BAB TIGA PULUH LEO
BAB TIGA PULUH LEO
MEREKA BERPUTAR-PUTAR, MENEMBUS KEGELAPAN SAMBIL terjun bebas, masih di atas punggung sang naga, namun kulit Festus dingin. Mata rubinya redup. "Tidak lagi!" teriak Leo. "Kau tidak boleh jatuh lagi!" Leo nyaris tak kuasa berpegangan. Angin memedihkan matanya, tapi dia berhasil menarik panel di leher naga hingga terbuka. Dia menaik-turunkan sakelar. Dia menarik-narik kabel. Sayap sang naga mengepak sekali, tapi Leo mencium bau perunggu terbakar. Sistem pengendalinya korslet karena kelebihan beban. Festus tidak memiliki kekuatan untuk terus terbang, dan Leo tidak bisa mencapai panel pengendali utama di kepala sang naga —tidak selagi mereka sedang terjun bebas di udara. Dia melihat lampu-lampu kota di bawah mereka —cuma sekelebat di tengah-tengah kegelapan selagi mereka menukik sambil berputar-putar. Mereka hanya punya beberapa detik sebelum tabrakan. "Jason!" teriak Leo. "Bawa Piper dan terbanglah! Menyingkir dari sini!" "Apa?" "Kita harus mengurangi beban! Aku mungkin bisa mengeset ulang Festus, tapi dia membawa beban yang terlalu berat!" "Bagaimana denganmu?" seru Piper. "Kalau kau tak bisa mengeset ulang Festus —" "Aku akan baik-baik saja," teriak Leo. "Ikuti saja aku ke tanah. Sana!" Jason memeluk pinggang Piper. Mereka berdua melepaskan diri dari sanggurdi, dan dalam sekejap mereka pun pergi —melesat di udara. "Nah," kata Leo. "Sekarang tinggal kau dan aku, Festus —dan dua kurungan berat. Kau bisa melakukannya, Nak!" Leo berbicara kepada sang naga selagi dia bekerja, jatuh dengan kecepatan tinggi. Dia bisa melihat lampu-lampu kota di bawahnya, kian dekat dan kian dekat. Leo mendatangkan api di tangannya supaya dia bisa melihat apa yang dikerjakannya, tapi angin terus saja memadamkan api tersebut. Leo menarik kabel yang menurutnya menghubungkan pusat saraf sang naga ke kepalanya, mengharapkan sedikit MEREKA BERPUTAR-PUTAR, MENEMBUS KEGELAPAN SAMBIL terjun bebas, masih di atas punggung sang naga, namun kulit Festus dingin. Mata rubinya redup. "Tidak lagi!" teriak Leo. "Kau tidak boleh jatuh lagi!" Leo nyaris tak kuasa berpegangan. Angin memedihkan matanya, tapi dia berhasil menarik panel di leher naga hingga terbuka. Dia menaik-turunkan sakelar. Dia menarik-narik kabel. Sayap sang naga mengepak sekali, tapi Leo mencium bau perunggu terbakar. Sistem pengendalinya korslet karena kelebihan beban. Festus tidak memiliki kekuatan untuk terus terbang, dan Leo tidak bisa mencapai panel pengendali utama di kepala sang naga —tidak selagi mereka sedang terjun bebas di udara. Dia melihat lampu-lampu kota di bawah mereka —cuma sekelebat di tengah-tengah kegelapan selagi mereka menukik sambil berputar-putar. Mereka hanya punya beberapa detik sebelum tabrakan. "Jason!" teriak Leo. "Bawa Piper dan terbanglah! Menyingkir dari sini!" "Apa?" "Kita harus mengurangi beban! Aku mungkin bisa mengeset ulang Festus, tapi dia membawa beban yang terlalu berat!" "Bagaimana denganmu?" seru Piper. "Kalau kau tak bisa mengeset ulang Festus —" "Aku akan baik-baik saja," teriak Leo. "Ikuti saja aku ke tanah. Sana!" Jason memeluk pinggang Piper. Mereka berdua melepaskan diri dari sanggurdi, dan dalam sekejap mereka pun pergi —melesat di udara. "Nah," kata Leo. "Sekarang tinggal kau dan aku, Festus —dan dua kurungan berat. Kau bisa melakukannya, Nak!" Leo berbicara kepada sang naga selagi dia bekerja, jatuh dengan kecepatan tinggi. Dia bisa melihat lampu-lampu kota di bawahnya, kian dekat dan kian dekat. Leo mendatangkan api di tangannya supaya dia bisa melihat apa yang dikerjakannya, tapi angin terus saja memadamkan api tersebut. Leo menarik kabel yang menurutnya menghubungkan pusat saraf sang naga ke kepalanya, mengharapkan sedikit
