BAB EMPAT PULUH DUA LEO

BAB EMPAT PULUH DUA LEO

RENCANA ITU KOCAR-KACIR HAMPIR SEKETIKA. Piper ter-gopoh-gopoh menyusuri bubungan, berusaha untuk terus merendahkan kepalanya, sedangkan Leo, Jason, dan Pak Pelatih Hedge langsung menuju bukaan. Jason mendatangkan tombak emasnya. Dia mengangkat tombak itu tinggi-tinggi di atas kepalanya dan berteriak, "Wahai raksasa!" Kedengarannya lumayan mengesankan, dan jauh lebih percaya diri daripada yang sanggup dilontarkan Leo. Dia memikir-kan perkataan yang kurang-lebih berbunyi, "Kami hanyalah semut hina! Jangan bunuh kami!" Enceladus berhenti merapal ke kobaran api. Dia berbalik menghadap mereka dan menyeringai, menampakkan taring-taring yang setajam taring harimau sabretooth. "Wah," kata sang raksasa dengan suara menggemuruh. "Sungguh suatu kejutan yang menyenangkan." Leo tidak suka mendengarnya. Tangannya mencengkeram alat buatannya yang berkunci putar. Leo melangkah ke samping, beringsut ke buldoser. Pak Pelatih Hedge berteriak, "Lepaskan bintang film itu, dasar Bocah Lembek yang Besar dan Buruk Rupa! Atau akan kutendangkan kakiku ke —" "Pak Pelatih," kata Jason. "Tutup mulut." Enceladus tertawa terbahak-bahak. "Aku lupa betapa lucunya satir itu. Ketika kami menguasai dunia, kurasa akan kupertahankan kaummu. Kau bisa menghiburku selagi aku memakan semua manusia fana lain." "Apakah itu pujian?" Pak Pelatih Hedge memandang Leo sambil mengerutkan dahi. "Kurasa itu bukan pujian." Enceladus membuka mulutnya lebar-lebar, dan gigi-giginya mulai berpendar. "Berpencar!" teriak Leo.

Jason dan Hedge menukik ke kiri saat sang raksasa menyem-protkan api —semburan yang demikian panas sampai-sampai Festus sekalipun bakal cemburu. Leo berlindung di balik buldoser, memutar alat buatannya, dan menjatuhkan mainan tersebut ke kursi pengemudi. Kemudian dia berlari ke kanan, menuju penebang pohon. Dad ekor matanya, Leo melihat Jason berdiri dan menyerbu sang raksasa. Pak Pelatih Hedge mencopot jas kuning kenarinya, yang sekarang terbakar, dan mengembik marah. "Aku suka baju itu!" Lalu dia mengangkat pentungan dan menyerbu juga. Sebelum mereka sempat pergi jauh, Enceladus menghunjamkan tombaknya ke tanah. Seisi gunung berguncang. Gelombang kejut menjatuhkan Leo sampai terjengkang. Dia berkedip, linglung untuk beberapa waktu. Di balik asap pedih dari rumput yang terbakar, dia melihat Jason bangun sambil sempoyongan di sisi lain bukaan tersebut. Pak Pelatih Hedge pingsan. Dia tersungkur ke depan dan kepalanya menghantam kayu gelondongan. Kaki belakangnya yang berbulu mencuat lurus

