Konflik kelas dalam drama ``Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah" karya Ratna Sarumpaet: tinjauan sosiologi sastra.

(1)

ABSTRAK

Putri, Gabriela Melati. 2016. Konflik Kelas dalam Drama Marsinah: Nanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini menganalisis konflik kelas dalam drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet dengan pendekatan sosiologi sastra. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan unsur-unsur drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah yang terdiri atas tokoh dan penokohan, alur, dan latar, serta (2) mendeskripsikan konflik kelas dalam drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah. Analisis konflik kelas menggunakan perspektif Karl Marx dan Ralf Dahrendorf, yaitu konflik kelas karena adanya kepentingan ekonomi dan konflik kelas karena adanya penggunaan kekuasaan kelas superordinat atas kelas subordinat. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode formal dan metode analisis isi. Metode penyajian hasil analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.

Berdasarkan analisis alur diketahui bahwa dalam drama terdapat isu-isu ketidaksejahteraan buruh. Isu-isu tersebut meliputi kondisi ekonomi, jaminan kesehatan, pelecehan seksual, dan penegakan hukum yang memihak. Para tokoh protagonis adalah Tokoh (suara utama masyarakat marjinal) dan Kuneng (korban utama ketidakadilan pada kelas bawah). Para tokoh antagonis adalah Hakim, Lelaki III, Corong, dan Kepala Petugas. Mereka merepresi masyarakat kecil. Kemudian, tokoh deutragonis adalah Itut dan Nining dan tokoh foil adalah Ibu. Latar tempat dalam drama adalah Alam Kematian dan Alam Kehidupan. Di Alam Kematian, masalah kelas bawah disuarakan karena mereka tidak dapat menyuarakannya di Alam Kehidupan. Drama ini berada pada peristiwa masa akhir Orde Baru, ketika banyak terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan pemerintahan otoriter. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1993 atau setelah kasus Marsinah terjadi.

Analisis konflik kelas dibagi menjadi tiga bagian: (1) identifikasi tokoh-tokoh kelas atas dan kelas bawah, (2) analisis sebab-sebab konflik kelas menurut perspektif Marx, dan (3) analisis sebab-sebab konflik kelas menurut perspektif Dahrendorf. Tokoh-tokoh kelas atas adalah Hakim, Lelaki III, Corong, dan Kepala Petugas. Tokoh-tokoh kelas bawah adalah Ibu, Tokoh, Kuneng, Nining, dan Itut. Berdasarkan perspektif Marx, sebab-sebab konflik yang dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dalam drama adalah (1) penyuapan hakim dalam pengadilan, (2) eksploitasi buruh industri, dan (3) tanah dan kekayaan masyarakat yang direbut. Kemudian, berdasarkan perspektif Dahrendorf, sebab-sebab konflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan kekuasaan dalam drama adalah (1) penggunaan kekuasaan atas media massa, (2) penyelewengan kekuasaan dalam pengadilan, (3) pembungkaman perlawanan masyarakat kelas bawah, dan (4) kekerasan verbal dan nonverbal atas para buruh. Dapat dilihat bahwa permainan uang dan kekuasaan terjadi dalam konflik kelas. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa konflik kelas terjadi tidak hanya karena kepentingan ekonomi, tetapi juga karena kepentingan kekuasaan.


(2)

ABSTRACT

Putri, Gabriela Melati. 2016. Class Conflict in Marsinah: Nanyian dari Bawah Tanah Play by Ratna Sarumpaet: A Study of Sociology in Literature. An Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This study is based on the class conflict issue found in the play Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah by Ratna Sarumpaet with sociology in literature approach. The purpose of this study is (1) to describe the dramatic elements of the play that consists of characters and characterizations, plot, and settings, and (2) to describe the class conflict seen in the play. Class conflict analysis in this play employs the perspectives of Karl Marx and Ralf Dahrendorf, which point out to the conflict that is formed by the economic interests and by the abuse of power of the superordinate class to the subordinate class. The data collection methods in this analysis are library research and the methods used for the analysis are formal and content analysis methods. The analysis is presented using qualitative-descriptive method.

The result of the plot analysis is that there are issues of impoverished labors. Those issues are related to economic condition, health care, sexual abuse, and law enforcement that is harsh to the marginalized. The protagonists of this play are The Character (the main representation of the marginalized society) and Kuneng (the very victim of injustice that happens in the lower class society). The antagonists are Judge, Man II, Cone, and Head of Enforcer. They repress people from lower class society. There are also deuterogamists, Itut and Nining, and Mother as a foil character. This play’s setting of place are the Realm of Death and the Realm of Life. Through the Realm of Death, The Character speaks for the problems of the marginalized society that happened in the Realm of Life. The setting of time is between the year 1993 or thereafter, sometime after Marsinah case. The historical background of this play is the near-closing period of Indonesia’s authoritarian New Order Regime which was corroded by corruption, collusion, and nepotism.

The result of the analysis on the class conflict is divided into three parts: (1) There are (1) the identification of upper class characters and lower class characters, (2) causes of class conflicts based on the perspective of Marx, and (3) causes of class conflicts based on the perspective of Dahrendorf. The characters that belong to the upper class are Judge, Man III, Cone, and Head of Enforcer. Lower class characters are Mother, The Character, Kuneng, Nining, and Itut. In this play, according to Marx, the conflicts caused by economic interests are (1) judge bribery in court, (2) industrial working class exploitation, and (3) seizure of lands and valuables of lower class society. Meanwhile, according to Dahrendorf, the class conflict that caused by power interests are (1) the use of power to control mass media, (2) abuse of court authority, (3) silenced lower class society, and (4) verbal and nonverbal violence towards the labors. There can be seen that there is a money-at-work factor as well as the abuse of power, which culminated into conflicts between upper and lower class society. To conclude, economic factor is not the sole cause of class conflict, but also the abuse of authority.


(3)

i

KONFLIK KELAS

DALAM DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET:

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Gabriela Melati Putri 124114001

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

vi

Karya ini kupersembahkan bagi keluarga:

Darma Widjaja, Endang Pudjiastuti, Kristoforus Gunawan

yang selalu mendukung mimpiku sampai saat ini.

Dia adalah SEMAR…

Dia Badai dan Topan itu

Yang menggeliat karena gencetan

Yang bergerak karena penindasan

Yang menggilas karena hinaan

Yang sanggup mengubah roda zaman

(

Semar Gugat

, Babak 9, N. Riantiarno)

boku dake ga ikeru sekai de juusei ga todoroku mabayui hakanai senkou ga kakete itta nanika ga owari mata nanika ga hajimarun da sou kitto sono hikari wa boku ni sou sakenderu A gunshot roars out in a world only I will go to,

as the glaring, transient flash shoots out. When something ends, something begins again.

Yeah, surely that light is shouting that at me.


(9)

vii

KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berjudul “Konflik Kelas dalam Drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet”. Tugas akhir ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Studi Sastra Indonesia.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan bisa selesai tanpa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh rasa hormat, penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M. Hum. selaku Pembimbing I yang telah memberikan waktu, masukan, dukungan, dan bimbingan kepada penulis selama proses penulisan skrispi ini.

2. Drs. B. Rahamanto, M.Hum. selaku Pembimbing II yang telah menyediakan waktu, bimbingan, dukungan, dan masukan untuk penulis dalam proses penulisan skrispi ini.

3. Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik atas dorongan semangat yang diberikan.

4. Seluruh Dosen Program Studi Sastra Indonesia: S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Drs. Hery Antono, M.Hum., Dr. Y. Yapi Taum, M. Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Prof. Dr. Praptomo Baryadi, M. Hum., Drs. F.X. Santosa, dan Ibu Dra. Frasnsisca Tjandrasih Adji, M.Hum, atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama studinya di Program Studi Sastra Indonesia, Universitas


(10)

viii Sanata Dharma.

5. Seluruh karyawan Fakultas Sastra yang telah membantu penulis dalam administrasi akademik selama masa kuliah.

6. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu menyediakan buku-buku referensi yang dibutuhkan peneliti. 7. Kedua orang tua peneliti, F.X. Darma Widjaja dan Endang Pudjiastuti, yang selalu memberikan dukungan kepada penulis selama masa studi di Sastra Indonesia USD. Secara khusus, Darma Widjaja yang telah menjadi salah satu teman diskusi penulis dalam penulisan skripsi.

8. Kakak peneliti, Kristoforus Gunawan, yang telah memberi masukan bagi penulis dalam penyelesaian skripsi.

9. Sutradara, aktor, penulis naskah, dan seluruh kru pementasan ensembel monolog Benang Merah dari Teater Seriboe Djendela yang telah memperkenalkan peneliti dengan naskah monolog Marsinah Menggugat karya Ratna Sarumpaet dan “dunia” Marsinah. Pementasan tersebut memberi inspirasi peneliti untuk menulis skripsi ini.

10. Laura Ariesta, sahabat terbaik yang di sela-sela kesibukannya telah membantu penulis menerjemahkan jurnal-jurnal yang dibutuhkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Agathon Hutama yang di sela-sela kesibukannya memberikan bantuan untuk menerjemahkan abstrak penulis, atas masukan, dan atas dukungan yang diberikan dalam proses penulisan skripsi.


(11)

ix

memberikan masukan dalam proses penulisan skripsi.

13. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan Program Studi Sastra Indonesia USD Angkatan 2012: Santi, Novi, Peng, Carlos, Willy, Venta, Bella, Dorce, Ovi, Retha, Silvy, Patrick, Lina, Robi, dan Mei. Terima kasih untuk kebersamaan dan semangat untuk lulus bersama yang mendorong peneliti untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

14. Teman-teman KKN Kelompok 20 Angkatan LI USD, untuk waktu yang menyenangkan dan semangat yang diberikan.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan dalam penelitian ini. Akan tetapi, penulis berharap penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti-peneliti sastra selanjutnya dan membantu dalam mengembangkan penelitian Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.

Yogyakarta, 23 Mei 2016


(12)

x ABSTRAK

Putri, Gabriela Melati. 2016. Konflik Kelas dalam Drama Marsinah: Nanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini menganalisis konflik kelas dalam drama Marsinah: Nyanyian

dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet dengan pendekatan sosiologi sastra.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan unsur-unsur drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah yang terdiri atas tokoh dan penokohan, alur, dan latar, serta (2) mendeskripsikan konflik kelas dalam drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah. Analisis konflik kelas menggunakan perspektif Karl Marx dan Ralf Dahrendorf, yaitu konflik kelas karena adanya kepentingan ekonomi dan konflik kelas karena adanya penggunaan kekuasaan kelas superordinat atas kelas subordinat. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode formal dan metode analisis isi. Metode penyajian hasil analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.

Berdasarkan analisis alur diketahui bahwa dalam drama terdapat isu-isu ketidaksejahteraan buruh. Isu-isu tersebut meliputi kondisi ekonomi, jaminan kesehatan, pelecehan seksual, dan penegakan hukum yang memihak. Para tokoh protagonis adalah Tokoh (suara utama masyarakat marjinal) dan Kuneng (korban utama ketidakadilan pada kelas bawah). Para tokoh antagonis adalah Hakim, Lelaki III, Corong, dan Kepala Petugas. Mereka merepresi masyarakat kecil. Kemudian, tokoh deutragonis adalah Itut dan Nining dan tokoh foil adalah Ibu. Latar tempat dalam drama adalah Alam Kematian dan Alam Kehidupan. Di Alam Kematian, masalah kelas bawah disuarakan karena mereka tidak dapat menyuarakannya di Alam Kehidupan. Drama ini berada pada peristiwa masa akhir Orde Baru, ketika banyak terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan pemerintahan otoriter. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1993 atau setelah kasus Marsinah terjadi.

