Pengenalan Analisa Penggunaan Sarana Retorika Tekstual Alur Tambahan Pertama

11 Bahwa dalam dada Dyah Wiyat sedang ada gumpalan sesak yang membuncah menggelegak makin terbaca dari sikap Dyah Wiyat yang hanya diam tak berbicara apa-apa manakala melakukan sungkem di hadapan Ibu Ratu Narendraduhita dan Ibu Ratu Pradnya Paramita. Pleonasme 12 Raut muka Dyah Wiyat yang pucat dan terbebani merupakan isyarat anaknya sedang menyimpan gumpalan masalah, hal yang tidak akan luput dari perhatiaannya. Hiperbola 13 Buah dari sikapnya yang demikian itu kini harus dipetik, perkawinan itu harus dijalani sampai tuntas. Metafora 14 Walau kakinya bagai kehilangan tenaga untuk menopang tegak tubuhnya, Simile 15 Walau kakinya bagai kehilangan tenaga untuk menopang tegak tubuhnya, walau mulutnya terkunci kehilangan kekuatan untuk bicara mengucapkan ikrarnya, Dyah Wiyat tidak mempunyai pilihan lain selain kecuali harus menerima apa yang disodorkannya itu. Perifrasis

B. Struktur Kalimat

No Kalimat Struktur Kalimat 1 Apa yang terjadi tidak luput dari pandangan para Ibu Ratu dan memaksa Ratu Biksuni Gayatri mencuatkan sebelah alisnya, bahkan Gajah Mada dan Mahapatih Arya Tadah mampu menangkap kejadian itu dan memerhatikan lebih cermat. Berimbang 2 Raden Cakradara yang juga melihat itu berusaha tidak menelusuri lebih jauh, sementara Raden Kudamerta Berimbang kebetulan sedang menunduk lebih jauh sehingga tidak melihat apa yang terjadi. 3 Manakala sungkem itu dilakukan di hadapan Ibu Ratu Tribhuaneswari, Dyah Wiyat tidak mengeluarkan secuil pun kata-kata, juga tak ada basah air mata. Periodik 4 Dari raut mukanya terbaca jelas, Dyah Wiyat sangat tidak senang menjalani perkawinan itu. Periodik 5 Bagaimanapun juga ratu termuda janda mendiang Raden Wijaya itu adalah perempuan yang melahirkannya, memberikan air susu, melengkapi rasa kasih sayang yang dilimpahkannya, yang merasa cemas ketika anak itu sakit dan selalu berharap semoga ketika dewasa kelak akan menemukan kebahagiaannya. Berimbang 6 Buah dari sikapnya yang demikian itu kini harus dipetik, perkawinan itu harus dijalani sampai tuntas. Paralelisme 7 Walau kakinya bagai kehilangan tenaga untuk menopang tegak tubuhnya, walau mulutnya terkunci kehilangan kekuatan untuk bicara mengucapkan ikrarnya, Dyah Wiyat tidak mempunyai pilihan lain selain kecuali harus menerima apa yang disodorkannya itu. Anafora

1.2.Konflik

“Boleh tahu siapa nama istrimu itu, Kakang?” tanya Dyah Wiyat. Raden Kudamerta sungguh bingung, tak tahu bagaimana cara menjawab. “Atau, akan kausembunyikan istrimu itu selamanya dariku?” Raden Kudamerta menyeringai. Darah yang keluar dari lukanya itu menyebabkan pakaian yang dikenakannya menjadi merah, padahal lembaran kain yang dikenakan berwarna putih. Akan tetapi, Dyah Wiyat tak merasa iba. Dyah Wiyat tidak merasa terpanggil untuk segera memberikan pertolongan. Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia yang kini bukan rahasia lagi, bahwa ia telah beristri saat mengawininya, sungguh merupakan pelecehan yang tak terampunkan. “Aku anak raja,” kata Dyah Wiyat. “Aku bahkan bisa menjadi ratu di negeri yang besar ini, yang kebesarannya jauh melebihi kebesaran Pamotan. Aku bisa seperti Ratu Shima yang sanggup memenggal tangan adiknya yang bersalah. Aku juga bisa menjatuhkan hukuman mati kepada suamiku sendiri. Aku anak raja. Aku dikawini oleh seorang lelaki yang telah beristri. Adakah pelecehan yang melebihi seperti yang aku alami kali ini, Raden Kudamerta?” “Aku minta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tak punya pilihan lain,” jawab Raden Kudamerta. “Siapa nama perempuan itu?” Dyah Wiyat mengejar. “Dyah Menur Hardiningsih,” jawab Raden Kudamerta. Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memejamkan mata untuk menghayati lebih cermat warna perasaan macam apa yang sedang ia rasakan. Sungguh sama sekali tak ada perasaan marah sebagai bias rasa cemburu. Yang ada hanya perasaan tersinggung karena dikawini oleh orang yang menyembunyikan belang karena ternyata memiliki istri bahkan seorang anak. Amat sinis senyum yang mencuat di bibir Dyah Wiyat, menempatkan Raden Kudamerta mengalami kebingungan tak mampu menerjemahkan apa artinya. Dyah Wiyat yang kembali menengadah mengarahkan pandangan matanya pada bintang di sudut langit yang memiliki warna kemerahan. Betapa gelisah Dyah Wiyat karena tak berhasil menemukannya meski mencari-cari di mana bintang itu berada. Padahal, ia telah terlanjur beranggapan bintang itu peralihan roh Ra Tanca. Dyah Wiyat membalikkan tubuh dan dengan langkah perlahan naik ke undak-undakan yang membawanya ke ruang tengah istananya. Langkah yang semula perlahan itu berubah menjadi bergegas. Dengan mata yakin Dyah Wiyat meninggalkan Raden Kudamerta termangu sendiri di halaman. Raden Kudamerta jatuh terduduk. Ia tak lagi peduli andaikata rahasia yang terbongkar itu akan membawanya ke gantungan. Ia juga tak peduli meski dari lukanya darah mengalir deras. 9 9 Ibid., h. 266-267.