a, d, u menjadi b-a ba dibaca atau dieja be-a

b. Sesudah Pramembaca Anak dikenalkan tentang lafal atau ucapan kata menirukan guru, intonasi kata dan intonasi kalimat lagu kalimat sederhana, huruf-huruf yang sudah dikenal anak, dan kata-kata baru yang bermakna. Tahap pertama, anak dikenalkan secara bertahap dengan keempat belas huruf yaitu: 1 a, i,m, dan n, 2 u, b, dan l, 3 e, t, dan p, 4 o dan d, 5 k dan s. 2. Kelas I Semester Kedua Materi pembelajaran membaca permulaan berikutnya adalah bacaan kurang lebih 10 kalimat dibaca dengan lafal dan intonasi yang wajar, kalimat-kalimat sederhana untuk dipahami isinya, dan huruf kapital pada awal kata nama orang, Tuhan, agama, kitab suci. 2.1.2.1.2 Metode Pembelajaran Membaca Permulaan Selain materi pembelajaran, Solchan 2008: 6.16-6.22 menguraikan enam metode dalam pembelajaran membaca permulaan. Keenam metode tersebut adalah metode eja, metode bunyi, metode suku kata, metode kata, metode global, dan metode SAS. Peneliti menggunakan metode eja, metode suku kata, dan metode kata. Berikut uraian dari ketiga metode tersebut. 1. Metode Eja Metode ini memulai pengajarannya dengan memperkenalkan huruf-huruf secara alfabetis. Huruf-huruf tersebut dihafalkan dan dilafalkan anak sesuai dengan bunyinya menurut abjad. Setelah tahapan ini, siswa diajak untuk berkenalan dengan suku kata dengan merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenal. Misalnya:

b, a, d, u menjadi b-a ba dibaca atau dieja be-a

ba 2. Metode Suku Kata Metode ini diawali dengan pengenalan suku kata, seperti ba, bi, bu, be, bo. Suku-suku kata tersebut, kemudian dirangkaian menjadi kata-kata bermakna. Misalnya: cu-ci Kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan perangkaian kata menjadi kelompok kata sederhana. Contoh: ka-ki ku-da 3. Metode Kata Metode ini disebut juga metode kata lembaga. Dalam pembelajarannya, diawali dengan pengenalan kata tertentu kemudian diuraikan menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf-huruf. Selanjutnya, perangkaian huruf menjadi suku kata dan suku kata menjadi kata. Dengan kata lain, hasil pengupasan dikembalikan ke bentuk asal sebagai kata lembaga kata semula. Contoh: kaki ---- ka-ki ---- k-a-k-i ---- ka-ki ---- kaki Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca permulaan adalah pembelajaran membaca tahap awal di kelas I dan II dengan menggunakan metode-metode membaca yang disesuaikan dengan kemampuan membaca yang akan dicapai. 2.1.2.2 Menulis Permulaan Solchan 2008: 9.4 menjelaskan bahwa siswa SD yang baru masuk sekolah diperkenalkan dengan bentuk huruf-huruf. Pada hakikatnya, huruf-huruf itu dibentuk oleh garis-garis maka siswa diperkenalkan dan dilatih untuk membuat garis putus-putus, garis lurus, garis lengkung, dan garis bulat yang merupakan dasar untuk menulis sebuah huruf. Di samping itu, siswa dibiasakan untuk menulis dengan sikap yang benar. Oleh karena itu, keterampilan menulis bukan merupakan kemampuan otomatis yang dibawa sejak lahir. Keterampilan menulis yang handal hanya diperoleh dengan banyak latihan menulis. 2.1.2.2.1 Materi Menulis Permulaan Materi menulis permulaan untuk kelas I semester pertama dan kedua diuraikan oleh Slamet 2014: 45-47 sebagai berikut: 1. Kelas I Semester Pertama Tahap ini disebut sebagai persiapan pramenulis permulaan. Hal-hal yang perlu dibiasakan anak meliputi duduk wajar dan baik, meletakkan buku tangan dengan jarak ke mata yang cukup dengan sudut tegak lurus, memegang buku dengan baik, membuka buku dari kanan ke kiri, melihat tulisan dari kiri ke kanan, melemaskan lengan tangan dengan gerakan menulis di udara, memegang pensil dengan benar, melemaskan jari dengan mewarnai, menjiplak, menggambar, meniru, melatih dasar menulis, dan melemaskan jari dengan cara menuliskan huruf dengan menggunakan jari. 2. Kelas I Semester Kedua Siswa mulai melakukan penulisan kata-kata dan kalimat sederhana yang sudah dikenal atau yang