Tokoh Analisis Unsur Intrinsik

Awalnya, pemuda yang berbadan kekar penuh otot-otot ini 25 hanyalah seorang prajurit dengan pangkat bekel. Bekel dalam KBBI berarti pamong desa pada zaman dahulu setingkat di bawah lurah, pengurus sawah milik bangsawan pada saat raja-raja masih memerintah pulau Jawa. Namun, jika dikaitkan dengan posisinya sebagai salah satu prajurit dari kesatuan Bhayangkara, maka bekel di sini memiliki makna sebagai kepala pasukan pengawal raja masa Majapahit. Kariernya dimulai saat kerajaannya diguncang prahara oleh rombongan Ra Kuti yang melakukan makar dan membuatnya harus pontang-panting menyelamatkan Jayanegara ke Badender. Di sanalah pengabdiannya sangat tinggi dan dinilai oleh para keluarga kerajaan sebagai seorang prajurit yang mengabdi tanpa pamrih. Oleh pihak kerajaan, ia dianugerahi jabatan sebagai patih yang mendampingi Sri Gitarja mengurus daerah Kahuripan dan tidak lama setelah itu ia juga ditugasi untuk menjadi patih di Daha menemani Dyah Wiyat. Diceritakan dalam novel ini, Gajah Mada merupakan seorang prajurit gagah perkasa yang tidak ada tandingannya, baik dari segi fisik maupun cara berpikirnya. Ia adalah seorang revolusioner di masanya. Ia mampu berpikir jauh ke depan tanpa ada seorang pun yang tahu apa yang akan direncanakannya sebelumnya. Matanya yang tajam menandakan bahwa pikirannya sangat brilian dan cemerlang. 26 Pemuda yang tanpa pamrih mengabdikan dirinya untuk negara ini adalah seorang nasionalis terpuji, sama dengan Pradhabasu yang tetap berbuat yang terbaik semampunya meskipun di masa silam negaranya telah mengecewakannya. Kembali ke Gajah Mada, prajurit ini memiliki kemantapan hati yang kuat. Cara berbicaranya yang selalu to the point menjadi ciri khas yang membuat ia dimaklumi oleh para keluarga kerajaan. Hal ini disebabkan 25 Ibid, h. 38 26 Diceritakan pada seri novel selanjutnya bahwa kekuasaan yang ia miliki bahkan melebihi kekuasaan yang dimiliki oleh rajanya. Hal ini tercermin pada tragedi berdarah, perang Bubat, titik kemunduran kejayaan Gajah Mada. banyaknya jasa kepada negara yang ia sumbangkan dengan cuma-cuma dan tentunya semua ucapannya masuk akal dan selalu menjadi solusi di kala kemelut datang tanpa sebuah pemecahan. Pun saat para Ibu Ratu sedang berunding untuk memutuskan siapa yang pantas menggantikan Jayanegara, ia memaksa masuk untuk memberikan pendapatnya dan dengan nada yang sangat percaya diri ia mengatakan, “ Aku wajib memberikan sumbang saranku, Paman.” 27 . Ia patut mengajukan permintaan untuk bisa hadir dalam rapat terbatas tersebut karena ia merasa bahwa apapun yang akan terjadi di kerajaan tercintanya itu pada akhirnya akan menjadi tanggung jawab berat pada dirinya. “Dulu ketika makar yang dilakukan Ra Kuti, suaraku amat didengar.Manakala urusannya ada hubungan dengan perebutan kekuasaan, suaraku amat didengar. Dan sekarang, di luar sana titik api dalam bara sekam itu kembali menyala, bau perebutan kekuasaan dimulai lagi. Adakah paman masih akan menghalangi aku menghadap Para Ratu untuk menyampaikan pendapatku? Selama ini tugasku hanya sebagai pemadam kebakaran, orang lain yang bermain api tapi akulah yang bertugas memadamkan kebakaran yang terjadi. Tak bisakah kali ini dibalik, suaraku didengar sebelum kebakaran yang sebenarnya terjadi?” 28 Keluhan Gajah Mada tersebut memberi tahu pembaca bahwa dia adalah seorang sosok yang dipercaya untuk memadamkan semua kekisruhan ataupun kekacauan dan selalu saja apa yang ia padamkan adalah sesuatu yang belum mampu dicegah dan beruntungnya mampu dihadapi dan ditumpasnya dengan kecerdasan strategi yang digunakannya. Dengan pengalamannya yang telah berkali-kali berhasil menuntaskan kekacauan di kerajaannya, ia merasa bahwa untuk kali ini ia wajib diikutsertakan dalam diskusi siapa pengganti raja yang telah mangkat tersebut. Hal ini dikarenakan ia merasakan ada sesuatu yang 27 Hariadi, Op. Cit., h. 70. 