BAB TIGA PULUH SATU JASON

BAB TIGA PULUH SATU JASON

JASON PASTI SUDAH MATI LIMA kali dalam perjalanan ke pintu depan jika bukan karena Leo. Pertama- tama ada tingkap yang diaktifkan-oleh-gerakan di jalan setapak, lalu laser di undakan, kemudian penyembur gas saraf di pagar beranda, paku beracun yang peka terhadap tekanan di keset selamat datang, dan tentu saja bel pintu yang bisa meledak. Leo menonaktifkan semuanya. Dia seakan bisa membaui jebakan, dan dia mengambil perkakas yang tepat dari sabuknya untuk mematikan jebakan- jebakan tersebut. "Kau luar biasa, Bung," kata Jason. Leo mendengus saat dia mengamati kunci pintu depan. "Iya, luar biasa," katanya. "Tidak bisa memperbaiki naga dengan benar, tapi aku luar biasa." "Hei, itu bukan —" "Pintu depannya tidak dikunci," Leo mengumumkan. Piper menatap pintu tersebut tak percaya. "Masa sih? Jebakan sebanyak itu, dan pintunya tidak dikunci?" Leo memutar kenop. Pintu itu berayun terbuka dengan mudah. Dia melangkah masuk tanpa ragu-ragu. Sebelum Jason sempat mengikuti, Piper memegangi lengannya. "Dia bakal butuh waktu untuk menerima kepergian Festus. Jangan diambil hati." "Iya," kata Jason. "Iya, oke." Tapi Jason tetap merasa tidak enak. Di toko Medea, dia mengucapkan hal-hal yang kasar kepada Leo —hal-hal yang seharusnya tidak dikatakan seorang teman, belum lagi fakta bahwa dia hampir menusuk Leo dengan pedang. Jika bukan berkat Piper, mereka berdua pasti sudah maxi. Dan Piper juga tidak lolos dari insiden itu dengan mudah. "Piper," kata Jason, "aku tahu aku linglung waktu di Chicago, tapi soal ayahmu —jika dia sedang dalam kesulitan, aku ingin membantu. Aku talc peduli apakah itu jebakan atau bukan." Mata Piper selalu menampakkan warna yang berbeda-beda, rapi kini matanya terlihat pedih, seakan dia telah menyaksikan sesuatu yang tak dapat dihadapinya. "Jason, kau tak tahu apa yang kaukatakan. Tolong — jangan membuatku merasa semakin tidak enak. Ayolah. Kita harus terus bersama." Piper pun masuk. "Bersama," kata Jason kepada dirinya sendiri. "Iya, keber-samaan kita hebat." *** Kesan pertama Jason tentang rumah tersebut: Gelap. Dari gema langkah kakinya, Jason bisa tahu bahwa ruang depan berukuran luas, bahkan lebih besar daripada griya tawang Boreas; tapi satu-satunya penerangan berasal dari lampu halaman

di luar. Pendar samar mengintip lewat belahan di tirai beledu tebal. Jendela menjulang kira-kira tiga meter. Di antara jendela-jendela terdapat patung logam seukuran manusia asli. Saat mata Jason telah menyesuaikan diri, dia melihat sofa yang ditata membentuk huruf U di tengah-tengah ruangan, beserta meja kopi sentral dan satu kursi besar di ujung. Sebuah lampu gantung mahabesar berkilauan di atas. Di dinding belakang terdapat barisan pintu yang tertutup. "Di mana sakelar lampunya?" Suara Jason menggema terlalu keras di seluruh ruangan. "Tidak lihat," kata Leo. "Api?" Piper menyarankan. Leo mengulurkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. "Tidak bisa." "Apimu padam? Kenapa?" tanya Piper. "Yah, seandainya saja aku tabu —" "Oke, oke," ujar Piper. "Kita harus melakukan apa —men-jelajah?" Leo menggelengkan kepala. "Setelah semua jebakan di luar itu? Ide jelek." Kulit Jason tergelitik. Dia benci menjadi demigod. Saat menoleh ke sekeliling, dia tidak melihat ruang yang nyaman untuk ditempati. Dia membayangkan roh-roh badai ganas bersembunyi di balik tirai, naga di bawah karpet, lampu gantung yang terbuat dari keping es mematikan, siap menyula dirinya. "Leo benar," ujar Jason. "Kita tak boleh berpisah lagi —tidak seperti di Detroit." "Oh, terima kasih sudah mengingatkanku pada para Cyclops." Suara Piper gemetar. "Aku butuh itu." "Beberapa jam lagi fajar," tebak Jason. "Terlalu dingin untuk menunggu di luar. Mari kita bawa kurungan ke dalam dan ber-kemah di ruangan ini. Tunggu sampai matahari terbit; lalu kita bisa putuskan hendak di luar. Pendar samar mengintip lewat belahan di tirai beledu tebal. Jendela menjulang kira-kira tiga meter. Di antara jendela-jendela terdapat patung logam seukuran manusia asli. Saat mata Jason telah menyesuaikan diri, dia melihat sofa yang ditata membentuk huruf U di tengah-tengah ruangan, beserta meja kopi sentral dan satu kursi besar di ujung. Sebuah lampu gantung mahabesar berkilauan di atas. Di dinding belakang terdapat barisan pintu yang tertutup. "Di mana sakelar lampunya?" Suara Jason menggema terlalu keras di seluruh ruangan. "Tidak lihat," kata Leo. "Api?" Piper menyarankan. Leo mengulurkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. "Tidak bisa." "Apimu padam? Kenapa?" tanya Piper. "Yah, seandainya saja aku tabu —" "Oke, oke," ujar Piper. "Kita harus melakukan apa —men-jelajah?" Leo menggelengkan kepala. "Setelah semua jebakan di luar itu? Ide jelek." Kulit Jason tergelitik. Dia benci menjadi demigod. Saat menoleh ke sekeliling, dia tidak melihat ruang yang nyaman untuk ditempati. Dia membayangkan roh-roh badai ganas bersembunyi di balik tirai, naga di bawah karpet, lampu gantung yang terbuat dari keping es mematikan, siap menyula dirinya. "Leo benar," ujar Jason. "Kita tak boleh berpisah lagi —tidak seperti di Detroit." "Oh, terima kasih sudah mengingatkanku pada para Cyclops." Suara Piper gemetar. "Aku butuh itu." "Beberapa jam lagi fajar," tebak Jason. "Terlalu dingin untuk menunggu di luar. Mari kita bawa kurungan ke dalam dan ber-kemah di ruangan ini. Tunggu sampai matahari terbit; lalu kita bisa putuskan hendak

mendadak bergerak kembali dan melancarkan jurus ninja ala kambing. Meskipun dia merasa gelisah, begitu perutnya terisi, Jason mulai terkantuk-kantuk. Sofanya agak terlalu nyaman —jauh lebih enak daripada punggung naga —dan dia sudah terjaga sepanjang dua giliran jaga selagi teman-temannya tidur. Dia kelelahan. Piper sudah bergelung di sofa yang lain. Jason bertanya-tanya apakah gadis itu benar- benar tidur atau menghindari per-cakapan tentang ayahnya. Apa pun yang dimaksud Medea di Chicago, tentang Piper yang mendapatkan ayahnya kembali jika dia bekerja sama —hal itu kedengarannya tidak bagus. Jika Piper mempertaruhkan ayahnya sendiri demi menyelamatkan mereka, itu membuat Jason semakin merasa bersalah. Dan mereka kehabisan waktu. Jika Jason tidak salah meng-hitung hari, ini adalah dini hari tanggal 20 Desember. Artinya, besok adalah titik balik matahari musim