pertanda, serangan yang digelar itu langsung selesai. Yang ada tinggal kegiatan mengikat sisa penyerbu yang menyerah dan
membiarkan mereka yang terajur menjadi mayat ikut hanyut bersama aliran sungai.
Rakrian Kembar merasa jantungnya akan lepas. Ra Kembar yang dipaksa meletakkan tangan di atas kepala menyempatkan
memerhatikan bagaimana nasib segenap anak buahnya dan merenungkan bagaimana cara mempertanggungjawabkan peristiwa
yang terjadi itu di depan Senopati Panji Suryo Manduro, bahkan di depan Gajah Mada, orang yang tak disukainya itu.
Ra Kembar kembali terjengkang ketika seseorang menendang dadanya. Apa yang dialami Rakrian Kembar meleset jauh dari apa
yang dibayangkan. Seorang laki-laki dengan wajah dihitamkan jelaga menggelandangnya, menyebabkan Ra Kembar jatuh bangun.
Ra Kembar melihat tidak hanya dirinya yang mengalami nasib seperti itu, tetapi sisa-sisa anak buahnya yang selamat. Pertempuran
yang dibayangkan akan berlangsung seru, angan-angan menangkap pemimpin orang-orang Karang Watu tidak terwujud. Sebaliknya,
dalam kurun waktu yang sangat singkat, Ra Kembar harus meletakkan tangan di belakang dan diikat menggunakan tali
janget.
27
A. Gaya Bahasa
No Kalimat
Gaya bahasa 1
Tidak ada kalimat yang bisa dituntaskan dalam teriakkan karena arus bawah menyeretnya untuk masuk
ke pintu gerbang kematian yang terbuka lebar. Metafora
2 Senyap tanpa ada kegaduhan menjadi pertanda,
serangan yang digelar itu langsung selesai. Pleonasme
3 Yang ada tinggal kegiatan mengikat sisa penyerbu yang
menyerah dan membiarkan mereka yang terajur menjadi mayat ikut hanyut bersama aliran sungai.
Sinisme
4 Rakrian Kembar merasa jantungnya akan lepas.
Hiperbola
27
Ibid., h. 451-452.
5 Ra Kembar yang dipaksa meletakkan tangan di atas
kepala Perifrasis
B. Struktur Kalimat
No Kalimat
Struktur Kalimat 1
Ra Kembar memanfaatkan kesempatan yang dimiliki untuk melesat berenang sekuat-kuatnya.
Berimbang
2 Namun, Ra Kembar hanya menahan napas ketika sampai
ke seberang disambut ujung tombak yang terarah ke mukanya.
3 Ra Kembar yang dipaksa meletakkan tangan di atas
kepala menyempatkan memerhatikan bagaimana nasib segenap anak buahnya dan merenungkan bagaimana
cara mempertanggungjawabkan peristiwa yang terjadi itu di depan Senopati Panji Suryo Manduro,
Berimbang
4.7. Penyelesaian
“Ini dia pahlawan yang ditunggu-tunggu kepulangannya itu.” Rakrian Kembar semula tidak mengenali siapa saja orang-
orang yang berdiri di hadapannya karena semua wajah dihitamkan menggunakan jelaga. Namun, Kembar masih bisa mengenali
suaranya. Orang yang baru berbicara itu adalah Bhayangkara Riung Samudra.
“Bagaimana, Ra Kembar? Upayamu menggulung Karang Watu berhasil?”
Ra Kembar merasa lebih baik bila dikelupas wajahnya. Setidaknya memang ada penyesalan dalam hatinya, namun apa
mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Apa yang terjadi telah terlanjur dengan hasil berupa kotoran yang berlepotan di wajahnya.
Akan tetap,
orang-orang yang
dikenalinya sebagai
Bhayangkara Jayabaya, Riung Samudra, Panjang Sumprit, tidak memberikan perhatian kepadanya terlalu lama. Bhayangkara
Jayabaya bertindak cekatan denga membebaskan Rakrian Kembar