Eksploitasi Buruh Industri Analisis Sebab-Sebab Konflik Kelas: Perspektif Marx

51 yang jelas dalam bidang hukum. Meski ada pihak-pihak yang disebut sebagai terdakwa, belum ditemukan pelaku sebenarnya. Kemarahan Tokoh, terkait dengan kenyataan bahwa tidak ada pembelaan yang adil bagi perempuan tersebut. Pembelaan yang tidak seimbang tersebut menunjukkan adanya supremasi kelas atas kepada kelas bawah dalam bentuk kekayaan atau uang. Hukum menjadi komoditi ekonomi yang dapat diperjualbelikan. Bagaimanapun, kelas bawah, yang dalam drama ini adalah para buruh, tidak dapat membela diri mereka karena tidak memiliki kekayaan. Hal ini mengakibatkan kelas bawah yang tidak terbela. Keadaan ini pun diakui oleh Hakim, seperti dalam kutipan 32. Dalam kutipan tersebut, Hakim menyebutkan uang sebagai salah satu faktor yang mendahului penegakan keadilan. 32 HAKIM: Baik. Gagap memang. Ragu-ragu memang… Sudah dari mula aku katakan, hakim, lembaga peradilan, bahkan hukum itu sendiri bukan segalanya… Hukum itu gagap. Lembaga peradilan itu gagap. Kenapa? Karena di atas meja di mana keadilan mestinya ditegakkan, di situlah uang, darah, dan peluru lebih dahulu saling melumuri. Sarumpaet, 1997:60-61

3.3.2 Eksploitasi Buruh Industri

Dalam drama ini, terdapat masalah buruh yang dieksploitasi. Eksploitasi ini terutama mengenai kondisi ekonomi, jaminan hak, kebebasan berpendapat, dan kesejahteraan buruh. Kuneng adalah korban utama eksploitasi tersebut dalam drama ini. Sebagai seorang buruh perempuan, ia tidak diberi jaminan kesehatan dan 52 mengalami pelecehan seksual. Menurut penuturan Nining pun diketahui bahwa Kuneng mengalami masalah ekonomi dan keluarga. Ia harus bersusah-payah mendapat uang agar keluarganya dapat hidup dan anak-anak dapat bersekolah. Hal tersebut disampaikan oleh Nining dalam kutipan 39 berikut. 39 NINING: Nekan apanya? Kamu tahu nggak apa masalah yang paling merongrong Kuneng? Laki’nya. Dari tahun lalu, kampung Ijo itu sudah semestinya dikosongin. Ada pabrik besar bakal dibangun di sana. Tapi Kuneng, teman-teman Kuneng yang percaya omongan Kuneng, mbangkang, karena ganti ruginya nggak jelas. Hampir setahun Kuneng bolak-balik ke kantor DPR dan dia yakin usahanya bakal berhasil. Kemaren, rumah Kuneng, separoh dari Kampung Ijo itu sudah digilas rata, digilas sama traktor. Kenapa? Laki’nya Kuneng, tapi setahu Kuneng sudah ngambil ganti rugi. Nah, kalau kamu ingin tahu siapa yang sialan, Laki’nya itu. Kerjanya cuma garok- garok, sombong. Yang cari duit buat keluarganya, Kuneng… Yang sekolahin anak-anaknya, yang cari cicilan buat rumahnya, Kuneng. Semua Kuneng. Semua Kuneng berikan pada keluarganya. Tapi pada gilirannya Kuneng ingin sesuatu, ingin mempertahankan rumah yang hasil keringatnya itu, Kuneng harus telan ludah. Sarumpaet, 1997: 47-48 Sebagai pilar produksi ekonomi, buruh dituntut untuk bekerja keras, tetapi mereka tidak mendapat hak yang sesuai. Pembangunan negara, yang banyak disebut dalam drama, tidak disertai dengan kesejahteraan bangsanya sendiri. Mereka dipandang sebagai komoditi untuk menghasilkan produk, bahkan bagi buruh perempuan seperti Kuneng mereka dipandang sebagai komoditi untuk memuaskan nafsu. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan 37. 53 37 CORONG: Ait, galak kamu ya. Kenapa? Karena aku tidak setaraf dengan langganan-langgananmu itu? Kamu ini cantik, tapi bodoh. Kamu tidak tahu siapa yang harus dirangkul, siapa yang harus dijauhi. Kita ini sama Neng. Sama-sama tidak punya pilihan. Sama-sama melahap sisa-sisa terakhir dari perusahaan sialan ini. Dan aku hormat sama kamu. Kamu tidak sadar kan, kalau semua orang mencibir sama kamu? Aku tidak. Menyediakan masa depan yang lebih baik untuk anak, itu luhur. Dan kamu tidak perlu menggadaikan kehormatanmu untuk itu, kalau kamu tahu siapa orang yang bisa menolongmu. Kau lihat pentungan ini? Sarumpaet, 1997:21 Karena tuntutan untuk mencari upah dan bertahan hidup, para buruh tidak dapat serta-merta melawan para majikan mereka. Hal tersebut diungkapkan oleh Tokoh dalam kutipan 36. 36 TOKOH: Menyadari apa… Siapa yang peduli ketidakadilan selain korban ketidakadilan itu? Lapar membungkam mereka. Lapar membuat mereka tidak mampu berkata ‘tidak’. Membuat mereka tidak mampu berpaling, melangkah meninggalkan majikannya, dan ini membuat para majikan tidak pernah memperoleh pengalaman ditinggalkan. Kesadaran seperti apa yang bisa diharapkan dari mereka? Sarumpaet, 1997:32-33 Situasi eksploitasi buruh dan kondisi masyarakat kelas bawah lain yang menderita karena kepentingan ekonomi yang lebih dikedepankan juga diungkapkan oleh Tokoh dalam kutipan 40. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54 40 TOKOH: Jadi kamu tidak tahu, hubungan isi perut buruh-buruh tadi itu dengan citra dan kemauan bangsamu? Hakim berpaling jengkel, tidak menjawab. TOKOH: Kamu tidak tahu, bahwa demi mengalirnya investasi, demi maraknya industri-industri di negerimu, atau demi gagahnya bangsamu di mata perekonomian dunia, mereka itu tadi harus rela lapar. Sarumpaet, 1997:40

3.3.3 Tanah dan Kekayaan Masyarakat Kelas Bawah yang Direbut