dingin. "Tidurlah," kata Leo, masih mengutak-atik kurungan yang terkunci. "Sekarang giliranmu." Jason menarik napas dalam-dalam. "Leo, aku menyesal soal hal-hal yang kukatakan di Chicago. Itu bukan aku. Kau tidak menyebalkan dan tentu saja kau menyikapi persoalan secara serius —terutama pekerjaanmu. Kuharap aku bisa melakukan setengah saja dari hal-hal yang bisa kaulakukan." Leo menurunkan obengnya. Dia memandang langit-langit dan menggeleng-gelengkan kepala seolah berkata, Harus kuapakan cowok ini? "Aku berusaha keras bersikap menyebalkan," ujar Leo. "Jangan remehkan kemampuanku membuat orang sebal. Dan bagaimana bisa aku membencimu kalau kau minta maaf? Aku ini mekanik rendahan, sedangkan kau pangeran langit, putra Penguasa Semesta. Aku memang semestinya membencimu." "Penguasa Semesta?" "Tentu saja, kau punya jurus —duar! Manusia petir. Dan `Saksikan aku terbang. Aku adalah elang yang membubung —"' "Tutup mulut, Valdez." Leo tersenyum kecil. "Tuh, lihat sendiri. Aku memang mem-buatmu sebal." "Aku minta maaf karena sudah minta maaf." "Terima kasih." Leo kembali bekerja, namun ketegangan di antara mereka telah mengendur. Leo masih terlihat sedih dan lelah —tapi tidak semarah tadi. "Tidurlah, Jason," perintah Leo. "Butuh beberapa jam untuk membebaskan manusia kambing ini. Kemudian aku masih harus memikirkan caranya membuat sel kurungan yang lebih kecil untuk para angin, soalnya aku tidak mau menenteng-nenteng sangkar kenari

itu ke California." "Kau berhasil memperbaiki Festus, kautahu," ujar Jason. "Kau membuatnya bermanfaat lagi. Menurutku misi ini adalah titik tertinggi dalam kehidupannya." Jason takut dirinya kelewatan dan membuat Leo marah lagi, tapi Leo hanya mendesah. "Kuharap begitu," katanya. "Nah, sekarang tidurlah, Bung. Aku butuh waktu tanpa kalian, bentuk kehidupan organik." Jason tidak yakin apa yang Leo maksud, tapi dia tidak mau berdebat. Dia memejamkan mata dan tidur pulas tanpa mimpi. Jason baru terbangun ketika seseorang mulai berteriak . *** "Ahhhhhhhhhh!" Jason terlompat berdiri. Dia tidak yakin mana yang lebih mengguncangkan —sinar matahari langsung yang kini membanjiri ruangan, atau sang satir yang berteriak. "Pak Pelatih sudah bangun," kata Leo, yang sebenarnya tidaklah perlu. Gleeson Hedge melonjak ke sana- kemari dengan kaki belakangnya yang berbulu, mengayun-ayunkan pentungan dan berteriak, "Mad!" sambil memecahkan perangkat minum teh, menggebuk sofa, dan menerjang ke singgasana. "Pak Pelatih!" teriak Jason. Hedge berbalik, tersengal-sengal. Matanya jelalatan sekali sampai-sampai Jason khawatir dia mungkin bakal menyerangnya. Sang satir masih mengenakan kaus jingga berkerah dan peluitnya masitt tergantung di lehernya, namun tanduknya kentara sekali di atas rambut keritingnya, sedangkan kaki belakangnya yang montok jelas-jelas merupakan kaki kambing. Apakah kambing bisa disebut "montok"? Jason mengesampingkan pemikiran itu. "Kau si anak baru," kata Hedge sambil menurunkan pen-tungannya. "Jason." Dia memandang Leo, lalu Piper, yang rupanya baru saja terbangun. Rambut gadis itu seperti baru dijadikan sarang oleh hamster ramah. "Valdez, McLean," kata sang pelatih. "Apa yang terjadi? Kita