kaya, semuanya terang benderang bermandikan cahaya. Lapangan pendaratan yang sempurna. Leo berusaha sebaik-baiknya untuk menyetir sang naga ke halaman tersebut, dan Festus sepertinya hidup kembali. Mereka pasti berhasil! Kemudian segalanya jadi tidak beres. Saat mereka mendekati halaman, lampu-lampu sorot di sepanjang pagar tertuju pada mereka, membutakan Leo. Dia mendengar bunyi ledakan seperti letusan peluru, bunyi logam yang terpotong-potong —dan BUM. Leo pun pingsan. *** Ketika Leo siuman, Jason dan Piper mencondongkan badan ke atasnya. Leo berbaring di salju, berlumuran lumpur dan minyak. Diludahkannya segumpal rumput beku dari mulut. "Di mana —" "Berbaringlah dulu. Jangan bergerak." Mata Piper berkaca-kaca. "Kau terempas cukup keras ketika — ketika Festus —" "Di mana dia?" Leo duduk tegak, tapi kepalanya serasa melayang. Mereka telah mendarat di pekarangan. Sesuatu telah terjadi dalam perjalanan ke dalam —tembakan senjata? "Ayolah, Leo," kata Jason. "Kau bisa saja terluka. Kau tak boleh —" Leo mendorong dirinya hingga berdiri. Lalu dia melihat puing-puing tersebut. Festus pasti menjatuhkan kedua kandang kenari besar saat dia melewati pagar, sebab kedua kandang tersebut telah menggelinding ke arah yang berlainan dan mendarat dengan posisi menyamping, sama sekali tidak rusak. Festus tidak semujur itu. Sang naga hancur lebur. Kaki- kakinya tersebar di seluruh halaman. Ekornya tergantung di pagar. Bagian utama tubuhnya telah mengeruk tanah selebar enam meter dan sepanjang lima belas meter di pekarangan griya tersebut sebelum pecah berkeping-keping. Yang tersisa dari kulitnya hanyalah pecahan-pecahan hangus berasap. Hanya leher dan kepalanya yang entah bagaimana masih utuh, terkulai di deretan semak mawar yang laksana bantal. "Tidak," Leo terisak. Leo lari ke kepala naga dan mengelus moncongnya. Mata sang naga berkerlip-kerlip lemah. Oli mengucur dari kupingnya. "Kau tak boleh pergi," pinta Leo. "Kaulah yang terbaik yang pernah kuperbaiki." Kepala sang naga memutar-mutar gigi rodanya, seperti sedang mendengkur. Jason dan Piper berdiri di sampingnya, tapi Leo terus melekatkan pandangan matanya pada sang naga. Dia teringat perkataan Hephaestus: Itu bukan salahmu, Leo. Tak ada yang bertahan selamanya, mesin yang terbaik sekalipun. Ayahnya telah berusaha memperingatkannya. "Ini tidak adil," kata Leo. Sang naga mengeluarkan bunyi berkeriut. Keriut panjang. Dua keriut pendek. Keriut. Keriut. Hampir-hampir seperti sebuah pola menyulut munculnya sebuah kenangan lama dalam benak Leo. Leo menyadari bahwa Festus sedang berusaha menyampaikan sesuatu. Dia menggunakan kode Morse — sama seperti yang diajarkan ibu Leo bertahun-tahun lalu. Leo mendengarkan dengan lebih saksama, menerjemahkan bunyi-bunyi tersebut menjadi