28 Ibid, h. 71 buruk akan terjadi setelah wafatnya raja mereka dan dibuktikannya dengan ditemukannya pembunuhan di lingkungan istana setelah Jayanegara wafat. Ia mencurigai berbarengannya kematian tersebut. Peristiwa ini membuktikan bahwa pengaruh dan wibawa yang dimiliki oleh Gajah Mada sangat besar hingga Arya Tadah, patih Majapahit, pun tunduk dan ikut memberikan kekuasaan penuh terhadap Gajah Mada untuk menyelesaikan semua permasalahan yang menimpa Majapahit sepeninggal rajanya. Namun, posisi Gajah Mada laiknya seorang mandor yang hanya memberikan arahan dan perintah serta tak luput dari penilaiannya yang merendahkan orang. Memang, setelah mendapat samir dan lencana dari Ratu sementara dan Patih Majapahit, secara langsung ia tak ubah laiknya Gayatri dan Arya Tadah yang tiap titahnya harus dipatuhi. Namun yang terjadi adalah ketika semuanya sudah terselesaikan, tercipta sebuah pandangan subjektif bahwa yang berhasil menyelesaikannya adalah anak buahnya. Seperti halnya kasus pembunuhan yang terjadi setelah Jayanegara wafat, ia hanya berprolog dan menyerahkan semua tugas kepada Gajah Enggonuntuk membongkar kasus tewasnya Panji Wiradapa. “Aku serahkan penelusurannya padamu,” jawab Gajah Mada. “Berpikirlah dengan rasa penasaran, Gajah Enggon. Bahwa pada malam ini Tuanku Baginda Jayanegara tewas terbunuh, ternyata pada malam yang sama, di dalam lingkungan istana, terjadi sebuah pembunuhan yang lain. Seseorang mati melalui pembunuhan pula. Masalahnya yang mati adalah Ki Panji Wiradapa yang jejak jati dirinya baru kita temukan belum sebulan yang lalu. Kesamaan hari kematian itu, adakah hanya sebuah kebetulan atau ada kaitannya, apabila kecurigaan itu bisa mengganggu para Tuan Putri Ratu dalam sidang menentukan siapa yang bakal ditunjuk menjadi raja menggantikan Tuanku Baginda. Jangan sampai para Tuan Putri Ratu mengambil pilihan yang salah. Sekali lagi, bukan anak-anaknya, yang layak dipersoalkan, namun para calon suami mereka yang harus dipelototi dengan teliti. ” 29 Sisi keras lain yang dimiliki oleh Gajah Mada adalah ia kerap kali meremehkan bawahannya. Hal ini sering terjadi saat bawahannya tidak memberikan jawaban sesuai harapannya dan atau ketika pola pikir bawahannya tidak seperti dirinya sehingga ia harus menjabarkan maksud yang ia inginkan agar bisa dipahami oleh bawahannya. Seperti yang ia lakukan kepada Wraha Kunjana, seorang prajurit dengan pangkat paling rendah di pasukan Majapahit. 30 Ini menandakan betapa Gajah Mada merasa bahwa dirinya lebih superior dari lainnya, dengan bukti tambahan ia merasa perlu didengarkan pendapatnya saat sidang para Ibu Ratu. Sikap dan sifatnya yang sombong ini disebabkan karena ia sadar betapa berpotensi dirinya serta memang terbukti berhasil mengatasi semua permasalahan yang menimpa kerajaannya. Tidak hanya kepada prajurit dengan pangkat yang paling rendah, sikap meremehkan juga ia tunjukkan kepada Gajah Enggon, pimpinan Bayangkara. 31 4.4.2. Rangsang Kumuda Rangsang Kumuda adalah nama lain dari Panji Wiradapa alias Ki Brama Ratbumi Rajasa. Ia adalah seorang kaki tangan dari seorang pengkhianat negara yang paling berbahaya selama kepemimpinan Jayanegara, yakni Ramapati atau Mahapati. Orang ini memiliki hati yang sangat culas, sama dengan pimpinannya. Ketika Mahapati dihukum mati oleh Jayanegara, ia menghilang tanpa jejak. “… kelak apabila semua mimpi telah tergapai, aku tidak akan pernah melupakanmu. Apabila aku menjadi seorang 29 Ibid, h. 93-94 30 Ibid, h. 90 31 Ibid., h. 94. patih dan itu merupakan batu lompatanku untuk bisa menjadi seorang raja, akan aku bawa kau untuk selalu berada di belakangku. Kau akan kuberi wilayah sehingga kau bisa menjadi raja kecil di tempat itu.” 32 Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa jika ia menjadi patih di Wilwatikta, ia akan menggulingkan rajanya, yakni Raden Kudamerta, untuk kemudian ia yang menduduki dampar itu. Hal yang sama bukan tidak mungkin akan dilakukannya jika Mahapati atau Ramapati berhasil menjadi penguasa Majapahit. Hal ini bisa dilihat dari melenyapnya sosok