Analisis konflik kelas dibagi menjadi tiga bagian: (1) identifikasi tokoh-tokoh kelas atas dan kelas bawah, (2) analisis sebab-sebab konflik kelas menurut perspektif Marx, dan (3) analisis sebab-sebab konflik kelas menurut perspektif Dahrendorf. Tokoh-tokoh kelas atas adalah Hakim, Lelaki III, Corong, dan Kepala Petugas. Tokoh-tokoh kelas bawah adalah Ibu, Tokoh, Kuneng, Nining, dan Itut. Berdasarkan perspektif Marx, sebab-sebab konflik yang dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dalam drama adalah (1) penyuapan hakim dalam pengadilan, (2) eksploitasi buruh industri, dan (3) tanah dan kekayaan masyarakat yang direbut. Kemudian, berdasarkan perspektif Dahrendorf, sebab-sebab konflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan kekuasaan dalam drama adalah (1) penggunaan kekuasaan atas media massa, (2) penyelewengan kekuasaan dalam pengadilan, (3) pembungkaman perlawanan masyarakat kelas bawah, dan (4) kekerasan verbal dan nonverbal atas para buruh. Dapat dilihat bahwa permainan uang dan kekuasaan terjadi dalam konflik kelas. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa konflik kelas terjadi tidak hanya karena kepentingan ekonomi, tetapi juga karena kepentingan kekuasaan.


(13)

xi ABSTRACT

Putri, Gabriela Melati. 2016. Class Conflict in Marsinah: Nanyian dari Bawah Tanah Play by Ratna Sarumpaet: A Study of Sociology in Literature. An Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This study is based on the class conflict issue found in the play Marsinah:

Nyanyian dari Bawah Tanah by Ratna Sarumpaet with sociology in literature

approach. The purpose of this study is (1) to describe the dramatic elements of the play that consists of characters and characterizations, plot, and settings, and (2) to describe the class conflict seen in the play. Class conflict analysis in this play employs the perspectives of Karl Marx and Ralf Dahrendorf, which point out to the conflict that is formed by the economic interests and by the abuse of power of the superordinate class to the subordinate class. The data collection methods in this analysis are library research and the methods used for the analysis are formal and content analysis methods. The analysis is presented using qualitative-descriptive method.

The result of the plot analysis is that there are issues of impoverished labors. Those issues are related to economic condition, health care, sexual abuse, and law enforcement that is harsh to the marginalized. The protagonists of this play are The Character (the main representation of the marginalized society) and Kuneng (the very victim of injustice that happens in the lower class society). The antagonists are Judge, Man II, Cone, and Head of Enforcer. They repress people from lower class society. There are also deuterogamists, Itut and Nining, and Mother as a foil character. This play’s setting of place are the Realm of Death and the Realm of Life. Through the Realm of Death, The Character speaks for the problems of the marginalized society that happened in the Realm of Life. The setting of time is between the year 1993 or thereafter, sometime after Marsinah case. The historical background of this play is the near-closing period of Indonesia’s authoritarian New Order Regime which was corroded by corruption, collusion, and nepotism.

The result of the analysis on the class conflict is divided into three parts: (1) There are (1) the identification of upper class characters and lower class characters, (2) causes of class conflicts based on the perspective of Marx, and (3) causes of class conflicts based on the perspective of Dahrendorf. The characters that belong to the upper class are Judge, Man III, Cone, and Head of Enforcer. Lower class characters are Mother, The Character, Kuneng, Nining, and Itut. In this play, according to Marx, the conflicts caused by economic interests are (1) judge bribery in court, (2) industrial working class exploitation, and (3) seizure of lands and valuables of lower class society. Meanwhile, according to Dahrendorf, the class conflict that caused by power interests are (1) the use of power to control mass media, (2) abuse of court authority, (3) silenced lower class society, and (4) verbal and nonverbal violence towards the labors. There can be seen that there is a money-at-work factor as well as the abuse of power, which culminated into conflicts between upper and lower class society. To conclude, economic factor is not the sole cause of class conflict, but also the abuse of authority.


(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING………....ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……….iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….iv

PERNYATAAN PERSUTUJUAN PUBLIKASI……….v

HALAMAN PERSEMBAHAN………...vi

KATA PENGANTAR………...vii

ABSTRAK……….. x

ABSTRACT …...……… xi

DAFTAR ISI ………... xii

BAB I: PENDAULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……….1

1.2 Rumusan Masalah ………..4

1.3 Tujuan Penelitian………..………..4

1.4 Manfaat Penelitian……….……….4

1.5 Tinjauan Pustaka……….5

1.6 Landasan Teori………... 7

1.6.1 Drama………..7

1.6.2 Unsur-Unsur Drama………8

a. Tokoh dan Penokohan ………8

b. Alur (Plot) ………..9

c. Latar ...……….……… 10

1.6.3 Sosiologi Sastra ………10


(15)

xiii

a. Konflik Kelas Menurut Karl Marx………12

b. Konflik Kelas Menurut Ralf Dahrendorf………..13

1.6.5 Situasi dan Kondisi Buruh pada Masa Orde Baru………..15

1.7 Metode Penelitian……….16

1.7.1 Metode Pengumpulan Data………...16

1.7.2 Metode Analisis Data………16

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data………..17

1.8 Sumber Data……….17

1.9 Sistematika Penyajian………...17

BAB II: ANALISIS UNSUR DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET 2.1 Pengantar………..18

2.2 Alur ………..18

2.3 Tokoh dan Penokohan………...24

2.3.1 Tokoh Protagonis ………..………24

a. Tokoh……….………24

b. Kuneng………..……….26

2.3.2 Tokoh Antagonis …..……….27

a. Corong ...……….……..27

b. Kepala Petugas………..…….29

c. Lelaki III ……….…...29

d. Hakim ……….…...30

2.3.3 Tokoh Deutragonis………...……….33

a. Nining………...33

b. Itut………33

2.3.4 Tokoh Foil………...………..34

a. Ibu………....34

2.4 Latar……….35

2.4.1 Latar Tempat……….35


(16)

xiv

2.4.3 Latar Peristiwa………..………38

2.5 Rangkuman………..40

BAB III: ANALISIS KONFLIK KELAS DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET 3.1 Pendahuluan……….43

3.2 Identifikasi Kelas Atas dan Kelas Bawah……… 44

3.2.1 Kelas Atas………. 44

3.2.2 Kelas Bawah………. 47

3.3 Analisis Sebab-Sebab Konflik Kelas: Perspektif Marx………49

3.3.1 Penyuapan Hakim dalam Pengadilan………50

3.3.2 Eksploitasi Buruh Industri……… 51

3.3.3 Tanah dan Kekayaan Masyarakat Kelas Bawah yang Direbut……...54

3.4 Analisis Sebab-Sebab Konflik Kelas: Perspektif Dahrendorf………...56

3.4.1 Penggunaan Kekuasaan Atas Media Massa………...56

3.4.2 Penyelewengan Kekuasaan dalam Pengadilan………..58

3.4.3 Pembangunan Perlawanan Masyarakat Kelas Bawah………...60

3.4.4 Kekerasan Verbal dan Nonverbal Atas Para Buruh………62

3.5 Rangkuman ……….……….64

BAB IV: PENUTUP 4.1 Kesimpulan ………..67

4.2 Saran……….72

DAFTAR PUSTAKA………….………...…74

LAMPIRAN 1 ………..77

LAMPIRAN 2 ………..79


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Sebuah karya sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1979: 1). Kenyataan sosial yang dimaksud adalah hubungan-hubungan yang terjadi di dalam masyarakat dan individu. Melalui pernyataan ini, kita bisa memahami bahwa karya sastra tidak semata-mata hanya menjadi ekspresi jiwa pengarang (Faruk, 2012:44). Swingewood (dalam Damono, 1979:12) menyatakan bahwa sastra adalah cermin masyarakat. Sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu. Seperangkat peralatan itu adalah kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (selanjutnya disebut MNdBT) ditulis oleh Ratna Sarumpaet pada tahun 1994 dan dibukukan oleh Bentang pada 1997. Naskah drama ini terbagi menjadi empat adegan. Naskah ini telah dipentaskan beberapa kali oleh Teater Satu Merah Panggung (Sarumpaet, 1997: xx). Selain itu, naskah ini juga telah diadaptasi oleh Ratna Sarumpaet menjadi monolog Marsinah

Menggugat pada tahun 1997. Naskah MNdBT ditulis Ratna Sarumpaet sebagai

bentuk perlawanan atas kematian Marsinah, seorang buruh yang meninggal setelah diperkosa dan disiksa secara kejam karena menuntut hak-haknya.

Pada tanggal 8 Mei 1993, Marsinah, seorang buruh pabrik jam PT Catur Putra Surya Sidoarjo, Jawa Timur, ditemukan mati mengenaskan. Sebelum kejadian itu,


(18)

2

Marsinah bersama kawan-kawannya menuntut kenaikan upah pada 3 dan 4 Mei 1993. Akan tetapi, upaya itu gagal dan 13 buruh dipecat. Untuk membela teman-temannya, ia datang ke Kodim Sidoarjo pada 5 Mei 1993, namun usaha itu gagal. Malam itu ia dijemput seseorang dan sejak saat itu menghilang. Mayatnya ditemukan pada 8 Mei 1993 di hutan jati Wialangan, Nganjuk. Menurut otopsi, ia mati secara tidak wajar. Tulang pinggul, seperti tulang kemaluan, tulang usus kanan, dan tulang duduk remuk. Pada kemaluannya ditemukan serpihan tulang (Gatra, 26 Februari 2000). Sampai saat ini, sudah beberapa kali kasus Marsinah dibuka dan hendak diusut kembali, baik dari kepolisian maupun LSM. Tetapi, hasilnya tidak pernah jelas, dan pembunuhnya tidak pernah ditemukan dan ditangkap.

MNdBT menceritakan mengenai seorang roh bernama Tokoh yang tidak bisa beristirahat dengan tenang di Alam Kematian. Dari sana ia mendengar suara roh-roh gentayangan lain yang tidak mendapat keadilan selama hidupnya. Ia menyaksikan ketidakadilan yang dialami masyarakat kecil yang terjadi di alam kehidupan yang disebabkan karena penindasan para penguasa yang tidak mempedulikan mereka. Tokoh menyuarakan “nyanyian Marsinah” yang berusaha membela hak-hak rakyat jelata yang tidak mereka dapatkan. Melalui penuturan dan kesaksian para tokoh, drama ini menggambarkan situasi masyarakat pada masa Orde Baru yang penuh tekanan dan pembungkaman. Tidak hanya masalah korupsi dan pembangunan besar-besaran yang terjadi pada masa itu, drama ini pun mengangkat situasi penegakan hukum di Indonesia kala itu yang dikendalikan oleh penguasa. Dalam drama ini, Ratna Sarumpaet menempatkan Marsinah sebagai sosok yang mewakili masyarakat marjinal yang suaranya sering dikesampingkan


(19)

3 (Sarumpaet, 1997:xv).

Karya ini diangkat sebagai objek penelitian karena dua alasan alasan. Alasan pertama adalah karena masalah kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Dalam naskah ini, juga dalam kasus-kasus yang ditemukan dalam realita, masyarakat marjinal adalah pihak minoritas yang sering ditekan oleh penguasa dan kondisi hidup. Mereka menjadi pihak yang tidak memiliki uang maupun kekuasaan untuk melawan penguasa. Dalam kasus buruh, mereka ditekan tidak hanya dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan, tetapi juga dalam hal penegakan hak-hak kemanusiaan, seperti yang dialami Marsinah.

Alasan kedua adalah karena penelitian terhadap genre drama dalam sastra Indonesia masih sangat jarang. Dewojati (2010:2) berkata bahwa di Indonesia, hampir sebagian besar pembicaraan tentang drama yang muncul di tengah masyarakat lebih banyak terfokus pada pementasan atau seni lakonnya. Akan tetapi, sebuah drama juga memiliki dua aspek, yaitu aspek naskah dan aspek pementasan, yang mana keduanya sama pentingnya dan saling mengisi.

Dalam penelitian ini, penulis akan membahas dua hal, yaitu unsur naskah drama MNdBT dan konflik kelas yang ada dalam MNdBT. Unsur drama MNdBT yang akan dibahas mencakup tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Kemudian, konflik kelas dalam MNdBT akan dikaji menggunakan teori konflik kelas perspektif Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.


(20)

4 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah unsur-unsur drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet?

2. Bagaimanakah konflik kelas dalam drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan unsur-unsur drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet yang terdiri atas tokoh dan penokohan, alur, dan latar. 2. Mendeskripsikan konflik kelas dalam drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah

Tanah karya Ratna Sarumpaet.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis, penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan untuk penelitian drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah, karena belum ada yang meneliti konflik kelas dalam drama ini. Meski demikian, sudah ada beberapa tulisan mengenai kehidupan buruh pada masa Orde Baru dan menyinggung kasus Marsinah. Selain itu, penelitian ini juga dapat memperkaya kajian sosiologi sastra yang meggunakan teori konflik


(21)

5 kelas.

Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan kesadaran pada masyarakat bahwa kaum buruh, yang merupakan masyarakat kecil, juga perlu diperhatikan hak-haknya. Melalui kesadaran tersebut, penelitian ini juga bisa memberikan bantuan bagi lembaga hukum untuk mememperkuat perlindungan hukum terhadap buruh.

1.5 Tinjauan Pustaka

Salah satu penelitian karya sastra yang menggunakan perspektif Marx dilakukan oleh Rumbiak (2010). Ia mengangkat topik “Nilai Marxisme dalam novel

Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer”. Dalam penelitian tersebut, ia

menyorot Marxisme sebagai pemikiran yang mengandung nilai perjuangan keadilan, nilai penghapusan strata sosial, nilai rasa senasib-sepenanggungan, nilai multikulturalisme, dan nilai anti-kapitalisme atau persaaan. Pemkiran-pemikiran tersebut tercermin dalam novel Bumi Manusia.

Selain itu, Sujarwadi (2007) menggunakan teori perjuangan kelas Karl Marx dalam penelitiannya yang berjudul “Perjuangan Kelas Penambang Pasir dalam Novel Kabut dan Mimpi Karya Budi Sarjono”. Dalam penelitian tersebut ia mendeskripsikan proses perjuangan kelas penambang pasir dalam novel Kabut dan Mimpi.

Ralf Dahrendorf mengembangkan teori konflik dalam bukunya Class and Class Conflict in Industrial Society (1959). Menurut Dahrendorf, perjuangan kelas tidak hanya semata-mata dilatarbelakangi oleh perebutan sumber daya ekonomi. Konflik dianggapnya timbul karena adanya pihak-pihak dalam kelompok


(22)

6

masyarakat yang memegang wewenang (authority).

Noor (2004) menulis mengenai “Kelas Sosial, Kepentingan Kelas, dan Konflik Kelas dalam Novel Saman: Sebuah Tinjauan Sosiologis”. Dalam penelitiannya, ia meneliti novel Saman karya Ayu Utami menggunakan teori Marx dan mengadaptasi beberapa teori Dahrendorf yang lain, seperti kepentingan kelas.

Mengenai sosok Marsinah, Goenawan Mohamad (dalam Sarumpaet, 1997:ix) menyebutkan bahwa apa yang terjadi atas Marsinah menunjukkan adanya dua agresi, yaitu agresi terhadap Marsinah sebagai buruh dan agresi terhadap Marsinah sebagai seorang perempuan. Menurutnya, kaum buruh dan kaum perempuan adalah pihak yang berada dalam posisi marjinal. Ia mengatakan bahwa buruh lemah kedudukannya dalam kehidupan sosial-ekonomi, dan perempuan lemah posisinya dalam lingkungan budaya yang memuja Ramboisme.

Drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah sempat disebutkan oleh Adji (2005: 101) dalam Gender dalam Drama Indonesia. Dalam tulisan tersebut, ia menyebutkan bahwa Tokoh tidak hanya “ditindas” oleh kelas atas (penguasa dalam sistem kapitalisme), tetapi juga “ditindas” oleh sistem patriarki.

Selain itu, Atika (2013) meneliti drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah sebagai tugas akhir dengan judul “Drama Marsinah, Nyanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet: Analisis Struktur dan Tekstur”. Ia meneliti struktur dan tekstur drama tersebut dengan teori George Kernodle.

Drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah ini belum pernah diteliti dengan perspektif konflik kelas. Oleh karena itu, penelitian ini dapat mengawali penelitian tentang drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah dan memperluas


(23)

7

referensi tentang konflik kelas dalam kajian sosiologi sastra di Indonesia.

1.6 Landasan Teori 1.6.1 Drama

Drama merupakan salah satu genre karya sastra, selain prosa dan puisi. Luxemburg (1989:158) mendefinisikan teks drama sebagai semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang isinya membentangkan sebuah alur. Secara lebih lanjut, Harymawan (1986:2) mendefinisikan drama sebagai cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan aksi (action) di hadapan penonton (audience). Effendi (1967:156) berkata bahwa drama menyuguhkan cerita dengan gerak (to act a story), bukan menyuguhkan cerita dengan bercerita (to tell a story).

Secara tersirat, Luxemburg (1989:158-159) menjelaskan bahwa naskah drama terdiri dari dua dimensi, yaitu karya sastra dan pengarangnya. Sebaliknya, unsur-unsur yang membangun pementasan drama bersifat multidimensi dan disuguhkan untuk dinikmati semua indra. Dalam pementasan drama, selain pengarang dan naskahnya, terdapat para pemain, sutradara, dan tim-tim tata cahaya, tata ruang, tata rias, dan tata busana. Luxemburg (1989:158) memberi penegasan bahwa ilmu sastra hanya dapat membahas teks-teks tertulis saja.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka diperlukan pembedaan agar tidak terjadi kerancuan antara drama sebagai naskah dan drama sebagai pementasan. Pembedaan ini terletak pada unsur-unsur yang membangun keduanya.


(24)

8 1.6.2 Unsur-Unsur Drama

Effendi (1967:158) berkata bahwa unsur-unsur drama memiliki kesamaan dengan unsur-unsur fiksi, yaitu tokoh dan penokohan, latar, tema, dan alur. Dalam penelitian ini, unsur-unsur yang dipilih untuk diteliti adalah tokoh dan penokohan, latar, dan alur untuk menganalisis konflik kelas yang ada dalam drama MNdBT.

a. Tokoh dan Penokohan

Dewojati (2010: 169) menjelaskan bahwa tokoh adalah bahan yang paling aktif untuk menggerakkan alur. Dalam sebuah drama, bahkan cerita fiksi secara keseluruhan, tokoh tidak hanya menggerakkan alur, ia juga membawa tema dan amanat pengarang dalam cerita itu.

Dalam membangun sebuah tokoh diperlukan penokohan atau karakter tokoh. Harymawan (dalam Dewojati, 2010:169) menyebutkan bahwa karakter memiliki sifat multidimensional. Dimensi-dimensi yang dimaksud adalah dimensi fisiologis (keadaan fisik tokoh), dimensi sosiologis (lingkungan hidup tokoh), dan dimensi psikologis (kejiwaan tokoh). Deskripsi dimensi-dimensi ini dapat diketahui melalui percakapan para tokoh, baik secara eksplisit atau implisit, dan melalui teks samping drama.

Berdasarkan perannya, tokoh dapat dibedakan menjadi beberapa, yaitu tokoh protagonis, antagonis, deutragonis, tritagonis, dan foil. Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawa norma-norma dan nilai-nilai yang ideal bagi kita. Melalui tokoh protagonis, pembaca akan berempati dan mengidentifikasikan dirinya dengan protagonis. Sebaliknya, tokoh antagonis adalah oposisi tokoh protagonis, secara


(25)

9

langsung atau tak langsung, fisik maupun batin. Ia adalah tokoh yang menyebabkan konflik dalam cerita (Altenbernd dan Lewis, dalam Nurgiyantoro, 2012:178-179).

Tokoh tritagonis adalah pihak ketiga, yang berpihak pada kedua kubu (protagonis dan antagonis) atau tidak di pihak keduanya sama sekali (Hamzah, 1985:106). Tokoh tritagonis adalah tokoh penengah yang bertugas menjadi pendamai atau perantara anatara protagonis dan antagonis. Tokoh foil adalah tokoh yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik yang terjadi, tetapi ia diperlukan guna menyelesaikan cerita (Saptaria dalam Adji, tanpa tahun:13).

b. Alur (Plot)

Altenbernd dan Lewis (dalam Dewojati, 2010:167) membagi struktur drama menjadi lima tahap: exposition (eksposisi), exciting force/challenge (kekuatan penggerak), rising action (komplikasi), climax (klimaks), dan denounment/resolution (penyelesaian).

Eksposisi adalah bagian pembuka plot. Pada bagian eksposisi, pembaca diberikan informasi yang berkenaan dengan jalannya cerita: para tokoh, latar tempat, latar waktu, dan situasi yang sudah, sedang, dan/atau akan mereka hadapi. Kekuatan penggerak (exciting force/challenge) adalah sumber konflik. Ia menggerakkan para tokoh untuk menimbulkan konflik. Jalinan konflik yang semakin rumit dan semakin intens ini adalah bagian dari komplikasi (rising action). Komplikasi ini kemudian berujung pada klimaks. Klimaks atau titik balik adalah puncak konflik. Bagian terakhir adalah penyelesaian (denouement, resolution) yang “melepaskan ikatan” plot (Altenbernd dan Lewis, 1989:17-24). Pada bagian


(26)

10

penyelesaian ini, terdapat rahasia motif para tokoh dan akhir cerita (Kernodle dalam Dewojati, 2010:164).

c. Latar

Groote (dalam Adji, tanpa tahun:10) menjelaskan bahwa unsur latar dalam naskah drama adalah mengenai kapan dan di mana peristiwa terjadi. Oleh karena itu, latar dalam naskah drama dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar peristiwa.

Latar tempat adalah lokasi terjadinya peristiwa di dalam drama. Penjelasan mengenai latar tempat peristiwa diberikan oleh penulis dalam naskah drama melalui teks samping dan dialog-dialog para tokoh yang sedang berlangsung dalam naskah tersebut. Latar waktu adalah latar yang menjelaskan kapan peristiwa dalam drama terjadi, baik itu dalam adegan, babak, atau keseluruhan drama. Latar waktu terkadang dijelaskan secara eksplisit dalam drama, tetapi ada juga penulis drama yang memberikannya secara implisit. Latar peristiwa adalah peristiwa yang melatari kejadian-kejadian dalam drama. Latar peristiwa ini dapat fiktif atau nonfiktif, tergantung imajinasi penulis drama (Groote dalam Adji, tanpa tahun:11-12).

1.6.3 Sosiologi Sastra

Damono (1979:2) mendefinisikan sosiologi sastra sebagai pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Pendekatan ini terbagi menjadi dua konsep. Pertama adalah karya sastra sebagai cermin proses


(27)

11

sosial-ekonomis. Konsep ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Kedua, teks sastra adalah bahan penelaahan untuk memahami mengenai gejala-gejala sosial di luar sastra.

Ian Watt (dalam Damono, 1979:3) membicarakan mengenai hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Dalam konteks sosial pengarang, yang dilihat adalah faktor-faktor sosial pengarang dalam masyarakat yang mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra yang dihasilkannya. Kedua, konsep mengenai sastra sebagai cermin masyarakat. Damono (1979:4) menyebutkan bahwa untuk mempergunakan istilah tersebut untuk menilai karya sastra, pandangan sosial pengarang perlu diperhitungkan. Terakhir adalah fungsi sosial karya sastra. Mengenai fungsi sosial ini, Grebstein (dalam Damono, 1979:4) menyebutkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2003:11).

1.6.4 Konflik Kelas

Peneliti akan menggunakan dua teori untuk menganalisis konflik kelas dalam MNdBT, yaitu teori Karl Marx dan teori Ralf Dahrendorf. Menurut Marx, konflik


(28)

12

dalam masyarakat terjadi karena adanya kepentingan ekonomi di dalam kelas-kelas dalam masyarakat, yaitu borjuis dan proletar. Pemikiran tersebut diangkat oleh Marx untuk mengkritik pembangunan kapitalis (Rahardjo, 1928:75). Berangkat dari pemikiran Marx tersebut, Ralf Dahrendorf kemudian mengembangkan pemikiran bahwa konflik kelas terjadi karena adanya orang-orang yang memiliki kekuasaan dan dikuasai. Meski bertentangan, kedua pemikiran mengenai konflik kelas tersebut saling melengkapi dan keberadaan keduanya ditemukan peneliti dalam drama MNdBT.

a. Konflik Kelas Menurut Karl Marx

Faruk (2012:26) menjelaskan bahwa dalam sistem kapitalis, terdapat pembagian kelas-kelas sosial yang di dalamnya terdapat pengelompokan sosial dan pembagian kerja yang didasarkan pada pemilikan atas alat-alat produksi. Kelas sosial itu terdiri atas kelas atas yang menguasai sebagai besar alat-alat produksi (kelas borjuis) dan kelas bawah yang tidak menguasai atau hanya memiliki sebagian kecil alat produksi (kelas proletar). Kelas atas pada prinsipnya hidup dari penghisapan tenaga kerja kelas-kelas lain serta menguasai alat-alat negara, dan kelas-kelas bawah dihisap dalam perbagai bentuk (Diharja, 2011:175). Kelas bawah ini dianggap tidak begitu signifikan fungsinya dalam kegiatan produksi (Faruk, 2012:26).

Karl Marx menentang pemikiran tersebut. Menurutnya, justru masyarakat kelas bawah adalah pihak yang mendominasi dan menentukan kehidupan sosial, politik, intelektual, dan kultural bangunan kelas atas (Saraswati, 2003:38).


(29)

13

Pertentangan kelas sosial tersebut ada karena adanya usaha kelas atas yang ingin mempertahankan kepentingannya, mempertahankan hubungan-hubungan sosial yang ada dalam suatu kondisi produksi tertentu, dan memungkinkan terbangunnya berbagai institusi sosial seperti hukum, politik, agama, seni, keluarga, dan sebagainya, yang menopang hubungan-hubungan tersebut (Faruk, 2012:26-27). Dengan kata lain, Marx membandang bahwa strutkur ekonomi masyarakatlah yang menentukan kehidupan sosial, politik, intelektual, filsafat, agama, seni, dan kebudayan, bahkan menjadi dasar untuk dapat memahaminya (Noor: 1996:25 dan Hook, 1980:113).

Menurut Marx, uanglah (yang semula merupakan alat tukar dan pengantara antara manusia dan kebutuhannya) yang menyebabkan manusia menjadi terasing. Uang pekerjaan bukan lagi menjadi realisasi diri manusia, melainkan merosot menjadi komoditi yang bisa diperjualbelikan. (Diharja, 2011:175).

Marx memandang bahwa sejarah pada hakikatnya adalah sejarah perjuangan kelas antara kelas-kelas ekonomi. Konflik-konflik yang terjadi dalam masyrakat adalah konflik yang terjadi antara pemilik alat-alat produksi (borjuis) dan golongan yang harus hidup dari penggunaan alat tersebut (proletar). Dalam hubungannya dengan pelaksanaan sebuah negara, negara adalah badan pelaksana kelas ekonomi yang dominan dalam masyarakat (Hook, 1980:114).

b. Konflik Kelas Menurut Ralf Dahrendorf

Dalam penelitian ini, teori Ralf Dahrendorf yang digunakan adalah mengenai pandangannya terhadap konflik kelas, yang menurutnya disebabkan karena adanya


(30)

14

wewenang (authority). Ia mengembangkan teori ini mengkritisi pemikiran Marx dan teori fungsionalis. Ia mengkritisi pemikiran Marx yang menjadikan ekonomi sebagai landasan tumpu berbagai aspek kehidupan. Dahrendorf berpendapat bahwa wajah masyarakat tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi seperti yang ditekankan oleh fungsionalisme, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan (Susan, 2009:54-55).

Menurut Dahrendorf, konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Relasi-relasi dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan (Susan, 2009:54-55). Wallace dan Wolf (dalam Susan, 2009:55) memahami konsep kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan kontrol dan sanksi yang memungkinkan mereka yang memiliki kekuasaan memberi perintah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, ada konflik kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan yang tidak. Dalam masyarakat modern dan industri, kekuasaan ini diterjemahkan sebgai wewenang.

Dahrendorf (1959:166) menjelaskan bahwa wewenang (authority) selalu diasosiasikan dengan posisi atau peran di masyarakat. Wewenang adalah kekuasaan yang terdapat pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat (Soekanto, 1990:294). Contoh orang-orang yang memiliki wewenang ini adalah guru, polisi, direktur perusahaan, dan seterusnya.

Wewenang ini membagi masyarakat menjadi kelas superordinat (yang mengontrol dan memiliki otoritas) dan subordinat (yang dikontrol dan tidak


(31)

15

memiliki otoritas). Dahrendorf mengelompokkan semua pihak superordinat sebagai kelas penguasa, tanpa mempedulikan apakah pihak tersebut memiliki alat-alat produksi atau tidak (Okulu, 2014:162). Dalam sudut pandangnya, perebutan kekuasaan inilah yang menjadi sumber konflik.

1.6.5 Situasi dan Kondisi Buruh pada Masa Orde Baru

Wibawanto (1998) menyebutkan bahwa pada masa Orde Baru pembangunan di Indonesia melaju cepat. Dengan banyaknya modal asing yang masuk, industri semakin berkembang dan lapangan kerja terbuka semakin lebar bagi para buruh. Akan tetapi, kemajuan tersebut tidak seimbang dengan kesejahteraan para buruh. Wibawanto (1998:25) menyebutkan beberapa pelanggaran hak-hak buruh yang dialami para buruh: upah, kondisi kerja, kesepakatan kerja, pemutusan kerja, dan serikat buruh. Pelanggaran itu dilaksanakan oleh pihak pabrik, seringkali secara sepihak, seperti penolakan membayar UMR dan THR, pemotongan upah, dan sebagainya. Kondisi di luar pekerjaan mereka pun tidak jauh berbeda: kos-kosan yang kumuh, jam kerja yang tinggi tanpa cuti dan istirahat, ransum yang tidak layak, dan sebagainya.

Nasution (dalam Bajeber 1982:6) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan anggota-anggota lapisan bawah masyarakat masih relatif rendah, sehingga mereka tidak tahu hak dan kewajibannya. Akibatnya, mereka tiak tahu kapan haknya dilanggar. Meski demikian, tanpa adanya hal tersebut pun hak-hak buruh untuk bersuara tetap dibatasi.


(32)

16

pembangunan di Indonesia tidak terhambat, pabrik harus steril dari dinamika politik. Dengan kata lain, semua potensi yang memungkinkan gejolak politik harus dihilangkan. Yasanti (1998:7) menyebutkan bahwa dalam hal berserikat pun para buruh dikontrol, bahkan dalam keadaan tertentu tidak diperbolehkan.

1.7 Metode Penelitian

Metode Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap, yaitu (1) pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data. Berikut adalah penjelesan mengenai metode (1), (2), dan (3).

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka. Studi pustaka yang dilakukan adalah dengan membaca karya yang akan diteliti dan melacak buku-buku teori sastra, jurnal-jurnal yang membahas mengenai teori-teori tersebut, dan artikel-artikel yang berkaitan dengan kasus Marsinah.

1.7.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang dilakukan adalah metode formal dan metode analisis isi. Metode formal sangat lekat dengan strukturalisme, dan oleh karena itu cocok untuk membahas struktur intrinsik karya. Sementara itu, metode analisis isi berhubungan dengan komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Dalam ilmu sosial, isi yang dimaksudkan berupa masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik, termasuk propaganda (Ratna, 2012: 48).


(33)

17 1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data adalah deskripsi kualitatif. Peneliti menganalisis karya sastra dalam bentuk uraian dengan menerapkan teori-teori yang sudah dipilih.

1.8 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1997) karya Ratna Sarumpaet yang diterbitkan oleh Bentang. Drama ini terdiri dari bagian pembuka, empat adegan, serta bagian penutup.

1.9 Sistematika Penyajian

Penyajian penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa bab. Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab II berisi tentang analisis unsur karya yang terdiri dari tokoh dan penokohan, alur (plot), dan latar. Bab III berisi mengenai analisis konflik kelas dalam karya ini. Bab IV berisi tentang kesimpulan dan saran.


(34)

18 BAB II

ANALISIS UNSUR DRAMA

MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET

2.1 Pengantar

Dalam Bab II ini akan dijabarkan mengenai unsur naskah drama yang terdiri atas alur, tokoh dan penokohan, dan latar. Analisis mengenai alur dilakukan untuk mengetahui konflik-konflik yang terjadi dalam drama dan sebab-sebabnya. Kemudian, para tokoh dianalisis untuk mengetahui kelas-kelas sosial dalam drama, dan latar dianalisis untuk mengetahui konteks tempat, waktu, dan peristiwa dalam drama ini. Analisis terhadap ketiga unsur ini nantinya akan dikaitkan dengan analisis konflik kelas dalam drama MNdBT yang akan dibahas dalam bab III.

2.2Alur

Bagian Pembuka dan Adegan Pertama adalah bagian eksposisi drama MNdBT. Pada bagian Pembuka, para pembaca diperkenalkan pada situasi di Alam Kematian, sebuah tempat sebelum peradilan agung terjadi, serta para tokoh yang ada di sana (Tokoh, Hakim, dan para roh yang tidak bernama). Pada bagian pembuka, diceritakan mengenai suasana suram Alam Kematian. Ada suara rintihan seorang gadis yang menyayat.

Kemudian, pada Adegan Pertama, pembaca diperkenalkan pada isu yang akan diangkat dalam drama serta permasalahannya. Tokoh Ibu, yang tiba-tiba datang ke


(35)

19

Alam Kematian, berduka karena kehilangan anak-anaknya. Anak-anaknya adalah korban ketidakadilan dan keserakahan manusia di alam kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dalam dialog Ibu pada kutipan (1).

(1) IBU:

Gadis-gadis kecilku, tumbuh sendiri-sendiri…

Terempas dari pelukan, mereka tumbuh pesat, melesat di tengah zamannya. Di tengah putaran zaman, di mana keserakahan adalah raja, di mana keserakahan disembah dan dipersembahkan.

Tidak pernah betul-betul memahami teduh atau keriaan. Tidak pernah betul-betul memahami kehangatan darah yang mengalir di tubuh Ibunya. Dunia merenggut anak-anak ini, jadi seperti ini…

(Sarumpaet, 1997:8-9)

Berdasarkan kutipan tersebut, pembaca diberikan isu mengenai ketidakadilan dan ketidaksejahteraan yang dialami masayarakat kecil. Mereka hidup di bawah keserakahan dan tidak dapat menikmati kesejahteraan. Isu ini berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang tidak pernah selesai atau hanya dibiarkan menggantung, seperti kasus Marsinah. Hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan Hakim mengenai tidak perlunya mengangkat isu tersebut ketika hal tersebut memang sudah terjadi. Ia merasa bahwa mengangkat isu tersebut tidak mengubah apa-apa dan hanya akan membuka luka yang sudah tertutup. Akan tetapi, Tokoh berpendapat bahwa suara-suara derita yang didengarnya masih ada dan oleh karena itu ia harus memperjuangkannya agar ia dapat beristirahat dengan tenang. Hal tersebut tercermin dalam dialog Tokoh dan Hakim pada kutipan (2).


(36)

20

(2) HAKIM:

Tapi apa dengan membangunkan setiap orang seperti ini, memaksa mereka mengorek kembali luka-luka lama mereka, perempuan ini lantas berhenti meratap?

[…]

TOKOH:

Demi Tuhan aku tidak menginginkan ini. Aku ingin melupakannya. Aku ingin menguburkannya dalam-dalam… Tapi bagaimana aku harus mengingkari kesadaranku, sementara dalam ratapan itu aku seperti melihat diriku?

(Sarumpaet, 1997:6)

Kemudian, Adegan dua diawali dengan adegan para buruh yang sedang bersiap-siap pulang kerja. Pada adegan inilah exciting force/challenge (kekuatan penggerak) pertama muncul.

Exciting force/challenge (kekuatan penggerak) yang pertama adalah

penyampaian mengenai isu-isu buruh melalui pengalaman Kuneng. Isu pertama adalah mengenai kurangnya jaminan kesehatan. Teman-teman Kuneng, yang kasihan melihat Kuneng tampak lesu dan sakit, melaporkannya kepada Corong, yang menjadi mandor di sana. Tetapi, Corong acuh terhadap situasi tersebut, seperti tergambar dalam kutipan (3).

(3) ITUT:

Dia sakit. CORONG:

Saya tahu. Tapi itu bukan urusan kamu. Urusan kamu pulang, tidur yang banyak, supaya besok bisa kembali bekerja.


(37)

21 ITUT:

Mana petugas kesehatan? CORONG:

Itu juga bukan urusan kamu, koplok. Minggir nggak? Minggir!!

(Sarumpaet, 1997:18-19)

Dalam Adegan Dua ini, tergambar pula suatu isu buruh yang lain, yaitu mengenai pelecehan sosial yang dialami terutama oleh buruh perempuan. Dalam adegan ini pelecehan yang dialami buruh perempuan yang dilakukan Corong kepada Kuneng. Akan tetapi, Kuneng berhasil melawan ditolong oleh Itut dan teman-teman buruhnya yang lain.

Isu buruh yang ketiga adalah masalah ekonomi, yang terdapat pada bagian awal Adegan Ketiga. Pada Adegan Kedua, ditunjukkan Kuneng yang lesu sepulang kerja. Kemudian, pada Adegan Ketiga, terungkap bahwa Kuneng sedang kesulitan uang. Selain harus menyekolahkan anak-anaknya, ia juga harus membiayai suaminya yang semena-mena. Upahnya sebagai buruh tidak mencukupi.

Kekuatan penggerak kedua yang terdapat dalam Adegan Ketiga, berupa kenihilan sikap pemerintah terhadap isu-isu yang dihadapi buruh. Pada adegan ini, Tokoh dan Hakim bersimpati terhadap keadaan tersebut. Akan tetapi, Tokoh merasa marah karena tidak adannya tindakan yang diambil untuk mengatasinya. Tidak ada penegakan hukum yang adil bagi mereka. Hal tersebut dikatakan Tokoh pada kutipan (4).


(38)

22

(4) TOKOH:

Apa kamu mau menyangkal kalau hal seperti itu terjadi?

Mereka itu memang jarang memperoleh pembelaan yang sungguh-sungguh. Dan kaulihat sendiri tadi betapa tidak berdayanya mereka. Jangankan membeli keadilan. (Sarumpaet, 1997:35-36)

Kekuatan penggerak ketiga bersambung pada kematian Kuneng di awal adegan empat, yaitu keadaan Kuneng yang harus menjadi korban karena kemiskinan dan ketidakadilan. Upahnya yang kecil harus ia gunakan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga keluarganya. Selain itu, rumah tempatnya tinggal harus digusur karena adanya rencana pembangunan pabrik.Menghadapi tekanan tersebut, Kuneng akhirnya bunuh diri.

Ketiga kekuatan penggerak itu membuat Tokoh mempertanyakan siapa yang bertanggungjawab atas ketidakadilan tersebut. Pada awalnya, Tokoh menyalahkan Hakim karena hal tersebut, terutama ketika ialah yang memimpin pengadilan pada saat ia masih hidup. Akan tetapi, Hakim menyanggah dengan alasan bahwa ada tangan-tangan lain yang lebih berkuasa daripadanya yang mengendalikan permainan penegakan hukum. Malah, Hakim merasa bahwa tidak ada yang perlu dipersalahkan karena hal itu terjadi untuk pembangunan. Dari sinilah sikap permusuhan Tokoh terhadap Hakim bertambah. Ini adalah konflik pertama dalam drama MNdBT.

Kemudian, konflik kedua terjadi diawali dengan kemunculan Lelaki III di Alam Kematian. Dengan pembawaannya yang angkuh dan latar belakangnya sebagai seorang penguasa korup semasa hidup, kemarahan Tokoh semakin bertambah. Ia tahu bahwa Lelaki III ini adalah sumber penderitaan masyarakat


(39)

23

kecil. Di sisi lain, Lelaki III melakukan pembelaan bahwa segala sesuatu yang ia lakukan adalah demi pembangunan dan kemajuan, yang menurut Tokoh, alasan itu hanyalah omong kosong belaka. Hal tersebut terlihat pada kutipan (5).

(5) LELAKI III:

Kalau upaya meningkatkan kemajuan bangsa kamu sebut penghancuran-penghancuran, aku lagi-lagi salah menilaimu.

Kamu ternyata belum mampu melihat, bagaimana pentingnya jasa ilmu pengetahuan pada kepentingan bangsa.

[…]

TOKOH:

Tonggak-tonggak raksasa? Industri-industri raksasa? Jembatan-jembatan raksasa? Cerdas membuatmu sombong. Lupa kenapa Tuhan menganjurkan umatnya mencari cerdas.

(Sarumpaet, 1997:78-79)

Konflik ketiga terjadi antara Lelaki III dan Tokoh ketika Tokoh menyinggung mengenai seorang buruh perempuan “yang dianiaya, disiksa, dibunuh dengan keji, hanya karena dia ingin mengubah nasibnya, lepas dari kungkungan kemiskinan. Hanya karena dia membela kawan-kawannya senasib” (Sarumpaet, 1997:88). Tokoh menuntut karena tidak adanya pembelaan bagi perempuan tersebut. Pada titik ini, ia tidak lagi memberikan kesempatan bagi Lelaki III untuk membalas. Pada akhirnya, ia kemudian mengusir Lelaki III yang semakin tersudut oleh Tokoh dan arwah-arwah lain.

Ketiga konflik yang muncul ini adalah bagian dari komplikasi (rising action) drama. Pada setiap konflik, emosi Tokoh semakin memuncak dan akhirnya


(40)

24

berujung pada klimkas. Klimaks ini terjadi ketika, setelah Lelaki III pergi, kemarahan Tokoh semakin tidak terkendali. Ia merasa putus asa dan berteriak-teriak, dan akhirnya mengusir Hakim.

Penyelesaian drama ini ada pada bagian Penutup, ketika Ibu menghibur dan menenangkan Tokoh. Pada awalnya, Tokoh merasa belum siap untuk beristirahat. Ia masih ingin memperjuangkan teman-temannya. Meski demikian, Ibu menyuruhnya untuk berhenti karena ia sudah meninggal; sudah waktunya untuk berisitrahat. Tokoh pun akhirnya bertemu dengan Suara dari Langit dan dapat menerima kematiannya. Ia akhirnya beristirahat dengan tenang.

2.3Tokoh dan Penokohan

Dalam penelitian ini, hanya sebagian tokoh-tokoh drama MNdBT yang akan dianalisis. Tokoh-tokoh tersebut dipilih dengan melihat kaitannya dengan konflik kelas dalam drama. Dalam drama MNdBT, terdapat beberapa tokoh yang memiliki peran atau pengaruh besar dalam cerita: Tokoh, Hakim, Ibu, Corong, Kepala Petugas, Kuneng, Itut, Nining, Lelaki III. Bagian ini akan membahas mengenai kesepuluh tokoh tersebut. Kesepuluh tokoh tersebut akan dibagi berdasarkan perannya sebagai tokoh protagonis, antagonis, deutragonis, tritagonis, dan/atau foil.

2.3.1 Tokoh Protagonis a. Tokoh

Tokoh merupakan tokoh protagonis dalam drama MNdBT. Ia adalah roh yang bergentayangan di Alam Kematian. Dalam drama ini tidak disebutkan nama, jenis


(41)

25

kelamin, dan latar belakangnya selama ia hidup. Pada awal cerita, Tokoh digambarkan sebagai sosok yang memiliki rasa pahit kepada orang-orang di sekitarnya (dalam drama ini adalah Hakim, yang menjadi “teman” berdebatnya di Alam Kematian). Ia merasa gelisah, sedih, dan sinis karena tidak dapat beristirahat dengan tenang.

(6) Tokoh menatap Hakim, galau

TOKOH:

Tentu kamu telah mati dengan tenang. Diberangkatkan dengan upacara yang berbunga-bunga. Kehidupan yang serba baik membuatmu kehilangan kepekaan. Kehilangan dorongan-dorongan.

Tokoh akhirnya menjauh. (Sarumpaet, 1997:7)

Dalam kutipan (6) tersirat bahwa Tokoh tidak dapat beristirahat dengan tenang karena suatu alasan. Dengan sinis, ia menyindir Hakim yang dapat mati tenang dengan upcara, dan kehidupan yang baik. Ia merasa bahwa Hakim telah kehilangan kepekaan terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya.

Ia memiliki rasa empati yang besarkepada masyrakat kecil yang sering tidak mendapat hak-haknya dan diperlakukan tidak adil. Ia sangat membenci para penguasa dan para pelaku yang melakukan ketidakadilan. Ia bahkan tidak segan-segan melabrak langsung orang-orang yang melakukannya. Terkait dengan kutipan (6), hal tersebutlah yang membuatnya bergentayangan di Alam Kematian. Mengenai rasa empatinya terhadap masyarakat kecil, hal tersebut tercermin dalam kutipan (7).


(42)

26

(7) TOKOH:

Itu anak-anak Ibu yang sekarang punya kekuasaan memperjualbelikan adab. Memperjualbelikan hati nurani, hukum, bahkan Tuhannya… Memperjualbelikan apa saja yang pernah ibu ajarkan pada mereka. Punya kemampuan bertindak keji pada anak-anaknya, pada saudara kandungnya, bahkan pada Ibu kandungnya sendiri. Punya kekayaan menghalalkan segala bentuk kekejian. Menindas, menganiaya, memperkosa, termasuk membunuh…

(Sarumpaet, 1997:105)

Tokoh juga orang yang sangat menjunjung kebebasan bicara. Ia tidak senang dikekang. Dalam drama ini, ialah yang menyuarakan pendapatnya mengenai kebobrokan penguasa dan penderitaan yang dialami masyarakat kecil. Ia seperti merepresentasikan sosok Marsinah yang dalam kehidupan nyata membela teman-temannya sesama buruh. Hal tersebut terlihat dalam kutipan (8).

(8) TOKOH:

Kenapa? Alam kita sekarang ini alam bebas. Bebas bicara. Bebas mempertanyakan segala kejanggalan yang di masa hidup kita mustahil kita pertanyakan.

(Sarumpaet, 1997:68)

b. Kuneng

Kuneng adalah salah satu tokoh manusia di alam kehidupan. Ia memiliki peran penting sebagai buruh yang sering ditindas oleh penguasa. Kuneng adalah seorang buruh yang bekerja sangat keras. Ia menghidupi anak-anak dan suaminya yang pengangguran. Kuneng termasuk orang yang tidak tinggal diam ketika terjadi pelanggaran hak. Melalui penuturan Nining, diceritakan bahwa Kampung Ijo, tempat Kuneng tinggal, akan digusur. Teman-teman sekampungnya sudah hampir menyerah, tetapi Kuneng tidak. Ia berusaha mempertahankan kampung tersebut,


(43)

27 meski akhirnya penggusuran itu terjadi juga.

Secara tidak langsung, disebutkan bahwa Kuneng memliki kecantikan atau kemolekan tubuh, karena Corong tampak senang menggodanya. Meski demikian, ia memiliki harga diri dan tidak takut untuk memperjuangkan haknya. Hal itu tercermin dalam dua kutipan (9). Dalam kutipan tersebut, Kuneng dengan berani menghindar dari Corong meski ia tahu Corong bisa saja membalas bersikap kasar padanya.

(9) Corong makin bernafsu. Ia bicara sambil menggunakan tangannya, jahil.

CORONG:

Masa? Lalu bagaimana dengan muka pucatmu ini? Keringat dingin yang membasahi lehermu yang bagus ini…

Kuneng berdiri, marah. KUNENG: Jangan sentuh aku! (Sarumpaet, 1997:20)

2.3.2 Tokoh Antagonis a. Corong

Corong adalah salah satu tokoh manusia dalam cerita ini. Ia adalah sosok yang kasar dan tidak segan-segan melakukan pelecehan terhadap perempuan. Ia merasa memilki kekuasaan lebih dibandingkan buruh. Mengetahui hal ini, ia pun sering menindas para buruh, baik secara verbal maupun nonverbal. Hal tersebut terlihat dalam kutipan (10) dan (11) sebagai berikut.

(10) Corong makin bernafsu. Ia bicara sambil menggunakan tangannya, jahil.


(44)

28 CORONG:

Masa? Lalu bagaimana dengan muka pucatmu ini? Keringat dingin yang membasahi lehermu yang bagus ini… (Sarumpaet, 1997:20)

(11) CORONG:

Tidak ada orang-orang di sini Neng.Tinggal kau dan aku. Sekarang pikir cepat! Berbaik-baik denganku, atau… Kuneng mendorong Corong, terjungkal.

KUNENG: Anjing!!! CORONG:

Sombong kamu ya.Bagaimana kalau begini.

Corong seperti mendapat gagasan, ia mengancam Kuneng dengan pentungan di tangannya.

CORONG: Ayo! Berteriaklah!

KUNENG:

Jangan!! Jangan lakukan ini! CORONG:

Diam kamu! Kamu memang perlu diberi pelajaran. Bagaimana kalau begini?

[…]

Corong mengejar Kuneng mengitari gundukan tanah, sampai Kuneng akhirnya terjatuh.

(Sarumpaet, 1997:22-24)

Dalam kutipan (10), terlihat bahwa Corong sedang melecehkan Kuneng, baik secara verbal maupun nonverbal. Dalam kutipan (11), terlihat bahwa Corong mengancam Kuneng dengan kekerasan fisik ketika ia menolak untuk berhubungan dengan Corong.


(45)

29 b. Kepala Petugas

Kepala Petugas adalah atasan Corong. Ia memiliki peran kecil namun penting dalam drama ini. Ia merepresentasikan kekuasaan yang lebih besar dari Corong yang dibenci oleh para buruh. Kepala Petugas, sama seperti Corong, memiliki karakter yang kasar. Ia tidak segan-segan bermain kasar meski lawannya perempuan, bila hal itu memang diperlukan. Meski demikian, ia memiliki pegangan moral. Ia tidak setuju dengan main hakim sendiri. Hal tersebut tercermin dalam kutipan (12).

(12) KEPALA PETUGAS:

Kamu memang kurang ajar. Dengar perempuan! Barangkali kamu kira kamu pintar, ya? Atau pemberani? Baik. Tapi sekarang ini, kamu tidak punya pilihan selain menjawab pertannyaanku dengan baik dan sopan. Dan ingat. Ini yang terakhir saya bertanya. Siapa yang bertanggungjawab atas pengeroyokan tadi?

(Sarumpaet, 1997:26)

c. Lelaki III

Lelaki III adalah salah seorang roh lain di Alam Kematian. Saat ia masih hidup, Lelaki III adalah orang yang berkuasa. Ia cerdas dan pandai berdiplomasi. Ia memiliki pembawaan yang tenang dan tidak terpancing emosi. Dalam drama ini ia disiratkkan sebagai pihak yang berperan besar atas penderitaan kepada rakyat kecil. Hal tersebut tergambar dalam kutipan (13) dan (14).

(13) TOKOH:

[…] Laki-laki sialan ini merampok hajat hidup orang banyak. Merampok satu koma tiga trilyun rupiah, hanya


(46)

30

denagn mengandalkan sebuah pena, sambil nyengar-nyengir dan itu hak rakyat.

(Sarumpaet, 1997:66-67)

(14) LELAKI III:

Itu berarti aku sedang berhadapan dengan seorang yang betul-betul pemberani. Seseorang yang sakit.

Dan demi nama Tuhan yang telah memberiku begitu banyak peluang di masa hidupku, aku berjanji akan memulihkannya.

Pertama, aku lebih pandai membawa diri. Kedua, dengan cermat aku membaca situasi dan tahu bagaimana memanfaatkannya. Ketiga, aku tidak melawan arus. Dan inilah kesalahanmu yang paling buruk. Kamu melawan arus, padahal dunia di mana kamu tumbuh tidak menyukai itu.

Kesalahan yang lain, kamu terlalu menjunjung tinggi kebenaran di dunia di mana kebenaran justru sedang beramai-ramai dikhianati. Aku heran ini luput dari pengamatanmu.

(Sarumpaet, 1997:73)

d. Hakim

Dalam drama ini, Hakim memiliki peran sebagai tokoh antagonis. Hakim adalah salah satu roh yang ada di alam kematian. Sebagai tokoh antagonis, Hakim adalah sosok yang paling sering beradu pendapat dengan Tokoh. Hal ini terutama disebabkan karena representasinya sebagai sistem penegakan hukum yang tidak memihak orang-orang kecil. Ia banyak berpihak kepada Lelaki III.

(15) TOKOH:

Lalu saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan.Dan kamu Ibu Hakim, tidak tahu apa-apa?

HAKIM:

Apa yang kamu cari sebenarnya? TOKOH:


(47)

31

Apa? Hati nurani… Apa kamu pikir yang hilang, ketika ketidakadilan menghujam di ulu hatimu, dan kamu bungkam?

HAKIM: Kegilaanmu ini membuatku gila. (Sarumpaet, 1997:43)

(16) HAKIM:

Kemajuan dan pembangunan itu punya risiko. Ada perencanaan yang harus ditaati. Ada tata kota. Ada masalah kepadatan penduduk. Ada urbanisasi yang sukar dibendung.

(Sarumpaet, 1997:53)

Hakim adalah tokoh oportunis. Ketika dituduh oleh Tokoh bahwa ia mengetahui bahwa ada saksi palsu dalam sebuah pengadilan yang ia tangani, ia mengakuinya. Hal tersebut tercermin dalam kutipan (15). Dalam kutipan (16), terlihat bahwa ia pun mengikuti arus terhadap keputusan yang sudah dibuat orang-orang yang lebih berkuasa darinya. Dengan bersikap oportunis dan berpura-pura tidak tahu mengenai saksi palus tersebut, ia mencuci tangan dengan berkata bahwa ia “hanya menjalankan tugas” dan bahwa ia “hanyalah salah satu bagian yang dikuasai oleh para penguasa”. Hal itu terlihat seperti dalam kutipan (17).

(17) HAKIM:

(Enteng)

Tapi aku hanya seorang Hakim. Aku bukan juru selamat.

TOKOH:

Justru karena kamu seorang Hakim. Jabatan Hakim adalah jabatan paling terhormat dalam kehidupan manusia…


(48)

32

pertanggungjawabannya dicatat di meja Tuhan. HAKIM:

Tapi itu tidak berarti kemalangan buruh, penindasan, masalah-masalah ketidakadilan yang ada di muka bumi ini, lantas jadi tanggung jawab kami sepenuhnya. Putusan akhir memang ada di tangan seorang hakim…

TOKOH:

Dan sudahkah kamu memberikan putusan akhir yang terbaik untuk mereka?

HAKIM:

Berdasarkan fakta-fakta yang ada; Berdasarkan aturan main yang berlaku, kami melakukan yang terbaik. (Sarumpaet, 1997:36-37)

Meski demikian, Hakim bukanlah sosok yang sepenuhnya apatis terhadap ketidakadilan sistem penegakan hukum yang terjadi. Meski ia adalah pihak yang menyelewengkan penegakan hukum, ia juga menyadari bahwa ada tangan-tangan yang lebih berkuasa darinya, yang mengendalikan permainan lembaga peradilan. Hal ini tercermin dalam kutipan pengakuannya pada kutipan (18).

(18) HAKIM:

Baik. Kalau kamu ingin mencari hati nurani, Lembaga Peradilan bukan tempatnya. Karena di dalam kedudukan kami, di dalam keputusan dan pertimbangan-pertimbangan yang kami buat, hati nurani tidak punya tempat. Itu keberadaan kami. Itu satu-satunya kebenaran yang kami mengerti. Jadi jangan pernah berpikir lembaga peradilan adalah segalanya. Tidak! Lembaga peradilan bukan segalanya (Menarik napas panjang, berat). Ada kekuatan lain di sana…


(49)

33 2.3.3 Tokoh Deutragonis

a. Nining

Nining adalah salah satu teman Kuneng sesama buruh.Ia memiliki sifat yang keras. Sifatnya itu cenderung ia terapkan pula kepada orang lain. Hal itu tergambar seperti dalam kutipan (19).

(19) NINING:

Kenapa Neng? Sakit lagi? Marah pada siapa kita Kuneng? Ha? Pada siapa kita harus marah? Ini nasib kita Kuneng, dan akan selalu begini. Mengeluh, menangis, hanya membuat kita semakin menderita. Yang bisa kita lakukan hanya menerima, pura-pura melupakan sakitnya. Karena tidak aka nada yang membaik. Perbaikan bukan utuk kita, Neng… Ngerti nggak?

[…]

Aku cuma nggak mau dia cengeng. Dia harus ngerti, tidak ada yang bisa menolong dirinya, selain dirinya sendiri. Supaya dia jangan mimpi. Supaya jangan dia kira bakal ada Malaikat yang akan datang menolongnya.

(Sarumpaet, 1997:16-17)

b. Itut

Itut adalah salah seorang teman Kuneng sesama buruh. Ia keras, tetapi dapat bersikap lebih sabar terhadap sahabat-sahabatnya. Ia setia terhadap sahabatnya, dan jika ada ketidakadilan terjadi, ia berani untuk melawannya. Hal itu tercermin dalam kutipan (20).

(20) ITUT:

Bisa!! Untuk lapar apa pun bisa. Bapak pikir saya main-main? Bapak pikir, nyawa saya, nyawa


(50)

mereka-34

mereka ini, atau nyawa Kuneng tadi main-main? Kalau Bapak, atau orang-orang semacam Bapak, membutuhkan penyakit atau peristiwa-peristiwa besar untuk mati, kami tidak.

Lapar cukup membuat kami mampus seketika. Itu sebab bagi kami, lapar membuat semua perbuatan jadi pantas.Mau jadi pelacur, maling, perampok, termasuk pembunuh.

(Sarumpaet, 1997:28)

2.3.4 Tokoh Foil a. Ibu

Ibu dalam drama ini adalah salah seorang roh yang anak-anaknya hilang karena banyak alasan: anak yang termakan janji-janji manis dan kosong, anak yang harus berjuang keras agar bisa bertahan hidup, dan anak yang hilang karena memperjuangkan keadilan. Ia selalu berduka. Peran Ibu dalam drama ini hanya menjadi seorang pengawas kehidupan anak-anaknya. Di akhir drama, meski tidak dapat berbuat banyak, ia berusaha menghibur Tokoh dan menenangkan kemarahannya. Ibu dalam drama ini adalah ibu milik semua orang, yang bersedih atas kehilangan anakanaknya.seperti yang ada dalam kutipan (21).

(21) TOKOH:

Ibu adalah ketabahan, ketegaran, berhasta kepalangan dada…

Tapi Ibu jugalah mata air yang tak henti mengucur meratapi bumi yang dilahirkannya, yang memelihara bara api di dada, mengira dapat menahannya dari kobaran, hanya dengan keikhlasan. Ibu adalah luka, yang menata di relung hatinya kepedihan-kepedihan yang lahir di rahim sendiri… (Sarumpaet, 1997:103-104)


(51)

35 2.4 Latar

Latar yang dianalisis dalam MNdBT adalah latar tempat, latar waktu, dan latar peristiwa. Ketiga latar ini terkait erat dengan konflik kelas dalam MNdBT.

2.4.1 Latar Tempat

Dalam drama ini ada dua latar tempat, yaitu Alam Kematian dan Alam Kehidupan. Di Alam Kematian inilah para arwah, termasuk Tokoh dan Hakim, membuka cerita. Di sinilah para arwah membicarakan mengenai ketidakadilan dan penindasan yang diungkapkan para tokoh di Alam Kehidupan. Hal tersebut diungkapkan dalam bagian pembuka pada kutipan (22) dan (23).

(22) PEMBUKA

Pertunjukan ini mengambil tempat di alam mati atau Alam Kematian, alam sebelum Peradilan Agung itu terjadi.

Di bagian belakang sebauh altar/ruang, tampak sederetan Roh/Arwah duduk bersila, membelakangi Penonton. (Pada kesempatan lain, arwah-arwah ini akan berperan sebagai bruh, juga sebagai koor).

(Sarumpaet, 1997:2)

(23) HAKIM:

Ini benar-benar menyakitkan.

Tokoh memperlambat langkahnya, lalu berhenti sama sekali.

TOKOH:

Aku melihat muka-muka yang terharu, kepala yang tertunduk sedih. Aku menyaksikan pasukan amal menyerbu mengulurkan pertolongan… Tapi kenapa? Kenapa tontonan menyakitkan seperti ini harus terjadi? Siapa yang bertanggungjawab di sini?

Siapa yang menyulut api membakar rumah-rumah, memusnahkan kampung-kampung?


(52)

36

Alam Kehidupan adalah tempat Kuneng, Nining, Itut, dan manusia lain berada. Latar ini menggambarkan pabrik tempat Kuneng, Nining, dan Itut bekerja, serta di sebuah lokasi tempat pemakaman Kuneng dilaksanakan. Di Alam Kehidupan inilah digambarkan mengenai peristiwa-peristiwa penindasan dan ketidakadilan, juga masalah-masalah kemiskinan, penegakan hukum, dan isu-isu masyarakat marjinal. Hal tersebut tergambar pada kutipan (9) dan (24).

(9) Corong makin bernafsu. Ia bicara sambil menggunakan tangannya, jahil.

CORONG:

Masa? Lalu bagaimana dengan muka pucatmu ini? Keringat dingin yang membasahi lehermu yang bagus ini…

Kuneng berdiri, marah. KUNENG: Jangan sentuh aku! (Sarumpaet, 1997:20)

(24) KUNENG MATI

Para arwah di bagian belakang altar terdengar membacakan ayat-ayat untuk jenazah Kuneng. (Sarumpaet, 1997: 45)

Dalam drama ini, Alam Kematian merupakan representasi dari Alam Kehidupan. Di Alam Kehidupan, meski para tokoh marjinal berusaha mengungkapkan perlawanan, pada akhirnya mereka selalu dibungkam kembali. Hal tersebut terutama dialami oleh Kuneng. Akan tetapi, di Alam Kematian inilah para arwah, terutama Tokoh, dapat menyuarakan konflik kelas yang terjadi di


(53)

37

masyarakat. Ia dapat menyuarakan pembelaan mereka kepada Hakim dan Lelaki III yang merupakan representasi sosok penguasa.

2.4.2 Latar Waktu

Secara tekstual, tidak ada penunjuk waktu yang disebutkan secara eksplisit dalam drama MNdBT. Tetapi, mengingat kapan karya ini ditulis dan latar belakang proses penulisan drama ini, dapat diasumsikan bahwa ini terjadi di sekitar tahun 1993 atau setelahnya, yaitu suatu waktu setelah pengadilan kasus Marsinah digelar. Hal ini diperkuat ketika Tokoh menyinggung seorang buruh perempuan yang mati secara tidak manusiawi tanpa pembelaan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (25).

(25) TOKOH:

Karena aku muak. Karena aku tidak sanggup, di liang kubur ini aku masih harus mencium bau kemunafikan. Seorang perempuan, seorang buruh kecil dianiaya, disiksa, dibunuh dengan keji, hanya karena dia ingin mengubah nasibnya, lepas dari kungkungan kemiskinan.Hanya karena dia membela kawan-kawannya senasib.

Kalian ada di sana waktu itu. Kalian tahu persis kenapa, dan bagaimana perempuan itu diperlakukan dengan tidak berperikemanusiaan.Apa yang kalian lakukan waktu itu?

(Berteriak)

Apa yang kalian lakukan? (Sarumpaet, 1997:88)

Dalam drama ini terdapat seorang tokoh penguasa otoriter yang secara implisit merepresentasikan Soeharto. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa saat cerita ini terjadi Soeharto masih hidup (pada zaman Orde Baru). Hal itu ditunjukkan dalam kutipan (26).


(54)

38

(26) TOKOH:

Satu saat, dia mengeluarkan sebuah surat keputusan, yang membuat orang-orang yang senasib denganku betul-betul merana.

Jangankan protes. Mengeluh kami. Hanya mengeluh. Sebuah senapan sudah melotot di depan hidung kami. (Sarumpaet, 1997:64)

2.4.3 Latar Peristiwa

Dalam drama ini diceritakan mengnai keadaan masyarakat yang tidak menentu, seperti pada situasi masa akhir Orde Baru; banyak terjadi pembangunan yang tidak berjalan lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Melalui penuturan Tokoh, dapat diketahui banyak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi. Salah satu contoh praktik korupsi diceritakan melalui penuturan Tokoh. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan (27).

(27) TOKOH:

[….] Laki-laki sialan ini merampok hajat hidup orang banyak. Merampok satu koma tiga trilyun rupiah, hanya dengan mengandalkan sebuah pena, sambil nyengar-nyengir dan itu hak rakyat.

(Sarumpaet, 1997:67)

Dalam penegakan hukum pun terjadi praktik kolusi. Hal ini terlihat melalui penuturan Tokoh dan Hakim. Dalam kutipan ini, ditunjukkan ketidakberdayaan lembaga peradilan sebagai penegak hukum. Keputusan mereka sering dipengaruhi oleh campur tangan penguasa. Hal tersebut diungkapkan Tokoh seperti dalam kutipan (28).


(55)

39

(28) TOKOH:

Lalu saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan.Dan kamu, Ibu Hakim, tidak tahu apa-apa?

[….]

HAKIM:

[…] Tidak! Lembaga peradilan bukan segalanya (Menarik napas panjang, berat) ada kekuatan lain di sana... (Sarumpaet, 1997:43-44)

Selain ketidakadilan dalam penegakan hukum, dalam kutipan tersebut disebutkan pula mengenai kasus Marsinah yang belum tuntas (belum ditemukan siapa pelakunya). Dalam kasus Marsinah, para terdakwa dalah atasan-atasan Marsinah dan seorang tentara (Forum Keadilan, No. 2, 28 April 2002).

Sama seperti pada masa Orde Baru, banyak orang yang dibungkam ketika menyuarakan perlawanan. Pembungkaman tersebut berakhir dengan kehilangan atau kematian seseorang. Hal tersebut tercermin ketika Itut dan Nining berusaha membela Kuneng, tetapi kemudian ditekan oleh petugas. Selain itu, dikisahkan juga mengenai sosok Ibu yang kehilangan “anak-anaknnya” ketika menyammpaikan hak-hak mereka. Pembungkaman ini dipertegas melalui penuturan Tokoh pada kutipan (29).

(29) TOKOH:

[…] Jangankan protes. Mengeluh kami. Hanya mengeluh. Sebuah senapan sudah melotot di depan hidung kami.


(56)

40 2.5 Rangkuman

Pada pembahasan Bab II mengenai analisis unsur drama MNdBT, dapat disimpulkan beberapa hal yang menyangkut tiga unsur drama, yaitu alur, tokoh dan penokohan, dan latar.

Melalui analisis alur, diketahui bahwa dalam drama ini disinggung mengenai adanya isu atau situasi pelanggaran hak yang dilakukan atas masyarakat marjinal dan kepentingannya mengangkat isu tersebut. Fokus utama masyarakat marjinal dalam drama ini adalah para buruh dan situasinya. Isu-isu buruh yang menjadi keprihatinan adalah mengenai kondisi ekonomi yang tidak stabil, jaminan kesehatan yang tidak terjamin, pelecehan seksual yang terjadi atas buruh perempuan, serta penegakan hukum yang tidak adil (lebih banyak memihak para penguasa). Akan tetapi, meski ada kondisi-kondisi demikian, tidak ada yang bergerak untuk membela mereka. Hal-hal inilah yang memicu konflik dalam drama.

Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi kehidupan masyarakat yang pada saat itu tidak stabil. Para jajaran atas banyak melakukan praktik korupsi dan tindakan otoriter, seperti yang dilakukan oleh Lelaki III. Pembangunan bangsa yang disebut olehnya banyak merugikan masyarkat marjinal Akibat kondisi-kondisi itu, seorang buruh perempuan mati setelah disiksa dan diperkosa, bahkan tanpa pembelaan.

Tokoh yang berperan penting yang ada dalam drama MNdBT adalah Tokoh, Hakim, Ibu, Kuneng, Nining, Itut, Corong, Kepala Petugas, dan Lelaki III. Tokoh protagonis adalah Tokoh dan Kuneng. Tokoh adalah suara utama dalam drama ini, yang menyuarakan permasalahan-permasalahan masyarakat marjinal. Kuneng


(57)

41

adalah tokoh yang menjadi bukti utama atas akibat permasalahan-permasalahan itu. Tokoh deutragonis adalah Itut dan Nining. Itut dan Nining adalah tokoh-tokoh yang menyadari bahwa mereka ditindas dan berusaha untuk membela hak-hak mereka meski menemui halangan. Tokoh foil adalah Ibu. Ia adalah tokoh yang mencoba untuk menerima kehilangan anak-anaknya yang disebabkan karena perlawanan mereka. Corong, Kepala Petugas, Lelaki III, dan Hakim adalah tokoh antagonis. Hakim, Corong, Kepala Petugas, dan Lelaki III adalah tokoh-tokoh yang mewakili penguasa. Mereka merepresi masyarakat bawah menggunakan uang dan kekuasaan. Latar tempat dalam drama ini adalah Alam Kematian dan Alam Kehidupan. Alam Kehidupan adalah tempat para manusia berada. Di Alam Kehidupan inilah Kuneng para buruh mengalami ketidakadilan dan penindasan oleh aparat. Melalui Alam Kematian, tempat para arwah berada, Tokoh menyampaikan suara-suara mereka kepada Hakim dan Lelaki III, yang merupakan representasi penguasa.

Latar waktu dalam drama ini terjadi sekitar tahun 1993 atau setelah kasus Marsinah terjadi. Latar peristiwa drama ini adalah mengenai kondisi masyarakat yang tidak menentu pada akhir masa Orde Baru yang diwarnai praktik korupsi dan kolusi. Penegakan hukum dikendalikan oleh mereka yang memiliki uang atau pengaruh. Selain itu, segala bentuk perlawanan akan dibungkam, entah dengan disiksa atau dibunuh. Tokoh Ibu kehilangan anak-anaknya yang berusaha melawan, sementara para buruh pabrik yang melawan ditekan dengan kekerasan oleh para petugas yang memiliki status lebih tinggi dari mereka.

Melalui analisis unsur, kita dapat melihat situasi dan kondisi orang-orang kecil serta para penguasa pada drama MNdBT. Para tokoh marjinal direpresi oleh


(58)

42

tokoh-tokoh penguasa, dan bahwa konflik-konflik di antara mereka terjadi karena adanya isu-isu kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami oleh para tokoh marjinal. Isu-isu tersebut terjadi terutama karena situasi dan kondisi pada masa rezim Orde Baru. Konflik kelas masyarakat kelas bawah dan kelas atas akan dibahas lebih lanjut dalam Bab III.


(59)

43 BAB III

ANALISIS KONFLIK KELAS DALAM DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH

KARYA RATNA SARUMPAET

3.1Pendahuluan

Pada Bab III ini, penulis akan membahas mengenai konflik kelas yang terdapat dalam drama MNdBT. Dalam drama MNdBT terdapat dua aspek yang menyebabkan terjadi konflik kelas dalam drama ini, yaitu konflik yang disebabkan karena adanya kepentingan ekonomi dan konflik yang disebabkan karena adanya supresi pihak yang memiliki wewenang.

Marx memandang bahwa konflik kelas terjadi karena adanya perjuangan kelas yang dilakukan karena motif kepentingan ekonomi. Pemikirannya merupakan bentuk perlawanan bagi sistem kapitalisme yang membagi kelas sosial menjadi kelas atas dan kelas bawah. Peneliti melihat bahwa hal ini terjadi pula dalam drama MNdBT. Ada kepentingan-kepentingan ekonomi yang memicu konflik kelas dalam MNdBT.

Akan tetapi, konflik kelas dalam drama MNdBT ini tidak berhenti hanya sampai pada konflik yang disebabkan oleh masalah ekonomi saja. Dalam drama ini, Ratna Sarumpaet pun mengungkapkan kegelisahannya atas kondisi masyarakat pada saat itu, yaitu bahwa ada supresi kekuasaan atas masyarakat marjinal yang menimbulkan konflik-konflik dalam drama.


(1)

76

Buruh di Bawah Represi. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Yasanti. 1995. Lika-Liku Kehidupan Buruh Perempuan: Hasil Penelitian Kehidupan Buruh Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(2)

77 LAMPIRAN 1

SINOPSIS

DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET

Drama ini menceritakan mengenai Tokoh, seorang roh yang berada di Alam Kematian. Ia tidak dapat beristirahat dengan tenang karena selalu mendengar suara-suara menyayat yang seperti jeritan dan tangisan. Tidak satupun roh di Alam Kematian yang tahu siapa pemilik suara itu. Yang jelas, pemilik suara itu adalah seorang perempuan.

Ibu, salah seorang roh lain yang mendiami Alam Kematian, muncul mengisahkan kesedihannya karena anak-anaknya yang dicuri oleh kekuasaan dan ketamakan. Karena anak-anaknya melawan para manusia penguasa, mereka hilang. Sementara itu, di Alam Kehidupan, di sebuah pabrik, ada para buruh yang baru saja selesai bekerja. Di tengah-tengah kerumunan para pekerja itu, terdapat Corong, seorang kepala ruang para buruh yang meneriaki mereka untuk bergerak pulang. Akan tetapi, Kuneng, salah seorang buruh, tampak sakit dan berjalan lesu dan lambat. Teman-temannya, Nining dan Itut, berusaha membantu dan menyemangatinya, tetapi diusir oleh Corong, meninggalkan Kuneng dan Corong berdua saja. Akhirnya, diketahui bahwa Corong ternyata melakukan pelecehan seksual kepada Kuneng. Ia mengancam Kuneng dengan kekerasan bila Kuneng tidak mau melayaninya. Pada akhirnya, ditolong oleh teman-temannya, Kuneng bisa kabur dari situasi tersebut, meski pertolongan itu sempat tercekal oleh seorang Kepala Petugas yang lebih membela Corong.

Menyaksikan kejadian tersebut dari Alam Kematian, Tokoh merasa marah dan sedih karena tidak ada satu pun para penguasa yang membela mereka (para buruh). Mereka selalu menjadi pihak yang dipersalahkan, bahkan termasuk juga masyarakat kecil lainnya. Ia sendiri marah kepada Hakim, salah seorang roh lain di Alam Kematian, yang hanya bisa menyayangkan kejadian itu dan tidak berbuat


(3)

apa-78

kesalahan tidak bisa ditimpikan hanya padanya. Ia menganggap bahwa bentuk penegakan keadilan apapun yang ada di pengadilan, akan tetap ada kekuatan lain yang mengendalikannya.

Kemudian, di Alam Manusia, diketahui bahwa ternyata Kuneng meninggal bunuh diri. Latar belakangnya adalah tekanan hidup yang dialaminya. Rumahnya akan digusur, upah kerjanya kecil, padahal ia harus menghidupi keluarganya dan sekolah anak-anaknya, dan suaminya sendiri seorang pengangguran.

Melihat hal tersebut, Tokoh bertambah marah dan sedih, karena Kuneng menjadi bukti bahwa masyarakat kecil sebagai korban para penguasa yang korup. Akan tetapi, Hakim merasa bahwa Tokoh seharusnya tidak terus-menerus menyalahkan penguasa, karena mereka telah menentukan kebijakan-kebijakan untuk membangun bangsa dan negara. Tokoh menepis pernyataan itu karena kebijakan-kebijakan itu tidak pernah memihak masyarakat kecil.

Karena kebenciannya terhadap para penguasa, kebijakan-kebijakan yang mereka buat, dan kesewenang-wenangan kekuasaan mereka itulah Tokoh tidak ingin menemui Lelaki III, salah seorang roh lain di Alam Kematian yang pada saat hidup adalah seorang penguasa. Lelaki III terutama adalah seorang penguasa yang korup dan memerintah dengan otoriter. Hakim sendiri merasa bahwa Lelaki III bukanlah tokoh yang perlu ditentang. Hal tersebutlah yang membuat kemarahan Tokoh semakin menjadi-jadi.

Dengan kemarahan Tokoh itu, satu per satu roh lain di Alam Kematian pergi dan meninggalkannya sendirian. Ibu, roh yang masih ada di Alam Kematian itu berusaha menenangkan kemarahan Tokoh, membujuknya untuk melepaskan penyesalannya agar dapat beristirahat dengan tenang. Akan tetapi Tokoh menolaknya. Kemudian, datanglah Suara Dari Langit yang akhirnya membuat Tokoh berpasrah dengan kematiannya dan beristirahat dengan tenang.


(4)

79 LAMPIRAN 2


(5)

(6)

81

PROFIL PENULIS

Gabriela Melati Putri lahir di Jakarta pada 23 Agustus 1994. Pada tahun 2000-2006, ia menempuh pendidikan SD di SD Notre Dame. Pada tahun 2006-2009, ia menempuh pendidikan SMP di SMP Notre Dame. Pada tahun 2009-2012, ia menempuh pendidikan SMA di SMA Notre Dame. Kemudian, ada tahun 2012 ia memulai studi S1-nya di Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Ia menjadi anggota aktif Teater Seriboe Djendela dari tahun 2012-2015 dan menjadi pengurus Rumah Tangga dan Kepustakaan Teater Seriboe Djendela periode 2013-2015. Selama masa aktifnya, ia telah terlibat dalam beberapa pementasan teater, baik sebagai aktor, tim penulis naskah, tim artistik, maupun tim produksi. Selain itu, ia juga terlibat dalam kegiatan workshop artisitik yang diadakan oleh Bengkel Sastra sebagai tim publikasi.

Pada tahun 2016, ia mengakhiri masa studinya dengan penelitian untuk tugas akhirnya yang berjudul “Konflik Kelas dalam Drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet: Tinjauan Sosiologi Sastra”.