huruf: pesan sederhana yang diulang berkali-kali. "Iya," ujar Leo. "Aku mengerti. Akan kulakukan. Aku janji." Lalu mata sang naga jadi gelap. Festus sudah tiada. Leo menangis. Dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan tangisnya. Teman-temannya berdiri di kiri- kanannya, menepuk bahunya, mengucapkan hal-hal yang menghibur; namun denging di telinga Leo kaya, semuanya terang benderang bermandikan cahaya. Lapangan pendaratan yang sempurna. Leo berusaha sebaik-baiknya untuk menyetir sang naga ke halaman tersebut, dan Festus sepertinya hidup kembali. Mereka pasti berhasil! Kemudian segalanya jadi tidak beres. Saat mereka mendekati halaman, lampu-lampu sorot di sepanjang pagar tertuju pada mereka, membutakan Leo. Dia mendengar bunyi ledakan seperti letusan peluru, bunyi logam yang terpotong-potong —dan BUM. Leo pun pingsan. *** Ketika Leo siuman, Jason dan Piper mencondongkan badan ke atasnya. Leo berbaring di salju, berlumuran lumpur dan minyak. Diludahkannya segumpal rumput beku dari mulut. "Di mana —" "Berbaringlah dulu. Jangan bergerak." Mata Piper berkaca-kaca. "Kau terempas cukup keras ketika — ketika Festus —" "Di mana dia?" Leo duduk tegak, tapi kepalanya serasa melayang. Mereka telah mendarat di pekarangan. Sesuatu telah terjadi dalam perjalanan ke dalam —tembakan senjata? "Ayolah, Leo," kata Jason. "Kau bisa saja terluka. Kau tak boleh —" Leo mendorong dirinya hingga berdiri. Lalu dia melihat puing-puing tersebut. Festus pasti menjatuhkan kedua kandang kenari besar saat dia melewati pagar, sebab kedua kandang tersebut telah menggelinding ke arah yang berlainan dan mendarat dengan posisi menyamping, sama sekali tidak rusak. Festus tidak semujur itu. Sang naga hancur lebur. Kaki- kakinya tersebar di seluruh halaman. Ekornya tergantung di pagar. Bagian utama tubuhnya telah mengeruk tanah selebar enam meter dan sepanjang lima belas meter di pekarangan griya tersebut sebelum pecah berkeping-keping. Yang tersisa dari kulitnya hanyalah pecahan-pecahan hangus berasap. Hanya leher dan kepalanya yang entah bagaimana masih utuh, terkulai di deretan semak mawar yang laksana bantal. "Tidak," Leo terisak. Leo lari ke kepala naga dan mengelus moncongnya. Mata sang naga berkerlip-kerlip lemah. Oli mengucur dari kupingnya. "Kau tak boleh pergi," pinta Leo. "Kaulah yang terbaik yang pernah kuperbaiki." Kepala sang naga memutar-mutar gigi rodanya, seperti sedang mendengkur. Jason dan Piper berdiri di sampingnya, tapi Leo terus melekatkan pandangan matanya pada sang naga. Dia teringat perkataan Hephaestus: Itu bukan salahmu, Leo. Tak ada yang bertahan selamanya, mesin yang terbaik sekalipun. Ayahnya telah berusaha memperingatkannya. "Ini tidak adil," kata Leo. Sang naga mengeluarkan bunyi berkeriut. Keriut panjang. Dua keriut pendek. Keriut. Keriut. Hampir-hampir seperti sebuah pola menyulut munculnya sebuah kenangan lama dalam benak Leo. Leo menyadari bahwa Festus sedang berusaha menyampaikan sesuatu. Dia menggunakan kode Morse — sama seperti yang diajarkan ibu Leo bertahun-tahun lalu. Leo mendengarkan dengan lebih saksama, menerjemahkan bunyi-bunyi tersebut menjadi huruf: pesan sederhana yang diulang berkali-kali. "Iya," ujar Leo. "Aku mengerti. Akan kulakukan. Aku janji." Lalu mata sang naga jadi gelap. Festus sudah tiada. Leo menangis. Dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan tangisnya. Teman-temannya berdiri di kiri- kanannya, menepuk bahunya, mengucapkan hal-hal yang menghibur; namun denging di telinga Leo
Akhirnya Jason berkata, "Aku ikut berduka, Bung. Apa yang kaujanjikan pada Festus?" Leo menyedot ingus. Dia membuka panel di kepala naga, hanya untuk memastikan, namun piringan pengendali-nya sudah retak dan terbakar, mustahil untuk diperbaiki. "Sesuatu yang dikatakan ayahku padaku," kata Leo. "Semuanya dapat dipergunakan kembali." "Ayahmu bicara padamu?" tanya Jason. "Kapan kejadiannya?" Leo tidak menjawab. Dia mengutak-atik engsel leher sang naga hingga kepalanya terlepas. Beratnya kira-kira lima puluh kilo, tapi Leo berhasil menggendong kepala tersebut dalam pelukannya. Dia mendongak ke langit yang berbintang dan berkata, "Kembalikan dia ke bunker, Ayah. Kumohon, sampai aku bisa memakainya lagi. Aku tak pernah minta apa-apa dari Ayah." Angin bertambah kencang, dan kepala naga pun melayang dari lengan Leo seolah tidak berbobot. Kepala tersebut terbang ke langit dan menghilang. Piper memandang Leo dengan takjub. "Dia menjawab doa-mu?" "Aku bermimpi," tukas Leo. "Nanti kuberi tahu kalian." Dia tahu dirinya berutang penjelasan yang lebih lengkap kepada teman- temannya, tapi Leo nyaris tak sanggup bicara. Dia sendiri merasa seperti mesin rusak —seolah seseorang telah mencopot bagian kecil dari dirinya, dan kini dia takkan pernah utuh. Dia mungkin bisa bergerak, dia mungkin bisa bicara, dia mungkin bisa terus melaju dan melakukan pekerjaannya. Tapi dia akan selalu kurang seimbang, tak pernah benar-benar dikalibrasi dengan tepat. Tapi tetap saja, dia tidak boleh patah semangat. Jika begitu, artinya Festus meninggal dengan sia-sia. Leo harus menyelesaikan misi ini —demi teman-temannya, demi ibunya, demi naganya. Leo menoleh ke sekeliling. Griya putih besar itu berpendar di tengah-tengah pekarangan. Tembok bata tinggi dengan lampu dan kamera keamanan yang mengelilingi perimeter, tapi sekarang Leo bisa melihat —atau lebih tepatnya merasakan—seketat apa tembok tersebut dijaga. "Di mana kita?" tanya Leo. "Maksudku, kota apa?" "Omaha, Nebraska," ujar Piper. "Aku melihat papan reklame waktu kita terbang ke dalam. Tapi aku tak tahu griya apa ini. Kami masuk tepat di belakangmu, tapi saat kau mendarat, Leo, aku sumpah kelihatannya ada —entahlah—" "Laser," kata Leo. Leo memungut sekeping komponen naga dan melemparkannya ke atas pagar. Serta-merta mencuatlah sebuah menara dari tembok bata dan seberkas sinar panas membakar pelat perunggu itu hingga jadi abu. Jason bersiul. "Sistem pertahanan yang hebat. Kok kita masih hidup?" "Festus," kata Leo nelangsa. "Dialah yang menerima tembak-an. Laser mengirisnya hingga berkeping-keping saat dia masuk sehingga tidak terarah pada kalian. Mu menuntunnya ke dalam jebakan maut." "Kau tak mungkin tahu," kata Piper. "Dia menyelamatkan nyawa kita lagi." "Tapi sekarang apa?" ujar Jason. "Gerbang utama terkunci, dan menurut perkiraanku aku tak bisa menerbangkan kita keluar dari sini tanpa ditembak." Leo memandang jalan setapak di griya putih besar itu. "Karena kita tak bisa keluar, kita harus masuk." []