Penyuapan Hakim dalam Pengadilan

50

3.3.1 Penyuapan Hakim dalam Pengadilan

Dalam drama MNdBT, terjadi konflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi berupa penyuapan hakim dalam pengadilan. Dalam lembaga hukum, Hakim mengakui adanya praktik suap-menyuap yang dilakukan antara lembaga hukum dengan kelas atas lain yang memiliki uang dan kekuasaan. Para kelas atas yang menjadi pelaku kejahatan dapat lolos karena mereka dapat membayar lembaga pengadilan untuk menutup sebelah mata atas kesalahan mereka. Contoh praktik suap tersebut adalah ketika Tokoh, dalam kemarahannya kepada Lelaki III dan Hakim, mengingatkan mereka atas kebungkaman mereka saat seorang buruh perempuan mati tanpa pembelaan yang pantas untuknya. Hal tersebut disebutkan oleh Tokoh dalam kutipan 26. 26 TOKOH: Karena aku muak. Karena aku tidak sanggup, di liang kubur ini aku masih harus mencium bau kemunafikan. Seorang perempuan, seorang buruh kecil dianiaya, disiksa, dibunuh dengan keji, hanya karena dia ingin mengubah nasibnya, lepas dari kungkungan kemiskinan.Hanya karena dia membela kawan-kawannya senasib. Kalian ada di sana waktu itu. Kalian tahu persis kenapa, dan bagaimana perempuan itu diperlakukan dengan tidak berperikemanusiaan. Apa yang kalian lakukan waktu itu? Berteriak Apa yang kalian lakukan? Sarumpaet, 1997:88 Dalam kutipan 26 kasus yang disebut Tokoh menyiratkan pada kasus Marsinah, yang memang mati diperkosa dan dibunuh karena berusaha membela teman-temannya sesama buruh. Dalam kasus Marsinah, belum ada penyelesaian PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51 yang jelas dalam bidang hukum. Meski ada pihak-pihak yang disebut sebagai terdakwa, belum ditemukan pelaku sebenarnya. Kemarahan Tokoh, terkait dengan kenyataan bahwa tidak ada pembelaan yang adil bagi perempuan tersebut. Pembelaan yang tidak seimbang tersebut menunjukkan adanya supremasi kelas atas kepada kelas bawah dalam bentuk kekayaan atau uang. Hukum menjadi komoditi ekonomi yang dapat diperjualbelikan. Bagaimanapun, kelas bawah, yang dalam drama ini adalah para buruh, tidak dapat membela diri mereka karena tidak memiliki kekayaan. Hal ini mengakibatkan kelas bawah yang tidak terbela. Keadaan ini pun diakui oleh Hakim, seperti dalam kutipan 32. Dalam kutipan tersebut, Hakim menyebutkan uang sebagai salah satu faktor yang mendahului penegakan keadilan. 32 HAKIM: Baik. Gagap memang. Ragu-ragu memang… Sudah dari mula aku katakan, hakim, lembaga peradilan, bahkan hukum itu sendiri bukan segalanya… Hukum itu gagap. Lembaga peradilan itu gagap. Kenapa? Karena di atas meja di mana keadilan mestinya ditegakkan, di situlah uang, darah, dan peluru lebih dahulu saling melumuri. Sarumpaet, 1997:60-61

3.3.2 Eksploitasi Buruh Industri