BAB TIGA PULUH TUJUH JASON

BAB TIGA PULUH TUJUH JASON

JASON TELAH MENEMUKAN KAKAKNYA DAN kehilangan dia lagi dalam waktu kurang dari sejam. Selagi mereka mendaki tebing pulau terapung, Jason terus menengok ke belakang, tapi Thalia sudah lenyap. Terlepas dari perkataan Thalia yang berjanji akan menemuinya lagi, Jason bertanya-tanya. Thalia telah menemukan keluarga baru yaitu para Pemburu, dan ibu baru dalam diri Artemis. Thalia tampaknya amat mantap dan nyaman dengan kehidupannya sehingga Jason tidak yakin dirinya bisa menjadi bagian dari kehidupan Thalia. Dan Thalia tampaknya sungguh bertekad untuk menemukan temannya Percy. Pernahkah dia mencari Jason seperti itu? Tidak adil, kata Jason kepada dirinya sendiri. Dia mengira kau sudah mati. Jason nyaris tidak tahan mendengar perkataan Thalia tentang ibu mereka. Rasanya seolah Thalia telah menyerahkan seorang bayi kepada Jason--bayi yang teramat cengeng dan jelek —serta berkata, Nih, ini bayimu. Gendongsana. Jason tidak mau menggendongnya.

Jason tidak mau memandangi ataupun mengakuinya. Jason tidak mau tahu bahwa dia punya seorang ibu bermental tidak stabil yang menyingkirkannya demi meredakan amarah seorang dewi. Tidak heran Thalia kabur. Kemudian Jason teringat pondok Zeus di Perkemahan Blasteran —relung mungil yang digunakan Thalia sebagai tempat tidur, berada di luar sudut pandang patung Dewa Langit yang melotot itu. Ayah mereka juga tidak terlalu mengesankan. Jason memahami apa sebabnya Thalia meninggalkan bagian itu dari kehidupannya, tapi dia tetap saja jengkel. Jason tidak semujur itu. Dia ditinggalkan dengan beban berat di pundaknya —dalam arti yang sebenarnya. Ransel emas berisi angin tersandang di pundak Jason. Semakin dekat mereka dengan istana Aeolus, semakin beratlah tas tersebut. Angin meronta-ronta, menggemuruh dan menabrakkan diri ke sana-sini. Satu-satunya orang yang suasana hatinya sedang bagus adalah Pak Pelatih Hedge. Dia terus saja melonjak-lonjak, menaiki anak tangga yang licin dan turun lagi. "Ayo, bocah-bocah lembek! Tinggal beberapa ribu anak tangga lagi!" Selagi mereka mendaki, Leo dan Piper membiarkan Jason diam saja. Mungkin mereka dapat merasakan bahwa suasana hatinya sedang jelek. Piper terus saja melirik ke belakang, khawatir, seakan Jason-lah yang hampir mati karena hipotermia alih-alih dia sendiri. Atau mungkin Piper sedang memikirkan gagasan Thalia. Mereka sudah memberi tahu Piper mengenai ucapan Thalia di jembatan —bagaimana mereka bisa menyelamatkan ayah Piper dan juga Hera —tapi Jason kurang paham bagaimana caranya melakukan itu, dan dia tidak yakin apakah kemungkinan tersebut membuat Piper lebih optimis atau justru lebih waswas. [ 426 ] JASON Leo terus-menerus mengebuti kakinya, mengecek kalau-kalau celananya terbakar. Dia tidak beruap lagi, tapi insiden di jembatan es benar-benar telah membuat Jason ketakutan. Leo sepertinya tidak menyadari bahwa ada asap yang keluar dari telinganya dan bunga api yang menari-nari di rambutnya. Jika Leo bakalan terbakar secara spontan setiap kali dia bersemangat, mereka bakal kesulitan mengajaknya nongkrong ke mana-mana. Jason membayangkan dirinya memesan makanan di restoran. Saya minta burger keju dan —Ahhh! Temanku terbakar! Ambilkan seember air! Tapi yang terutama, Jason cemas dengan perkataan Leo. Jason tidak ingin menjadi jembatan, atau sarana pertukaran, atau yang lainnya. Dia hanya ingin tahu dari mana dia berasal. Dan Thalia terlihat begitu galau ketika Leo menyinggung-nyinggung tentang rumah terbakar dalam mimpi Jason —tempat yang menurut Lupa sang serigala adalah titik awal kehidupan Jason. Bagaimana bisa Thalia mengetahui tempat itu, dan apa sebabnya dia mengasumsikan Jason bisa menemukannya? Jawaban atas semua pertanyaan Jason Jason tidak mau memandangi ataupun mengakuinya. Jason tidak mau tahu bahwa dia punya seorang ibu bermental tidak stabil yang menyingkirkannya demi meredakan amarah seorang dewi. Tidak heran Thalia kabur. Kemudian Jason teringat pondok Zeus di Perkemahan Blasteran —relung mungil yang digunakan Thalia sebagai tempat tidur, berada di luar sudut pandang patung Dewa Langit yang melotot itu. Ayah mereka juga tidak terlalu mengesankan. Jason memahami apa sebabnya Thalia meninggalkan bagian itu dari kehidupannya, tapi dia tetap saja jengkel. Jason tidak semujur itu. Dia ditinggalkan dengan beban berat di pundaknya —dalam arti yang sebenarnya. Ransel emas berisi angin tersandang di pundak Jason. Semakin dekat mereka dengan istana Aeolus, semakin beratlah tas tersebut. Angin meronta-ronta, menggemuruh dan menabrakkan diri ke sana-sini. Satu-satunya orang yang suasana hatinya sedang bagus adalah Pak Pelatih Hedge. Dia terus saja melonjak-lonjak, menaiki anak tangga yang licin dan turun lagi. "Ayo, bocah-bocah lembek! Tinggal beberapa ribu anak tangga lagi!" Selagi mereka mendaki, Leo dan Piper membiarkan Jason diam saja. Mungkin mereka dapat merasakan bahwa suasana hatinya sedang jelek. Piper terus saja melirik ke belakang, khawatir, seakan Jason-lah yang hampir mati karena hipotermia alih-alih dia sendiri. Atau mungkin Piper sedang memikirkan gagasan Thalia. Mereka sudah memberi tahu Piper mengenai ucapan Thalia di jembatan —bagaimana mereka bisa menyelamatkan ayah Piper dan juga Hera —tapi Jason kurang paham bagaimana caranya melakukan itu, dan dia tidak yakin apakah kemungkinan tersebut membuat Piper lebih optimis atau justru lebih waswas. [ 426 ] JASON Leo terus-menerus mengebuti kakinya, mengecek kalau-kalau celananya terbakar. Dia tidak beruap lagi, tapi insiden di jembatan es benar-benar telah membuat Jason ketakutan. Leo sepertinya tidak menyadari bahwa ada asap yang keluar dari telinganya dan bunga api yang menari-nari di rambutnya. Jika Leo bakalan terbakar secara spontan setiap kali dia bersemangat, mereka bakal kesulitan mengajaknya nongkrong ke mana-mana. Jason membayangkan dirinya memesan makanan di restoran. Saya minta burger keju dan —Ahhh! Temanku terbakar! Ambilkan seember air! Tapi yang terutama, Jason cemas dengan perkataan Leo. Jason tidak ingin menjadi jembatan, atau sarana pertukaran, atau yang lainnya. Dia hanya ingin tahu dari mana dia berasal. Dan Thalia terlihat begitu galau ketika Leo menyinggung-nyinggung tentang rumah terbakar dalam mimpi Jason —tempat yang menurut Lupa sang serigala adalah titik awal kehidupan Jason. Bagaimana bisa Thalia mengetahui tempat itu, dan apa sebabnya dia mengasumsikan Jason bisa menemukannya? Jawaban atas semua pertanyaan Jason