ke atas, sedangkan celana kuning kenarinya telah merosot hingga ke lutut —pemandangan yang sama sekali tidak diinginkan Leo. Sang raksasa menggerung, "Aku melihatmu, Piper McLean!" Dia berbalik dan menyemburkan api ke kanan Leo. Piper lari ke bukaan seperti ayam hutan yang digiring pemburu, semak belukar terbakar di bawahnya. Enceladus tertawa. "Aku senang kau datang. Dan kau membawakan hadiahku!" Perut Leo mulas. Piper telah memperingatkan mereka tentang momen seperti ini. Mereka telah masuk langsung ke perangkap Enceladus. Sang raksasa pasti membaca ekspresi Leo, sebab dia justru tertawa semakin nyaring. "Itu benar, Putra Hephaestus. Aku tak menduga kalian semua akan hidup selama ini, tapi itu bukan masalah. Dengan cara membawa kalian ke sini, Piper McLean telah menyegel kesepakatan. Jika dia mengkhianati kalian, aku pasti menepati janjiku. Dia boleh membawa pergi ayahnya Apa peduliku pada seorang bintang film?" Leo bisa melihat ayah Piper lebih jelas sekarang. Dia mengenakan kemeja compang-camping dan celana panjang robek-robek. Kaki telanjangnya dikotori lumpur kering. Dia tidak sepenuhnya tak sadarkan diri, sebab dia mengangkat kepala dan mengerang — betul, Tristan McLean masih hidup. Leo sudah sering melihat wajah itu dalam film. Tapi ada luka sayat mengerikan di sisi wajahnya, dan dia terlihat kurus serta tirus —tidak heroik sama sekali. "Ayah!" teriak Piper. Pak McLean berkedip, berusaha memfokuskan pandangan. "Pipes ... ? Di mana ..." Piper menghunus belatinya dan menghadap Enceladus. "Lepaskan dia!" "Tentu saja, Sayang," sang raksasa menggerung. "Bersumpah setialah kepadaku, dan masalah kita beres. Hanya saja, yang lain yang harus mati." Piper menoleh bolak-balik antara Leo dan ayahnya. "Dia bakal membunuhmu," Leo memperingatkan. "Jangan percaya padanya!" "Oh, ayolah," raung Enceladus. "Kautahu aku dilahirkan untuk bertarung melawan Athena sendiri? Bunda Gaea membuat masing- masing dari kami, para raksasa, untuk tujuan khusus, dirancang untuk bertarung dan menghancurkan dewa tertentu. Aku adalah musuh bebuyutan Athena, anti-Athena, bisa dibilang. Dibandingkan dengan sebagian saudaraku —aku ini kecil! Tapi aku pandai. Dan aku akan menepati janjiku padamu, Piper McLean. Itu adalah bagian dari rencanaku!" Jason sudah berdiri sekarang, tombaknya siap; tapi sebelum dia sempat bertindak, Enceladus meraung —seruan yang begitu keras sampai-sampai bergema ke lembah dan barangkali terdengar hingga ke San Francisco. Di tepi hutan, setengah lusin makhluk mirip ogre berdiri. Leo dan yakin seyakin-yakinnya bahwa mereka tadinya tidak bersembunyi di sana. Perut Leo menjadi mual. Mereka bangkit langsung dari tanah. Para ogre terseok-seok ke depan. Mereka kecil dibandingkan dengan Enceladus, kira-kira dua meter. Masing-masing memiliki enam lengan —satu pasang di tempat biasa, lalu sepasang lengan tambahan yang mencuat dari puncak bahu mereka, serta

