Kalimat Majemuk Bertingkat Retorika
a. Novel dipandang sebagai salah satu “bentuk sastra yang menawarkan
sebuah gambaran kehidupan yang diidealkan, imajinatif, dan dibangun oleh unsur-unsur yang disebut intrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh,
latar, sudut pandang, yang sifatnya imajinatif ”.
59
b. “Jenis prosa yang dibangun berdasarkan unsur-unsur intrinsik dan
mengandung nilai-nilai kehidupan ”.
60
Dari berbagai pengertian yang telah diberikan, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa novel adalah sebuah bentuk prosa rekaan yang kisahannya
tidak akan lepas dari kehidupan nyata meskipun terdapat unsur imajinasi di dalamnya dengan menggunakan beberapa unsur intrinsik sebagai tubuh dan
unsur ekstrinsik sebagai jiwa yang akan menghidupi prosa rekaan tersebut. Dalam berbagai sumber,
“novel juga disebut dengan fiksi karena keidentikan yang dimiliki oleh kedua kata tersebut
”.
61
Karakterisasi novel ini dilakukan sebagai upaya mempermudah para peneliti dalam mengembangkan analisis mereka. Seringkali, sebuah novel
memiliki corak beragam dalam kisahannya sehingga cukup menyulitkan para peneliti untuk mengkajinya menggunakan pendekatan apa.
Jenis novel yang telah berkembang saat ini dilihat dari isi cerita novel tersebut. Jenis novel tersebut adalah
“Picaresque, Epislatori, Sejarah, Regional, Satir, Bildungrongsman, Tesis, Gotik, Roman-Fleuve, Roman
Feuileton, Fiksi Ilmiah, Novel Baru, Metafiksi ”.
62
Jenis-jenis novel tersebut sudah ada sejak berabad-abad lalu.
59
Nurgiyantoro, op., cit, h. 4.
60
Zaidan, op.,cit, h. 136.
61
Nurgiyantoro, op.,cit, h. 9.
62
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi; Sebuah Pengantar, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, h. 22-31.
2. Sastra Sejarah
Berbicara tentang sastra memang tidak akan bisa terlepas dari disiplin ilmu lainnya. Sastra tidak bisa lahir begitu saja tanpa ada campur tangan dari
ilmu lain atau setidaknya kehidupan yang mendukungnya. Sastra yang sudah terlahir dapat dikatakan sebagai cerminan dari kehidupan-kehidupan yang
secara tidak sengaja telah lahir dan hidup subur dan sengaja diamati oleh penciptanya, yaitu pengarang.
Dewasa ini dunia kesusastraan dibanjiri oleh beragam disiplin ilmu yang mentranformasikan wujudnya ke dalam karya sastra. Katakanlah sebuah novel
yang banyak menampung berbagai ide dan terbuka bagi semua disiplin ilmu. Di dalamnya banyak dijumpai unsur-unsur ilmu alam yang mendominasi dan
menjadi alur, latar bahkan tokohnya pun terarah kepada keilmuan alam tersebut. Tidak hanya ilmu alam saja yang kian menyerbu dunia kesusastraan,
ilmu sosiologi dan antropologi pun ikut menjamur dan ambil bagian dalam pembuatan sebuah novel. Namun, ada satu disiplin ilmu yang menarik untuk
ditelaah lebih lanjut dalam dunia sastra, yakni sejarah. Sejarah, pada hakikatnya adalah sebuah disiplin ilmu yang bertanggung
jawab penuh terhadap pewartaan tiap kejadian di masa lalu untuk dikaji di masa kini dan diambil pelajaran yang terdapat dalam tiap kisahnya.
Seringkali, sejarah hanya dianggap sebuah bentuk penceritaan yang tidak bisa diganggu gugat, seperti membaca sebuah kabar dari surat kabar hari ini.
Sebagai disiplin ilmu, sejarah berfungsi mengubah pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang posisinya layak disejajarkan dengan ilmu alam dan sosial
lainnya seperti geografi. Seperti disiplin ilmu lainnya, seorang sejarawan tidak bertanggung jawab terhadap permasalahan bahasa, meskipun untuk
memberitakannya kepada khalayak luas, bahasa adalah satu-satunya media yang tepat untuk itu. Mereka, para ilmuwan, sejarawan dan filsuf termasuk di
dalamnya, hanya memiliki tanggung jawab terhadap esensi isi dari sejarah yang ia paparkan. Itulah yang menyebabkan seringnya teks sejarah menjadi
sebuah teks yang membosankan dan merumitkan pembacanya karena belum tentu seorang sejarawan atau arkeolog yang lihai menggali fakta-fakta sejarah
di masa lampau juga lihai dalam mengolah kata. Pada posisi inilah sastrawan mendapat peran ganda yang tak semua
ilmuwan mendapatkannya. Seorang sastrawan, selain ia bertanggung jawab terhadap
penampilan sebuah
cerminan masyarakat,
juga terhadap
pengeksploitasian bahasa yang tepat untuk tujuan yang pertama tadi. Keterkaitan antara sastra dengan sejarah bukanlah barang baru dalam
sejarah kesastraan. Tercatat bahwa Aristoteles pun pernah memperdebatkan masalah sastra dengan sejarah. Pokok permasalahanya adalah bahasa sejarah
bermain dalam ranah lampau dan sastra berada di wilayah penceritaan yang mungkin saja terjadi. Selain itu,
“sejarah hanya menceritakan masa lalu tanpa pernah bisa menceritakan masa yang akan datang, seperti halnya sastra yang
terkadang juga bisa menceritakan hal yang belum terjadi ”.
63
Sastra dan sejarah juga saling berkaitan jika ditinjau dari segi etimologisnya.
“Padanan kata sejarah dalam bahasa Inggris adalah history dan sastra yang diwakili oleh kata cerita memiliki berpadanan dengan story dalam
bahasa yang sama ”.
64
Historia berarti cerita, sejarah, penelusuran fakta atau peristiwa. Kira-kira sekitar tahun AD 1700, ilmu sejarah berkembang sebagai
ilmu pengetahuan tersendiri, khususnya berkembang dengan kritik dan data. Akibatnya di dunia barat nampaknya sejarah dan sastra makin terlihat jelas
bedanya, yang satu menjelaskan fakta-fakta yang sungguh terjadi dan yang satu lagi bermain dalam imajinasi walaupun juga terkadang digunakan fakta
sebagai bahan untuk menciptakan karya.
65
Misalnya saja, kisah sejarah Gajah Mada sendiri tentunya berbeda dengan Pentalogi Gajah Mada karangan Langit
Kresna Hariadi meskipun Langit sendiri untuk membuatnya memerlukan
63
Ibid, h. 331.
64
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984, h. 244.
65
Ibid.