Sarana retorika pada alur utama dan alur bawahan dalam Novel Gajah Mada: takhta dan angkara karya Langit Kresna Hariadi Indonesia Kelas XII

(1)

DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA KELAS XII

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Dessy Husnul Qotimah 1110013000028

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(2)

DALAM

NOVEL

GAJAH

MADA:

TAKHTA

DAN ANGKAR,4

KARYA

LANGIT

KRESNA

HARIADI

DAN

IMPLIKASINYA DALAM

PEMBELAJARAN

BAHASA

DAN

SASTRA INDONESIA

KELAS

XII

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Saiah Satu Syarat

Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Dessy Husnul Qotimah

I 1 10013000028

JURUSAN PBNDIDIKAN BAIIASA DAN SASTRA INDONESIA FAKTILTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGBRI SYARIF HIDAYATULLAII

JAKARTA z0t5

Bimbingan

ati, M.Hum. NIP. 19771030 200801 2 009


(3)

dan Implikasinya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas

XU,,

disusun oleh DESSY HUSN{.IL QOTIMAH,

NIM

1110013000028,

diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan LULUS dalam ujian munaqasah pada tanggal 06 Maret 2015 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia.

JakartA06 Panitia Uj ian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)

Dra.Ilindun. \t[. Pd.

IYIP, 19701215 200912 2 00t Sekretaris furusan

D_ona Aii Karunia Putra. M.A. N[IP. 19840409 201101

I

015 Penguji I

Prlis Nurmuiininssih. M. Hum. IYIP, 19630731 198803 2 002

Penguji 2

Dqa.. Hindun.l\{. Pd.

niIP. 1970121s 2009t2 2 001

Tanggal

14n:!

Tanda

?a\h

las

2Apn\

,

/p.i\

?otl

""1""'-"'


(4)

SURAT PERNYATAAN KARYA

SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama

Tempat/Tgl.Lahir

NIM

Jurusan / Prodi Judul Skripsi

Dessy Husnul Qotimah Wonogri, 19 Desember 1992

1 I 10013000028

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sarana

Retorika

pada Alur

'Utama

dan

Dosen Pembimbing

Alur

Bawahan

dalam

Novel

Gajah Mada:

Takhta

dan

Angkara

Karya

Langit

Kresna Hariadi dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas

XII

: 1. Rosida Erowati, M.Hum.

dengan

ini

menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

l3 Februari 2015 Jakarta,

tY

Desslz Husnul Qotimah 1 1 10013000028


(5)

i

ABSTRAK

Dessy Husnul Qotimah, NIM 1110013000028, “Sarana Retorika pada Alur Utama

dan Alur Bawahan dalam Novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XII”.

Penelitian ini dilakukan dengan dasar bahwa retorika tidak hanya diterapkan pada keterampilan berbicara saja, tetapi juga pada keterampilan menulis. Sarana-sarana yang digunakan dalam retorika tekstual adalah penyiasatan struktur, dan pemajasan. Keduanya terdapat pada unsur intrinsik gaya bahasa dalam sebuah prosa. Berbicara mengenai prosa, ada beberapa novel yang memiliki lebih dari satu alur. Tentunya, tiap alur tersebut memiliki cara penyampaiannya tersendiri. Perbedaan gaya penceritaan itu tergantung dari seberapa pentingkah alur tersebut untuk disampaikan. Perbedaan gaya penceritaan tersebut bisa dilihat salah satunya dari retorika tekstual yang digunakan oleh pengarang dalam menceritakan alur-alur tersebut karena setiap sarana retorika tekstual memiliki efek tersendiri dalam membangun suasana.

Penelitian yang menggunakan teori gaya bahasa milik Gorys Keraf ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan penyajian deskriptif. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan alur apa saja yang ada dalam novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi. Setelah itu, peneliti mendata sarana retorika apa saja yang digunakan pengarang dalam menyampaikan alur-alur tersebut. Dari pendataan tersebut, dapat diketahui berapa banyak sarana retorika beserta efeknya yang digunakan pada tiap alur.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pada tahapan alur manakah yang paling sering menggunakan sarana retorika dan apa efeknya. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa tahapan alur yang paling banyak menggunakan sarana retorika adalah tahapan klimaks pada semua alur dalam novel ini, kecuali pada alur bawahan pertama yang justru terletak pada tahap pengenalan.

Penggunaan sarana retorika dalam novel ini menimbulkan beberapa efek yang dirasakan oleh pembaca. Efek-efek tersebut adalah 53 kali penekanan emosi, 33 kali penguatan imaji, 79 kali ketegangan, 45 kali penegasan makna, 85 kali pemberian informasi, 3 kali penciptaan nama baik tokoh, 7 kali pemulihan kebosanan, 19 kali pengenduran urat saraf, dan 9 kali penggiringan opini pembaca.


(6)

ii

of Main Plot and Subordinate Plot in The Novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara Written by Langit Kresna Hariadi and The Implication Towards Indonesian Language and Literature Learning in Students of 12thGrade.”

This study was carried out to be based on the rhetoric that is not only applied in speaking skill but also in writing. The means used in textual rhetoric are figures of thought and figures of speech. Both are on the intrinsic elements of language style in a prose. Talking about prose, there are some novels that have more than one plot. Of course, each plot has its own way of delivery. Different style of narrating depends on how important the plot is to be told. The different style of narrating can be seen from textual rhetoric used by the author in telling the plots because each mean of textual rhetoric has its own effect in creating the atmosphere.

This study that used Gorys Keraf’s theory of language style used qualitative research methodology with descriptive presentation. In this study, the researcher determined what plots were there in the novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara

written by Langit Kresna Hariadi. Furthermore, the researcher collected the data of the means of rhetoric used by the author in conveying the plots. From those data, it could be seen how much means of rhetoric and their effects were used in each plot.

The purpose of this study was to determine at what stage of plot was means of rhetoric frequently used and what effects it has. The result of this study showed that stage of plot that frequently used means of rhetoric was the climax stage on all plots of this novel, except the first subordinate plot on the introduction stage.

The use of means of rhetoric in this novel caused some effects on readers. Those effects are 53 times of the suppression of emotion, 33 times of the strengthening of images, 79 times of tension, 45 times of the affirmation of meaning, 85 times of the provision of information, 3 times of the creation of good

character’s name, 7 times of boredom recovery, 19 times of the relaxation of

nerves, and 9 times of convey of the reader’s opinion


(7)

iii

emosi, dan tentu saja dana ini bisa selesai pada waktu yang tepat.

Seiring dengan selesainya penelitian ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku ketua jurusan PBSI yang telah memudahkan

segala urusan penulis selama menjadi mahasiswa tingkat akhir.

3. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., karena telah membuat perjalanan skripsi ini mulus tanpa hambatan yang berarti.

4. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang tak pernah sungkan mengeksplor pengetahuan demi mahasiswa bimbingannya yang satu ini.

5. Kedua orangtua, Bapak Suwarno dan Ibu Suti Astuti, yang tak pernah kehabisan kasih, sayang, dan cinta untuk selalu mendoakan anaknya agar selalu seperti nama yang mereka sematkan, husnul khotimah, dalam setiap langkah yang diambil.

6. Seluruh jajaran dosen PBSI yang telah menambah wawasan penulis selama menjadi mahasiswa Strata 1.

7. Sahabat DDD−Nur Amalina, Sri Wahyuningsih, Amalia Utami Syahadah,

Ratna Agustina Pangestuti, Liza Amalia, Ayu Rizki Pramulyaningrum, Nur Rafiqah, dan Astuti Nurasani−yang mampu membalikkan tiap duka menjadi canda.

8. DM, seseorang yang telah berhasil membuat peneliti sedikit berguna di akhir masa studi strata satu ini. DM, kita tak pernah sanggup mendikte waktu, tapi terima kasih kuhambakan atas kesediaanmu kujelmakan dalam kekataan, angan, dan kenangan.


(8)

iv

jalan. Sehitam apapun, itu tetap warna.

11.Sahabat PBSI B dan PBSI C 2010. Bangga rasanya ada di tengah kalian sebagai saudara.

12.Keluarga besar HMJ PBSI, terutama divisi Bahasa dan Sastra Indonesia periode 2013/2014, yang telah memberikan pengalaman berharga tentang cita, cerita, dan tentu saja cinta.

13.Nayaga-nayaga Degung Sunda POSTAR yang sudah mengajariku menjadi setengah Sunda.

14.Mbak Ziah yang selalu menyokong riset sejarah, my partner Kunia Dewi Nurfadillah, Holida Hoirunnisa, Hanan, Anis, Uchi, Maya, Syifa, Ida, dan Iroh yang saling setia mendukung untuk terus maju. Tak peduli semenyakitkan apa jalan yang wajib kita taklukan nanti, kita akan sukses. Catat itu!!!

15.Bang Dimas, Ka Unet, Dimas Albiyan, Miss Maret, Miss Nadia, Ozhi, dan Hafiz yang selalu sabar dengan penodongan-penodongan pertanyaan seputar agama Hindu, sastra, penerjemahan, hingga pengeditan skripsi ini yang kerap kali diminta secara dadakan dan meminta hasilnya selekas mungkin.

16.Kepala Sekolah SMK Farmasi Minasa Mulia dan Akademik Bimbel Gama Jogja yang tak pernah kehabisan pemakluman untuk mengizinkan tenaga pengajarnya ini “rehat” dari tugasnya sejenak.

17.Murid-murid SMK Farmasi Minasa Mulia dan Bimbel Gama Jogja Depok karena selalu rajin bertanya kapan Ibu Gurunya ini wisuda. Pertanyaan kalian doa bagi saya.

18.Pihak Pengelola Perpustakaan Riset UI yang telah menyediakan tempat yang sangat kondusif bagi penulis selama pengerjaan skripsi ini.

19.Beberapa pihak informal, namun memegang salah satu posisi kunci dari skripsi ini, pekerja fotokopian. Di mana pun kalian membuka gerai


(9)

v

Semoga Allah berkenan melimpahkan balasan yang tiada terkira bagi semua pihak yang telah memudahkan penulis menyelesaikan tugasnya ini. Aamiin.

Penulis sangat menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menanti sumbangan kritik dan saran yang membangun guna bahan pelajaran penulis ke depannya.

Khatam kalam, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi dunia pendidikan dan tentu saja pembaca pada umumnya.

Depok, Februari 2015


(10)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 7

G. Metodologi Penelitian ... 8

BAB II : KAJIAN TEORI ... 13

A. Retorika ... 13

1. Sarana-Sarana Retorika ... 17

a. Gaya Bahasa ... 17

b. Penyiasatan Struktur Kalimat ... 23

B. Novel ... 30

1. Hakikat Novel ... 30

2. Sastra Sejarah ... ... 32

3. Unsur Intrinsik ... ... 35

C. Implikasi Pembelajaran Sastra ... 39

D. Penelitian Relevan ... 42

BAB III : PEMBAHASAN ... 44


(11)

vii

B. Analisis Unsur Intrinsik ... ... 49

1. Tema………. 49

2. Sudut Pandang ……….. 50

3. Latar ……… 52

4. Tokoh ……….. 57

5. Gaya Bahasa ……….. .. 74

6. Alur ………. 76

7. Amanat ……… 88

C. Analisis Penggunaan Sarana Retorika Dalam Alur ... 90

1. Analisis Penggunaan Sastra Retorika Alur Utama ... 90

2. Analisis Penggunaan Sastra Retorika Tekstual Alur Tambahan Pertama ... 114

3. Analisis Penggunaan Sarana Retorika pada Alur Tambahan kedua ... 137

4. Analisis Penggunaan Sarana Retorika pada Alur Tambahan Ketiga ... 157

D. Ethos, Pathos, Logos ………... ... 180

E. Implikasi Pembelajaran……… ... 190

BAB IV : PENUTUP ... 192

A.Simpulan ... 192

B.Saran ………. 197

DAFTAR PUSTAKA ……….. 199 LAMPIRAN


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan utama dari sebuah komunikasi, baik verbal maupun non-verbal, adalah tersampainya informasi dari seorang komunikator kepada seorang atau lebih komunikan dengan baik tanpa ada satu pun yang tercecer dari pesan tersebut. Namun, pada kenyataannya, untuk menyampaikan isi pesan dengan utuh tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tanggung jawab seorang komunikator tidak hanya sebatas menyampaikan pesan yang dibebankan di pundaknya saja, tetapi juga bertanggung jawab untuk mempertahankan perhatian si komunikan agar pesan yang hendak disampaikan terserap secara utuh oleh komunikan. Di sinilah seorang komunikator unjuk kebolehan dalam kemampuan olahbahasanya. Sebenarnya, unjuk kebolehan olahbahasa ini adalah sebuah pertaruhan yang cukup prestisius bagi seorang komunikator. Jika ia berhasil mengolah bahasanya sedemikian rupa, maka mendapatkan perhatian penuh para komunikan adalah sebuah jaminan mutlak. Hal sebaliknya akan terjadi bila komunikatornya adalah seseorang yang miskin dalam hal olahbahasa.

Kemampuan olahbahasa ini telah ada sejak zaman Yunani kuno yang lebih dikenal dengan retorika. Keterampilan berbicara merupakan titik tolak retorika. Secara umum, retorika dapat dikatakan sebagai seni berbicara untuk menarik minat pendengar dengan menggunakan bahasa yang indah, menggugah, baik, dan terstruktur. Dalam retorika, efek estetiklah yang diutamakan dalam proses penyampaian pesan. Pengolahan bahasa yang tidak mudah ini dapat menggunakan teknik pemilihan diksi, penguasaan kaidah-kaidah ketatabahasaan, dan kaya akan gaya bahasa. Tak ayal seorang pembicara yang kreatif dan penuh terisi dengan ide-ide cemerlang tentang bagaimana caranya membidani lahirnya


(13)

sebuah tata bahasa yang komunikatif dan menghentak para pendengarnya akan mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari pendengarnya.

Selama ini retorika dalam bahasa tulisan belum banyak diakui oleh mayoritas pengguna bahasa. Kebanyakan orang menganggap bahwa retorika hanya mutlak milik bahasa lisan saja. Namun kenyataannya tidak. Pada awalnya retorika sampai beberapa abad lamanya berada dalam ranah bahasa lisan. Baru pada saat retorika mengalami zaman kemunduran, lahirlah sebuah konsep retorika modern yang mengubah haluan titik tekannya pada bahasa tulisan tanpa harus membelakangi bahasa lisan.

Ada banyak hal yang bisa membuktikan bahwa keterampilan menulis, retorika juga digunakan. Semua penikmat sastra−khususnya prosa−pastinya pernah terperangah tatkala membaca sebuah prosa dan mengalami perasaan yang begitu menegangkan saat membaca puncak masalah dari cerita tersebut dan hendak segera menyelesaikan bacaannya karena ingin mengetahui akhir dari cerita yang tengah dibacanya. Namun, tak jarang juga seorang pembaca begitu membaca satu atau dua halaman sudah bosan dan tidak berminat lagi menghabiskan bacaan tersebut. Pembaca, pengarang, hingga ide cerita bisa menjad kambing hitam kalau hal tersebut terjadi.

Betapapun briliannya sebuah ide yang digarap oleh pengarang, jika eksekusinya tidak menghentak pembacanya, tetap saja, kisah itu seperti kisah-kisah yang dinafasi oleh ide yang biasa-biasa saja. Ada banyak cara untuk menghadirkan eksekusi tersebut. Cara-cara tersebut sangat berguna membantu pembaca mencapai sebuah perasaan katarsis.

Eksekusi yang dimaksud di sini adalah bagaimana cara pengarang mengalihtransformasikan ide yang sederhana ke dalam sebuah tulisan dan mampu merebut hati pembaca dengan tulisan tersebut dan bagaimana cara pengarang membuat pembaca beranggapan bahwa apa yang ditulisnya adalah sebuah kejadian nyata. Pada akhirnya semua usaha ini berujung pada bagaimana cara pengarang membahasakan ide-ide sederhana yang bercokol di benaknya


(14)

menjadi sebuah kisah luar biasa untuk dibaca. Tidak cukup hanya nyaman dibaca saja, tetapi juga membawa pembaca ke dunia yang ia ciptakan dan secara tidak langsung melibatkannya dalam kisahan tersebut.

Pengeksplorasian penggunaan bahasa semaksimal mungkin dapat digunakan untuk mencapai eksekusi tersebut. Pengarang dituntut untuk menggunakan pengolahan bahasa yang sama sekali baru dalam penulisan. Lagi-lagi tidak hanya berhenti pada tatanan sintaksis dan morfologi saja, tetapi juga memainkan peran semantik dan pragmatik dalam kalimat-kalimat yang menjadi pembawa ceritanya. Ditambah dengan pemilihan diksi dan pemainan gaya bahasa, niscaya, ide yang sederhana dapat disulap menjadi sebuah kisahan yang luar biasa untuk dibaca.

Biasanya, dalam sebuah cerita yang disuguhkan dalam sebuah novel yang memiliki jumlah halaman yang cukup tebal, pengarang tidak hanya menyuguhkan pembaca dengan satu alur saja walaupun tidak semua novel dengan volume halaman tebal akan seperti itu. Di dalam novel yang berhalaman tebal itu akan memuat beberapa alur bawahan, di samping alur utama. Alur utama, alur yang menjadi tema utama dalam novel itu, akan berjalan seiring dengan alur-alur lainnya yang biasanya mengisahkan kehidupan atau pergolakan batin tokoh lain yang bukan tokoh utama dalam novel tersebut.

Kehadiran alur bawahan bisa menunjang jalan cerita di alur utama, tapi adakalanya kehadiran alur bawahan itu sama sekali tidak mempengaruhi jalan cerita alur utama sama sekali. Jadi alur bawahan yang sifatnya seperti itu bisa saja dihilangkan. Hadirnya alur bawahan, baik yang mendukung atau tidak jalan cerita tersebut, dimanfaatkan oleh pengarang agar pembaca memiliki variasi cerita agar tidak jenuh dengan alur utama. Alur-alur bawahan inilah juga yang akan membantu pembaca memahami karakter atau situasi macam apa yang tergambar dari novel ini secara keseluruhan.

Di sinilah peran retorika bermain. Terlepas dari sifat kehadiran alur bawahan yang bisa mendukung atau tidak jalannya sebuah cerita utama di novel


(15)

tersebut, mau tidak mau, harus diakui bahwa yang dapat mengaduk emosi pembaca tidak hanya ide dan jalan cerita saja, tetapi juga bahasa yang digunakan untuk menggambarkan peristiwa tersebut. Ide cerita yang sederhana tentunya akan terlihat cemerlang dituangkan penggunaan bahasa yang memadai. Maksud

dari ‘memadai’ dalam hal ini adalah bahasa yang digunakan oleh pengarang

sudah dapat membawa pembaca ke dalam jalan cerita tersebut dan seolah-seolah pembaca ada di dalam kisah tersebut.

Dalam sebuah kisahan, tentu ada bagian yang dipentingkan oleh pengarang. Bagian yang dipentingkan tersebut tentunya dibedakan dari bagian lainnya agar pembaca mudah mengenali bagian itu. Hal-hal fundamental ini yang mengilhami peneliti untuk menganalisis keberadaan sekaligus kadar pemakaian sebuah retorika tekstual yang ada dalam tiap klimaks di alur-alur yang digunakan pengarang.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi yang mengambil latar sejarah sebagai latar waktu, tempat, alur, dan tokohnya. Novel sejarah menjadi alternatif lain dalam memahami, atau sedikitnya untuk mengetahui sejarah, walaupun memang tidak bisa dijadikan acuan dalam pembelajaran sejarah. Dalam novel ini, pengarangnya, Langit Kresna Hariadi, berhasil menguasai kata-kata yang memang digunakannya untuk memukau dan menjaga pembaca agar terus berada di alur sejarah yang ia suguhkan. Di sinilah letak retorika modern bermain. Hal ini memang diperlukan mengingat novel yang berlatarbelakangkan sejarah mempunyai beban tersendiri yang tentunya lebih berat daripada novel fiksi. Pengarang novel sejarah harus menjaga agar alur yang dikembangkannya tidak melenceng jauh dari fakta sejarah. Juga, pengarang bertanggung jawab pada bagaimana caranya pembaca bisa memasuki sisi sejarah yang utama dalam novel itu.

Lebih dari itu, pengarang novel sejarah harus membuat pembacanya tidak seperti didongengi tentang sejarah, seperti buku-buku sejarah yang melulu


(16)

berkutat dengan tanggal, tempat, dan tahun. Pengarang novel sejarah haruslah mampu menjadikan pembacanya salah satu dari tokoh tersebut atau minimal pembaca merasakan bahwa ia sedang berada di tahun bersejarah itu dan ikut menyaksikan apa yang terjadi di tempat tersebut. Dengan bantuan sarana retorika inilah, pembaca akan merasakan efek tersebut.

Dengan berbagai pertimbangan yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis memutuskan untuk menggunakan novel sejarah dalam analisis ini. Sebenarnya novel fiksi bisa diangkat untuk dianalisis. Namun, novel sejarahlah yang paling pas untuk mengetahui apakah retorika dalam bahasa tulisan sudah diterapkan atau bahkan apakah retorika ini dapat mempengaruhi bahasa sejarah yang terkesan monoton menjadi bahasa yang sangat nyaman untuk dibaca. Jika novel fiksi terlebih novel teenlit sepenuhnya dapat mengandalkan imajinasi pengarangnya yang akhirnya bebas menggunakan diksi apa saja dan gaya bahasa apa saja serta tema-tema yang memang sudah mendarah daging pada remaja saat ini, seperti percintaan dan persahabatan. Lain halnya dengan novel sejarah yang tidak bisa menggunakan sembarang gaya bahasa karena salah menggambarkan suasana dengan gaya bahasa, maka tafsiran pembaca akan tidak sesuai dengan fakta sejarahnya. Selain itu, dengan mengangkat novel sejarah sebagai objek penelitian ini, maka akan dengan mudah penulis berupaya membuktikan bahwa retorika dalam bahasa tulisan perlu dikaji, khususnya dalam novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi.

B. Identifikasi Masalah

1. Pengetahuan bahwa retorika hanya ada di bahasa lisan saja.

2. Kurangnya pengetahuan bahwa retorika juga hadir dalam bahasa tulisan. 3. Penggunaan bahasa sebagai salah satu sarana untuk mengantarkan pembaca

ke jalan cerita.

4. Anggapan novel sejarah yang sama membosankannya dengan buku pelajaran sejarah.


(17)

5. Hadirnya lebih dari satu alur dalam sebuah novel menimbulkan masalah penyajian alur.

6. Kurangnya perhatian kritikus pada pilihan-pilihan retorika.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat di atas, maka peneliti menitikberatkan penelitian ini pada penggunaan sarana retorika tekstual pada alur utama dan alur bawahan novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara. Novel ini memiliki satu alur utama dan tiga alur bawahan. Penggunaan sarana retorika yang digunakan untuk menganalisis alur-alur tersebut juga dibatasi hanya pada penggunaan gaya bahasa dan penyiasatan struktur kalimat. Pembatasan tersebut dikarenakan kedua subbahasan itu lebih banyak berperan untuk menyajikan cerita daripada kedua sarana retorika lainnya, yaitu diksi dan pencitraan. Subjek yang digunakan untuk penelitian ini adalah novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi yang terbit pada tahun 2012.

D. Perumusan Masalah

1. Pada tahap alur manakah yang paling sering menggunakan sarana retorika di alur utama dan tiap alur bawahan?

2. Bagaimana efek yang dihasilkan dari penggunaan sarana retorika tersebut? 3. Bagaimana implikasi pembahasan sarana retorika tektual pada tiap alur

dalam novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi pada pembelajaran sastra di SMA?


(18)

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui unsur alur mana yang paling sering menggunakan sarana retorika tekstual di semua alur yang ada di novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi.

2. Untuk mengetahui efek yang dihasilkan dari penggunaan sarana retorika dalam novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi.

3. Untuk mengetahui implikasi penelitian ini pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas XII SMA.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a. Mahasiswa: Mengembangkan wawasan mahasiswa bahwa retorika tidak hanya muncul dalam bahasa lisan saja, tetapi juga dalam bahasa tulisan. Selain itu, peneliti juga berharap agar penelitian ini dapat menginspirasi mahasiswa untuk membuat karya sastra dengan menggunakan retorika yang baik.

b. Guru: Guru mendapatkan ilmu baru tentang penggunaan retorika dalam penulisan prosa dan dapat mengenalkannya pada siswa-siswanya.

2. Manfaat Praktis

a. Guru: Peneliti berharap bahwa penelitian ini dapat bermanfaat bagi guru-guru mata pelajaranBahasa Indonesia sebagai bahanajar dalam pembahasan unsur intrinsik dalam prosa.

b. Siswa: Siswa dapat mempraktikkannya ke dalam tugas-tugas harian ataupun ujian praktik mata pelajaran Bahasa Indonesia.

c. Para penggiat sastra: Peneliti berharap bahwa penelitian ini bermanfaat bagi para penggiat sastra, khususnya bagi para pemula (pemula dalam hal menulis karya sastra dalam bentuk prosa). Retorika dalam bahasa


(19)

tulisan ini bisa menjadi teknik dalam mengembangkan ide-ide yang tersemat dalam pikiran para penulis.

G. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu sebuah metode penelitian yang menitikberatkan pada data deskriptif dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku yang dapat diamati.1 Metode ini yang cocok untuk melakukan penelitian ini karena penulis akan melakukan pengkajian terhadap kalimat-kalimat yang digunakan untuk menyajikan alur utama dan alur-alur bawahan yang ada dalam novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi. Penggunaan metodologi penelitian kualitatif memungkinkan sebuah penelitian yang bertujuan untuk menganalisa teks.2

Berdasarkan metodologi penelitian ini, peneliti berupaya menjawab pertanyaan rumusan masalah penelitian dengan beberapa cara. Pertama, peneliti membaca novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi untuk menemukan alur utama dan alur bawahan. Kedua, setelah tahap membaca, peneliti mendata sarana retorika apa saja yang digunakan pengarang untuk mengisahkan cerita tersebut pada semua alur. Ketiga, peneliti menganalisis saana retorika yang terdapat dalam semua alur yang digunakan. Terakhir, peneliti menghitung penggunaan sarana retorika yang digunakan dalam setiap alur dan menarik kesimpulan.

1

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 36.

2


(20)

1. Fokus Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi cetakan pertama yang terbit pada tahun 2012 sebanyak 508 halaman. Objek penelitian ini adalah alur utama dan ketiga alur bawahan yang ada dalam novel tersebut.

Alasan digunakannnya novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi ini adalah karena ini adlaah judul pertama yang dibaca peneliti pada seri Gajah Mada. Alasan lain, adanya lebih dari satu alur. Dengan hadirnya banyak alur dalam novel ini akan memudahkan peneliti membuktikan bahwa penggunaan sarana retorika sangat berpengaruh pada gaya penceritaan tiap alurnya, meskipun berada dalam satu novel. Alasan lain adalah banyaknya amanat yang dapat diambil dari tiap alur sehingga nilai lebih dari novel ini tidak hanya karena mengangkat kisah sejarah, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan saat ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan penulis adalah sebagai berikut:

a. Peneliti membaca dengan cermat keseluruhan isi novel tersebut untuk menentukan unsur intrinsiknya. Lewat unsur alurlah, penulis dapat menemukan alur utama dan alur bawahan yang dihadirkan oleh pengarang.

b. Peneliti mengklasifikasikan adegan apa masuk ke alur mana.

c. Peneliti membuat kartu data untuk mengklasifikasikan kalimat-kalimat dari tiap alur yang terindikasi disajikan dengan sarana retorika.

d. Memasukkan data yang telah diperoleh tadi ke dalam kolom-kolom unsur sarana retorika, yakni pegaya bahasaan dan penyiasatan struktur kalimat.


(21)

3. Teknik Analisis Data

a. Peneliti menganalisis unsur intrinsik novel Gajah Mada: Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi. Analisis ini sangat diperlukan untuk penentuan alur utama dan alur bawahan dalam novel ini.

b. Setelah menganalisis alur, peneliti menemukan satu alur utama dan tiga alur tambahan. Alur-alur tersebut adalah sebagai berikut:

1. Alur Utama : Kisah usaha perebutan kekuasaan Majapahit oleh Rangsang Kumuda

2. Alur Bawahan 1 : Kisah cinta segitiga antara Raden Kudamerta dengan kedua istrinya

3. Alur Bawahan 2 : Kisah perseteruan antara mantan Bhayangkara Pradhabasu denganBhayangkara Gagak

Bongol

4. Alur Bawahan 3 : Kisah prajurit Ra Kembar yang sombong.

c. Dari keempat alur yang telah ditemukan, peneliti menentukan wacana mana yang menceritakan alur-alur tersebut.

d. Peneliti mendata kalimat yang digunakan untuk menceritakan alur-alur tersebut dengan menggunakan sarana retorika.

e. Kalimat-kalimat yang telah didata itu kemudian dimasukkan ke dalam kolom gaya bahasa dan penyiasatan struktur.

f. Peneliti menganalisis kalimat-kalimat dalam kolom data tersebut dengan teori gaya bahasa dan penyiasatan struktur.

g. Setelah menganalisis kalimat-kalimat tersebut dengan teori sarana retorika tekstual, peneliti menganalisis efek apa yang dihasilkan oleh penggunaan sarana retorika yang digunakan dalam kalimat tersebut. h. Setelah selesai mendata dan menganalisis penggunaan sarana retorika


(22)

sarana retorika tersebut digunakan dan pada unsur alur manakah yang paling sering menggunakan sarana retorika.

i. Setelah itu, peneliti membandingkan perolehan data penggunaan sarana retorika yang terdapat dalam alur utama dengan ketiga alur bawahan. j. Mengimplikasikan penelitian ini pada pembelajaran sastra di kelas XII

SMA semester ganjil dengan cara mencocokkan materi pelajaran sastra di sekolah dengan teori yang digunakan dalam analisis ini.

4. Triangulasi Data

Secara garis besar, triangulasi data merupakan cara bagaimana seorang peneliti mengecek ulang kebenaran data yang telah disajikan dalam penelitian yang dilakukannya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan sebuah keabsahan yang dapat dipertangggungjawabkan keilmiahannya. Triangulasi data dapat digunakan, terutama pada penelitian yang menggunakan metodologi kualitatif agar terhindar dari hal-hal yang bersifat subjektif.

Ada beberapa cara yang digunakan untuk melakukan pengecekan ulang data yang telah digunakan. Salah satu cara tersebut adalah dengan membandingkan data yang telah ditemukan dengan teori yang digunakan dalam kajian teori pada penelitian tersebut. Teori tersebut nantinya yang akan dipakai untuk menganalisis hasil temuan tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan pada teknik pengumpulan data, awalnya peneliti mendata kalimat apa saja yang disinyalir mengandung gaya bahasa dan atau struktur kalimat. Sebelum langsung menentukan kalimat yang terindikasi mengandung gaya bahasa atau struktur kalimat, peneliti telah membaca teori tentang gaya bahasa dan struktur kalimat. Untuk memasukkannya ke dalam tabel gaya bahasa atau struktur kalimat, peneliti


(23)

melakukan sebuah pengecekan ulang dengan teori gaya bahasa atau struktur kalimat yang digunakan.

Cara yang dilakukan oleh peneliti untuk melakukan pengecekkan tersebut adalah dengan menyamakan sebuah kalimat yang diduga mengandung gaya bahasa atau struktur kalimat dengan pengertian dan contoh kedua materi tersebut yang ada di dalam buku teori. Dari cara pengecekkan ulang seperti ini, hampir seluruh kalimat yang awalnya diduga oleh peneliti mengandung gaya bahasa dan atau struktur kalimat benar adanya. Hanya ada beberapa kalimat yang sebenarnya mengandung sebuah gaya bahasa, namun dalam buku teori yang digunakan gaya bahasa tersebut tidak ada. Sebagai jalan keluar dari masalah ini, peneliti memutuskan untuk tidak memasukkan kalimat tersebut ke dalam tabel gaya bahasa.

Peneliti juga melakukan penghitungan ulang penggunaan sarana retorika pada tiap tahapan alurnya, baik pada alur utama maupun alur bawahan. Hal ini sangat perlu dilakukan agar rumusan masalah yang pertama bisa dijawab dengan benar.


(24)

13

A. Retorika

Dalam berbahasa, baik dalam bentuk berbicara maupun menulis, komunikator dituntut mampu menyampaikan pesan yang dimilikinya dengan utuh kepada komunikan. Sebuah pesan akan diterima dan dipahami dengan baik oleh komunikan bila komunikator mampu menyampaikan pesan tersebut dengan bahasa yang efektif. Tidak hanya itu, komunikator juga harus tahu betul bagaimana menyusun kalimat dengan baik dan menarik minat agar lawan bicaranya merasa yakin dengan apa yang dibicarakan. Strategi yang digunakan komunikator itulah yang diharapkan akan mampu menarik minat komunikan tanpa mengurangi pesan yang dimaksud. Hal-hal inilah yang diperhatikan oleh retorika.

Menurut KBBI edisi keempat, retorika adalah “1. keterampilan berbahasa secara efektif: 2. studi tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang mengarang: 3. seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis”.1 Dari pengertian retorika tersebut, sedikit banyak dapat diketahui bahwa retorika berada dalam ranah kemampuan berbicara, maka tidak berlebihan jika peneliti menyebut bahwa titik tolak dari retorika adalah berbicara. Sumber lain juga mengatakan bahwa retorika adalah “kesenian untuk berbicara baik (Kunzt, gut zu redden atau Arts bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne)”.2 Selain itu, dalam referensi lain retorika juga diartikan sebagai “seni dan ilmu pemakaian bahasa untuk meyakinkan

1

DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1171.

2


(25)

khalayak atas kebenaran gagasan yang dikemukakan”.3 Edward P.J Corbett mengartikan retorika seperti yang ia tulis dalam bukunya, “What is rhetoric?

One definition is that rhetoric is the art of effective communication.”4

Retorika adalah seni komuniksi yang efektif. Dalam bahasa Arab, “ilmu yang mempelajari tentang penggunaan bahasa yang indah, estetis, memberikan makna yang sesuai dengan keadaan, dan menghasilkan sebuah efek mendalam bagi pendengar atau pembacanya disebut dengan ilmu balaghah”.5

Dari berbagai pengertian retorika yang dipaparkan tersebut, agaknya retorika memang berawal dari keterampilan berbicara. Namun, zaman renaisans turut menyumbang perkembangan retorika yang semula berada dalam ranah berbicara menjadi turut digunakan dalam keterampilan tulis-menulis. Hal ini diawali ketika ditemukannya mesin pencetak. Sejalan dengan hal ini, Gorys mengatakan bahwa retorika adalah “suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang

tersusun baik”.6

Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa retorika adalah sebuah seni menggayakan kalimat semaksimal mungkin untuk mempengaruhi orang lain. Selain mempengaruhi, pemaksimalan penggunaan kalimat ini juga bertujuan untuk menyampaikan pesan agar pesan tersebut bisa dirasakan benar oleh komunikannya dengan mempertimbangkan aspek keindahannya.

Disiplin ilmu yang bertolak pada keterampilan berbicara ini bertumpu pada bagaimana cara seorang komunikator meyakinkan para komunikannya dengan berbagai cara. Aristoteles mengemukakan ada tiga cara yang dapat dijadikan cara atau acuan dalam mempengaruhi para komunikan. Komunikator kaitannya dalam

3

Abdul Rozak Zaidan, dkk.,Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 171.

4

Edward P.J Corbett, The Little Rhetoric, (Canada: John Wiley & Sons, Inc, 1977), h. 1.

5

Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories of Al-Qur’an; Sejarah yang Harus Dibaca, (Bandung: Salamadani, 2009), h. 106.

6

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa; Komposisi Lanjutan I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), Cet. 20, h. 3.


(26)

karya sastra adalah pengarang dan komunikannya adalah para pembaca karya tersebut.

Ketiga cara tersebut yang dapat dilakukan oleh para pengarang untuk mempengaruhi pembacanya adalah ethos, pathos, dan logos. Aspek ethos berhubungan dengan komunikator atau pengarang. Dalam aspek ini dijelaskan bahwa komunikator atau pengarang harus memiliki “pengetahuan yang luas,

kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat”.7

Ethos menuntut pengarang untuk memiliki kredibilitas. Dengan memiliki hal itu, komunikan atau pembaca akan mudah mempercayai apa yang akan disampaikan oleh komunikator atau pengarang. Lebih jauh lagi, pengarang atau komunikator dituntut menguasai bidang yang akan ia sampaikan.

Aspek pathos berkaitan dengan efek yang dihasilkan dari apa yang disampaikan oleh pengarang atau komunikator. Efek tersebut akan dirasakan oleh pembaca atau komunikan. Pengarang harus mampu menyentuh hati pembacanya, seperti perasaan kasih sayang, benci, emosi, dan harapan”.8 Pembaca akan merasa dan berpikir bahwa apa yang disampaikan oleh pengarang lewat karya sastranya itu memang sungguh terjadi. Dengan merasakan efek tertentu, pembaca akan sampai pada tahap katarsis.

Aspek terakhir untuk mempengaruhi pembaca atau komunikan disebut

dengan logos. Logos adalah “bukti-bukti yang dapat diajukan oleh pengarang”.9

Dengan mengajukan bukti, pembaca akan benar-benar sepenuhnya dapat mempercayai bahwa apa yang disampaikan oleh pengarang memang benar. Ketiga aspek retorika yang berfungsi untuk mempengaruhi lawan bicara tersebut dapat diaplikasikan dalam retorika tekstual.

7

Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern; Pendekatan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 7.

8

Ibid.

9


(27)

Retorika tekstual memiliki beberapa sarana yang bisa digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasannya. Sarana-sarana inilah yang kemudian akan menghasilkan efek yang bisa dirasakan oleh pembaca. Efek yang dihasilkan dari sarana-sarana itu berupa efek “mempengaruhi atau meyakinkan pembaca kalau apa yang disampaikan pengarang itu benar adanya”.10 Selain itu, sarana retorika yang digunakan juga dimanfaatkan pengarang untuk menghadirkan nilai estetis dari tulisan tersebut agar pembaca percaya dan tertarik dengan gagasan yang disuguhkan.

Sarana retorika yang dimaksud adalah “figures of thought atau tropes dan

figures of speech, rethorical figures atau schemes”.11 Figures of thought adalah penggunaan kalimat yang dimanfaatkan untuk menghasilkan penyimpangan makna. Dengan kata lain, sarana retorika yang pertama ini lazim disebut dengan gaya bahasa. Figures of speech adalah adalah penggunaan kalimat yang telah disusun dengan konstruksi-konstruksi yang tidak biasa. Kalimat dalam sarana ini dibuat sedemikian mungkin dengan memperhatikan fungsi-fungsi sintaksis. Sarana ini lazim disebut dengan “penyiasatan struktur”.12

Pembagian prinsip-prinsip yang secara umum menyangkut ke arah ilmu stilistika ini juga sejalan dengan empat elemen yang ada dalam sebuah sumber berbahasa asing. Keempat elemen retorika itu salah satunya adalah “style or expression of thoughts in the best possible language”.13

Penyiasatan struktur yang telah dijelaskan oleh Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi mengarah kepada teori gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat milik Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa. Penyimpangan makna yang dijelaskan

10

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 5.

11

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 296.

12Ibid

.

13

Francis Connoly dan Gerald Levin, A Rethoric Case Book, (New York: Harcourt, Brace, & World, Inc, 1969), Cet. 3, h. 4.


(28)

dalam buku yang sama mengarah pada teori gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.

1. Sarana-Sarana Retorika

a. Gaya Bahasa Berdasarkan langsung Tidaknya Makna

Gaya bahasa yang didasarkan pada langsung tidaknya makna dapat diketahui dari “apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna

denotasi atau sudah menggunakan makna konotasi”.14

Makna yang ada dalam kalimat itu sudah melewati batas lazim atau belum. Melewati batas lazim yang dimaksud di sini adalah sebuah kata atau kalimat digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang terkadang tidak sejalan atau sesuai dengan arti kata itu sendiri secara harfiah. Terdapat unsur penyimpangan makna dari kata sebenarnya yang dilakukan oleh pengarang untuk membantu tercapainya pengertian yang diinginkan. Seringkali pengertian antara gaya bahasa dengan majas disamakan. “Majas bertugas membantu gaya bahasa”.15 Dengan begitu, dapat diketahui bahwa cakupan gaya bahasa lebih luas dari majas. Selain itu, dengan menggunakan majas, pengarang mampu membantu pembaca lebih dapat memahami makna yang sebenarnya ingin dicapai lewat majas yang digunakan. Hal ini dikarenakan “majas lebih konkret menjelaskan sesuatu daripada penggambaran tanpa menggunakan majas”.16

Sejalan dengan sarana retorika yang dikemukakan oleh Burhan, gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna menurut Gorys terbagi atas dua kelompok besar, yakni retoris dan kiasan.17

14

Keraf, op., cit, h. 129.

15

Nyoman Kutha Ratna, Stilistika; Kajian Puitika, Bahasa, Sastra, dan Budaya, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 165.

16

Anton M. Moeliono, Kembara Bahasa, Kumpulan Karangan Tersebar, C. Ruddyanto (ed.). (Jakarta: PT. Gramedia. 1980), h. 175

17


(29)

1. Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris adalah gaya bahasa yang dibuat dengan memanfaatkan penyimpangan konstruksi yang lazimnya digunakan agar dapat mencapai efek yang diinginkan pengarang.18 Jenis gaya bahasa ini terdiri atas dua puluh satu jenis yang masing-masing menghasilkan efek tersendiri. Kedua puluh satu gaya bahasa itu adalah ”aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asindenton, polisindeton, kiasmus, ellipsis, eufimisme, litotes, histeron preteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio, hiperbol, paradoks, dan oksimoron”.19 Namun, peneliti hanya menjabarkan beberapa gaya bahasa yang ditemukan dalam penelitian ini saja. Gaya bahasa yang terdapat dalam penelitian ini akan dijabarkan sebagai berikut.

a. Eufimisme

Gaya bahasa eufimisme atau eufemismus berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”.20 Gaya bahasa ini merupakan cara yang biasa digunakan oleh pengarang untuk menggantikan kata-kata yang awalnya memiliki makna yang buruk dengan kata-kata lain yang maknanya sedikit lebih halus maknanya. Tujuan penggunaan gaya bahasa ini adalah untuk “menghindari kesan merugikan atau tidak menyenangkan dari hal yang disebutkan”.21

b. Pleonasme dan Tautologi

Sebuah kata dapat dikatakan sebagai gaya bahasa pleonasme jika “kata yang berlebihan dapat dihilangkan tanpa mengubah makna awal”.22 Gaya bahasa ini digunakan pengarang untuk menimbulkan efek penegasan terhadap makna

18Ibid

.

19Ibid

.

20Ibid

, h. 132.

21

D. Damayanti, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Araska, 2013), h. 57.

22


(30)

yang akan disampaikan. Kata yang dapat dinamai tautologi adalah apabila “kata yang berlebihan tersebut mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain”.23 Sama seperti pleonasme, tautologi membutuhkan dua kata yang berfungsi untuk saling menegaskan. Namun, pada majas tautologi ini, kata yang digunakan hanya bersifat mengulang saja dan jika memungkinkan, tidak ada yang perlu dihilangkan dari penggunaan kata-kata tersebut.

c. Perifrasis

Perifrasis adalah “gaya bahasa yang menggunakan kata yang lebih banyak dari yang diperlukan”.24 Hal yang perlu diperhatikan pada pleonasme, tautologi, dan perifrasis perbedaan ketiga gaya tersebut terletak pada kata-kata yang digunakan. Apabila dalam pleonasme, kata-kata yang digunakan cukup dihilangkan salah satu dari kedua kata tersebut, lalu tautologi terletak pada kata yang saling menjelaskan sehingga bila dimungkinkan tidak perlu ada yang dihilangkan, maka pada perifrasis ini, kata-kata yang banyak itu bisa diganti hanya dengan satu kata saja yang lebih konkret.

d. Erotesis atau pertanyaan retoris

Gaya bahasa yang satu ini berupa “pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan tidak membutuhkan jawaban sama sekali”.25 Karena bentuk kalimat pertanyaan ini tidak memerlukan jawaban, maka yang ingin dicapai dari penggunaan majas ini adalah sebuah bentuk penegasan untuk lawan bicara.

23Ibid

, h. 134.

24Ibid

.

25Ibid


(31)

e. Hiperbola

Hiperbola ini merupakan gaya bahasa yang “menggambarkan sesuatu dengan cara yang berlebih-lebihan”.26 Efek yang ingin ditonjolkan dari penggunaan gaya ini adalah untuk “meningkatkan kesan dan pengaruh kalimat tersebut kepada pembaca”.27

f. Paradoks

Sebuah gaya yang mengandung “pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada”.28 Paradoks digunakan pengarang dengan tujuan untuk menimbulkan efek dramatis terhadap pembaca. Gaya bahasa ini juga berfungsi untuk mengasah imajinasi pembaca terhadap dua hal atau situasi yang berbeda.

2. Gaya Bahasa Kiasan

Pokok dasar dalam membuat sebuah bahasa kiasan adalah perbandingan atau persamaan.29 Gaya bahasa kiasan ini terdiri atas sembilan belas gaya. Kesembilan belas gaya bahasa tersebut adalah simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, innuendo, antifrasis, dan paronomasia. Namun, di bawah ini peneliti hanya akan menjelaskan beberapa gaya bahasa saja yang ditemukan dalam penelitian ini.

a. Simile atau Perbandingan

Gaya bahasa simile adalah “gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit”.30 Maksud dari eksplisit adalah perbandingan yang langsung

26Ibid

, h. 135.

27

Tarigan, op. cit., h. 55.

28

Keraf, op. cit., h. 136.

29Ibid. 30Ibid


(32)

menyatakan sesuatu sama dengan hal lain. Perbandingan ini mengunakan “kata bandingan berupa seperti, sama, sebagai, layaknya, laksana, serupa, ibarat, umpama, bak, dan bagai”.31

b. Metafora

Gaya bahasa ini merupakan “perbandingan semacam analogi yang

membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat”.32 Metafora ini sama halnya dengan simile, termasuk ke dalam majas persamaan atau perbandingan. Bedanya, metafora tidak memerlukan kata perumpamaan seperti halnya simile. Dalam membandingkan, metafora langsung membandingkan benda yang ingin disamakan dengan benda lain yang memiliki sifat yang sama. “Salah satu cara untuk membuat metafora adalah dengan menggunakan gaya sinestesia”.33 Perbandingan sesuatu dengan yang biasa dirasakan oleh indera manusia ini banyak digunakan untuk menghasilkan sebuah makna yang mudah dimengerti oleh pembaca.

c. Personifikasi

Personifikasi adalah “gaya bahasa perbandingan yang mengggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan”.34 Dalam gaya bahasa ini, benda mati diceritakan mampu melakukan apa yang lazimnya dilakukan oleh makhluk hidup, baik itu manusia maupun hewan. Dengan menggunakan personifikasi, “pembaca akan mendapatkan efek berupa kejelasan pembeberan suatu kondisi dan imajinasi yang jelas”.35

31

Damayanti, op. cit., h, 48.

32

Keraf, op. cit., h. 139.

33Ibid

, h. 99.

34

Keraf, op. cit., h. 140.

35


(33)

d. Sinekdoke

Gaya bahasa sinekdoke ini “berasal dari bahasa Yunani yang berarti menerima bersama-sama”.36 Dalam pengertian lain, sinekdoke adalah “majas yang menyebutkan nama sebagian sebagai nama pengganti barang sendiri”.37 Sinekdoke ini terbagi menjadi dua jenis, yakni totem pro parte dan pars prototo. Totem pro parte adalah gaya bahasa yang menggambarkan keseluruhan tapi yang dimaksud adalah sebagian. Pars prototo adalah kebalikan dari totem proparte, yakni menyatakan sebagian tapi maknanya adalah seluruhnya.

e. Metonimia

Gaya bahasa yang “menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena memiliki pertalian yang sangat dekat”.38 Hal yang disebutkan itu merujuk kepada manusia, benda, atau hal lain yang memiliki makna tertentu yang ingin disampaikan secara khusus.

f. Antonomasia

“Sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epitet untuk menggunakan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri”.39 Gaya bahasa ini digunakan untuk menyebutkan seseorang dengan panggilan lain. Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan lain kepada pembaca bahwa tokoh tersebut memiliki panggilan lain yang kemungkinan besar berkaitan erat dengan jabatan atau kedudukan yang ia miliki. Gaya bahasa ini sangat sering digunakan dalam novel-novel yang berlatarbelakangkan kerajaan karena biasanya seorang raja memiliki banyak gelar atau juga nama sapaan.

36

Keraf, op. cit., h. 142.

37

Ratna Susanti, Ejaan Yang Disempurnakan Terbaru, (Klaten: CV. Sahabat, 2012), h. 100.

38

Keraf, loc. cit. 39Ibid


(34)

g. Ironi, Sinisme, Sarkasme

Ketiga gaya bahasa ini merupakan saya bahasa yang digunakan untuk menyindir seseorang. Perbedaan dari ketiganya terletak pada seberapa tajamkah atau parahkah sindiran yang dilontarkan. Gaya bahasa sindiran yang paling ringan adalah ironi. Lalu meningkat ke sinisme dan sindiran yang paling menyakitkan adalah sarkasme.

Ironi adalah “suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya”.40 Biasanya, bila seseorang akan mengatakan sesuatu yang buruk, maka ia akan mengatakan hal yang baik untuk mengungkapkannya tentunya dengan intonasi yang jauh berbeda dengan cara memuji.

Sinisme adalah suatu “sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati”.41 Sinisme memiliki tingkat ketajaman satu tingkat lebih tinggi dari ironi.

Sarkasme adalah “suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir”. Dibandingkan kedua sindiran yang sebelumnya, gaya bahasa ini memang ditujukan untuk menyakiti lawan bicaranya. Tanpa sungkan lagi, seseorang akan menggunakan gaya bahasa ini untuk memaki.

b. Penyiasatan Struktur

Kalimat yang baik karena mengikuti tata bahasa belum tentu merupakan sebuah tulisan yang menarik perhatian. Kaidah kebahasaan memang dibuat untuk mengatur penelitian agar sedap dan nyaman untuk dibaca. Namun, adakalanya terlalu mengikuti kaidah yang ada hanya akan membuat pembaca

40Ibid

, h 143.

41Ibid


(35)

bosan, apalagi bila semua kalimat yang disajikan menggunakan pola yang sama, kalimat tersebut terkesan kaku. Untuk itu, ada tiga jenis struktur kalimat yang perlu mendapat perhatian khusus, yakni kalimat periodik, kalimat kendur, dan kalimat berimbang.42 Ketiga jenis struktur kalimat ini memiliki tujuan penggunaannya masing-masing.

1. Kalimat Periodik

Kalimat periodik adalah “sebuah teknik penyajian kalimat yang menempatkan inti atau gagasan utama kalimat tersebut di akhir kalimat”.43 Kalimat tersebut disusun berdasarkan konstruksi anak kalimat yang umumnya tidak mengandung informasi penting kemudian diikuti oleh hadirnya induk kalimat. Dalam penyusunan kalimat ini, sangat diperlukan pengetahuan tentang fungsi kalimat dengan baik. Kalimat jenis ini juga sering disebut dengan “kalimat berklimaks”.44 Susunan kalimat yang demikian disengaja “untuk membentuk sebuah ketegangan saat pembaca membaca kalimat tersebut”.45

Contoh:

Sebelum Anca pergi ke tanah rantau, ia masih sempat tersenyum padaku, meski hanya seulas saja.

Pada kalimat tersebut, kalimat ini diawali oleh fungsi keterangan waktu yang ditandai oleh konjungtor sebelum. Info penting yang ingin disampaikan oleh kalimat ini adalah Anca sempat tersenyum kepada tokoh aku.

42Ibid

, h. 124.

43

Keraf, loc., cit. 44

Zaenal Arifin dan Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa, 1988), Cet. 3, h. 108.

45Ibid


(36)

2. Kalimat Kendur

Kalimat kendur adalah “sebuah susunan kalimat yang dibangun dengan menempatkan bagian terpenting dari sebuah kalimat di awal dan diikuti oleh bagian yang kurang penting”.46 Pada kalimat ini, induk kalimat yang mengandung gagasan terpenting diletakkan di awal kalimat dan anak kalimatnya diletakkan di belakangnya. Kalimat ini juga disebut dengan struktur kalimat melepas.47 Makna yang dikandungi oleh struktur kalimat jenis ini sudah bisa diketahui tanpa harus membaca lanjutannya. Kalimat yang disajikan dengan jenis penyusunan ini biasanya mengandung makna yang sangat penting dan untuk menjaga konsentrasi pembaca, pengarang menempatkannya di awal terlebih dahulu. Ditakutkan, bila info penting tersebut diletakkan di akhir kalimat, sebagaimana dengan konstruksi kalimat periodik, pembaca tidak akan langsung menangkap makna kalimat tersebut. Sama halnya dengan konstruksi kalimat periodik, untuk membuat kalimat ini diperlukan kecermatan dalam menggunakan fungsi kalimat.

Misal:

Saya akan tidur saat rasa kantuk datang.

3. Kalimat Berimbang

Struktur kalimat jenis ini adalah “kalimat yang mengandung dua bagian kalimat yang kedudukannya sama tinggi”.48 Biasanya kalimat ini disusun dengan menggunakan dua klausa atau lebih. Dengan begitu, kalimat ini dibangun oleh konstruksi kalimat majemuk.49 Kalimat majemuk dalam bahasa Indonesia terdiri atas tiga jenis, yaitu kalimat majemuk setara, kalimat

46

Keraf, loc., cit. 47

Arifin,loc., cit. 48

Keraf.loc. cit. 49


(37)

majemuk berimbang, dan kalimat majemuk bertingkat. Ketiga kalimat tersebut dibangun dengan cara yang berbeda.50

4. Kalimat Majemuk Setara

Kalimat majemuk setara adalah “konstruksi sebuah kalimat yang dibangun dari gabungan beberapa kalimat tunggal yang unsur-unsurnya tidak ada yang dihilangkan”.51 Maksud dari unsur-unsur yang tak dapat dihilangkan adalah kalimat-kalimat tunggal yang kemudian digabungkan menjadi satu kalimat tidak ada yang dihilangkan. Baik makna atau strukturnya, “kedua klausa yang digunakan ini tidak saling bergantung sama lain”.52 Dengan kata lain, bila salah satu di atara kedua klausa ini ada yang dihilangkan, makna yang dikandungi tidak akan berubah. Kalimat majemuk setara ini memiliki tiga jenis kalimat yang tergantung dari jenis hubungan antarkalimat yang digabungkan tersebut. Ketiga kalimat tersebut yakni, kalimat majemuk setara sejalan, kalimat majemuk setara berlawanan, dan kalimat majemuk setara penunjukkan.

5. Kalimat Majemuk Setara Sejalan

Jenis kalimat majemuk ini memiliki arti yang sejalan dengan klausa lainnya. Pada kalimat ini, semua klausa yang digunakan bisa digabungkan tidak hanya dengan menggunakan konjungtor, tetapi juga dengan tanda baca koma (,). Kalimat majemuk setara sejalan ini juga terbagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu KMS Sejalan Biasa, KMS Sejalan Mengatur, dan KMS Sejalan Menguatkan.

50

Ida Bagus Putrayasa, AnalisisKalimat; Fungsi, Kategori, dan Peran, (Bandung: PT. Refika Utama, 2007), h. 55-61.

51Ibid

, h. 55.

52

Dendy Sugono, Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 158.


(38)

6. Kalimat Majemuk Setara Berlawanan

Kalimat majemuk setara jenis ini memiliki makna yang bertentangan dengan makna pada klausa lainnya. Biasanya, kedua klausa yang saling bertentangan maknanya itu digabungkan dengan konjungtor pertentangan seperti tetapi atau namun. Konjungtor inilah yang berfungsi untuk mempertentangkan makna kedua klausa yang digunakan.

Jenis kalimat ini juga dibagi lagi menjadi tiga kalimat, yaitu KMS Berlawanan Biasa, KMS Berlawanan Mengganti, dan KMS Berlawanan Mewatasi. Semua jenis KMS berlawanan ini menggunakan konjungtor yang berbeda fungsinya, sesuai dengan nama kalimat ini.

7. Kalimat Majemuk Setara Penunjukkan

Jenis kalimat ini mengarahkan pembaca untuk memperhatikan klausa kedua yang ada dalam kalimat tersebut. Klausa pertama dalam kalimat jenis ini menjadi penunjuk untuk klausa kedua. Biasanya, jenis kalimat ini juga menggunakan konjungtor yang sesuai dengan makna penunjukkan yang dimaksud. Kalimat penunjukkan ini juga terbagi ke dalam lima jenis, yaitu KMS Penunjukkan Sebab-Akibat, KMS Penunjukkan Perlawanan, KMS Penunjukkan Waktu, KMS Penunjukkan Tempat, dan KMS Penunjukkan Syarat.

8. Kalimat Majemuk Rapatan

Kalimat majemuk rapatan adalah kalimat yang dibangun dari beberapa klausa yang memiliki unsur yang sama kemudian unsur yang sama itu dihilangkan atau dijadikan satu. Jenis kalimat majemuk rapatan ini tergantung dari jenis unsur yang dihilangkan atau dirapatkan.Jenis-jenisnya adalah KMR Subjek, KMR Predikat, KMR Objek, dan KMR Keterangan.


(39)

9. Kalimat Majemuk Bertingkat

Kalimat majemuk ini dibangun oleh sisa dari klausa utama yang bisa dibentuk sebuah kalimat baru. “Kalimat yang baru dibuat tersebut kemudian digabungkan dengan klausa utama dengan menggunakan konjungtor ketika,

supaya, meskipun, jika, atau sehingga”.53

Dapat diperhatikan, bahwa dalam penyusunan sebuah kalimat majemuk, apapun itu jenisnya, harus menggunakan konjungtor sesuai dengan makna yang ingin dicapai. Hal ini dikarenakan “lewat konjungtorlah dua atau lebih klausa dihubungkan dan pembaca bisa langsung mengetahui maknanya”.54

Berdasarkan ketiga struktur kalimat yang kerap digunakan tersebut, hadirlah bentuk-bentuk gaya bahasa yang bertolakbelakang dari teknis penelitiannya. Gaya bahasa berdasarkan struktur yang dimaksud di sini adalah “bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang penting ditempatkan karena tempat sebuah unsur memengaruhi kepentingan informasi yang disampaikan”.55 Beberapa gaya bahasa tersebut adalah sebagai berikut:

a. Klimaks

Gaya bahasa klimaks merupakan turunan dari kalimat yang bersifat periodik atau kalimat berklimaks. Dengan begitu, pembaca diajak untuk merasakan ketegangan dan bertanya-tanya tentang gagasan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh peneliti.

53

Sugono, op., cit, h. 173.

54

Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 81.

55


(40)

b. Antiklimaks

Gaya bahasa yang satu ini dihasilkan dari struktur kalimat melepas atau kendur. Bagian terpenting dari kalimat yang mengandung gagasan inti justru ditempatkan di awal kalimat.

c. Paralelisme

Gaya bahasa ini dihasilkan dari struktur kalimat berimbang. Kedua bagian kalimat dari susunan ini dibangun oleh dua konstruksi yang memiliki kesejajaran bentuk gramatikal. Paralelisme ini mengandung konsep pengulangan, yakni “pengulangan struktur gramatikal atau pengulangan struktur bentuk”.56 Kehadiran gaya paralelisme mudah kenali karena digunakannya struktur gramatikal yang sama di awal kalimat. Jadi, paralelisme ini adalah sebuah gaya bahasa yang mengulang bentuk gramatikal kalimat dan terlihat sejajar karenanya.

d. Antitesis

Sama dengan gaya bahasa paralelisme, antitesis ini juga dihasilkan dari struktur kalimat berimbang. Namun, gagasan yang dikandunginya mengandung sebuah gagasan yang bertentangan dengan menggunakan kelompok kata yang berlawanan.

e. Repetisi

Gaya bahasa ini mengulang bunyi, suku kata, kata bahkan bagian kalimat apapun yang dianggap penting sebagai bentuk penekanan pada konteks tertentu. Repetisi juga dihasilkan dari struktur kalimat berimbang. Selain itu, dalam sumber lain dikatakan bahwa segala macam gaya bahasa yang menggunakan bentuk pengulangan termasuk ke dalam gaya bahasa repetisi

56


(41)

karena gaya bahasa ini juga “mengulang frasa, klausa, kalimat, larik, bait, alinea, dan tanda baca”.57

Gaya bahasa yang termasuk ke dalam repetisi adalah sebagai berikut:

1. Epizeuksis: Kalimat yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Struktur kalimat ini bersifat repetisi langsung.

2. Tautotes: Repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. 3. Anafora: Repetisi yang berwujud pengulangan kata pertama pada tiap baris

atau kalimat berikutnya.

4. Epistrofa: Kebalikan dari anafora. Bentuk yang diulang terletak di akhir kalimat atau baris.

5. Simploke: Unsur yang diulang berada di awal dan akhir kalimat atau baris. 6. Mesodiplosis: Unsur yang diulang terletak di tengah kalimat atau baris. 7. Epanalepsis: Unsur yang akan diulang di awal kalimat atau baris terletak

pada akhir kalimat atau baris sebelumnya.

8. Anadiplosis: Kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.58

B. Novel

1. Hakikat Novel

Sebagai genre sastra, novel ternyata telah banyak menarik minat banyak kalangan. Pertanyaan seputar apa yang dimaksud dengan novel mengundang berbagai pandangan karena ia tidak hanya sulit dijawab, tetapi juga problematik untuk didekati. Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh banyak kalangan adalah dalam hal pemberian definisi kepada unsur-unsur yang membentuk istilah sekaligus menjadi pembeda novel dengan karya lainnya.

57Ibid

., h. 247-248.

58


(42)

a. Novel dipandang sebagai salah satu “bentuk sastra yang menawarkan sebuah gambaran kehidupan yang diidealkan, imajinatif, dan dibangun oleh unsur-unsur yang disebut intrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, yang sifatnya imajinatif”.59

b. “Jenis prosa yang dibangun berdasarkan unsur-unsur intrinsik dan mengandung nilai-nilai kehidupan”.60

Dari berbagai pengertian yang telah diberikan, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa novel adalah sebuah bentuk prosa rekaan yang kisahannya tidak akan lepas dari kehidupan nyata meskipun terdapat unsur imajinasi di dalamnya dengan menggunakan beberapa unsur intrinsik sebagai tubuh dan unsur ekstrinsik sebagai jiwa yang akan menghidupi prosa rekaan tersebut. Dalam berbagai sumber, “novel juga disebut dengan fiksi karena keidentikan yang dimiliki oleh kedua kata tersebut”.61

Karakterisasi novel ini dilakukan sebagai upaya mempermudah para peneliti dalam mengembangkan analisis mereka. Seringkali, sebuah novel memiliki corak beragam dalam kisahannya sehingga cukup menyulitkan para peneliti untuk mengkajinya menggunakan pendekatan apa.

Jenis novel yang telah berkembang saat ini dilihat dari isi cerita novel tersebut. Jenis novel tersebut adalah “Picaresque, Epislatori, Sejarah, Regional, Satir, Bildungrongsman, Tesis, Gotik, Roman-Fleuve, Roman Feuileton, Fiksi Ilmiah, Novel Baru, Metafiksi”.62 Jenis-jenis novel tersebut sudah ada sejak berabad-abad lalu.

59

Nurgiyantoro, op., cit, h. 4.

60

Zaidan, op.,cit, h. 136.

61

Nurgiyantoro, op.,cit, h. 9.

62

Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi; Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 22-31.


(43)

2. Sastra Sejarah

Berbicara tentang sastra memang tidak akan bisa terlepas dari disiplin ilmu lainnya. Sastra tidak bisa lahir begitu saja tanpa ada campur tangan dari ilmu lain atau setidaknya kehidupan yang mendukungnya. Sastra yang sudah terlahir dapat dikatakan sebagai cerminan dari kehidupan-kehidupan yang secara tidak sengaja telah lahir dan hidup subur dan sengaja diamati oleh penciptanya, yaitu pengarang.

Dewasa ini dunia kesusastraan dibanjiri oleh beragam disiplin ilmu yang mentranformasikan wujudnya ke dalam karya sastra. Katakanlah sebuah novel yang banyak menampung berbagai ide dan terbuka bagi semua disiplin ilmu. Di dalamnya banyak dijumpai unsur-unsur ilmu alam yang mendominasi dan menjadi alur, latar bahkan tokohnya pun terarah kepada keilmuan alam tersebut. Tidak hanya ilmu alam saja yang kian menyerbu dunia kesusastraan, ilmu sosiologi dan antropologi pun ikut menjamur dan ambil bagian dalam pembuatan sebuah novel. Namun, ada satu disiplin ilmu yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut dalam dunia sastra, yakni sejarah.

Sejarah, pada hakikatnya adalah sebuah disiplin ilmu yang bertanggung jawab penuh terhadap pewartaan tiap kejadian di masa lalu untuk dikaji di masa kini dan diambil pelajaran yang terdapat dalam tiap kisahnya. Seringkali, sejarah hanya dianggap sebuah bentuk penceritaan yang tidak bisa diganggu gugat, seperti membaca sebuah kabar dari surat kabar hari ini. Sebagai disiplin ilmu, sejarah berfungsi mengubah pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang posisinya layak disejajarkan dengan ilmu alam dan sosial lainnya seperti geografi. Seperti disiplin ilmu lainnya, seorang sejarawan tidak bertanggung jawab terhadap permasalahan bahasa, meskipun untuk memberitakannya kepada khalayak luas, bahasa adalah satu-satunya media yang tepat untuk itu. Mereka, para ilmuwan, sejarawan dan filsuf termasuk di dalamnya, hanya memiliki tanggung jawab terhadap esensi isi dari sejarah yang ia paparkan. Itulah yang menyebabkan seringnya teks sejarah menjadi


(44)

sebuah teks yang membosankan dan merumitkan pembacanya karena belum tentu seorang sejarawan atau arkeolog yang lihai menggali fakta-fakta sejarah di masa lampau juga lihai dalam mengolah kata.

Pada posisi inilah sastrawan mendapat peran ganda yang tak semua ilmuwan mendapatkannya. Seorang sastrawan, selain ia bertanggung jawab terhadap penampilan sebuah cerminan masyarakat, juga terhadap pengeksploitasian bahasa yang tepat untuk tujuan yang pertama tadi.

Keterkaitan antara sastra dengan sejarah bukanlah barang baru dalam sejarah kesastraan. Tercatat bahwa Aristoteles pun pernah memperdebatkan masalah sastra dengan sejarah. Pokok permasalahanya adalah bahasa sejarah bermain dalam ranah lampau dan sastra berada di wilayah penceritaan yang mungkin saja terjadi. Selain itu, “sejarah hanya menceritakan masa lalu tanpa pernah bisa menceritakan masa yang akan datang, seperti halnya sastra yang terkadang juga bisa menceritakan hal yang belum terjadi”.63

Sastra dan sejarah juga saling berkaitan jika ditinjau dari segi etimologisnya. “Padanan kata sejarah dalam bahasa Inggris adalah history dan sastra yang diwakili oleh kata cerita memiliki berpadanan dengan story dalam bahasa yang sama”.64 Historia berarti cerita, sejarah, penelusuran fakta atau peristiwa. Kira-kira sekitar tahun AD 1700, ilmu sejarah berkembang sebagai ilmu pengetahuan tersendiri, khususnya berkembang dengan kritik dan data. Akibatnya di dunia barat nampaknya sejarah dan sastra makin terlihat jelas bedanya, yang satu menjelaskan fakta-fakta yang sungguh terjadi dan yang satu lagi bermain dalam imajinasi walaupun juga terkadang digunakan fakta sebagai bahan untuk menciptakan karya.65 Misalnya saja, kisah sejarah Gajah Mada sendiri tentunya berbeda dengan Pentalogi Gajah Mada karangan Langit Kresna Hariadi meskipun Langit sendiri untuk membuatnya memerlukan

63Ibid

, h. 331.

64

A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 244.


(45)

waktu yang tak sebentar dalam melakukan riset atas validitas data yang hendak diolahnya. Dalam karya sejarah yang paling ilmiah pun masih terdapat unsur subjektivitas pengarang yang tidak terhindar karena untuk kasus ini, posisi sejarah sama dengan sastra yang multitafsir, meskipun sifatnya masih tetap lebih besar kemultitafsiran sastra.

Sebagai hasil dari keterkaitan antara sejarah dengan sastra adalah “hadirnya tiga aspek terpenting dalam sastra, yaitu sejarah sastra, sastra sejarah dan novel sejarah”.66 Sejarah sastra berfungsi untuk mencatat rangkaian peristiwa sastra sejak lahir hingga sekarang yang dengan sendirinya tersusun secara kronologis. Sastra sejarah adalah karya sastra (hikayat) yang mengandung unsur-unsur sejarah, seperti babad (Babad Buleleng, Babad Tanah Jawi), hikayat (Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Raja Malaka). Sastra sejarah juga sering disebut teks historis atau teks genealogis. Ia tumbuh subur pada masyarakat yang belum dapat membedakan secara jelas antara rekaan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Teks historis ini ada hampir di seluruh tanah nusantara.

Konsep yang dihadirkan dalam sastra sejarah dengan novel sejarah berbeda. Sebagai peninggalan kebudayaan masyarakat lampau, sastra sejarah merupakan refleksi sekaligus sebagai dokumen yang memandang bahwa seni dan ilmu memiliki tugas yang sama, menghibur sekaligus mendorong perkembangan masyarakat. Dilihat dari bagaimana keduanya lahir juga berbeda. Sastra sejarah lahir sebagai akibat dari adanya kearifan budaya masyarakat setempat sedangkan novel sejarah lahir sebagai genre tradisi sastra modern. Selain itu, sastra sejarah lebih bersifat dokumen atau prasasti yang dianggap memiliki nilai magis dan bernilai sejarah yang tinggi sedangkan novel sejarah tidak lebih dari bersifat fiksional.

66


(46)

Lebih ringkas dijelaskan bahwa novel sejarah adalah “novel yang memaparkan kejadian atau tokohnya dalam konteks sejarah yang jelas, dan ia bisa pula memasukkan tokoh-tokoh rekaan dan nyata dalam rangkaian ceritanya”.67 Dalam sumber lain, novel sejarah lebih mengutamakan penceritaannya pada peristiwa atau tokoh sejarah tertentu. Sebagai karya fiksi, semata-mata unsur itulah yang bersifat sebagai fakta sejarah, sedangkan bagaimana unsur-unsur tersebut kemudian disusun menjadi sebuah cerita, sepenuhnya merupakan imajinasi. Karya sastra berperan sebagai refleksi dari sebuah kejadian yang di dalamnya terdapat periode sejarah tertentu, sesuai dengan sejarah apa yang hendak diketengahkan oleh pengarangnya. Ciri-ciri novel sejarah bukan semata-mata pada tokoh sejarah, tema, dan latar sebagai penunjuk waktu tertentu, tetapi lebih kepada unsur-unsur psikologi dan sikap sehingga peristiwa dan tokoh-tokoh merupakan representasi dari masa tertentu. “Dialektika antara ciri-ciri dengan sikap pengarang inilah yang menimbulkan kualitas estetis”.68

3. Unsur Intrinsik

a. Tema

Tema adalah “dasar cerita atau gagasan umum cerita dalam sebuah karya”.69 Disebut gagasan umum dalam sebuah cerita karena unsur inilah yang akan menggerakkan semua unsur intrinsik lainnya untuk mendukung tema tersebut. Juga, dalam sumber berbahasa asing, tema dikatakan sebagai “whatever general idea or insight the entire story reveals”.70 Dari kedua pengertian tersebut, dapat diambil

67

Aziez, op., cit h. 22-31.

68Ibid

, h. 344.

69

Nurgiyantoro, op., cit, h. 70.

70

X.J. Kennedy, An Introduction to Fiction, (Canada: Little, Brown, and Company Limited, 1983), h. 103.


(47)

kesimpulan bahwa tema adalah sebuah gagasan yang menjadi dasar dari sebuah cerita yang disampaikan dari awal hingga akhir pengisahan.

b. Sudut Pandang

Unsur intrinsik yang kerap disebut dengan point of view ini adalah “strategi, teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya”.71 Sudut pandang ini terbagi atas dua macam, yakni “persona pertama dan persona ketiga”.72

Sudut pandang persona pertama biasanya juga disebut dengan sudut pandang akuan. Penyebutan itu dikarenakan “dalam teknik penceritaannya, digunakan kata ganti orang pertama aku atau saya”.73

Sudut pandang persona juga kerap disebut sebagai sudut pandang diaan. “Jika pada sudut pandang akuan pencerita bertindak sebagai salah seorang pelaku dalam cerita atau narrator acting, pencerita dalam sudut pandang ini menjadi pengamat”.74 Pencerita yang menjadi pengamat ini menggunakan kata ganti orang ketiga seperti dia, ia, atau mereka.

c. Alur

Alur disebut juga dengan plot. Alur merupakan “konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau yang dialami oleh para pelaku”.75 Alur memiliki beberapa tahapan setiap tahapannya memiliki pengaruh tersendiri bagi tahap selanjutnya. Tahapan tersebut

71

Nurgiyantoro, op., cit, h. 248.

72Ibid

., h. 249.

73

Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 115.

74Ibid

., h. 115.

75

Jan Van Luxemburg, dkk., Pengantar Ilmu Sastra,Terj. dariInleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartono, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), Cet. 3, h. 149.


(48)

adalah “eksposisi atau pengenalan, komplikasi atau konflik, klimaks, resolusi atau leraian, dan penyelesaian”.76

Hal yang perlu diperhatikan dalam alur tak melulu soal jenis alur (maju, mundur, campuran), tetapi juga peristiwa-peristiwa apa saja yang ada dalam cerita tersebut. Dalam setiap penceritaan, terutama novel dengan jumlah halaman yang banyak, pasti memiliki peristiwa yang dipentingkan. Peristiwa yang dipentingkan itu biasa disebut dengan peristiwa utama atau lazimnya disebut dengen kernel. Sebaliknya, ada peristiwa yang kurang dipentingkan dan sifatnya hanya sebagai penambah keindahan saja disebut dengan satelit. “Satelit dihadirkan pengarang untuk mengisi, mengelaborasi, melengkapi, dan menghubungkan antarkernel”.77

d. Latar

Unsur yang satu ini “berkaitan erat dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak tentang lingkungan, baik tempat maupun waktu, di mana para pelaku menjalankan perannya”.78 Latar dalam karya prosa tidak hanya terbatas pada penggunaan tempat atau sesuatu yang sifatnya fisik saja, tetapi juga “menyangkut adat istiadat, kepercayaan dan nilai-nilai yang ada dalam kisah tersebut”.79 Dengan adanya pengetahuan tentang tempat dan waktu serta adat istiadat yang diceritakan dalam novel tersebut, bisa diketahui suasana macam apa yang timbul dalam adegan tersebut. Hadirnya unsur ini juga bertujuan untuk mendukung tema yang diangkat oleh pengarangnya.

76

Priyatni, op., cit, h. 113.

77

Nurgiyantoro, op., cit, h. 120-121.

78

Aziez,op., cit, h. 74.

79


(49)

e. Penokohan

Tema dan amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang dibawakan lewat perantara hadirnya para tokoh yang masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Lewat karakter yang berbeda itulah, tema dapat berjalan dan amanat tersampaikan.

Tokoh-tokoh terbagi ke dalam tiga bagian, yakni dilihat dari segi peranannya, fungsi tokoh, dan perwatakannya. Berdasarkan peranannya, tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh sampingan. Bila dilihat dari segi fungsinya, tokoh terbagi menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Terakhir, tokoh dibagi menjadi tokoh dengan watak yang datar dan tokoh berwatar bulat.

f. Gaya Bahasa

Hadirnya sebuah gaya bahasa sangat penting dalam posisi karya sastra. Sekalipun cerita tersebut dibuat dengan menggunakan alur atau tema yang sangat baik, namun dibungkus dengan bahasa yang tidak dapat mewakili keindahan dan makna yang dinginkan oleh pengarang, cerita tersebut tidak akan mampu menggugah perasaan pembaca.

“Tiap pengarang memiliki ciri khasnya masing-masing”.80 Contohnya, bila pengarang itu adalah seorang Jawa, maka karya sastranya akan menggunakan sedikitnya kosa kata dalam bahasa Jawa sebagai identitas. Tentu penggunaan kosakata daerah itu juga disesuaikan dengan unsur intrinsik lainnya.

80


(50)

g. Amanat

Amanat atau pesan adalah “suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca”.81 Amanat akan sejalan dengan tema yang diangkat oleh pengarang. Dengan begitu, amanat merupakan “gagasan yang menjadi dasar bagi tulisan itu sendiri”.82

Pesan atau amanat bisa disampaikan lewat dua cara, yakni langsung dan tak langsung.

a. Penyampaian langsung

Dalam teknik ini, pengarang menggurui pembaca secara langsung memberikan nasihat dan petuahnya.

b. Penyampaian tak langsung

Teknik ini menggunakan bantuan unsur intrinsik lainnya dalam menyampaikan amanat. Lewat permainan semua unsur itulah, pembaca dituntut untuk mencari dan atau menafsirkan sendiri amanat yang disampaikan pengarang. Jadi, “teknik ini tidak bersifat menggurui pembaca sebagaimana yang terjadi pada teknik penyampaian langsung”.83

4. Implikasi Pembelajaran

Bukan hal yang baru bila di dunia pendidikan, matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia seolah menjadi pelajaran yang kerap dianggap tidak sepenting pelajaran eksakta. Di berbagai sekolah, banyak guru yang latar belakang pendidikannya bukan berasal dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mengampu matapelajaran ini. Tidak hanya itu, tak sedikit peserta didik yang lebih memilih untuk mendalami matapelajaran lain, seperti bidang studi eksakta dan sosial.

81

Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka jaya, 1988), h. 57.

82

Nurgiyantoro, op. cit., h. 321.

83


(1)

E. Materi Pembelajaran

1. Pengertian gaya bahasa dan pembagiannya. Gaya bahasa terbagi atas empat bagian, yakni perbandingan, pertentangan, sindiran, dan penegasan.

2. a. Gaya bahasa perbandingan terdiri atas metafora, personifikasi, asosiasi, alegori, simbolik, tropen, metonimia, litotes, sinekdoke, eponim, hiperbola, eufimisme, alusio, antonomasia, dan perifrasis. b. Gaya bahasa penegasan terdiri atas pleonasme, repetisi, paralelisme, tautologi, klimaks, antiklimaks, inversi, ellipsis, retoris, koreksio, asindeton, polisindeton, interupsi, eksklamasio, enumerasio, dan preterito

c. Gaya bahasa sindiran berupa ironi, sarkasme, dan sinisme.

d. Gaya bahasa pertentangan berupa paradoks, antitesis, kontradiksio in terminis, dan anakronisme.

F. Metode Pembelajaran

Metode inkuiri, tanya jawab, pemodelan, dan presentasi G. Alokasi Waktu

2 x 40 menit

H. Kegiatan Pembelajaran

a. Kegiatan Pendahuluan (15 menit)

1. Guru memberikan salam dan siswa menjawabnya 2. Guru mengabsen siswa dengan urutan acak

3. Guru membacakan materi apa yang akan dipelajari bersama beserta tujuannya

4. Untuk menarik minat siswa, guru memutarkan lagu yang berjudul Usah Kau Lara Sendiri yang dinyanyikan oleh Ruth Sahanaya dan Katon Bagaskara.


(2)

b. Kegiatan Inti (50 menit) Eksplorasi

1. Siswa dipancing untuk menyebutkan lirik-lirik lagu yang indah dari lagu itu.

2. Guru menanyakan kepada siswa apa makna lirik itu.

3. Guru menjelaskan apa yang dimaksud dengan gaya bahasa dan pembagiannya.

Elaborasi

4. Guru menyuruh siswa menentukan majas apa saja yang ada dalam lagu tersebut.

5. Guru meminta siswa untuk menafsirkan maknanya.

Konfirmasi

6. Guru memberikan apresiasi kepada siswa yang aktif selama pembelajaran.

7. Guru mempersilakan siswa yang belum mengerti tentang materi ini untuk bertanya.

8. Guru menjawab pertanyaan siswa yang diajukan oleh siswa yang belum memahami materi ini.

9. Guru memberikan tugas untuk pertemuan selanjutnya, yakni siswa dibagi ke dalam empat kelompok dan tiap kelompok harus mencari empat pembagian majas dalam beberapa buah lagu.

c. Kegiatan Penutupan (15 menit)

1. Guru bertanya kepada siswa tentang materi apa yang telah dipelajari hari ini.


(3)

3. Guru dan murid menyannyikan lagu yang tadi diputar bersama-sama.

I. Penilaian Proses dan Hasil Belajar No Aspek yang

dinilai

Teknik Penilaian

Waktu Penilaian

Instrumen penilaian

Keterangan

1 Cermat Pengamatan dan

Pengujian

Proses Lembar Pengamatan

Hasil pengamatan sikap akan menjadi bahan

pertimbangan saat rapat kenaikan kelas 2 Kritis

3 Demokratis 4 Komunikatif 5 Teliti

6 Keberanian

J. Sumber Belajar

Yustinah dan Ahmad Iskak. Bahasa Indonesia Tataran Unggul Kelas XII SMK. Jakarta: Erlangga. 2008


(4)

K. Media Belajar

1. Lagu Usah Kau Lara Sendiri 2. Teks lirik lagu.

3. In Focus 4. Speaker Active

Mengetahui,

Kepala SMK Farmasi Minasa Mulia Guru Bahasa Indonesia


(5)

Lampiran:

Teks lagu Usah Kau Lara Sendiri

Kulihat mendung membayangi pancaran wajahmu Tak terbiasa kudapati terdiam mendura

Apa gerangan bergemuruh di ruang beriakmu Sekilas galau mata ingin berbagi cerita

Kudatang sahabat bagi jiwa saat batin merintih Usah kau lara sendiri

Masih ada asa tersisa

Letakkanlah tanganmu di atas bahuku Biar terbagi beban itu

Dan tegar dirimu

Di depan sana cahya kecil tuk memandu Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya

Sekali sempat kau mengeluh kuatkan bertahan Satu per satu jalinan kawan beranjak menjauh


(6)

Biografi Peneliti

Peneliti yang lahir dengan nama lengkap Dessy Husnul Qotimah, 19 Desember 1992 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan suami istri, Suwarno dan Suti Astuti. Pendidikan yang pernah ditempuh peneliti dimulai dari TK Aisiyah Depok, SD Muhammadiyah 03 Depok yang lulus pada tahun 2004, SMPN 98 Jakarta yang lulus pada tahun 2007, MAN 13 Jakarta yang lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, peneliti melanjutkan studinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pendidikan Strata 1 pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, sebuah disiplin ilmu yang sudah sejak dulu ia sukai.

Berbagai kesempatan berkarier di dunia bahasa sudah peneliti rasakan. Peneliti memulai pengalaman di dunia tulis-menulis dengan menjadi salah satu wartawan Jurnal Wisudawan, anggota tim penulis Ensiklopedia Pemuka Agama Nusantara (proyek Departemen Agama RI), hingga menjadi anggota tim penulis Testimoni Penerima Beasiswa Chinkung pada tahun 2014. Tidak hanya itu, Wakil Ketua Divisi Bahasa dan Sastra Indonesia HMJ PBSI periode 2013/2014 ini juga pernah menjadi editor lepas di Mata Pena Writer pada tahun 2013.

Peneliti tidak hanya mengasah kemampuannya pada bidang tulis-menulis, tetapi juga mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Debut mengajarnya peneliti mulai sejak masih duduk di semester tiga dengan menjadi pengajar privat di Lembaga Bimbingan Belajar A n B Bintaro dan juga tutor Bahasa Indonesia di Lembaga Bimbingan Belajar BTA 8 Depok. Saat ini, peneliti tercatat sebagai guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMK Farmasi Minasa Mulia Ciputat dan tutor pada matapelajaran yang sama di Lembaga Bimbingan Belajar Gama Jogja Nusantara Depok, LBB SSC Cipete, dan LBB Privat RFA.