18
BAB II ANALISIS UNSUR DRAMA
MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET
2.1 Pengantar
Dalam Bab II ini akan dijabarkan mengenai unsur naskah drama yang terdiri atas alur, tokoh dan penokohan, dan latar. Analisis mengenai alur dilakukan untuk
mengetahui konflik-konflik yang terjadi dalam drama dan sebab-sebabnya. Kemudian, para tokoh dianalisis untuk mengetahui kelas-kelas sosial dalam drama,
dan latar dianalisis untuk mengetahui konteks tempat, waktu, dan peristiwa dalam drama ini. Analisis terhadap ketiga unsur ini nantinya akan dikaitkan dengan
analisis konflik kelas dalam drama MNdBT yang akan dibahas dalam bab III.
2.2 Alur
Bagian Pembuka dan Adegan Pertama adalah bagian eksposisi drama MNdBT. Pada bagian Pembuka, para pembaca diperkenalkan pada situasi di Alam
Kematian, sebuah tempat sebelum peradilan agung terjadi, serta para tokoh yang ada di sana Tokoh, Hakim, dan para roh yang tidak bernama. Pada bagian
pembuka, diceritakan mengenai suasana suram Alam Kematian. Ada suara rintihan seorang gadis yang menyayat.
Kemudian, pada Adegan Pertama, pembaca diperkenalkan pada isu yang akan diangkat dalam drama serta permasalahannya. Tokoh Ibu, yang tiba-tiba datang ke
19 Alam Kematian, berduka karena kehilangan anak-anaknya. Anak-anaknya adalah
korban ketidakadilan dan keserakahan manusia di alam kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dalam dialog Ibu pada kutipan 1.
1 IBU:
Gadis-gadis kecilku, tumbuh sendiri-sendiri… Terempas dari pelukan, mereka tumbuh pesat,
melesat di tengah zamannya. Di tengah putaran zaman, di mana keserakahan adalah raja, di mana keserakahan
disembah dan dipersembahkan. Tidak pernah betul-betul memahami teduh atau
keriaan. Tidak pernah betul-betul memahami kehangatan darah yang mengalir di tubuh Ibunya. Dunia merenggut
anak-anak ini, jadi seperti ini… Sarumpaet, 1997:8-9
Berdasarkan kutipan tersebut, pembaca diberikan isu mengenai ketidakadilan dan ketidaksejahteraan yang dialami masayarakat kecil. Mereka hidup di bawah
keserakahan dan tidak dapat menikmati kesejahteraan. Isu ini berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang tidak pernah selesai atau hanya dibiarkan
menggantung, seperti kasus Marsinah. Hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan Hakim mengenai tidak perlunya mengangkat isu tersebut ketika hal tersebut
memang sudah terjadi. Ia merasa bahwa mengangkat isu tersebut tidak mengubah apa-apa dan hanya akan membuka luka yang sudah tertutup. Akan tetapi, Tokoh
berpendapat bahwa suara-suara derita yang didengarnya masih ada dan oleh karena itu ia harus memperjuangkannya agar ia dapat beristirahat dengan tenang. Hal
tersebut tercermin dalam dialog Tokoh dan Hakim pada kutipan 2. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20 2
HAKIM: Tapi apa dengan membangunkan setiap orang seperti
ini, memaksa mereka mengorek kembali luka-luka lama mereka, perempuan ini lantas berhenti meratap?
[…] TOKOH:
Demi Tuhan aku tidak menginginkan ini. Aku ingin melupakannya. Aku ingin menguburkannya dalam-
dalam… Tapi bagaimana aku harus mengingkari kesadaranku, sementara dalam ratapan itu aku seperti
melihat diriku? Sarumpaet, 1997:6
Kemudian, Adegan dua diawali dengan adegan para buruh yang sedang bersiap-siap pulang kerja. Pada adegan inilah exciting forcechallenge kekuatan
penggerak pertama muncul. Exciting forcechallenge kekuatan penggerak yang pertama adalah
penyampaian mengenai isu-isu buruh melalui pengalaman Kuneng. Isu pertama adalah mengenai kurangnya jaminan kesehatan. Teman-teman Kuneng, yang
kasihan melihat Kuneng tampak lesu dan sakit, melaporkannya kepada Corong, yang menjadi mandor di sana. Tetapi, Corong acuh terhadap situasi tersebut, seperti
tergambar dalam kutipan 3.
3 ITUT:
Dia sakit. CORONG:
Saya tahu. Tapi itu bukan urusan kamu. Urusan kamu pulang, tidur yang banyak, supaya besok bisa kembali
bekerja. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21 ITUT:
Mana petugas kesehatan? CORONG:
Itu juga bukan urusan kamu, koplok. Minggir nggak? Minggir
Sarumpaet, 1997:18-19
Dalam Adegan Dua ini, tergambar pula suatu isu buruh yang lain, yaitu mengenai pelecehan sosial yang dialami terutama oleh buruh perempuan. Dalam
adegan ini pelecehan yang dialami buruh perempuan yang dilakukan Corong kepada Kuneng. Akan tetapi, Kuneng berhasil melawan ditolong oleh Itut dan
teman-teman buruhnya yang lain. Isu buruh yang ketiga adalah masalah ekonomi, yang terdapat pada bagian
awal Adegan Ketiga. Pada Adegan Kedua, ditunjukkan Kuneng yang lesu sepulang kerja. Kemudian, pada Adegan Ketiga, terungkap bahwa Kuneng sedang kesulitan
uang. Selain harus menyekolahkan anak-anaknya, ia juga harus membiayai suaminya yang semena-mena. Upahnya sebagai buruh tidak mencukupi.
Kekuatan penggerak kedua yang terdapat dalam Adegan Ketiga, berupa kenihilan sikap pemerintah terhadap isu-isu yang dihadapi buruh. Pada adegan ini,
Tokoh dan Hakim bersimpati terhadap keadaan tersebut. Akan tetapi, Tokoh merasa marah karena tidak adannya tindakan yang diambil untuk mengatasinya. Tidak ada
penegakan hukum yang adil bagi mereka. Hal tersebut dikatakan Tokoh pada kutipan 4.
22 4
TOKOH: Apa kamu mau menyangkal kalau hal seperti itu
terjadi? Mereka itu memang jarang memperoleh pembelaan
yang sungguh-sungguh. Dan kaulihat sendiri tadi betapa tidak berdayanya mereka. Jangankan membeli keadilan.
Sarumpaet, 1997:35-36
Kekuatan penggerak ketiga bersambung pada kematian Kuneng di awal adegan empat, yaitu keadaan Kuneng yang harus menjadi korban karena
kemiskinan dan ketidakadilan. Upahnya yang kecil harus ia gunakan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga keluarganya. Selain itu, rumah tempatnya tinggal
harus digusur karena adanya rencana pembangunan pabrik.Menghadapi tekanan tersebut, Kuneng akhirnya bunuh diri.
Ketiga kekuatan penggerak itu membuat Tokoh mempertanyakan siapa yang bertanggungjawab atas ketidakadilan tersebut. Pada awalnya, Tokoh menyalahkan
Hakim karena hal tersebut, terutama ketika ialah yang memimpin pengadilan pada saat ia masih hidup. Akan tetapi, Hakim menyanggah dengan alasan bahwa ada
tangan-tangan lain yang lebih berkuasa daripadanya yang mengendalikan permainan penegakan hukum. Malah, Hakim merasa bahwa tidak ada yang perlu
dipersalahkan karena hal itu terjadi untuk pembangunan. Dari sinilah sikap permusuhan Tokoh terhadap Hakim bertambah. Ini adalah konflik pertama dalam
drama MNdBT. Kemudian, konflik kedua terjadi diawali dengan kemunculan Lelaki III di
Alam Kematian. Dengan pembawaannya yang angkuh dan latar belakangnya sebagai seorang penguasa korup semasa hidup, kemarahan Tokoh semakin
bertambah. Ia tahu bahwa Lelaki III ini adalah sumber penderitaan masyarakat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23 kecil. Di sisi lain, Lelaki III melakukan pembelaan bahwa segala sesuatu yang ia
lakukan adalah demi pembangunan dan kemajuan, yang menurut Tokoh, alasan itu hanyalah omong kosong belaka. Hal tersebut terlihat pada kutipan 5.
5 LELAKI III:
Kalau upaya meningkatkan kemajuan bangsa kamu sebut penghancuran-penghancuran, aku lagi-lagi salah
menilaimu. Kamu ternyata belum mampu melihat, bagaimana
pentingnya jasa ilmu pengetahuan pada kepentingan bangsa.
[…] TOKOH:
Tonggak-tonggak raksasa? Industri-industri raksasa? Jembatan-jembatan raksasa? Cerdas membuatmu sombong.
Lupa kenapa Tuhan menganjurkan umatnya mencari cerdas.
Sarumpaet, 1997:78-79
Konflik ketiga terjadi antara Lelaki III dan Tokoh ketika Tokoh menyinggung mengenai seorang buruh perempuan “yang dianiaya, disiksa, dibunuh dengan keji,
hanya karena dia ingin mengubah nasibnya, lepas dari kungkungan kemiskinan. Hanya karena dia membela kawan-kawannya senasib” Sarumpaet, 1997:88.
Tokoh menuntut karena tidak adanya pembelaan bagi perempuan tersebut. Pada titik ini, ia tidak lagi memberikan kesempatan bagi Lelaki III untuk membalas. Pada
akhirnya, ia kemudian mengusir Lelaki III yang semakin tersudut oleh Tokoh dan arwah-arwah lain.
Ketiga konflik yang muncul ini adalah bagian dari komplikasi rising action drama. Pada setiap konflik, emosi Tokoh semakin memuncak dan akhirnya
24 berujung pada klimkas. Klimaks ini terjadi ketika, setelah Lelaki III pergi,
kemarahan Tokoh semakin tidak terkendali. Ia merasa putus asa dan berteriak- teriak, dan akhirnya mengusir Hakim.
Penyelesaian drama ini ada pada bagian Penutup, ketika Ibu menghibur dan menenangkan Tokoh. Pada awalnya, Tokoh merasa belum siap untuk beristirahat.
Ia masih ingin memperjuangkan teman-temannya. Meski demikian, Ibu menyuruhnya untuk berhenti karena ia sudah meninggal; sudah waktunya untuk
berisitrahat. Tokoh pun akhirnya bertemu dengan Suara dari Langit dan dapat menerima kematiannya. Ia akhirnya beristirahat dengan tenang.
2.3 Tokoh dan Penokohan