satu pasang lagi yang terjulur dari camping iga mereka. Mereka hanya mengenakan cawat kulit compang-camping, dan dari seberang bukaan sekalipun, Leo bisa mencium bau mereka. Enam makhluk yang tidak pernah mandi, masing-masing memiliki enam ketiak. Leo memutuskan jika dia selamat dari insiden hari ini, dia pasti harus mandi tiga jam hanya untuk melupakan bau itu. Leo menghampiri Piper. "Itu —itu apa?" Bilah belati Piper memantulkan sinar ungu api unggun. "Gegenees." "Artinya?" tanya Leo. "Anak Bumi," kata Piper. "Raksasa bertangan enam yang bertarung melawan Jason —Jason yang pertama." "Bagus sekali, Sayang!" Enceladus kedengarannya girang. "Mereka dahulu tinggal di tempat menyedihkan di Yunani yang disebut Gunung Beruang. Gunung Diablo jauh lebih menyenangkan! Mereka adalah anak-anak Ibu Pertiwi yang lebih inferior, namun mereka memiliki tujuan sendiri. Mereka ahli menggunakan peralatan konstruksi —" "Brum, brum!" salah satu Anak Bumi menggerung, diikuti oleh yang lain, masing-masing menggerakkan enam tangan seperti mengemudikan mobil, seakan sedang menjalankan semacam ritual keagamaan yang aneh. "Brum, brum!" "Ya, terima kasih, Anak-Anak," kata Enceladus. "Mereka juga punya dendam terhadap pahlawan. Terutama siapa saja yang bernama Jason." "Yeey-son!" teriak para Anak Bumi. Mereka semua memungut segumpal tanah, yang memadat di tangan mereka dan berubah menjadi batu tajam mengerikan. "Di mana Yeey-son? Bunuh Yeey-son!" Enceladus tersenyum. "Kaulihat, Piper, kau punya pilihan. Selamatkan ayahmu, atau ah, mencoba menyelamatkan teman-temanmu dan hadapi kematian yang sudah pasti." Piper melangkah maju. Matanya menyala-nyala murka sehingga para Anal( Bumi sekali pun mundur. Piper memancarkan kekuatan dan kecantikan, tapi ini tak ada hubungannya dengan pakaian ataupun rias wajahnya. "Kau tidak akan merebut orang-orang yang kusayangi," kata Piper. "Seorang pun tidak." Kata-katanya merambat menyeberangi bukaan dengan kekuatan yang begitu dahsyat sampai-sampai para Anak Bumi bergumam, "Oke. Oke, maaf," dan mulai mundur. "Teguhkan diri kalian, Bodoh!" Enceladus menggerung. Dia menggeram kepada Piper. "Inilah sebabnya kami menginginkanmu hidup-hidup, Sayang. Kau bisa bermanfaat sekali bagi kami. Tapi terserah kau. Anak Bumi! Akan kutunjukkan Jason kepada kalian." Hati Leo mencelus. Namun sang raksasa tidak menunjuk Jason. Dia menunjuk ke sisi lain api unggun, ke tempat Tristan McLean menggelayut tak berdaya dan setengah tidak sadar. "Itu Jason," kata Enceladus riang. "Cabik-cabiklah dia!" Kejutan terbesar bagi Leo: Satu pandangan dari Jason, dan mereka tahu rencananya. Sejak kapan mereka bisa membaca pikiran satu sama lain dengan sedemikian balk? Jason menyerang Enceladus, sementara Piper bergegas menghampiri ayahnya, sedangkan Leo melesat ke penebang pohon, yang terletak di antara Pak McLean dan Anak Bumi. Para Anak Bumi gesit, tapi Leo lari bagaikan roh angin. Dia melompat ke penebang pohon dari jarak satu setengah meter dan mendarat di kursi pengemudi. Tangannya bergerak lincah di panel kendali, dan mesin itu pun merespons dengan kecepatan yang tidak wajar —menyala seolah-olah is tahu seberapa pentingnya ini. "Ha!" Leo berteriak, dan mengayunkan lengan derek ke api unggun, menggulingkan kayu gelondongan yang terbakar ke atas

tubuh para Anak Bumi dan memercikkan lidah api ke mana-mana. Dua raksasa jatuh di bawah longsoran api dan meleleh kembali ke dalam bumi —mudah-mudahan terus bertahan di sana selama beberapa waktu. Empat ogre yang lain tergopoh-gopoh melewati kayu-kayu gelondongan yang terbakar serta arang panas sementara Leo memutar penebang kayu tersebut. Dipencetnya sebuah tombol, dan bilah tajam menyeramkan di ujung lengan derek pun mulai berputar. Dari ekor matanya, Leo bisa melihat