Ratbumi saat pimpinannya dihukum mati. Jika ia adalah seorang abdi yang setia dan tidak memiliki ambisi pribadi yang sama dengan Mahapati, ia akan berbelapati atas matinya Mahapati di tangan Majapahit. Panji Wiradapa yang kerap dipanggil dengan sebutan paman oleh Raden Kudamerta juga tidak segan membunuh orang-orang yang ikut membantunya mendapatkan takhta. Ia membunuh Rubaya, seorang kaki tangan yang sangat ia andalkan untuk mencelakai Raden Kudamerta dengan tujuan menghasut Raden Cakradara. Alasannya adalah jika Rubaya sampai tertangkap hidup- hidup oleh Majapahit, identitas yang selama ini iasembunyikan akan terungkap. Semua orang yang ia libatkan dalam rangkaian pembunuhan ini akan ia lenyapkan demi menjaga siapa dirinya yang sesungguhnya. Untuk menjaga rahasia ini tetap terjaga, ia telah membunuh tiga orang yang telah membantunya. Ketiga orang itu ialah Lembang Laut, Arya Surapati, dan Rubaya. Kekejaman yang ia miliki tidak hanya berhenti pada orang-orang yang secara tidak langsung membawanya ke puncak impian, tetapi juga kepada lawannya, yaitu Pakering Suramurda. Paman kandung Raden Cakradara itu ia bunuh dengan menancapkan anak panah tepat di dadanya saat ia akan 32 Ibid., h. 112. membuka rahasia siapa orang yang bertanggung jawab atas matinya semua pendukung Raden Kudamerta. 4.4.3. Pakering Suramurda Pakering Suramurda adalah sesosok lelaki setengah baya yang memiliki keinginan yang sama dengan Rangsang Kumuda. Jika Rangsang Kumuda yang juga bernama Panji Wiradapa ini ingin kekuasaan sebagai raja diemban oleh Raden Kudamerta, maka Pakering Suramurda ingin takhta kekuasaan tertinggi jatuh kepada keponakan kandungnya, Raden Cakradara. Pakering Suramurda tidaklah secermat Rangsang Kumuda dalam menyiapkan strateginya. Itu karena ia memang yakin bahwa tahkta akan jatuh ke tangan kemenakannya. Segala rencana jahat yang ia siapkan hanya untuk berjaga-jaga bila kemungkinan terburuk terjadi. Selain itu, dalam hal kecermatan dalam bertindak, tingkat kewaspadaan dan tingkat penalaran akibat darisemua yang ia lakukan masih jauh di bawah Rangsang Kumuda. Ia merencanakan tidak akan segan-segan menghabisi nyawa pendukung bahkan nyawa Raden Kudamerta sekalipun. Hal ini tentunya akan membuat seluruh mata istana tertuju pada Cakradara. Permainan licik yang dilakoni pamannya itu langsung membuat Raden Cakradara kecewa. Jika dibandingkan dengan Rangsang Kumuda, apa yang dilakukan oleh Pakering Suramurda untuk mendudukkan kemenakannya di kursi raja dapat dipahami sebagai sebuah usaha yang dilakukan oleh orangtua untuk anaknya, untuk kebahagiaan anaknya, bukan atas dasar nama ambisi pribadi. Orangtua manapun akan melakukan hal terbaik dan sesulit apa pun untuk mendudukkan anaknya di tempat yang terhormat. 4.4.4. Ra Kembar Sebagai salah satu dari kelompok yang menentang kekuasaan raja, ia pun memiliki bibit-bibit pemberontakan dalam dirinya meski kadarnya tidak menggelegak seperti para Rakrian lainnya. Ia hanya berambisi mengalahkan posisi serta peranan Gajah Mada dalam kerajaan. Dalam novel ini pula diceritakan bahwa Ra Kembar meragukan kesetiaan Gajah Mada dalam hal loyalitasnya terhadap negara. Anggapan tersebut dibuktikan pada kutipan d bawah ini: “Gajah Mada bisanya hanya menyalahkan orang lain,” kata hati Ra Kembar. “Saat Ra Tanca membunuh Sang Prabu di biliknya, bukankah ia berada di ruangan itu. Ia yang mengawasi Ra Tanca memberikan pengobatan. Artinya, ia harus bertanggung jawab terhadap keselamatan rajanya, mengapa orang lain yang tidak bersalah harus menanggung akib atnya. Lucu Gajah Mada.” 33 Ra Kembar adalah representasi seorang prajurit yang haus pujian serta jabatan. Ia ingin dihargai dan dihormati sebagaimana yang ia mimpikan, yakni sebagai pembesar negara, bukan sebagai prajurit dengan pangkat rendah seperti lurah. Apa pun yang ia lakukan adalah untuk mendapatkan pujian, jabatan serta memulihkan nama baiknya. Ra Kembar adalah salah satu dari Darmaputra, sama seperti Ra