ODHA Sikap ODHA ORANG DENGAN HIVAIDS

kebencian terhadap seseorang yang telah melakukan sebuah kesalahan, berlaku tidak adil atau menyakiti, ataupun mencelakai orang lain dengan cara tertentu. Pengampunan tidak serupa dengan rekonsiliasi atau menerima alasan orang lain, dan juga bukan berarti serta merta menerima apa yang terjadi dan berhenti menjadi marah. Sebaliknya, pengampunan melibatkan sebuah transformasi yang sukarela dalam hal perasaan, sikap, dan perilaku seseorang terhadap individu yang telah bersalah, sehingga orang tersebut tidak lagi didominasi oleh kebencian dan dapat mengekspresikan belas kasih, kemurahan hati, atau hal-hal serupa lainnya terhadap individu yang bersalah American Psychological Association, 2015. Pengampunan juga didefinisikan sebagai transformasi dari negatif menjadi positif dalam tiga hal, yakni kognisi, afeksi, dan perilaku. Proses pengampunan diekspresikan sebagai sebuah gerakan dari kemarahan dan kepahitan menjadi belas kasihan dan kebajikan. Terlepas dari apapun definisi pengampunan, pilihan untuk mengampuni adalah pilihan yang sangat personal. Pengampunan interpersonal adalah sebuah respon belas kasihan yang personal kepada seseorang yang telah sangat menyakiti kita, maka harus dipilih secara bebas dan tanpa paksaan Holter dkk., 2008. Oleh karena pengampunan adalah sebuah kehendak bebas, maka tidak perlu tergantung dari permintaan maaf ataupun gestur pertobatan dari pelaku kesalahan. Hal ini sama halnya dengan mengatakan bahwa kesehatan dan kesejahteraan personal kita tidak tergantung pada persetujuan ataupun keterlibatan dari seseorang yang telah menyakiti kita. Kesadaran akan hal ini akan sangat memberdayakan dan memerdekakan kita Holter dkk., 2008. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengampunan adalah sebuah sikap yang dipilih secara sukarela berdasarkan kehendak bebas untuk menghilangkan perasaan-perasaan negatif, misalnya rasa kebencian, terhadap orang lain yang telah berbuat salah, mencelakai, menyakiti, ataupun melakukan hal-hal yang tidak adil lainnya kepada kita. Mengampuni tidak berarti bahwa kita menerima dengan sukarela perbuatan orang lain yang menyakitkan terhadap kita dan tidak menghargai hak kita untuk marah ataupun bereaksi negatif terhadap orang tersebut. Namun, mengampuni akan memerdekakan diri kita sendiri dari berbagai kepahitan dan sakit hati serta mengubahnya menjadi belas kasih yang sekaligus dapat menyehatkan kita secara fisik dan psikis. Orang yang mengampuni akan mengalami perubahan secara kognitif, afektif, dan perilaku sehingga dirinya tidak berkeinginan untuk membalas perbuatan pelaku kesalahan dengan cara menyakiti orang tersebut.

2. Proses Pengampunan

Enright 2008, dalam Holter dkk., 2008 menemukan empat fase dalam proses pengampunan yang dinamakan sebagai Enright Psychological Process Model of Forgiveness. Keempat fase tersebut merupakan fase-fase kognitif, perilaku, dan afektif dalam mengampuni orang lain Enright Coyle, 1996. Fase-fase tersebut diharapkan dapat menjadi suatu bentuk panduan bagi orang-orang yang sedang berusaha untuk mengampuni ataupun memperoleh pengampunan, dalam menjalani proses fundamental, manusiawi, dan psikologis dari pengampunan Sutton, t.t.. Berikut merupakan keempat fase pengampunan tersebut: a. Fase Uncovering Pada fase ini, orang yang hendak mengampuni mulai mengenali pelanggaran yang dilakukan orang lain atas dirinya. Selain itu, orang yang hendak mengampuni juga harus mengenali apakah pelanggaran tersebut sungguh merugikan dirinya atau tidak. Berikutnya, orang tersebut juga mulai mengenali bagaimana pelanggaran tersebut telah mengganggu kehidupannya. Fase uncovering terjadi ketika orang yang hendak mengampuni mulai mengidentifikasi cedera psikologis yang dialaminya. Orang yang hendak mengampuni tersebut kemudian akan mulai menyadari kemarahan, rasa malu, dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI