Nining Ibu Rangkuman ANALISIS UNSUR DRAMA

33

2.3.3 Tokoh Deutragonis

a. Nining

Nining adalah salah satu teman Kuneng sesama buruh.Ia memiliki sifat yang keras. Sifatnya itu cenderung ia terapkan pula kepada orang lain. Hal itu tergambar seperti dalam kutipan 19. 19 NINING: Kenapa Neng? Sakit lagi? Marah pada siapa kita Kuneng? Ha? Pada siapa kita harus marah? Ini nasib kita Kuneng, dan akan selalu begini. Mengeluh, menangis, hanya membuat kita semakin menderita. Yang bisa kita lakukan hanya menerima, pura-pura melupakan sakitnya. Karena tidak aka nada yang membaik. Perbaikan bukan utuk kita, Neng… Ngerti nggak? […] Aku cuma nggak mau dia cengeng. Dia harus ngerti, tidak ada yang bisa menolong dirinya, selain dirinya sendiri. Supaya dia jangan mimpi. Supaya jangan dia kira bakal ada Malaikat yang akan datang menolongnya. Sarumpaet, 1997:16-17

b. Itut

Itut adalah salah seorang teman Kuneng sesama buruh. Ia keras, tetapi dapat bersikap lebih sabar terhadap sahabat-sahabatnya. Ia setia terhadap sahabatnya, dan jika ada ketidakadilan terjadi, ia berani untuk melawannya. Hal itu tercermin dalam kutipan 20. 20 ITUT: Bisa Untuk lapar apa pun bisa. Bapak pikir saya main-main? Bapak pikir, nyawa saya, nyawa mereka- 34 mereka ini, atau nyawa Kuneng tadi main-main? Kalau Bapak, atau orang-orang semacam Bapak, membutuhkan penyakit atau peristiwa-peristiwa besar untuk mati, kami tidak. Lapar cukup membuat kami mampus seketika. Itu sebab bagi kami, lapar membuat semua perbuatan jadi pantas.Mau jadi pelacur, maling, perampok, termasuk pembunuh. Sarumpaet, 1997:28

2.3.4 Tokoh Foil

a. Ibu

Ibu dalam drama ini adalah salah seorang roh yang anak-anaknya hilang karena banyak alasan: anak yang termakan janji-janji manis dan kosong, anak yang harus berjuang keras agar bisa bertahan hidup, dan anak yang hilang karena memperjuangkan keadilan. Ia selalu berduka. Peran Ibu dalam drama ini hanya menjadi seorang pengawas kehidupan anak-anaknya. Di akhir drama, meski tidak dapat berbuat banyak, ia berusaha menghibur Tokoh dan menenangkan kemarahannya. Ibu dalam drama ini adalah ibu milik semua orang, yang bersedih atas kehilangan anakanaknya.seperti yang ada dalam kutipan 21. 21 TOKOH: Ibu adalah ketabahan, ketegaran, berhasta kepalangan dada… Tapi Ibu jugalah mata air yang tak henti mengucur meratapi bumi yang dilahirkannya, yang memelihara bara api di dada, mengira dapat menahannya dari kobaran, hanya dengan keikhlasan. Ibu adalah luka, yang menata di relung hatinya kepedihan-kepedihan yang lahir di rahim sendiri… Sarumpaet, 1997:103-104 35

2.4 Latar

Latar yang dianalisis dalam MNdBT adalah latar tempat, latar waktu, dan latar peristiwa. Ketiga latar ini terkait erat dengan konflik kelas dalam MNdBT.

2.4.1 Latar Tempat

Dalam drama ini ada dua latar tempat, yaitu Alam Kematian dan Alam Kehidupan. Di Alam Kematian inilah para arwah, termasuk Tokoh dan Hakim, membuka cerita. Di sinilah para arwah membicarakan mengenai ketidakadilan dan penindasan yang diungkapkan para tokoh di Alam Kehidupan. Hal tersebut diungkapkan dalam bagian pembuka pada kutipan 22 dan 23. 22 PEMBUKA Pertunjukan ini mengambil tempat di alam mati atau Alam Kematian, alam sebelum Peradilan Agung itu terjadi. Di bagian belakang sebauh altarruang, tampak sederetan RohArwah duduk bersila, membelakangi Penonton. Pada kesempatan lain, arwah-arwah ini akan berperan sebagai bruh, juga sebagai koor. Sarumpaet, 1997:2 23 HAKIM: Ini benar-benar menyakitkan. Tokoh memperlambat langkahnya, lalu berhenti sama sekali. TOKOH: Aku melihat muka-muka yang terharu, kepala yang tertunduk sedih. Aku menyaksikan pasukan amal menyerbu mengulurkan pertolongan… Tapi kenapa? Kenapa tontonan menyakitkan seperti ini harus terjadi? Siapa yang bertanggungjawab di sini? Siapa yang menyulut api membakar rumah-rumah, memusnahkan kampung-kampung? Sarumpaet, 1997:51-52 36 Alam Kehidupan adalah tempat Kuneng, Nining, Itut, dan manusia lain berada. Latar ini menggambarkan pabrik tempat Kuneng, Nining, dan Itut bekerja, serta di sebuah lokasi tempat pemakaman Kuneng dilaksanakan. Di Alam Kehidupan inilah digambarkan mengenai peristiwa-peristiwa penindasan dan ketidakadilan, juga masalah-masalah kemiskinan, penegakan hukum, dan isu-isu masyarakat marjinal. Hal tersebut tergambar pada kutipan 9 dan 24. 9 Corong makin bernafsu. Ia bicara sambil menggunakan tangannya, jahil. CORONG: Masa? Lalu bagaimana dengan muka pucatmu ini? Keringat dingin yang membasahi lehermu yang bagus ini… Kuneng berdiri, marah. KUNENG: Jangan sentuh aku Sarumpaet, 1997:20 24 KUNENG MATI Para arwah di bagian belakang altar terdengar membacakan ayat-ayat untuk jenazah Kuneng. Sarumpaet, 1997: 45 Dalam drama ini, Alam Kematian merupakan representasi dari Alam Kehidupan. Di Alam Kehidupan, meski para tokoh marjinal berusaha mengungkapkan perlawanan, pada akhirnya mereka selalu dibungkam kembali. Hal tersebut terutama dialami oleh Kuneng. Akan tetapi, di Alam Kematian inilah para arwah, terutama Tokoh, dapat menyuarakan konflik kelas yang terjadi di PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 masyarakat. Ia dapat menyuarakan pembelaan mereka kepada Hakim dan Lelaki III yang merupakan representasi sosok penguasa.

2.4.2 Latar Waktu

Secara tekstual, tidak ada penunjuk waktu yang disebutkan secara eksplisit dalam drama MNdBT. Tetapi, mengingat kapan karya ini ditulis dan latar belakang proses penulisan drama ini, dapat diasumsikan bahwa ini terjadi di sekitar tahun 1993 atau setelahnya, yaitu suatu waktu setelah pengadilan kasus Marsinah digelar. Hal ini diperkuat ketika Tokoh menyinggung seorang buruh perempuan yang mati secara tidak manusiawi tanpa pembelaan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan 25. 25 TOKOH: Karena aku muak. Karena aku tidak sanggup, di liang kubur ini aku masih harus mencium bau kemunafikan. Seorang perempuan, seorang buruh kecil dianiaya, disiksa, dibunuh dengan keji, hanya karena dia ingin mengubah nasibnya, lepas dari kungkungan kemiskinan.Hanya karena dia membela kawan-kawannya senasib. Kalian ada di sana waktu itu. Kalian tahu persis kenapa, dan bagaimana perempuan itu diperlakukan dengan tidak berperikemanusiaan.Apa yang kalian lakukan waktu itu? Berteriak Apa yang kalian lakukan? Sarumpaet, 1997:88 Dalam drama ini terdapat seorang tokoh penguasa otoriter yang secara implisit merepresentasikan Soeharto. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa saat cerita ini terjadi Soeharto masih hidup pada zaman Orde Baru. Hal itu ditunjukkan dalam kutipan 26. 38 26 TOKOH: Satu saat, dia mengeluarkan sebuah surat keputusan, yang membuat orang-orang yang senasib denganku betul- betul merana. Jangankan protes. Mengeluh kami. Hanya mengeluh. Sebuah senapan sudah melotot di depan hidung kami. Sarumpaet, 1997:64