Piper di pasal , memotong tali pengikat untuk membebaskan ayahnya. Di sisi lain bukaan tersebut, Jason bertarung melawan sang raksasa, dia entah bagaimana berhasil mengelak dari tombak mahabesar dan semburan apinya. Pak Pelatih Hedge masih pingsan dengan heroik, ekor kambingnya mencuat ke udara. Seluruh sisi gunung itu segera raja dilalap api. Kebakaran tidak mengusik Leo, tapi andaikata teman- temannya terjebak di atas sini —Tidak. Leo harus bertindak cepat. Salah satu Anak Bumi—rupanya bukan yang paling pintar —menyerbu penebang pohon, dan Leo pun mengayunkan lengan derek ke arahnya. Begitu bilah tajam menyentuh tubuh si ogre, dia pun meleleh bagaikan tanah liat cair dan memercik ke seluruh bukaan. Sebagian besar terciprat ke muka Leo. Leo meludahkan tanah liat dari mulutnya dan memutar penebang pohon ke arah tiga Anak Bumi yang tersisa. Mereka cepat-cepat mundur. "Brum- brum nakal!" teriak salah satu. "Iya, benar sekali!" teriak Leo kepada mereka. "Kalian mau brum-brum nakal? Ayo sini!" Sayangnya, mereka menyambut ajakan Leo. Tiga ogre bertangan enam, masing-masing melemparkan batu besar keras dengan kecepatan super —dan Leo tahu tamatlah riwayatnya. Entah bagaimana, dia meluncurkan dirinya dan berjungkir balik ke belakang penebang kayu setengah detik sebelum sebuah batu besar menghancurkan kursi pengemudi. Batu-batu menghantam logam. Pada saat Leo terhuyung-huyung berdiri, penebang kayu itu kelihatan seperti kaleng soda penyok, terbenam ke lumpur. "Buldoser!" teriak Leo. Para ogre memungut semakin banyak gumpalan tanah, tapi kali ini mereka melotot ke arah Piper. Sembilan meter dari sana, buldoser pun menyala. Alat buatan Leo telah melakukan pekerjaannya, menanamkan diri ke panel kendali mesin keruk dan untuk sementara memberinya kehidupan sendiri. Mesin keruk itu pun menggerung ke arah musuh. Tepat saat Piper membebaskan ayahnya yang teringkat dan memegang pria itu dengan tangannya, para raksasa melontarkan serangan batu mereka yang kedua. Buldoser menikung di lumpur, mendecit berhenti untuk mengadang, dan sebagian besar batu menghantam lengan pengeruknya. Benturan tersebut sedemikian hebat sehingga buldoser terdorong ke belakang. Dua batu terpantul dan mengenai para pelemparnya. Dua Anak Bumi pun meleleh, menjadi tanah liat kembali. Sayangnya, sebuah batu mengenai mesin buldoser, menghasilkan kepulan asap berminyak, dan buldoser itu pun terhenti. Satu mainan hebat lagi-lagi rusak. Piper menyeret ayahnya turun, menjauhi bubungan. Anak Bumi terakhir menerjang untuk mengejar gadis itu. Leo sudah kehabisan trik, tapi dia tak bisa membiarkan monster itu menangkap Piper. Dia lari ke depan, langsung menembus api, dan menyambar sesuatu —apa saja—dari sabuk perkakasnya. "Hei, Bego!" Leo berteriak, dan melemparkan sebatang obeng kepada si Anak Bumi.

Obeng itu tidak membunuh si ogre, namun cukup untuk menarik perhatiannya. Obeng tersebut tertancap sampai gagangnya ke kening si Anak Bumi seolah dia terbuat dari Play-Doh. Si Anak Bumi memekik kesakitan dan mendadak berhenti. Dia mencabut obeng tersebut, berbalik, dan memelototi Leo. Sangat disayangkan bahwa ogre yang terakhir ini kelihatannya merupakan yang terbesar serta terganas di antara kawanan tersebut. Gaea pasti telah mencurahkan segalanya untuk menciptakan Anak Bumi yang satu ini —menambahkan otot ekstra dan wajah yang sangat jelek, paket lengkap. Oh, hebat, pikir Leo. Aku dapat teman baru. "Mati kau!" raung si Anak Bumi. "Teman Yeey-son mati!" Si ogre meraup segenggam tanah, yang seketika mengeras menjadi peluru batu. Leo kehabisan aka'. Dia merogoh sabuk perkakasnya, namun tak terpikir apa yang mungkin dapat membantu. Dia anak pintar — tapi dia tidak bisa merakit atau membuat atau memperbaiki sesuatu yang dapat membantunya lobos kali ini. Ya sudah, pikir Leo. Aku akan mati dengan megah. Tubuh Leo langsung menyala, kobaran api Obeng itu tidak membunuh si ogre, namun cukup untuk menarik perhatiannya. Obeng tersebut tertancap sampai gagangnya ke kening si Anak Bumi seolah dia terbuat dari Play-Doh. Si Anak Bumi memekik kesakitan dan mendadak berhenti. Dia mencabut obeng tersebut, berbalik, dan memelototi Leo. Sangat disayangkan bahwa ogre yang terakhir ini kelihatannya merupakan yang terbesar serta terganas di antara kawanan tersebut. Gaea pasti telah mencurahkan segalanya untuk menciptakan Anak Bumi yang satu ini —menambahkan otot ekstra dan wajah yang sangat jelek, paket lengkap. Oh, hebat, pikir Leo. Aku dapat teman baru. "Mati kau!" raung si Anak Bumi. "Teman Yeey-son mati!" Si ogre meraup segenggam tanah, yang seketika mengeras menjadi peluru batu. Leo kehabisan aka'. Dia merogoh sabuk perkakasnya, namun tak terpikir apa yang mungkin dapat membantu. Dia anak pintar — tapi dia tidak bisa merakit atau membuat atau memperbaiki sesuatu yang dapat membantunya lobos kali ini. Ya sudah, pikir Leo. Aku akan mati dengan megah. Tubuh Leo langsung menyala, kobaran api