Kuti, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Banyak, Ra Yuyu, dan Ra Pangsa yang melakukan makar pada 1319. Saat itu, Ra Kembar sedang ditugaskan ke luar kota sehingga ia tidak ikut serta dalam pemberontakan yang menewaskan semua anggota Rakrian kecuali Ra Tanca yang memilih bertobat. Dengan matinya semua Rakrian yang ada tidak membuat orang lain menganggap bahwa Ra Kembar tidak ada sangkutan apapun dan dinilai bersih dari segala macam perbuatan buruk yang dilakukan oleh Rakrian lainnya. Ia tetap saja teman pemberontak yang juga memiliki sifat dan sikap tidak jauh dari Rakrian 33 Ibid., h. 135. lainnya meskipun memang ia tidak pernah terlibat langsung dalam pemberontakan tersebut. Hal inilah yang membuatnya selalu dianggap remeh oleh orang lain, selain karena ia memang memiliki perangai buruk. “Aku mengenal dengan baik siapa kamu, Adi Kembar,” kata Singa Darba. “Aku tahu ada yang kausembunyikan. Omong kosong soal telik sandi ceritamu itu. Jangan kau anggap seolah aku tidak mengenalmu.” 34 Kutipan di atas merupakan salah satu pandangan orang lain yang berseberangan dengan Ra Kembar. Bahkan, orang yang berada dalam satu jalan dengannya, Nyai Ra Tanca, meremehkan kemampuan Ra Kembar. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: “… Sungguh, yang tidak aku mengerti, mengapa Gajah Mada mengirim orang yang tidak memadai. Menugasi Rakrian Kembar menyerbu Karang Watu, apa yang bisa dilakukan Ra Kembar?” 35 Semua anggapan remeh dan sebelah mata itulah yang membuat Ra Kembar rendah diri dan mengincar sebuah jabatan agar nama baiknya kembali dihargai oleh orang lain. Namun, usaha untuk mendapatkan nama baik tidak disertai dengan perhitungan yang cermat selayaknya seorang prajurit yang seharusnya terbiasa untuk berpikir jauh ke depan. Ra Kembar melewati satu fase berpikir, yakni ia langsung memikirkan hasil indah yang akan ia songsong jika hasil kerjanya membuahkan hasil sebaik yang ia angankan. Ia terbuai dengan hasil yang akan ia dapatkan, yakni mendapat pujian dari para Ibu Ratu dan kenaikan jabatan. Tanpa pikir panjang, ia mengajak kawan lurah sesamanya untuk melancarkan serbuan tersebut tanpa terlebih dahulu mempelajari berapa banyak kekuatan musuh dan medan yang akan dia hadapi. Semua sifat buruk yang ia miliki diperparah dengan sikap pengecutnya yang 34 Ibid., h. 441. 35 Ibid., h. 454. ia tunjukkan secara nyata kepada anak buahnya. Adegan tersebut terekam pada kutipan di bawah ini: Ra Kembar kebingungan.Nyalinya entah lenyap ke mana. “Sembunyi,” perintah Ra Kembar kepada anak buahnya. 36 Sesaat sebelum Ra Kembar menyuruh anak buahnya bersembunyi, ia diperintahkan oleh Lembu Pulung untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah Bhayangkara lainnya setengah selesaikan bersama atasannya, Haryo Teleng dan Panji Suryo Manduro. Namun, ia malah menjatuhkan perintah kepada anak buahnya untuk bersembunyi. Sikap kepengecutan itulah yang membuatnya kelak di kemudian hari tak berani menampakkan wajahnya di hadapan Gajah Mada saat Rangsang Kumuda tertangkap. Di sisi lain, di balik semua sikap dan sifat buruk yang dimilikinya, tetaplah ia seorang prajurit yang menyadari bahwa semua perbuatannya itu salah dan ia menyesalinya. Ia kecewa dengan dirinya sendiri yang tidak berpikir panjang dalam ambisinya untuk mengalahkan Gajah Mada. 4.4.5. Pradhabasu Pradhabasu adalah seorang mantan prajurit Bhayangkara yang sangat lihai dalam hal telik sandi. Ia juga prajurit yang dekat dan dipercaya oleh Gajah Mada. Pun ketika ia sudah tidak lagi berada dalam lingkungan istana karena mengundurkan diri dari pasukan Bhayangkara atas nama balas dendam dan rasa sakit terhadap putusan Jayanegara, ia tetap menjadi orang kepercayaan Gajah Mada dengan cara tetap memberikan laporan mengenai kehidupan dan keadaan di luar istana. Tokoh ini menjadi salah satu tokoh antagonis dalam novel ini. Namun, terdapat perbedaan antara Pradhabasu dengan tokoh antagonis lainnya. 