di lingkungan sekitar mereka dengan alasan cukup dirinya yang tahu. Hal tersebut menyebabkan informan II tidak membuka status
HIV-nya kepada kedua mertuanya, sekalipun mereka tinggal bersama. Kondisi tersebut menyebabkan informan II merasa cemas
apabila suatu hari keluarga suami keduanya tahu mengenai statusnya dan menolak dirinya. Menghadapi situasi tersebut,
informan II berkata demikian: “Misalkan suatu saat tahu, kayak gitu, misalkan
mereka nggak terima dengan status aku, ya udah. Paling balik ke kampungku.” Informan II, Baris 1400-1403.
Terhadap anaknya, informan II juga membuka statusnya sekaligus
menjelaskan kondisi
almarhum suaminya
dan mengingatkan pada anaknya bahaya narkoba. Informan II juga
melarang anaknya untuk memegang informan II apabila dirinya mengalami luka yang berdarah. Anak informan II memahami
kondisi penyakit informan II dan sejak itu selalu mengingatkan informan II untuk meminum obat. Bahkan, anak informan II
biasanya mengambilkan obat dan minum bagi informan II. Sikap anak tersebut menjadi penyemangat tersendiri bagi informan II.
“Terus… anakku juga udah ngerti. Terus tak… setiap jam alarm HP bunyi, dia langsung ambilin… ini…
misalkan banyak orang, kayak gitu, dia, “Ma, vitamin dulu.” kayak gitu.” Informan II, Baris 155-160.
“Dia bilangnya vitamin, gitu. Kayak gitu. Ngasih… kayak gitu. Kalau aku belum ngambil, diambilin. Diambilin
air, kayak gitu. Diambilin… dia kasih minum sekalian, kayak gitu. Jadi itu kan… jadi penyemangat juga buat aku,
kayak gitu.” Informan II, Baris 164-171. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Setelah setahun berdiam diri di rumah, informan II mencoba untuk keluar dan akhirnya bertemu dengan KDS D. Oleh
teman-teman KDS, informan II diajak untuk ikut pertemuan, hingga akhirnya bertemu dengan V+. Dalam pertemuan-
pertemuan, informan II banyak menyaksikan ODHA yang sudah terlebih dahulu terkena HIV, ternyata dapat hidup lama dan sehat.
Pertemuan informan II dengan komunitas pendukung seperti KDS dan V+ kemudian mengubah pandangan informan II yang awalnya
berpikir akan segera meninggal, menjadi termotivasi untuk melihat anak dewasa dan sukses.
5. Proses Informan Mengampuni Suami
Hasil wawancara mendalam dengan kedua informan menunjukkan bahwa kedua informan pada akhirnya mampu
mengampuni suami mereka yang menjadi sumber penularan HIV. Namun, proses yang dilalui keduanya hingga mencapai tahap
mengampuni tentu berbeda satu sama lain. Perbedaan dalam proses itu dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman, dukungan, juga
kecederungan-kecenderungan individual. Informan I membutuhkan waktu sekitar dua tahun hingga
mampu menerima keadaannya, termasuk memulai pengobatan medis. Setahun pertama, informan I dalam keadaan yang sangat
naik turun. Informan I menyadari bahwa semakin dirinya menolak keadaan dan virus dalam tubuhnya, semakin kuat rasa bencinya
pada almarhum suaminya. Perlahan, informan I mulai menerima HIV dalam tubuhnya dan rasa bencinya pada almarhum suami juga
turut memudar. Salah satu hal yang mendorong informan I untuk bersikap ikhlas adalah pengalaman mimpi bahwa almarhum suami
meminta maaf. “Kemudian sampe aku dimimpiin… almarhum gitu,
sampe mimpi minta maaf sama aku, kayak gitu-gitu. Ya lama kemudian ya… lama-lama ya… aku ikhlas.”
Informan 1, Baris 1225-1230.
