ada perubahan dalam rumah tangganya setelah dirinya dan suami mengetahui status mereka. Kendati demikian, informan I mengaku
bahwa pada saat itu dirinya marah dan merasa Tuhan tidak adil karena mengizinkannya terkena HIV.
Tidak berbeda dengan informan I, suami informan II juga meninggal tidak lama setelah informan II mengetahui status HIV-
nya sendiri. Saat mengetahui status informan II, suami meminta maaf, tetapi tidak melakukan apa-apa karena kondisi sakit.
Informan II menduga bahwa suaminya tersebut menyesal karena setelah mengetahui status informan II, suaminya lebih banyak
berdiam. Informan II mengaku bahwa dirinya merasa marah dan
jengkel pada suaminya karena menularkan HIV padanya. Informan II juga merasa dongkol karena dirinya tidak tahu apa-apa dan tiba-
tiba harus menanggung sakit. Namun, informan II tidak mengekspresikan kemarahan dan kejengkelannya karena kondisi
suaminya yang sakit, bahkan tidak dapat bangun dari tempat tidur, serta informan II memang tidak bisa mendendam. Menurut
informan II, apabila kondisi suaminya pada saat itu sehat, dirinya mungkin akan menunjukkan rasa marahnya. Hal ini dapat dilihat
dari penggalan-penggalan verbatim berikut: “Ya pasti ada rasa marah… mau marah tapi mau
marah gimana, orang saya juga udah terlanjur tertular. Jengkel kayak gitu juga….” Informan II, Baris 1542-
1546.
“Ya cuma dongkol aja di hati. Tapi kan nggak bisa dikeluarin. Cuma dongkol aja di hati, kayak gitu.”
Informan II, Baris 1604-1606. “Orang suami juga udah kondisi seperti itu kan
ndak mungkin aku juga langsung menyalah-nyalahin, “Gara-gara koe kamu aku jadi kayak gini.”, itu juga
nggak mungkin Nanti dia malah ngedrop lagi.” Informan II, Baris 976-982.
“Ke suami sih sempet merasa marah. Tapi kan karena suami saya waktu itu kan kondisinya drop banget,
jadi aku nggak ngelihatin, kayak gitu.” Indorman II, Baris 1568-1571.
Hambatan untuk mengekspresikan kemarahannya pada suami membuat informan II bersikap seperti biasa terhadap suami.
Informan menanggapi permintaan maaf suaminya dengan berkata demikian:
“Yaudalah nggak papa, kalau ini udah terlanjur yah mau gimana lagi, nggak boleh saling menyalahkan.”,
aku cuma bilang gitu aja. “Mungkin udah jalan hidupnya harus kayak gini.”, aku cuma gituin aja. Informan II,
Baris 792-798.
Informan II bahkan tetap melayani suami dan menyemangati suaminya. Informan II juga berpikir bahwa dirinya tidak boleh
hanya suka saat suaminya sehat, dirinya tidak mungkin membenci suami karena mencintai suaminya saat masih sehat.