36 Ibid., h. 465. Kutipan dialog Gajah Mada di bawah ini mendorong Pradhabasu mengambil sikap tersebut. “… Apa yang sebaiknya aku lakukan terhadap perempuan itu? Aku ingin ia pergi sejauh-jauhnya dari Raden Kudamerta dan jangan pernah muncul lagi. Aku tidak ingin ketenangan rumah tangga Rajadewi Maharajasa terganggu.” 37 Pernyataan yang dilontarkan oleh Gajah Mada itulah yang membuatnya kali ini harus mengambil sikap berseberangan dengan mantan bekel ini. Gajah Mada berpendapat bahwa kehadiran istri pertama Raden Kudamerta hanya akan menjadikan malapetaka selanjutnya. Untuk itulah Gajah Mada menyuruh Pradhabasu menyingkirkan kehadiran Dyah Menur. Kekhawatiran Gajah Mada diperkuat sebuah peristiwa yakni ketika Dyah Wyat mendapatkan sebuah kiriman berupa sekeranjang buah mangga yang di dalamnya disembunyikan tiga ekor ular yang mematikan dari seorang wanita yang menyamar menjadi lelaki. Kecurigaan Dyah Wyat dan Patih Daha pun langsung menuju ke istri pertama Raden Kudamerta. Namun, Pradhabasu memiliki pandangan lain mengenai hal itu. Dengan membunuh Dyah Menur, masalah perebutan takhta kelak tidak akan terselesaikan begitu saja. Memang benar jika Dyah Menur lenyap maka tidak ada penghalang atau perusak keturunan wangsa Rajasa sebagai pemegang trah kekuasaan. Namun, matinya Dyah Menur dalam rangka menjaga takhta akan berdampak pada hal lain. Raden Kudamerta bisa saja tidak terima tindakan Gajah Mada melenyapkan istri yang sangat dicintainya itu lalu menyimpan dendam dan menuntut balas. Jika benar, maka pertumpahan darah tidak akan pernah terselesaikan seperti tragedi kerajaan Singasari. Selain itu, alasan lain mengapa ia tidak melaksanakan tugas yang diberikan oleh Gajah Mada adalah 37 Ibid., h. 366. karena ia tahu betapa sakitnya kehilangan orang yang disayangi dan tidak bersalah atas situasi yang terjadi. Pradhabasu merasa tidak perlu melakukan perintah yang ditugaskan kepada dirinya karena ia tahu jalan terbaik untuk menyelesaikan kemelut kecil ini. Suatu hari nanti, ia akan menikahi wanita beranak satu itu sebagai kedok untuk melindungi orang yang tidak bersalah serta memberikan kasih sayang seorang ibu bagi kemenakannya yang cacat, Prajaka. 38 4.4.6. Gayatri Gayatri adalah seorang bangsawan wanita anak raja dan istri raja yang tentunya sejak kecil bergelimang harta. Menjelang usia tuanya, ia bertekad mengabdikan sisa hidupnya menjadi seorang biksuni. Menjadi seorang biksuni tentunya harus siap melepas semua kehidupan duniawinya termasuk harta, jabatan, dan segala apapun yang berkaitan dengan duniawi dan ia siap dengan keputusannya. Membabat habis rambut hitam panjangnya hingga tak bersisa adalah salah satu langkah yang ia siapkan untuk menjadi seorang biksuni seutuhnya. Semua jalan pikiran dan emosi pun sudah ia tata sedemikian rupa menyerupai para biksuni lainnya, yakni memandang semua yang terjadi pada hidup ini sudah digariskan oleh takdir dan tidak terlalu larut pada perasaan macam apa pun. 4.4.7. Dyah Wiyat Dyah Wiyat atau Rajadewi Maharajasa adalah anak bungsu Gayatri dengan Raden Wijaya. Ia memiliki kemauan yang keras, namun seketika kemauannya mampu berubah karena hal-hal mendasar yang akan menyangkut harga dirinya. Awalnya ia tidak mengincar kedudukan sebagai ratu karena ia mafhum bila Sri Gitarja sebagai anak pertama yang akan diutamakan menjadi 38 Lihat Gajah Mada seri keempat seorang ratu betapapun dirinya lebih berpotensi ketimbang kakaknya itu. Ketika ia tahu bahwa suaminya ternyata memiliki istri lain dan ia tahu ia dinikahi hanya untuk dijadikan alat mencapai kekuasaan oleh suaminya, ia malah bertekad akan menjadi ratu untuk menunjukkan kepada suami dan para pendukungnya bahwa ia mampu menjadi ratu tunggal tanpa sedikitpun memberi ruang kepada suaminya untuk menumpang kejayaan. Dalam pandangan Raden Kudamerta dan para pendukungnya, dengan menikahi seorang calon ratu, maka dengan sendirinya suami tersebut akan menjadi raja sedangkan kekuatan raja berada jauh di atas ratu atau dengan kata lain kedudukan ratu tak ubah laiknya seorang permaisuri. 