baru dengan huruf balok. Materi lainnya yang harus dikuasai siswa berikutnya adalah menyalin kata-kata yang cocok dengan gambar yang ditunjukkan guru, menulis jelas dan rapi, menulis kata yang didiktekan guru, menulis kalimat sederhana yang dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri tanda titik, penggunaan huruf kapital untuk nama orang, nama Tuhan, dan nama agamakitab suci. 2.1.2.2.2 Metode Pembelajaran Menulis Permulaan Dalam pengenalan menulis permulaan, metode yang digunakan tidak berbeda jauh dengan metode pengenalan membaca permulaan. Metode mana yang paling sesuai dengan perkembangan anak itulah yang dipilih. Membaca dan menulis saling terkait, sehingga metode dalam menulis permulaan mengikuti metode membaca yang digunakan Slamet, 2014: 49. Dengan demikian, menulis permulaan adalah pembelajaran menulis tahap awal di kelas I dan II dengan penguasaan kegiatan pramenulis yang berkembang menjadi kegiatan menulis yang lebih kompleks dan bertahap. Penguasaan keterampilan menulis didukung dengan keragaman materi yang diberikan secara bertahap untuk melatih kemampuan siswa. 2.1.2.3 Membaca Menulis Permulaan Membaca Menulis Permulaan MMP merupakan pembelajaran tahap awal di kelas rendah. Disebut permulaan karena hal pertama yang diajarkan kepada anak pada awal-awal masa persekolahan itu adalah kemampuan membaca dan menulis yang lebih diorientasikan pada kemampuan membaca dan menulis tingkat dasar, yakni kemampuan melek huruf dan kemampuan menulis mekanik. Kedua kemampuan ini akan menjadi landasan dasar bagi pemerolehan bidang- bidang ilmu lainnya di sekolah Solchan, 2008: 6.12. Kemampuan melek huruf ini selanjutnya dibina dan ditingkatkan menuju pemilikan kemampuan membaca tingkat lanjut, yakni kemampuan melek wacana yang merupakan kemampuan membaca yang sesungguhnya. Kemampuan mengubah lambang-lambang tulis menjadi bunyi-bunyi bermakna disertai pemahaman akan lambang-lambang tersebut Solchan, 2008: 6.12. Pada dasarnya, tujuan dari membaca dan menulis permulaan ialah memberi bekal pengetahuan dan keterampilan kepada siswa untuk mengenalkan tentang teknik-teknik membaca dan menulis permulaan dan mengenalkan teknik menangkap isi bacaan dan dapat menuliskannya Slamet, 2014: 49. Berdasarkan paparan di atas, membaca dan menulis permulaan merupakan kemampuan membaca dan menulis yang diorientasikan pada kemampuan membaca dan menulis tingkat dasar. Membaca dan menulis merupakan dua hal yang penting dan sangat diperlukan untuk memperluas pengetahuan, mempertinggi daya pikir, dan mempertajam penalaran. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan alat peraga berbasis metode Montessori untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan. 2.1.3 Metode Montessori Sub bab ini menguraikan sejarah Montessori dan prinsip pendidikan Montessori. 2.1.3.1 Sejarah Montessori Maria Montessori lahir pada 31 Agustus 1870 di Chiaravalle, provinsi Ancona di Italia. Montessori adalah anak tunggal dari Allessandro Montessori, seorang manajer bisnis di perusahaan monopoli tembakau milik negara; dan Renilde Stopani, perempuan berpendidikan dari sebuah keluarga terpandang Gutex, 2013: 1. Montessori memiliki kemauan keras untuk menjadi seorang dokter dan pada tahun 1896 beliau berhasil menjadi dokter wanita pertama di Universitas Roma. Beliaupun kemudian mengajar ilmu kesehatan dan antropologi di institut keguruan wanita di Roma. Tahun 1900 Montessori bekerja di klinik psikiatri di Roma dengan menjadi direktur sekolah ortoprenik yang mempersiapkan para guru untuk anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan. Montessori mengambil spesialisasi kedua dalam ilmu pendidikan, psikologi eksprerimen, dan antropologi di Universitas Roma pada tahun 1901. Casa dei Bambini yang pertama di Via dei Marsi dibuka pada tanggal 6 Januari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1907 lalu diiikuti tahun 1908 membuka Casa dei Bambini di Via Solari, Milan Magini, 2013: 103-111. Pada akhirnya Montessori mengundurkan diri sebagai dosen di Universitas Roma dan meninggalkan praktik sebagai dokter untuk fokus pada pendidikan. Di tahun yang sama yaitu tahun 1911, pendekatan Montessori sudah mulai dipakai di sekolah-sekolah di Inggris dan Argentina, juga mulai diterapkan di sekolah- sekolah dasar di Italia dan Swiss. Mulai tahun 1913, Montessori menyelenggarakan kursus pelatihan dan kongres Montessori di berbagai negara di Eropa dan sekitarnya. Montessori mengabdi pada pendidikan hingga wafatnya pada tanggal 6 Mei 1952 di Noordwijk aan Zee, Belanda Magini, 2013: 103- 111. 2.1.3.2 Prinsip Pendidikan Motessori Montessori mendefinisikan pendidikan sebagai sebuah proses dinamis dimana anak-anak berkembang menuru t “ketentuan-ketentuan dalam” dari kehidupan mereka, dengan “kerja sukarela” mereka ketika ditempatkan dalam sebuah lingkungan yang disiapkan untuk memberi mereka kebebasan dalam ekspresi diri. Anak-anak, menurut Montessori, secara alamiah dan secara enerjik berusaha untuk mencapai kemandirian fungsional yang merangsang anak menuju aktivitas diri untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut dan kemandirian yang lebih besar. Kemandirian berarti mampu melakukannya sepenuhnya oleh dirinya sendiri Gutex, 2013 : 75. Sekolah dalam pendidikan Montessori merupakan sebuah lingkungan yang dipersiapkan dimana anak mampu untuk berkembang secara bebas dalam kecepatan mereka sendiri, memungkinkan anak-anak, melalui kegiatan dengan bahan pembelajaran yang bersifat mengoreksi diri, melatih dan mengembangkan indra-indra dan pemikiran mereka dengan menggunakan prinsip-prinsip dalam Montessori tentang “kebebasan dari para murid dalam manifestasi spontan mereka dan kebebasan dalam beraktivitas. Aktivitas anak dipandu oleh seorang direktris, dimana direktris tersebut memiliki peran sebagai pemandu proses pembelajaran anak tanpa melakukan campur tangan Gutex, 2013 : 75. Terdapat delapan prinsip dalam pendidikan Montessori yang diungkapkan oleh Lillard 2005: 29-33, kedelapan prinsip tersebut adalah 1 Pergerakan dan pemikiran yang berkaitan erat, dan pergerakan dapat meningkatkan pemikiran dan pembelajaran, 2 Kebebasan dalam memilih dan memberikan kontrol diri, 3 Ketertarikan belajar. Anak dapat belajar dengan lebih baik apabila mereka tertarik pada apa yang mereka pelajari, 4 Menghindari penghargaan ekstrinsik, 5 Pembelajaran kolaboratif antar teman sebaya, 6 Pembelajaran dalam konteks akan lebih mendalam dan lebih memperkaya daripada pembelajaran abstrak, 7 Pentingnya bentuk-bentuk interaksi guru terhadap anak, dan 8 Keteraturan lingkungan dan pikiran yan bermanfaat bagi anak. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode Montessori merupakan metode yang menekankan pada kebebasan, kemandirian, yang melatih dan mengembangkan indra-indra dan pemikiran anak dengan menggunakan prinsip-prinsip dalam Montessori. 2.1.4 Perkembangan Anak Perkembangan adalah serangkaian perubahan yang berlangsung secara terus menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ke tahap kematangan melalui pertumbuhan, pemasakan, dan belajar Desmita, 2009: 9. Perkembangan menurut Piaget merupakan proses spontan dimana organisme memainkan peran aktif. Proses perkembangan terdiri atas empat faktor: maturasi, pengalaman transmisi sosial, dan faktor ekuilibrasi yang bersifat menyatukan semuanya Salkind, 2009: 313. Piaget membagi perkembangan kognitif menjadi empat tingkatan, yakni sensori-motor 0-2 tahun, pra-operasional 2-7 tahun, operasional konkret 7-11 tahun, dan operasi formal lebih dari 11 tahun Dahar, 2011: 136. 2.1.4.1 Tahap Sensori-Motor 0-2 tahun Pada tahap ini, bayi bergerak dari tindakan refleks instinktif pada saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia melalui pengoordinasian pengalaman-pengalaman sensor tindakan fisik Desmita, 2009: 101. 2.1.4.2 Tahap Pra-Operasional 2-7 tahun Anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar- gambar. Kata dan gambar ini menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi indrawi dan tindakan fisik Desmita, 2009: 101. 2.1.4.3 Tahap Operasional Konkret 7-11 tahun Pada tahap ini anak akan dapat berpikir logis mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk yang berbeda Desmita, 2009: 101. Apabila anak dihadapkan dengan suatu masalah secara verbal, yaitu tanpa adanya bahan yang konkrit, maka ia belum mampu untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik Haditono, 2006: 223. 2.1.4.4 Tahap Operasi Formal lebih dari 11 tahun Dalam tahap ini, anak berpikir dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan lebih idealistik Desmita, 2009: 101. Anak bisa menggunakan pertimbangan masa lalu dan masa yang akan datang ketika dihadapkan pada situasi-situasi yang baru. anak bisa menangani masalah-masalah yang ada dalam semua bingkai waktu Salkind, 2009: 346-347. Selain Piaget, Montessori mengidentifikasi periode perkembangan anak menjadi tiga yaitu: absorbent mind 0-6 tahun, periode usia 6-12 tahun periode kedua, dan periode usia 12-18 tahun periode ketiga. Selama tahap absorbent mind, anak-anak menyerap informasi dan membangun konsep melalui eksplorasi lingkungan, menggunakan bahasa, dan mulai masuk ke dunia yang lebih besar dari kebudayaan kelompok mereka. Selama periode kedua, keterampilan dan kemampuan mulai muncul dan terus berkembang, dilatih, diperkuat, disempurnakan, dan dikembangkan. Periode ketiga, bersamaan dengan usia remaja, terjadi perubahan fisik yang besar dan menuju kematangan yang sempurna. Sang remaja berusaha untuk memahami peran-peran sosial dan ekonomi dan berusaha menemukan posisinya di tengah masyarakat Gutek, 2004: 49-50. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan anak adalah serangkaian perubahan pada anak yang berlangsung secara terus menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ke tahap kematangan melalui pertumbuhan, pemasakan, dan belajar. Perkembangan siswa kelas I usia 6-7 tahun masuk dalam tahap operasional konkret dan periode kedua dalam periode perkembangan oleh Montessori. Pada tahap ini, siswa dapat melakukan operasi logis yang dihadapkan pada permasalahan yang konkret. Kemampuan tersebut perlu dilatih, diperkuat, dan dikembangkan untuk mempertajam keterampilan-keterampilan mereka. Oleh karena itu, alat peraga sangat dibutuhkan oleh siswa SD untuk melatih kemampuan memecahkan permasalahan logis melalui benda-benda konkret. 2.1.5 Alat Peraga Montessori Sub bab alat peraga Montessori menguraikan pengertian alat peraga, fungsi alat peraga, kriteria alat peraga dan alat peraga berbasis metode Montessori. 2.1.5.1 Hakikat Alat Peraga Alat peraga adalah media alat bantu pembelajaran dan segala macam benda yang digunakan untuk memperagakan materi pelajaran. Segala sesuatu yang masih bersifat abstrak, kemudian dikonkretkan dengan menggunakan alat agar dapat dijangkau dengan pikiran yang sederhana dan dapat dilihat, dipandang, dan dirasakan Arsyad, 2014: 9. Menurut Estiningsih dalam Prastowo, 2015: 298, alat peraga merupakan media pembelajaran yang mengandung atau membawakan ciri-ciri dari konsep yang dipelajari. Sementara Sanaky dalam Prastowo, 2015: 298 mengartikan alat peraga sebagai suatu alat bantu yang digunakan oleh siswa untuk memperagakan materi pembelajaran. Menurut Asyhar dalam Prastowo, 2015: 298 alat peraga adalah media yang memiliki ciri danatau bentuk dari konsep materi ajar yang digunakan untuk memperagakan materi tersebut sehingga materi pembelajaran lebih mudah dipahami oleh siswa. Penggunaan alat peraga sangat dibutuhkan terutama untuk menjelaskan konsep atau materi yang abstrak. Alat peraga berfungsi untuk menerangkan atau memperagakan suatu mata pelajaran dalam proses belajar mengajar Sudono, 2010: 14. Prastowo 2015: 295 menjelaskan kegunaan dari alat peraga yang antara lain untuk: pertama, membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya, kedua, mengilustrasikan dan memantabkan pesan dan informasi, dan ketiga, menghilangkan ketegangan dan hambatan dan rasa malas siswa. Berdasarkan teori di atas, alat peraga merupakan media yang menggambarkan, mengilustrasikan, atau mencirikan tentang konsep materi ajar yang diajarkan, sehingga siswa lebih mudah memahami materi tersebut. Alat peraga memiliki fungsi dan kriteria tertentu. Salah satu metode pembelajaran yang memiliki ciri khas dengan penggunaan alat peraganya adalah metode Montessori. 2.1.5.2 Alat Peraga Berbasis Metode Montessori Alat peraga berbasis metode Montessori memiliki ciri-ciri yaitu menarik, bergradasi, auto-correction, auto-education, dan kontekstual. Ciri yang pertama adalah menarik. Alat peraga Montessori dibuat agar dapat menarik perhatian dari anak. Jika anak mulai tertarik dengan alat peraga tersebut, maka mereka dapat belajar dengan lebih mendalam. Alat peraga tersebut dapat digunakan dalam berbagai bentuk permainan yang membuat suasana belajar menjadi lebih berkesan dan menyenangkan Gutek, 2013: 235-239. Ciri yang kedua adalah bergradasi. Dilihat dari segi fisik alat peraga Montessori, gradasi yang dimaksud ialah gradasi warna, kekerasan, berat, dan rangsangan-rangsangan yang akan dimunculkan oleh anak. Alat peraga bergradasi ini melibatkan panca indera anak sehingga memungkinkan berbagai macam rangsangan yang muncul dari anak. Oleh karena itu, alat peraga dibuat agar dapat melatih indera, dapat digunakan untuk berbagai macam usia dan berbagai macam konsep Gutek, 2013: 234-240. Ciri yang ketika adalah auto-correction. Alat peraga Montessori memiliki ciri khas dimana dalam penggunaannya siswa dapat mengontrol setiap kesalahan. Anak berproses untuk memperbaiki kesalahannya dan melakukan perbaikan ini dengan berbagai cara. Dalam mengalami proses tersebut, anak dibantu dengan adanya control of error pengendali kesalahan yang ada pada setiap alat peraga Montessori, 2002: 171. Ciri yang keempat adalah auto-education. Tujuan dari penggunaan alat peraga Montessori adalah untuk memunculkan pembelajaran sendiri. Pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran yang memungkinkan anak belajar mandiri. Direktris sebutan untuk guru di sekolah Montessori tidak perlu ikut campur, cukup mengamati dan memberikan kebebasan untuk anak bekerja Montessori, 2002: 172-173. Ciri yang kelima adalah kontekstual. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lillard 2005: 29-33, pembelajaran dalam Montessori disesuaikan dengan konteks. Hal itu dikemukakan karena pembelajaran dalam konteks akan lebih mendalam dan memperkaya pemahaman siswa daripada belajar dengan pembelajaran yang abstrak. Oleh karena itu, kontekstual yang dimaksud adalah sesuai dengan lingkungan, dekat dengan anak, dan terdapat di lingkungan sekitar. Berdasarkan uraian di atas, alat peraga berbasis metode Montessori adalah alat peraga yang memiliki ciri-ciri menarik, bergradasi, auto-correction, auto- education, dan kontekstual. Peneliti mengembangkan alat peraga yang sesuai dengan kelima ciri alat peraga Montessori. Peneliti mengembangkan dari alat peraga Montessori yang sudah ada dengan membuat beberapa modifikasi. Alat peraga yang dikembangkan menarik, berwarna, cara penggunaannya menyenangkan, dan dapat dikembangkan dengan berbagai macam permainan. Alat peraga bergradasi karena dapat digunakan oleh berbagai usia dan berbagai konsep dalam pengajaran bahasa. Terdapat pengendali kesalahan dimana siswa dapat menemukan dan memperbaiki kesalahan sendiri auto-correction. Sehingga akan memungkinkan timbulnya pembelajaran sendiri tanpa didampingi oleh guru auto-education. Bahan pembuatan alat peraga dapat ditemukan di sekitar anak. Alat peraga yang dikembangkan oleh peneliti adalah alat peraga membaca dan menulis permulaan berbasis metode Montessori.

2.2 Penelitian yang Relevan