Latar Waktu Latar Peristiwa

37 masyarakat. Ia dapat menyuarakan pembelaan mereka kepada Hakim dan Lelaki III yang merupakan representasi sosok penguasa.

2.4.2 Latar Waktu

Secara tekstual, tidak ada penunjuk waktu yang disebutkan secara eksplisit dalam drama MNdBT. Tetapi, mengingat kapan karya ini ditulis dan latar belakang proses penulisan drama ini, dapat diasumsikan bahwa ini terjadi di sekitar tahun 1993 atau setelahnya, yaitu suatu waktu setelah pengadilan kasus Marsinah digelar. Hal ini diperkuat ketika Tokoh menyinggung seorang buruh perempuan yang mati secara tidak manusiawi tanpa pembelaan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan 25. 25 TOKOH: Karena aku muak. Karena aku tidak sanggup, di liang kubur ini aku masih harus mencium bau kemunafikan. Seorang perempuan, seorang buruh kecil dianiaya, disiksa, dibunuh dengan keji, hanya karena dia ingin mengubah nasibnya, lepas dari kungkungan kemiskinan.Hanya karena dia membela kawan-kawannya senasib. Kalian ada di sana waktu itu. Kalian tahu persis kenapa, dan bagaimana perempuan itu diperlakukan dengan tidak berperikemanusiaan.Apa yang kalian lakukan waktu itu? Berteriak Apa yang kalian lakukan? Sarumpaet, 1997:88 Dalam drama ini terdapat seorang tokoh penguasa otoriter yang secara implisit merepresentasikan Soeharto. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa saat cerita ini terjadi Soeharto masih hidup pada zaman Orde Baru. Hal itu ditunjukkan dalam kutipan 26. 38 26 TOKOH: Satu saat, dia mengeluarkan sebuah surat keputusan, yang membuat orang-orang yang senasib denganku betul- betul merana. Jangankan protes. Mengeluh kami. Hanya mengeluh. Sebuah senapan sudah melotot di depan hidung kami. Sarumpaet, 1997:64

2.4.3 Latar Peristiwa

Dalam drama ini diceritakan mengnai keadaan masyarakat yang tidak menentu, seperti pada situasi masa akhir Orde Baru; banyak terjadi pembangunan yang tidak berjalan lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Melalui penuturan Tokoh, dapat diketahui banyak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi. Salah satu contoh praktik korupsi diceritakan melalui penuturan Tokoh. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan 27. 27 TOKOH: [….] Laki-laki sialan ini merampok hajat hidup orang banyak. Merampok satu koma tiga trilyun rupiah, hanya dengan mengandalkan sebuah pena, sambil nyengar- nyengir dan itu hak rakyat. Sarumpaet, 1997:67 Dalam penegakan hukum pun terjadi praktik kolusi. Hal ini terlihat melalui penuturan Tokoh dan Hakim. Dalam kutipan ini, ditunjukkan ketidakberdayaan lembaga peradilan sebagai penegak hukum. Keputusan mereka sering dipengaruhi oleh campur tangan penguasa. Hal tersebut diungkapkan Tokoh seperti dalam kutipan 28. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39 28 TOKOH: Lalu saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan.Dan kamu, Ibu Hakim, tidak tahu apa-apa? [….] HAKIM: […] Tidak Lembaga peradilan bukan segalanya Menarik napas panjang, berat ada kekuatan lain di sana... Sarumpaet, 1997:43-44 Selain ketidakadilan dalam penegakan hukum, dalam kutipan tersebut disebutkan pula mengenai kasus Marsinah yang belum tuntas belum ditemukan siapa pelakunya. Dalam kasus Marsinah, para terdakwa dalah atasan-atasan Marsinah dan seorang tentara Forum Keadilan, No. 2, 28 April 2002. Sama seperti pada masa Orde Baru, banyak orang yang dibungkam ketika menyuarakan perlawanan. Pembungkaman tersebut berakhir dengan kehilangan atau kematian seseorang. Hal tersebut tercermin ketika Itut dan Nining berusaha membela Kuneng, tetapi kemudian ditekan oleh petugas. Selain itu, dikisahkan juga mengenai sosok Ibu yang kehilangan “anak-anaknnya” ketika menyammpaikan hak-hak mereka. Pembungkaman ini dipertegas melalui penuturan Tokoh pada kutipan 29. 29 TOKOH: […] Jangankan protes. Mengeluh kami. Hanya mengeluh. Sebuah senapan sudah melotot di depan hidung kami. Sarumpaet, 1997:64 40

2.5 Rangkuman