39 Namun, dengan menjadi ratu Majapahit, ia akan bertindak selaku Ratu Shima yang mampu berdiri seorang diri tanpa seorang pendamping. Ia akan menjadi ratu yang tegas dan tidak akan membagi kekuasaannya dengan siapapun termasuk suaminya sendiri. Hal yang perlu dicermati di sini adalah ambisi Dyah Wiyat menjadi ratu memang didasari oleh rasa kecewanya karena diremehkan dan dilecehkan oleh suaminya dengan menempatkannya menjadi istri kedua. Namun, Dyah Wiyat bukanlah seorang tuan putri yang tidak mampu berdiri sendiri dan menunjukkan kemampuan dirinya. Ia yakin dapat menjadi ratu hebat karena ia sadar dengan kemampuannya yang berada di atas kakaknya. Juga ia mampu berdiri sendiri dan bertindak tegas ketimbang kakaknya yang kurang mandiri. Berbicara mengenai tingginya tingkat ketergantungan Sri Gitarja, ini juga yang menjadi pokok pertimbangan Dyah Wiyat. Jika Sri Gitarja yang menjadi ratu, maka ditakutkan beban dan tampuk kekuasaan akan diserahkan ke suaminya dan dengan segera para pendukung Cakradara akan meraja di istana. Hal yang tidak baik bagi para pendukung Kudamerta. 39 Terdapat perbedaan pengertian yang mendasar tentang arti kata ratu dengan permaisuri. Ratu menurut KBBI tahun 2008 edisi keempat halaman 1147 berarti raja perempuan Permaisuri menurut KBBI tahun 2008 edisi keempat halaman 1060 berarti istri raja Dengan alasan semacam itulah, ia mengubah pendiriannya untuk menjadi ratu. Juga, keputusannya menerima Dyah Menur hidup seatap dengannya. Jauh di lubuk hatinya, ia tidak menginginkan suaminya memiliki istri lain selain dirinya meskipun ia tidak mencintai Kudamerta. Namun, ia begitu tahu persis rasanya menjadi orang yang terpisah dari orang yang dicintai karena keadaan. Ia memilih menerima Dyah Menur mendampingi Kumaderta di istana tanpa syarat apa pun dan tanpa sedikit pun rasa takut pada takhta, kasih sayang, dan cinta suaminya. Sama seperti Pradhabasu, ia tidak ingin dilingkupi oleh lingkaran dendam dalam hidupnya. 4.4.8. Raden Kudamerta Raden Kudamerta atau Abiseka Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun alias Bre Wengker Wijata Rajasa Hyang Parameswara adalah seorang bangsawan yang mewarisi wilayah Pamotan. Ia adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, tampan, dan pandai dalam adu berlari. Lelaki yang juga suami dari Dyah Menur dan telah menjadi seorang ayah dari seorang anak lelaki ini sebenarnya tidak menginginkan takhta Majapahit sebagaimana yang sangat diinginkan oleh pendukungnya. Tak ada sedikitpun keinginan untuk menjadi orang nomor satu di kerajaan besar tersebut. Baginya, yang terpenting adalah keutuhan rumah tangganya dengan Dyah Menur, istri yang sangat ia cintai, yang hancur lebur karena impian dari pendukungnya itu. Raden Kudamerta dalam hal ini telah secara langsung menjadi alat bagi Ratbumi, seorang tangan kanan Mahapati yang dihukum mati oleh Jayanegara karena telah berusaha merebut takhta dari pemiliknya yang sah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang memiliki ambisi untuk menjadi seorang raja adalah Panji Wiradapa alias Rangsang Kumuda. Salah satu cara agar impiannya berhasil adalah dengan memisahkan pasangan suami istri tersebut untuk melanggengkan pernikahan yang terjalin antara Dyah Wiyat dengan Raden Kudamerta. “Aku minta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan hal ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab Raden Kudamerta. 