2.4.3 Latar Peristiwa

Dalam drama ini diceritakan mengnai keadaan masyarakat yang tidak menentu, seperti pada situasi masa akhir Orde Baru; banyak terjadi pembangunan yang tidak berjalan lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Melalui penuturan Tokoh, dapat diketahui banyak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi. Salah satu contoh praktik korupsi diceritakan melalui penuturan Tokoh. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan 27. 27 TOKOH: [….] Laki-laki sialan ini merampok hajat hidup orang banyak. Merampok satu koma tiga trilyun rupiah, hanya dengan mengandalkan sebuah pena, sambil nyengar- nyengir dan itu hak rakyat. Sarumpaet, 1997:67 Dalam penegakan hukum pun terjadi praktik kolusi. Hal ini terlihat melalui penuturan Tokoh dan Hakim. Dalam kutipan ini, ditunjukkan ketidakberdayaan lembaga peradilan sebagai penegak hukum. Keputusan mereka sering dipengaruhi oleh campur tangan penguasa. Hal tersebut diungkapkan Tokoh seperti dalam kutipan 28. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39 28 TOKOH: Lalu saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan.Dan kamu, Ibu Hakim, tidak tahu apa-apa? [….] HAKIM: […] Tidak Lembaga peradilan bukan segalanya Menarik napas panjang, berat ada kekuatan lain di sana... Sarumpaet, 1997:43-44 Selain ketidakadilan dalam penegakan hukum, dalam kutipan tersebut disebutkan pula mengenai kasus Marsinah yang belum tuntas belum ditemukan siapa pelakunya. Dalam kasus Marsinah, para terdakwa dalah atasan-atasan Marsinah dan seorang tentara Forum Keadilan, No. 2, 28 April 2002. Sama seperti pada masa Orde Baru, banyak orang yang dibungkam ketika menyuarakan perlawanan. Pembungkaman tersebut berakhir dengan kehilangan atau kematian seseorang. Hal tersebut tercermin ketika Itut dan Nining berusaha membela Kuneng, tetapi kemudian ditekan oleh petugas. Selain itu, dikisahkan juga mengenai sosok Ibu yang kehilangan “anak-anaknnya” ketika menyammpaikan hak-hak mereka. Pembungkaman ini dipertegas melalui penuturan Tokoh pada kutipan 29. 29 TOKOH: […] Jangankan protes. Mengeluh kami. Hanya mengeluh. Sebuah senapan sudah melotot di depan hidung kami. Sarumpaet, 1997:64 40