Bangunan bulat tersebut terletak di tengah-tengah lingkaran berdiameter setengah kilometer. Lahan tersebut menakjubkan, tapi sekaligus menyeramkan. Lahan itu dibagi empat seperti potongan piza, masing-masing menggambarkan satu musim. Bagian di kanan mereka berupa lahan gundul berlapis es, dengan pohon-pohon gundul serta danau beku. Orang-orangan salju menggelinding menyusuri bentang alam tersebut seiring dengan tiupan angin, jadi Jason tak yakin apakah orang-orangan tersebut cuma dekorasi atau memang hidup. Di kiri niereka terdapat taman musim gugur yang disemarakkan pohon- pohon berdaun merah dan keemasan. Tumpukan daun tertiup hingga membentuk pola-pola —dewa, manusia, binatang yang berkejaran sebelum terpencar menjadi dedaunan kembali. Di kejauhan, Jason bisa melihat dua area lagi di belakang bangunan bulat. Salah satunya menyerupai ladang hijau yang dipenuhi domba dari awan. Bagian terakhir berupa gurun, diisi gumpalan dahan kering yang menggoreskan motif-motif ganjil di pasir mirip huruf-hurufYunani, wajah tersenyum, dan iklan besar yang berbunyi: SAKSIKAN AEOLUS SETIAP MALAM! "Satu bagian untuk masing-masing Dewa Angin," tebak Jason. "Empat arah angin utama." "Aku suka sekali padang itu." Pak Pelatih Hedge menjilat bibirnya. "Kalian keberatan —" "Silakan," kata Jason. Dia sebenarnya lega menyuruh satir itu pergi. Sudah cukup sulit menarik simpati Aeolus tanpa kehadiran Pak Pelatih Hedge yang mengayun-ayunkan pentungannya sambil berteriak, "Mati!" Selagi sang satir menyingkir untuk menyerang padang musim semi, Jason, Leo, dan Piper menyusuri jalan hingga ke undakan istana. Mereka melewati pintu depan, lalu memasuki ruang tamu berlantai marmer putih yang dihiasi panji-panji ungu bertuliskan Olympian Weather Channel atau Saluran Cuaca Olympia, dan sebagian lainnya yang hanya bertuliskan OW! "Halo!" Seorang perempuan melayang ke arah mereka. Melayang dalam arti yang sebenarnya. Dia cantik bagaikan peri, mengingatkan Jason pada roh-roh alam di Perkemahan Blasteran —mungil, bertelinga lancip, dan berwajah awet muda. Dia mungkin saja baru enam belas atau sudah tiga puluh. Mata cokelatnya berbinar-binar riang. Meskipun tidak ada angin, rambut gelapnya mengembang dalam gerak lambat, ala iklan sampo. Gaun putihnya berkibar-kibar di sekeliling tubuhnya laksana bahan parasut. Jason tidak tahu apakah perempuan itu memiliki kaki, tapi jika punya, kakinya tidak menyentuh lantai. Dia memegang komputer tablet putih di tangannya. "Apa kalian diutus Dewa Zeus?" tanyanya. "Kami sudah menunggu kalian." Jason berusaha merespons, tapi agak susah untuk berpikir jernih, sebab dia menyadari bahwa perempuan itu transparan. Sosoknya menajam dan mengabur seakan terbuat dari kabut. "Apa kau hantu?" tanya Jason. Jason seketika sadar dia telah menyinggung perasaan perem-puan itu. Mulutnya yang tersenyum jadi cemberut. "Aku ini aura, Pak. Peri angin, seperti yang seharusnya kauketahui, mengingat bahwa aku bekerja untuk penguasa angin. Namaku Mellie. Di sini tidak ada hantu." Piper kontan angkat bicara, menyelamatkan Jason. "Tidak, tentu saja kau bukan hantu! Temanku hanya salah mengenalimu sebagai Helen dari Troya, manusia fana tercantik sepanjang masa.

Mudah saja membuat kekeliruan semacam itu." Wow, Piper memang hebat. Pujian itu sepertinya agak ber-lebihan, namun Mellie sang aura merona. "Oh begitu. jadi, benar kalian diutus Zeus?" "Arm," kata Jason, "iya, aku ini putra Zeus."

"Bagus sekali! Silakan, ke arah sini." Mellie membimbing mereka melewati beberapa pintu pengaman, masuk ke lobi lainnya, terus mengecek komputer tabletnya selagi dia melayang. Dia tidak melihat ke arah yang ditujunya, namun itu tampaknya itu tak jadi soal, sebab dia bisa melayang menembus pilar marmer tanpa kesulitan. "Jam tayang utama sudah selesai, jadi tak apa-apa," Mellie bergumam. "Aku bisa memasukkan kalian tepat sebelum acara pukul 23.12." "Mmm, oke," Jason berkata. Lobi tersebut merupakan tempat yang memusingkan. Angin menderu-deru di sekeliling mereka sampai-sampai Jason merasa sedang berusaha melewati kerumunan orang tak kasatmata yang padat. Pintu tertiup hingga terbuka dan terbanting hingga tertutup begitu Baja. Hal-hal yang bisa dilihat Jason dengan mata telanjang betul-betul aneh. Pesawat kertas berbagai bentuk serta ukuran melesat ke sana-kemari, dan para peri angin lainnya sesekali mengambil pesawat-pesawatan tersebut dari udara, membuka lipatannya dan membaca isinya, kemudian kembali melemparkan kertas itu ke udara. Kertas tersebut kemudian akan melipat dirinya sendiri, membentuk pesawat-pesawatan seperti semula, dan terbang kembali. Sesosok makhluk jelek berkelebat lewat. Penampilannya merupakan perpaduan wanita tua dan ayam yang disuntik steroid. Ia memiliki wajah keriput dengan rambut hitam yang dikonde dalam jala rambut, lengan manusia plus sayap ayam, dan tubuh gendut berbulu burung dengan cakar sebagai pengganti kaki. Fakta bahwa is bisa terbang saja sudah hebat. Ia terus saja mengapung ke sana-kemari dan menabrak ini-itu bagaikan balon lepas. "Bukan aura?" tanya Jason kepada Mellie saat makhluk itu terhuyung-huyung lewat. Mellie tertawa. "Itu harpy, tentu saja. Semacam, ah, saudari tiri kami yang buruk rupa, bisa dibilang begitu. Memangnya di Olympus tidak ada harpy? Mereka roh angin kencang, tidak seperti kami para aura. Kami semua angin sepoi-sepoi." Dia mengedipkan bulu matanya kepada Jason. "Tentu saja," ujar Jason. "Jadi," tukas Piper, "kau hendak mengantar kami untuk menemui Aeolus?" Mellie membimbing mereka melewati pintu ganda yang sepertinya merupakan pintu kedap udara. Di atas pintu sebelah dalam, lampu hijau berkedip-kedip. "Kita punya beberapa menit lagi sebelum beliau mulai," kata Mellie riang. "Beliau barangkali takkan membunuh kalian jika kita masuk sekarang. Mari!" []