40 Hal yang perlu diperhatikan dalam kutipan di atas adalah pernyataan Raden Kudamerta, “tetapi aku tak punya pilihan lain”. Di sini dapat dilihat bahwa sebenarnya Kudamerta adalah seorang lelaki yang berada di bawah tekanan sehingga ia tak punya kuasa untuk menolaknya. Keadaan ini diperparah oleh ketidakmampuannya menyatakan sikap secara jantan untuk memilih nasibnya sendiri sepahit apapun hasilnya. Ia bisa saja menolak perjodohan tersebut dan menyelamatkan perkawinan pertamanya apapun rintangannya. Memang benar ia tidak silau oleh kekuasaan yang sebentar lagi mungkin akan digenggamnya, tetap saja ia tak punya kekuatan hati untuk memberontak sesuatu yang salah disekitarnya. Jelas ia tahu apa yang direncanakan oleh pendukungnya, Panji Wiradapa, namun ia dengan sengaja juga membiarkan dirinya masuk ke dalam lingkaran tersebut yang bisa jadi akan menempatkan dirinya sebagai tersangka. Bukti kuat untuk menunjukkan bahwa ia seorang lelaki pengecut adalah ketika ia ditanya oleh Gayatri mengenai keadaannya yang telah beristri sebelum dinikahkan oleh anak bungsunya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: “Hamba belum pernah mengawini siapa pun Tuan Putri,” jawab Kudamerta dengan suara amat tegas. 41 40 Ibid., h. 206. 41 Ibid., h. 498.

5. Gaya Bahasa

5.1. Gaya bahasa Bukan tanpa alasan LKH banyak menggunakan gaya bahasa. Jika diperhatikan, dalam novel ini banyak menggunakan gaya bahasa personifikasi. Penggunaan gaya bahasa perbandingan yang satu ini banyak dipakai pada bagian narasi, bukan pada bagian dialog tokoh. Alasannya adalah tokoh-tokoh yang bermain dalam novel ini bukanlah para tokoh yang senang pada gaya bicara yang indah dan berbunga-bunga. Latar tempat dan sosial dalam novel ini sangat menuntut kelugasan, kejelasan, serta keefektifan tiap kalimat yang diucapkan oleh semua tokoh. Gaya bahasa yang berbunga-bunga penuh pengandaian atau penuh pembandingan dengan hal lain dalam tiap ucapannya tidaklah tepat digunakan mengingat hampir semua yang berperan di dalam novel ini adalah para tokoh militer dan pejabat negara, termasuk kedua Sekar Kedaton. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para tokoh dalam novel ini adalah kalimat efektif. Tidak ada multitafsir dalam tiap dialognya. Bayangkan jika dialog yang diucapkan oleh Gajah Mada, misalnya, mengandung makna yang multitafsir. Bisa jadi semua perintah-perintah yang diucapkan oleh Patih Daha itu akan diterjemahkan berbeda-beda oleh bawahannya. Kalau pun ada, gaya bahasa yang digunakan LKH dalam dialog-dialog para tokohnya hanyalah gaya bahasa retoris dan antonomasia saja. Retoris bisa digunakan dalam dialog sebagai penekanan maksud si pembicara kepada lawan bicaranya, seperti pada kalimat, “Rupanya benar peringatan yang kauberikan, Gajah Mada?” ucap Gayatri. 42 Konteks kalimat retoris ini diucapkan oleh Gayatri setelah sebelumnya Gajah Mada memberikan peringatan kepada ratu sementara Majapahit itu untuk tidak memberikan sambutan saat pembakaran jenazah Jayanegara karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan dan benar 42 Ibid., h. 167. adanya. Kudamerta menjadi sasaran bidik pisau terbang oleh Rubaya. Maksud kalimat retoris ini adalah membenarkan peringatan Gajah Mada sekaligus berterima kasih telah diperingatkan. Juga, dalam dialog banyak terdapat gaya bahasa antonomasia yang umumnya digunakan saat seseorang menghadap keluarga raja, seperti yang terdapat dalam kalimat, “Sembah dan bakti hamba, Tuan Putri Biksuni,” jawab Pradhabasu. 43 Kalimat ini digunakan saat seseorang yang derajatnya lebih rendah berbicara dengan sang Ratu. Alih-alih menyebut nama asli sang ratu, Ratu Gayatri, Pradhabasu memanggilnya dengan sapaan lain. Gaya bahasa antonomasia yang juga terdapat pada narasi ini digunakan oleh LKH sebagai variasi yang bertujuan untuk menambah wawasan pembaca juga meminimalisir kebosanan yang kerap dialami pembaca. 5.2. Diksi LKH yang juga berdarah Jawa banyak menggunakan campur kode baik dalam narasi maupun dialog. Hal ini disebabkan oleh latar tempat yang digunakan pengarang adalah sebuah kerajaan Majapahit yang kita tahu berpusat di wilayah Jawa Timur. Penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam novel ini untuk mendukung latar waktu yang digunakan, yakni pada zaman Majapahit. Namun, pembaca tidak akan dipusingkan dengan istilah-istilah jawa yang digunakan, terlebih pembaca di luar suku jawa karena LKH memberikan arti kata dari bahasa Jawa itu di dalam catatan kaki daftar diksi dalam bahasa Jawa terlampir. 43 Ibid., h. 168.