Pada akhirnya, informan I memutuskan untuk mengampuni almarhum suaminya
karena merasa memiliki Tuhan yang
Pengampun, Pengasih, dan Penyayang. Informan I merasa tidak pantas apabila sebagai ciptaan, dirinya mendendam. Setelah
berdamai dengan keadaan, informan I merasa hidupnya lebih lapang. Saat ini, informan I mengaku bahwa dirinya mencintai dan
menyayangi almarhum suaminya. Informan I merasa bahwa rasa bencinya hanya sesaat dan berharap suaminya masih hidup.
Informan I juga tetap membangun citra almarhum suaminya sebagai ayah yang baik bagi anaknya.
“Ya karena kan sebagai anak… kewajiban… kewajiban anak itu kan harus berbakti kepada orangtua.
Jadi ee… ya aku membangun… ee… aku selalu membangun ee… image seorang ayah itu ya memang dia
harus dihormati. Dia harus ee… dihormati ya… kalau masih hidup. Kalau dia sudah meninggal ya berarti
kewajiban anak itu kan adalah… kalau di agamaku, di agama Islam, itu harus mengirim doa, gitu. Itu sih,
makanya tetep… karena itu kewajiban seorang anak ya, ee… kalau orangtua sudah meninggal ya seharusnya
adalah masih mengingat sosok seorang ayah ya dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
cara mengirim doa. Dan aku sih selalu… apa ya… memang membangun image yang bagus di depannya VN, bahwa ya
dia ayahmu, harus kamu… kamu harus selalu kirim doa, gitu. Nggak boleh lupa. Walaupun sudah meninggal.
Walaupun VN-nya juga dia sebenarnya udah lupa bentuknya kayak apa… itu juga sebenarnya udah lupa. Kan
masih kecil, waktu itu masih 3 tahun.” Informan I, Baris 1853-1884
Bahkan, informan I mengaku bahwa ia merasa almarhum suaminya adalah takdirnya.
“Jadi… apa ya. Aku tuh ngerasa dia memang sudah takdir aku, gitu.” Informan 1, Baris 244-246.
Informan I juga merasa bersyukur karena dengan
ditakdirkan untuk bersama, suaminya dapat meninggal dalam keadaan bertobat.
“Ya dari situ ya saya merasa bahwa ya... mungkin ini jalanku, gitu. Aku menikah dengan Almarhum gitu,
karena Alhamdulilahnya sih, puji Tuhannya adalah… setelah kita menikah, kemudian kita punya anak gitu,
Almarhum ee… bisa bersih dari narkoba. Dia bener-bener bisa nggak pake narkoba. Ya kemudian ya istilahnya dia
sudah bisa bertobatlah, kayak gitu, karena waktu meninggalnya pun ee… dia sudah dalam keadaan yang
kembali ke Tuhan… jadi dia sudah apa ya… inget… inget apa… menjalankan perintah-Nya, gitu. Jadi perintah apa…
kewajiban-kewajiban sebagai seorang Muslim itu dia sudah lakukan gitu. Sholat 5 waktu… dengan sedekah,
kayak gitu-gitu. Jadi, ya aku ngerasa ya mungkin aku ditakdirkan… ditakdirkan untuk ketemu dia, ya… ini sudah
jalan.” Informan 1, Baris 542-567.
Informan I percaya saat ini almarhum suaminya sudah beristirahat di tempat yang layak karena telah meninggal dalam keadaan bertobat.
Sementara itu, informan II mengaku bahwa dirinya hanya merasakan emosi-emosi negatif terhadap almarhum suaminya sekitar 2
bulan. Informan II memutuskan untuk melupakan kemarahan dan menerima pengalaman sebagai nasib dan jalan hidup karena berpikir
bahwa Tuhan memberi cobaan tidak melebihi hamba-Nya. Informan II berpikir pula bahwa dirinya diberi cobaan oleh Tuhan karena dianggap
kuat. Selain itu, informan II memutuskan untuk mengampuni almarhum suaminya karena suaminya sudah meninggal dan informan II tersentuh
oleh sikap anaknya yang dapat menerima perbuatan almarhum suaminya dan sering mengajak informan II untuk berziarah ke makam almarhum
suami informan II. Saat ini, informan II mengaku bahwa dirinya sudah tidak memiliki
perasaan apa-apa terkait almarhum suaminya. Informan II juga rutin berziarah ke makam almarhum suaminya bersama dengan anak dan suami
keduanya. Informan II berharap almarhum suaminya diampuni dan mendapat tempat tebaik di sisi Tuhan.
6. Makna Pengampunan Bagi Informan
Setelah mencapai
tahap pengampunan,
kedua informan
memandang pengalaman hidup mereka secara lebih positif. Bahkan, informan II memiliki harapan positif terkait dengan kehidupannya.
Informan I mengaku bawa dirinya menerima pengalaman yang terjadi dalam hidupnya tersebut sebagai takdir Tuhan dan bagian dari
proses kehidupan. Informan I juga mengambil hikmah bahwa hidupnya pasca terkena HIV menjadi lebih bermakna dan bermanfaat bagi orang lain
dan dirinya sendiri. Jika dulu Informan I hanya mengurus suami dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
anaknya, kini dirinya dapat membantu orang-orang yang terpuruk dan dalam keadaan yang pernah dialaminya dulu:
“Jadi, kalau dulu aku marah gitu sama Tuhan, aku ngerasa Tuhan itu nggak adil sama aku. Kenapa sih aku positif HIV,
kenapa sih aku harus dipertemukan Almarhum. Tapi sekarang aku bisa mengambil hikmah dari ini semua, gitu, kalau ternyata
dengan aku menjadi seorang HIV positif, ternyata aku merasa hidupku lebih bermakna, aku merasa hidupku lebih bermanfaat,
gitu, untuk orang lain dan juga untuk diriku, gitu. Yang dulunya mungkin aku lingkupnya hanya di keluarganya, lingkupnya aku
hanya menjadi seorang Ibu Rumah Tangga yang ee… berbakti kepada suami, ngurusin anak, gitu. Tapi sekarang lingkupku
semakin luas, karena lingkupku sekarang sampe ke masyarakat ya, aku bisa banyak membantu orang-orang lain yang dalam keadaan
yang… mereka dalam keadaan terpuruk, mereka dalam keadaan yang ee… apa ya… ya aku dan… aku dulu pernah mengalami itu.
Jadi aku merasa hidupku sekarang menjadi lebih bermanfaat.” Informan I, Baris 1709-1739
Hal yang senada juga disampaikan oleh informan II: “Kalau… ee… peristiwa itu kalau awalnya memang pasti
musibah ya. Musibah, kayak… kena itu. Tapi waktu sampe saat- saat ini malah berbalik kayaknya jadi anugerah deh. Jadi
anugerah. Masalahnya kalau saya nggak terkena HIV, mungkin saya juga nggak bisa kerja seperti ini, terus… saya juga nggak
bisa… malah… jadi naik pesawat juga, kayak gitu. Pelatihan ke Jakarta… pelatihan kayak gitu kan jadi naik pesawat. Kalau saya
nggak kena HIV, saya nggak bisa naik pesawat, kayak gitu. Jadi anugerah… jadi banyak ilmu jugalah yang pasti. Sekarang jadi
bisa, bisa berpola hidup lebih sehat juga. Kalau dulu kan misalnya makan ah mentah-mentah udah biasa, kayak gitu. Biasa nggak…
nggak terlalu gizi, tapi sekarang kan harus lebih dijaga, kayak gitu.” Informan II, Baris 1311-1335.
“Kalau yang… merasa… lega… yang merasa leganya ya itu karena… ya karena kondisi badanku tetep… tetep sehat kayak
gini. Nggak… nggak yang sakit-sakitan. Saya tuh malah nggak gampang sakit sih. Jadi kalau misalkan musim… pergantian
musim kayak gitu banyak yang batuk pilek batuk pilek kayak gitu, alhamdulilahnya juga nggak gampang kena itu, kayak gitu.
Terus… jadi kan aku pikirnya berarti kan walaupun ada virusnya kan aku juga nggak… kekebalan tubuhku nggak serendah itu,
kayak gitu kan. Jadi kan aku lebih inilah… lebih lega, kayak gitu. Terus, sama… yang awalnya aku pikirnya, “Aku pasti mati mati.”