sedang di Grand Canyon. Anemoi thuellai sedang menyerang dan — " Dia memicingkan mata ke kurungan berisi roh badai, dan matanya pun kembali awas seakan hendak menembak. "Mati!" "Tenang, Pak Pelatih!" Leo mengadang di depannya, yang sesungguhnya merupakan tindakan yang cukup berani, meskipun Pak Pelatih Hedge lebih pendek lima belas senti. "Tidak apa-apa. Mereka terkurung. Kami baru saja melepaskan Bapak dari kurungan yang satu lagi." "Kurungan? Kurungan? Apa yang terjadi? Cuma karena aku satir bukan berarti aku tidak bisa menyuruhmu push up, Valdez!" Jason berdeham. "Pak Pelatih —Gleeson—mmm, terserah Anda ingin kami memanggil dengan nama apa. Anda menyelamat-kan kami di Grand Canyon. Anda teramat berani." "Tentu saja aku pemberani!" "Tim penjemput datang dan membawa kami ke Perkemahan Blasteran. Kami kira kami telah kehilangan Anda. Lalu kami mendapat kabar bahwa roh-roh badai telah membawa Anda ke —mmm, operator mereka, Medea." "Penyihir itu! Tunggu—itu mustahil. Dia manusia fana. Dia sudah mad." "Begitulah," ujar Leo, "entah bagaimana dia tak lagi mad." Hedge mengangguk, matanya disipitkan. "Begitu rupanya! Kalian diutus menjalani misi berbahaya untuk menyelamatkanku. Luar biasa!" "Anu." Piper berdiri sambil mengangkat tangan supaya Pak Pelatih Hedge tidak menyerangnya. "Sebenarnya, Glee —boleh aku memanggil Anda Pak Pelatih Hedge saja? Gleeson rasanya keliru. Kami sedang menjalani misi untuk tujuan lain. Kami menemukan Bapak secara kebetulan." "Oh." Semangat sang pelatih tampaknya merosot, namun hanya sedetik. Kemudian matanya berbinar-binar lagi. "Tapi tak ada yang namanya kebetulan! Tidak dalam misi. Ini ditakdirkan untuk terjadi! Jadi, ini sarang si penyihir, ya? Kenapa semuanya terbuat dari emas?" "Emas?" Jason menoleh ke sekeliling. Dad sikap Leo dan Piper yang terkesiap, dia menebak bahwa mereka juga baru sadar. Ruangan itu dipenuhi emas — patung-patung, perangkat minum teh yang dipecahkan Hedge, kursi yang jelas-jelas me-rupakan singgasana. Bahkan tirai-tirai —yang sepertinya terbuka sendiri saat fajar—tampaknya dipintal dari benang emas. "Indahnya," kata Leo. "Tidak heran keamanannya ketat sekali."

"Ini bukan —" Piper terbata-bata. "Ini bukan istana Medea, Pak Pelatih. Ini rumah orang kaya di Omaha. Kami berhasil kabur dari Medea dan mendarat darurat di sini." "Ini takdir, Anak-Anak Lembek!" Hedge berkeras. "Aku ditakdirkan untuk melindungi kalian. Apa misi kalian?" Sebelum Jason sempat memutuskan apakah dia ingin menjelaskan atau kembali menjejalkan Pak Pelatih Hedge ke kurungan, sebuah pintu terbuka di ujung ruangan. Seorang pria gendut yang memakai jubah mandi putih melangkah keluar sambil menjepit sikat gigi emas di mulutnya. Dia berjanggut putih dan beberapa di antaranya panjang, topi tidur panjang yang sudah ketinggalan zaman ditekan di atas kepalanya dan menutupi rambut putihnya. Dia mematung ketika melihat mereka, sikat giginya terjatuh dari mulutnya. Dia melirik ke ruangan di belakangnya dan memanggil, "Putraku? Lit, tolong keluar. Ada orang-orang aneh di ruang singgasana." Pak Pelatih Hedge melakukan hal yang sudah seharusnya. Dia mengangkat pentungan dan berteriak, "Mati!"