6. Alur

Secara umum, novel ini menggunakan alur maju. LKH, lewat Pancaksara sebagai penceritanya memulai kisah ini pada situasi menegangkan saat Jayanegara diracun Ra Tanca. Adapun skema alur dari novel ini adalah sebagai berikut: 6.1. Pengenalan Kisah ini dimulai dengan cerita bahwa sang raja Majapahit kedua, Jayanegara sakit. Dikabarkan bahwa ia menderita sakit yang terlampau parah. Ada yang mengatakan hanya sakit bisul dan sebagainya. Intinya bukan jenis penyakit yang membahayakan jiwa sang Prabu. Untuk menyembuhkan penyakit Kalagemet itu, pihak kerajaan memanggil Ra Tanca, seorang pemberontak yang pernah melakukan makar bersama para rakrian lainnya, untuk mengobati sang raja karena keahliannya di bidang pengobatan. Kematian Jayanegara dengan tiba-tiba dan tidak meninggalkan pewaris takhta kecuali dua orang saudari tirinya itu kontan menimbulkan pertanyaan mendasar, siapa yang akan menjadi penggantinya. Di belakang kedua Sekar Kedaton terdapat calon suami masing-masing yang tentunya diboncengi oleh pendukungnya yang haus kekuasaan dan saling menempatkan Raden Cakradara dan Raden Kudamerta di dampar kekuasaan. 6.2. Konflik Ketegangan kisah ini diawali dengan terbunuhnya Jayanegara oleh Ra Tanca menggunakan racun sekali teguk. Selama ini Jayanegara bagai memiliki banyak nyawa karena telah berhasil selamat dari berbagai upaya makar, seperti Makar Ra Kuti, Makar Nambi, dan Mahapati. Namun, kali ini hanya sekali teguk, Ra Tanca berhasil menuntaskan dendam lama Ra Kuti bahkan di jarak terdekat dengan Gajah Mada sekali pun. Pembalasan dendam itu tentu harus dibayar dengan harga setimpal, yaitu nyawanya sendiri. Pertanyaan tersebut disusul oleh sebuah kenyataan telak, bahwa para pendukung Raden Kudamerta satu persatu dibasmi oleh pihak yang belum dikenal hingga akhirnya Raden Kudamerta sendiri menjadi titik sasaran selanjutnya. Semua pembunuhan dan percobaan pembunuhan terhadap suami Dyah Wiyat itu kontan saja menempatkan Raden Cakradara sebagai tertuduh tunggal. Seperti yang telah diketahui, Raden Cakradara merupakan saingan berat bagi Raden Kudamerta. 6.3. Klimaks Puncak kekacauan kisah ini adalah ketika senjata tajam berani menyentuh anggota keluarga raja secara terang-terangan di depan umum. Adalah Raden Kudamerta yang terkena lemparan pisau dari jarak jauh yang dilemparkan oleh Rubaya atas suruhan Rangsang Kumuda. Dada Raden Kudamerta berdarah dan beruntung tidak sampai merenggut nyawanya. Hal ini tentu saja merupakan percobaan pembunuhan setelah sebelumnya banyak pendukung Kudamerta yang berjatuhan nyawanya. Pembunuhan demi pembunuhan yang terjadi atas para pendukung Raden Kudamerta mengantarkan Gajah Mada berhadapan langsung dengan Rangsang Kumuda, otak di balik semua pembunuhan dan usaha penjarahan takhta ini. Rangsang Kumuda yang disinyalir sebagai paman Raden Cakradara atau Pakering Suramurda ini awalnya sedang mencegat seorang wanita yang tak lain adalah istri pertama Raden Kudamerta yang hendak melarikan diri ke kotaraja di sebuah ladang jagung. Kalau sampai wanita itu sampai di kotaraja, maka semua