2.5 Rangkuman

Pada pembahasan Bab II mengenai analisis unsur drama MNdBT, dapat disimpulkan beberapa hal yang menyangkut tiga unsur drama, yaitu alur, tokoh dan penokohan, dan latar. Melalui analisis alur, diketahui bahwa dalam drama ini disinggung mengenai adanya isu atau situasi pelanggaran hak yang dilakukan atas masyarakat marjinal dan kepentingannya mengangkat isu tersebut. Fokus utama masyarakat marjinal dalam drama ini adalah para buruh dan situasinya. Isu-isu buruh yang menjadi keprihatinan adalah mengenai kondisi ekonomi yang tidak stabil, jaminan kesehatan yang tidak terjamin, pelecehan seksual yang terjadi atas buruh perempuan, serta penegakan hukum yang tidak adil lebih banyak memihak para penguasa. Akan tetapi, meski ada kondisi-kondisi demikian, tidak ada yang bergerak untuk membela mereka. Hal-hal inilah yang memicu konflik dalam drama. Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi kehidupan masyarakat yang pada saat itu tidak stabil. Para jajaran atas banyak melakukan praktik korupsi dan tindakan otoriter, seperti yang dilakukan oleh Lelaki III. Pembangunan bangsa yang disebut olehnya banyak merugikan masyarkat marjinal Akibat kondisi-kondisi itu, seorang buruh perempuan mati setelah disiksa dan diperkosa, bahkan tanpa pembelaan. Tokoh yang berperan penting yang ada dalam drama MNdBT adalah Tokoh, Hakim, Ibu, Kuneng, Nining, Itut, Corong, Kepala Petugas, dan Lelaki III. Tokoh protagonis adalah Tokoh dan Kuneng. Tokoh adalah suara utama dalam drama ini, yang menyuarakan permasalahan-permasalahan masyarakat marjinal. Kuneng 41 adalah tokoh yang menjadi bukti utama atas akibat permasalahan-permasalahan itu. Tokoh deutragonis adalah Itut dan Nining. Itut dan Nining adalah tokoh-tokoh yang menyadari bahwa mereka ditindas dan berusaha untuk membela hak-hak mereka meski menemui halangan. Tokoh foil adalah Ibu. Ia adalah tokoh yang mencoba untuk menerima kehilangan anak-anaknya yang disebabkan karena perlawanan mereka. Corong, Kepala Petugas, Lelaki III, dan Hakim adalah tokoh antagonis. Hakim, Corong, Kepala Petugas, dan Lelaki III adalah tokoh-tokoh yang mewakili penguasa. Mereka merepresi masyarakat bawah menggunakan uang dan kekuasaan. Latar tempat dalam drama ini adalah Alam Kematian dan Alam Kehidupan. Alam Kehidupan adalah tempat para manusia berada. Di Alam Kehidupan inilah Kuneng para buruh mengalami ketidakadilan dan penindasan oleh aparat. Melalui Alam Kematian, tempat para arwah berada, Tokoh menyampaikan suara-suara mereka kepada Hakim dan Lelaki III, yang merupakan representasi penguasa. Latar waktu dalam drama ini terjadi sekitar tahun 1993 atau setelah kasus Marsinah terjadi. Latar peristiwa drama ini adalah mengenai kondisi masyarakat yang tidak menentu pada akhir masa Orde Baru yang diwarnai praktik korupsi dan kolusi. Penegakan hukum dikendalikan oleh mereka yang memiliki uang atau pengaruh. Selain itu, segala bentuk perlawanan akan dibungkam, entah dengan disiksa atau dibunuh. Tokoh Ibu kehilangan anak-anaknya yang berusaha melawan, sementara para buruh pabrik yang melawan ditekan dengan kekerasan oleh para petugas yang memiliki status lebih tinggi dari mereka. Melalui analisis unsur, kita dapat melihat situasi dan kondisi orang-orang kecil serta para penguasa pada drama MNdBT. Para tokoh marjinal direpresi oleh 42 tokoh-tokoh penguasa, dan bahwa konflik-konflik di antara mereka terjadi karena adanya isu-isu kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami oleh para tokoh marjinal. Isu-isu tersebut terjadi terutama karena situasi dan kondisi pada masa rezim Orde Baru. Konflik kelas masyarakat kelas bawah dan kelas atas akan dibahas lebih lanjut dalam Bab III. 43

BAB III ANALISIS KONFLIK KELAS DALAM DRAMA

MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET

3.1 Pendahuluan

Pada Bab III ini, penulis akan membahas mengenai konflik kelas yang terdapat dalam drama MNdBT. Dalam drama MNdBT terdapat dua aspek yang menyebabkan terjadi konflik kelas dalam drama ini, yaitu konflik yang disebabkan karena adanya kepentingan ekonomi dan konflik yang disebabkan karena adanya supresi pihak yang memiliki wewenang. Marx memandang bahwa konflik kelas terjadi karena adanya perjuangan kelas yang dilakukan karena motif kepentingan ekonomi. Pemikirannya merupakan bentuk perlawanan bagi sistem kapitalisme yang membagi kelas sosial menjadi kelas atas dan kelas bawah. Peneliti melihat bahwa hal ini terjadi pula dalam drama MNdBT. Ada kepentingan-kepentingan ekonomi yang memicu konflik kelas dalam MNdBT. Akan tetapi, konflik kelas dalam drama MNdBT ini tidak berhenti hanya sampai pada konflik yang disebabkan oleh masalah ekonomi saja. Dalam drama ini, Ratna Sarumpaet pun mengungkapkan kegelisahannya atas kondisi masyarakat pada saat itu, yaitu bahwa ada supresi kekuasaan atas masyarakat marjinal yang menimbulkan konflik-konflik dalam drama. Kedua teori konflik yang berbeda inilah yang akan diaplikasikan dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI