Dinamika Informan Pasca Suami Meninggal
status mereka kepada orang tertentu, bahkan mendapatkan penolakan dari pihak tertentu.
Pada 2007, setelah empat bulan dalam kesendirian, informan I bertemu dengan V+ dan dirujuk untuk bergabung
dengan KDS D. Pada saat itu, belum ada banyak ODHA, sehingga dalam pertemuan KDS tersebut, informan I bertemu dengan baik
perempuan dengan HIV positif, perempuan dari keluarga HIV positif, hingga aktivitis yang peduli ODHA. Dalam pertemuan
tersebut, informan I banyak mendapatkan dukungan. Informan I juga bertemu dengan ODHA yang sehat secara fisik. Berbagai
pengalaman tersebut perlahan mulai menumbuhkan kembali rasa percaya diri informan I.
Terkait dengan keluarga, informan I mengungkapkan status HIV-nya kepada kakak perempuannya yang pertama dan ketiga.
Informan I hanya membuka status kepada kedua saudaranya tersebut karena dirinya memang paling dekat dengan kakak
ketiganya, sekaligus merasa bahwa kakak pertamanya cukup mengayomi. Kakak ketiga informan I mendukung dan memintanya
selalu patuh dalam minum obat. Sementara itu, kakak pertama informan I menanggapi dengan, “Ya sudah.”.
Sementara itu, informan I tidak membuka status kepada kedua orangtuanya karena kondisi keduanya yang tidak
memungkinkan untuk menerima informasi tersebut, juga relasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
informan I dengan orangtuanya yang tidak terlalu akrab. Saat itu, informan I juga berencana untuk mengungkapkan statusnya kepada
anaknya, yang saat itu berusia 3 tahun, ketika anaknya menginjak usia remaja.
Namun, ternyata pada saat duduk di kelas 1 SD, anak informan I sudah mulai bertanya tentang obat yang dikonsumsi
informan I, serta mengingatkan akan bahaya overdosis. Anak informan I juga mulai mencari di internet informasi mengenai obat
tersebut, karena
informan I
memang tidak
pernah menyembunyikan obatnya. Oleh sebab itu, informan I merasa akan
terlambat jika baru mengungkapkan status kepada anak saat SMP, karena sejak kelas 4 atau 5 SD, anaknya sudah tahu mengenai
CD4, dan lain sebagainya. Akhirnya, informan I memutuskan untuk memberitahu
anaknya mengenai kondisinya. Anak informan I kemudian bersikeras ingin menjadi dokter. Anak informan I juga tidak malu
dan mengangkat tema HIV saat melakukan presentasi di sekolah. Informan I mengaku merasa kaget dan bangga atas peristiwa
tersebut. Kendati demikian, informan I mengaku bahwa terkadang dirinya langsung emosi saat anaknya melakukan kesalahan karena
tingkat stessnya yang tinggi. Sementara itu, informan II memiliki pengalaman yang
sedikit berbeda dengan informan I. Setealah suaminya meninggal, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
informan II tidak keluar dari rumah selama satu tahun karena minder akan kondisinya dan takut menghadapi tanggapan
masyarakat. Perilaku informan II tersebut bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, saat suami informan II meninggal, masyarakat sekitar
menunjukkan sikap mendiskriminasi dengan membuat jarak saat melayat. Namun, saat ini masyarakat bersikap biasa saja dengan
informan II, bahkan bersedia untuk makan bersama, karena melihat informan tetap sehat.
Berbeda dengan informan I, informan II mengungkapkan statusnya kepada seluruh anggota keluarganya. Keluarga informan
II sedih mengetahui informasi status informan II, tetapi tidak memperlakukan informan II secara berbeda. Bahkan, kakak
informan II menyatakan kesediaan untuk mengurus pemakaman informan II kelak apabila orang lain takut. Informan II sempat
menghibur kedua orangtuanya yang takut dirinya meninggal, sekalipun di dalam hati informan II juga sebenarnya merasa takut.
Informan II juga membuka statusnya pada suaminya yang sekarang. Suami kedua informan II tersebut menerima kondisi
informan II dan tidak memperlakukan informan II dengan berbeda. Suami informan II tersebut biasanya mengingatkan untuk minum
obat dan jangan kecapean agar tidak mudah sakit. Namun, suami kedua informan II tersebut meminta informan II untuk tidak
mengungkapkan statusnya kepada keluarga suami dan masyarakat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
di lingkungan sekitar mereka dengan alasan cukup dirinya yang tahu. Hal tersebut menyebabkan informan II tidak membuka status
HIV-nya kepada kedua mertuanya, sekalipun mereka tinggal bersama. Kondisi tersebut menyebabkan informan II merasa cemas
apabila suatu hari keluarga suami keduanya tahu mengenai statusnya dan menolak dirinya. Menghadapi situasi tersebut,
informan II berkata demikian: “Misalkan suatu saat tahu, kayak gitu, misalkan
mereka nggak terima dengan status aku, ya udah. Paling balik ke kampungku.” Informan II, Baris 1400-1403.
Terhadap anaknya, informan II juga membuka statusnya sekaligus
menjelaskan kondisi
almarhum suaminya
dan mengingatkan pada anaknya bahaya narkoba. Informan II juga
melarang anaknya untuk memegang informan II apabila dirinya mengalami luka yang berdarah. Anak informan II memahami
kondisi penyakit informan II dan sejak itu selalu mengingatkan informan II untuk meminum obat. Bahkan, anak informan II
biasanya mengambilkan obat dan minum bagi informan II. Sikap anak tersebut menjadi penyemangat tersendiri bagi informan II.
“Terus… anakku juga udah ngerti. Terus tak… setiap jam alarm HP bunyi, dia langsung ambilin… ini…
misalkan banyak orang, kayak gitu, dia, “Ma, vitamin dulu.” kayak gitu.” Informan II, Baris 155-160.
“Dia bilangnya vitamin, gitu. Kayak gitu. Ngasih… kayak gitu. Kalau aku belum ngambil, diambilin. Diambilin
air, kayak gitu. Diambilin… dia kasih minum sekalian, kayak gitu. Jadi itu kan… jadi penyemangat juga buat aku,
kayak gitu.” Informan II, Baris 164-171. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI