Gaya Bahasa Gaya Bahasa Struktur Kalimat

“Gila, apa ini?” Ra Kembar berteriak. Apa yang terjadi tidak hanya menimpa perahu Ra Kembar, tetapi juga perahu-perahu di belakangnya yang jungkir balik menumpahkan semua penumpang. Serangan yang datang dengan cara tidak terduga-duga itu mengisap habis kekuatan yang dibawa Ra Kembar. Kekuatan itu yang dipikir cukup untuk menggilas Karang Watu itu langsung larut memberi warna merah, itulah darah dari luka-luka. Seorang prajurit mengalami kesulitan luar biasa setelah tercebur dalam air karena tidak bisa berenang. Air yang bagai tanpa dasar menyulitkannya, tetapi ayunan pisau yang menghujam perutnya menyebabkan prajurit itu dengan sekuat tenaga membayangkan raut wajah adiknya. Adik perempuan satu- satunya yang sedang sangat membutuhkannya setelah kedua orangtuanya meninggal. Kecemasan yang luar biasa dihadapi prajurit itu. Tidak sekedar takut terhadap datangnya kematian, tetapi lebih karena cemas memikirkan Sri Widati, siapa yang nanti yang akan melindunginya setelah ia juga pergi untuk selamanya. “Mati aku, mati aku,” prajurit itu mengalami kesakitan dan kebingungan luar biasa. 26

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa 1 Tak seorang pun dari mereka yang menyadari bahaya sedang mengintai. Personifikasi 2 Tidak bisa ditolak kemalangan yang datang karena pisau-pisau dari bawah air menawarkan tikaman yang mematikan. Personifikasi 3 Air yang bagai tanpa dasar menyulitkannya Simile

B. Struktur Kalimat

26 Ibid., 450-451. No Kalimat Struktur Kalimat 1 Sungai yang dalam mengalir tenang dengan air serasa tidak bergerak, tetapi di bagian bawah ada arus yang tidak wajar, itulah arus bawah yang sulit ditebak ke mana geraknya. Berimbang 2 Mereka bisa bertahan di bawah air karena menggunakan ruas bambu seruling untuk bernapas. Kendur 3 Betapa terperanjat Ra Kembar yang hampir sampai di seberang itu ketika tiba-tiba perahu yang ditumpanginya bergoyang dengan keras. Berimbang 4 Seorang prajurit mengalami kesulitan luar biasa setelah tercebur dalam air karena tidak bisa berenang. Kendur 5 Air yang bagai tanpa dasar menyulitkannya, tetapi ayunan pisau yang menghujam perutnya menyebabkan prajurit itu dengan sekuat tenaga membayangkan raut wajah adiknya Berimbang 6 Tidak sekedar takut terhadap datangnya kematian, tetapi lebih karena cemas memikirkan Sri Widati, siapa yang nanti yang akan melindunginya setelah ia juga pergi untuk selamanya. Berimbang

4.6. Leraian

Namun, tidak ada kalimat yang bisa dituntaskan dalam teriakkan karena arus bawah menyeretnya untuk masuk ke pintu gerbang kematian yang terbuka lebar. Ra Kembar memanfaatkan kesempatan yang dimiliki untuk melesat berenang sekuat-kuatnya. Namun, Ra Kembar hanya menahan napas ketika sampai ke seberang disambut ujung tombak yang terarah ke mukanya. Senyap tanpa ada kegaduhan menjadi pertanda, serangan yang digelar itu langsung selesai. Yang ada tinggal kegiatan mengikat sisa penyerbu yang menyerah dan membiarkan mereka yang terajur menjadi mayat ikut hanyut bersama aliran sungai. Rakrian Kembar merasa jantungnya akan lepas. Ra Kembar yang dipaksa meletakkan tangan di atas kepala menyempatkan memerhatikan bagaimana nasib segenap anak buahnya dan merenungkan bagaimana cara mempertanggungjawabkan peristiwa yang terjadi itu di depan Senopati Panji Suryo Manduro, bahkan di depan Gajah Mada, orang yang tak disukainya itu. Ra Kembar kembali terjengkang ketika seseorang menendang dadanya. Apa yang dialami Rakrian Kembar meleset jauh dari apa yang dibayangkan. Seorang laki-laki dengan wajah dihitamkan jelaga menggelandangnya, menyebabkan Ra Kembar jatuh bangun. Ra Kembar melihat tidak hanya dirinya yang mengalami nasib seperti itu, tetapi sisa-sisa anak buahnya yang selamat. Pertempuran yang dibayangkan akan berlangsung seru, angan-angan menangkap pemimpin orang-orang Karang Watu tidak terwujud. Sebaliknya, dalam kurun waktu yang sangat singkat, Ra Kembar harus meletakkan tangan di belakang dan diikat menggunakan tali janget. 27

A. Gaya Bahasa

No Kalimat Gaya bahasa 1 Tidak ada kalimat yang bisa dituntaskan dalam teriakkan karena arus bawah menyeretnya untuk masuk ke pintu gerbang kematian yang terbuka lebar. Metafora 2 Senyap tanpa ada kegaduhan menjadi pertanda, serangan yang digelar itu langsung selesai. Pleonasme 3 Yang ada tinggal kegiatan mengikat sisa penyerbu yang menyerah dan membiarkan mereka yang terajur menjadi mayat ikut hanyut bersama aliran sungai. Sinisme 4 Rakrian Kembar merasa jantungnya akan lepas. Hiperbola 27 Ibid., h. 451-452. 5 Ra Kembar yang dipaksa meletakkan tangan di atas kepala Perifrasis

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat 1 Ra Kembar memanfaatkan kesempatan yang dimiliki untuk melesat berenang sekuat-kuatnya. Berimbang 2 Namun, Ra Kembar hanya menahan napas ketika sampai ke seberang disambut ujung tombak yang terarah ke mukanya. 3 Ra Kembar yang dipaksa meletakkan tangan di atas kepala menyempatkan memerhatikan bagaimana nasib segenap anak buahnya dan merenungkan bagaimana cara mempertanggungjawabkan peristiwa yang terjadi itu di depan Senopati Panji Suryo Manduro, Berimbang

4.7. Penyelesaian

“Ini dia pahlawan yang ditunggu-tunggu kepulangannya itu.” Rakrian Kembar semula tidak mengenali siapa saja orang- orang yang berdiri di hadapannya karena semua wajah dihitamkan menggunakan jelaga. Namun, Kembar masih bisa mengenali suaranya. Orang yang baru berbicara itu adalah Bhayangkara Riung Samudra. “Bagaimana, Ra Kembar? Upayamu menggulung Karang Watu berhasil?” Ra Kembar merasa lebih baik bila dikelupas wajahnya. Setidaknya memang ada penyesalan dalam hatinya, namun apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Apa yang terjadi telah terlanjur dengan hasil berupa kotoran yang berlepotan di wajahnya. Akan tetap, orang-orang yang dikenalinya sebagai Bhayangkara Jayabaya, Riung Samudra, Panjang Sumprit, tidak memberikan perhatian kepadanya terlalu lama. Bhayangkara Jayabaya bertindak cekatan denga membebaskan Rakrian Kembar dari ikatan talinya, demikian juga dengan sepuluh anak buahnya yang tersisa. “Berapa orang yang kaubawa?” tiba-tiba terdengar bertanya dari arah belakang. Ra Kembar berbalik. “Lima puluh orang,” jawab Ra Kembar dengan lidah kelu. Sulit membaca bagaimana isi hati di balik wajah Bhayangkara Lembu Pulung yang telah dihitamkan itu. Lembu Pulung menebar pandang memerhatikan keadaan dengan saksama, menyusur tebing tinggi di belakang bangungan induk, menggerataki bangungan induk berbentuk pendapa dan bangsal panjang yang juga beratap rumbia. Lembu Pulung akhirnya menjatuhkan pandangan matanya ke halaman luas yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan apa saja. Dengan luas dua kali lipat Tambak Segaran atau lebih, Karang Watu sanggup menampung prajurit sebesar Jalapati sekalipun. Ke depan Karang Watu bisa menjadi tempat yang berbahaya. Beruntunglah sepak terjang orang-orang Karang Watu itu keburu kemanungsan. “Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Riung Samudra yang mendekat. “Kita tinggalkan, pekerjaan sisanya biarlah dituntaskan oleh Ra Kembar yang akan dibantu Haryo Teleng dan Suryo Manduro,” Lembu Pulung menjawab. Jawaban itu mengagetkan Ra Kembar yang makin merasa tidak nyaman. Ra Kembar membayangkan ke depan akan mengalami kesulitan besar, tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada pimpinannya. Melangkah tanpa minta izin pimpinan, hal itu merupakan kesalahan yang berat, apalagi kini terbukti terlalu banyak korban jiwa yang jatuh sebagai akibat kecerobohan yang diperbuatnya. Ke depan pula namanya akan menjadi buah bibir. Siapa pun akan menertawakannya. Para gadis tak lagi mengaguminya, mereka akan menjadikannya sebagai bahan guyonan. 28

A. Gaya Bahasa

28 Ibid., h. 462-464. No Kalimat Gaya bahasa 1 “Ini dia pahlawan yang ditunggu-tunggu kepulangannya itu.” Sinisme 2 “Bagaimana, Ra Kembar? Upayamu menggulung Karang Watu berhasil?” Retoris 3 Ra Kembar merasa lebih baik bila dikelupas wajahnya Metafora 4 Apa yang terjadi telah terlanjur dengan hasil berupa kotoran yang berlepotan di wajahnya. Metafora 5 Ke depan pula namanya akan menjadi buah bibir. Metafora

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat 1 Rakrian Kembar semula tidak mengenali siapa saja orang-orang yang berdiri di hadapannya karena semua wajah dihitamkan menggunakan jelaga. Kendur 2 Namun, Kembar masih bisa mengenali suaranya. Berimbang 3 Lembu Pulung yang telah dihitamkan itu. Lembu Pulung menebar pandang memerhatikan keadaan dengan saksama, menyusur tebing tinggi di belakang bangungan induk, menggerataki bangungan induk berbentuk pendapa dan bangsal panjang yang juga beratap rumbia. Paralelisme Dari hasil pendataan mengenai pemakaian sarana retorika berupa gaya bahasa dan penyiasatan struktur pada alur ketiga ini, penulis mendapat kesimpulan seperti di bawah ini: 1. Tahap Pengenalan