Proses Informan Mengampuni Suami

anaknya, kini dirinya dapat membantu orang-orang yang terpuruk dan dalam keadaan yang pernah dialaminya dulu: “Jadi, kalau dulu aku marah gitu sama Tuhan, aku ngerasa Tuhan itu nggak adil sama aku. Kenapa sih aku positif HIV, kenapa sih aku harus dipertemukan Almarhum. Tapi sekarang aku bisa mengambil hikmah dari ini semua, gitu, kalau ternyata dengan aku menjadi seorang HIV positif, ternyata aku merasa hidupku lebih bermakna, aku merasa hidupku lebih bermanfaat, gitu, untuk orang lain dan juga untuk diriku, gitu. Yang dulunya mungkin aku lingkupnya hanya di keluarganya, lingkupnya aku hanya menjadi seorang Ibu Rumah Tangga yang ee… berbakti kepada suami, ngurusin anak, gitu. Tapi sekarang lingkupku semakin luas, karena lingkupku sekarang sampe ke masyarakat ya, aku bisa banyak membantu orang-orang lain yang dalam keadaan yang… mereka dalam keadaan terpuruk, mereka dalam keadaan yang ee… apa ya… ya aku dan… aku dulu pernah mengalami itu. Jadi aku merasa hidupku sekarang menjadi lebih bermanfaat.” Informan I, Baris 1709-1739 Hal yang senada juga disampaikan oleh informan II: “Kalau… ee… peristiwa itu kalau awalnya memang pasti musibah ya. Musibah, kayak… kena itu. Tapi waktu sampe saat- saat ini malah berbalik kayaknya jadi anugerah deh. Jadi anugerah. Masalahnya kalau saya nggak terkena HIV, mungkin saya juga nggak bisa kerja seperti ini, terus… saya juga nggak bisa… malah… jadi naik pesawat juga, kayak gitu. Pelatihan ke Jakarta… pelatihan kayak gitu kan jadi naik pesawat. Kalau saya nggak kena HIV, saya nggak bisa naik pesawat, kayak gitu. Jadi anugerah… jadi banyak ilmu jugalah yang pasti. Sekarang jadi bisa, bisa berpola hidup lebih sehat juga. Kalau dulu kan misalnya makan ah mentah-mentah udah biasa, kayak gitu. Biasa nggak… nggak terlalu gizi, tapi sekarang kan harus lebih dijaga, kayak gitu.” Informan II, Baris 1311-1335. “Kalau yang… merasa… lega… yang merasa leganya ya itu karena… ya karena kondisi badanku tetep… tetep sehat kayak gini. Nggak… nggak yang sakit-sakitan. Saya tuh malah nggak gampang sakit sih. Jadi kalau misalkan musim… pergantian musim kayak gitu banyak yang batuk pilek batuk pilek kayak gitu, alhamdulilahnya juga nggak gampang kena itu, kayak gitu. Terus… jadi kan aku pikirnya berarti kan walaupun ada virusnya kan aku juga nggak… kekebalan tubuhku nggak serendah itu, kayak gitu kan. Jadi kan aku lebih inilah… lebih lega, kayak gitu. Terus, sama… yang awalnya aku pikirnya, “Aku pasti mati mati.” apalagi mau mikirin suami, kayak gitu kan, nyatanya aku bisa menikah lagi, bisa hidup sehat… bisa bermanfaatlah untuk orang lain. Bisa bermanfaat untuk banyak orang.” Informan II, Baris 2001-2026. Informan II juga berharap kehidupannya semakin baik dan bermanfaat bagi banyak orang. Informan II juga berharap dirinya tetap sehat sehingga dapat melihat anaknya tumbuh dewasa. Terkait keluarganya sekarang, informan II berharap keluarganya semakin harmonis dan dirinya dapat memiliki anak lagi, yang tentunya bebas HIV.

E. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, secara umum dapat dilihat bahwa kedua informan mengalami fase kemunculan perasaan- perasaan yang negatif atau tidak produktif setelah mengetahui bahwa mereka terinfeksi HIV dari suami. Namun, pada akhirnya kedua informan menyatakan diri telah mengampuni suami mereka yang menjadi sumber penularan HIV. Oleh karena itu, pada bagian ini, peneliti akan mencoba mengkaji proses pengampunan yang dilalui oleh kedua informan dengan menggunakan Enright Psychological Process Model of Forgiveness Enright, 2008 dalam Holter dkk., 2008.

1. Fase Uncovering

Ciri khas fase ini adalah penentuan mengenai “siapa melakukan apa kepada siapa” Sutton, t.t.. Pada fase ini, kedua informan mulai mengenali bahwa suami mereka telah melakukan kesalahan dengan menjadi sumber penularan HIV. Pada informan II, fase ini tampak tepat setelah dirinya mendapatkan informasi bahwa dirinya berstatus HIV positif. Hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan informan II bahwa dirinya merasa stress dan dunia berakhir. Pada saat itu, informan II juga menunjukkan bahwa dirinya telah mengenali bahwa penularan HIV dari suaminya tersebut merugikan dirinya. Adapun kerugian yang mampu diidentifikasi oleh informan II adalah kesadaran bahwa dirinya harus menanggung sebuah penyakit yang dapat berhujung pada kematian saat dirinya merasa tidak tahu apa-apa dan tidak pernah berbuat macam-macam ataupun berhubungan dengan orang selain suaminya. Selain itu, informan II juga menyadari bahwa penyakit yang dimilikinya berpotensi membuat dirinya dikucilkan dari masyarakat. Hal ini sesuai dengan unit ke-7 dalam fase uncovering, yakni kesadaran bahwa luka yang diderita dapat secara permanen dan merugikan mengubah seseorang. Kesadaran akan pelanggaran yang dapat mengganggu hidupnya dan cedera psikologis yang mungkin dialaminya tersebut menyebabkan informan II kemudian memunculkan perasan- perasaan negatif berupa kemarahan, kejengkelan, dan kedongkolan pada suaminya sebagai orang yang bersalah. Selain itu, informan II juga merasa marah, emosi, dan jengkel karena menyadari bahwa suaminya semakin memperbesar pelanggarannya dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI meninggal dan menyebabkan informan II harus menjadi janda dengan anak, dalam kondisi sakit dan tidak bekerja, padahal harta informan II habis untuk pengobatan suaminya. Perasaan negatif informan II diperkuat dengan kesadaran bahwa dirinya akan mengalami kerugian lainnya yakni tidak ada yang merawat dirinya kelak, dan tidak ada yang merawat anaknya bila ia meninggal kelak, yang menyebabkan informan II merasa putus asa. Sementara itu, informan I memang tidak sempat merasakan perasaan-perasaan negatif terhadap suaminya setelah mengetahui status HIV-nya karena hanya berselang beberapa jam, suami informan I meninggal dunia. Namun, informan I merasa marah kepada Tuhan karena merasa Tuhan tidak adil dengan mengizinkan dirinya terkena HIV. Hal ini sesuai dengan temuan Riasnugrahani dan Wijayanti 2011 bahwa wanita yang terinfeksi HIVAIDS dari suaminya cenderung merasa tidak adil akan keadaan tersebut. Setelah suaminya meninggal, informan I baru mulai mengenali pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh suaminya, yaitu menjadi sumber infeksi HIV dan meninggal. Informan I juga menyadari cedera psikologis yang dialaminya sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan suaminya, yakni dirinya merasa kesepian, sedih, bahkan depresi. Informan I kemudian memunculkan emosi negatif berupa rasa benci pada almarhum suaminya. Bahkan, informan I menyalahkan Tuhan yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI