Pengenalan Analisis Penggunaan Sarana Retorika pada Alur Tambahan Kedua

Pradhabasu tersadar ada yang terlewat dari perhatiannya. Bergegas Pradhabasu menyembah. “Kau telah mendengar apa yang dikatakan Gagak Bongol.” Pradhabasu masih dalam sikap menyembah dan tidak menurunkan tangannya. “Hamba, Tuan Putri,” jawabnya. “Aku ingin mendengar apa tuntutannmu?” tanya Gayatri. Pradhabasu membalas tatapan mata Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri dengan tidak berkedip. Pandangan ini kemudian dialihkan ke permukaan wajah Mapatih Arya Tadah serta dengan perlahan Pradhabasu mengarahkan pandangan matanya kepada Gajah Mada. Setelah kembali menyembah, Pradhabasu beringsut agar bisa bertatapan mata dengan Gagak Bongol. Setelah sekian lama meninggalkan Bhayangkara, inilah saatnya Pradhabasu berjumpa kembali dengan Gagak Bongol. “Katakan apa tuntutanmu, Pradhabasu,” berkata Ratu Gayatri. “Apabila kau kauwakili anak Mahisa Kingkin, tuntutan apakah yang kauajukan terhadap kecerobohan Gagak Bongol yang menjadi penyebab kematian ayahnya?” Pradhabasu memandang Gagak Bongol. Sebaliknya, Gagak Bongol tak merasa segan untuk membalas tatapan mata itu. Jauh di dalam hati Gagak Bongol terpendam kerinduan kepada sahabatnya, rindu bisa bergaul sebagaimana dulu pernah bersama. Canda dan gurau itu tak mungkin terjadi karena munculnya ganjalan yang membelah di antara mereka. “Mohon izin untuk berbicara blak-blakan, Tuan Putri Ratu,” kata Pradhabasu. “Jika itu yang kau kehendaki, kau tidak perlu merasa sungkan Dan, sejak awal kau sudah kuminta berbicara blak- blakan,” jawab Ratu Rajapatni Gayatri dengan suara amat tenang. Pradhabasu mengangguk. “Hamba tidak akan menempatkan diri mewakili keponakan hamba menuntut agar dijatuhkan hukuman kepada Kakang Gagak Bongol. Apabila bocah itu menuntut balas mungkin hamba yakin keponakan hamba tak mungkin bisa melakukan. Dalam kesempatan ini hamba hanya ingin mengajukan permohonan agar Kakang Gagak Bongol membantu mengasuh bocah itu, syukur-syukur kalau Kakang Bongol mau mengambilnya sebagai anak. Itu permohonan hamba.” 16 16 Ibid., h. 188-189.

A. Gaya Bahasa