BAB TIGA PULUH DELAPAN JASON

BAB TIGA PULUH DELAPAN JASON

MULUT JASON MENGANGA. BAGIAN SENTRAL puri Aeolus berukuran sebesar katedral, dengan atap kubah menjulang yang dilapisi perak. Perlengkapan siaran melayang-layang tak teratur di udara — kamera, lampu sorot, set studio, tanaman dalam pot. Dan tidak ada lantai. Leo hampir jatuh ke dalam jurang menganga sebelum Jason menariknya ke belakang. "Astaga —!" Leo menelan ludah. "Hei, Mellie.

Lain kali peringatkan kami dulu dong!" Sebuah lubang besar bundar menghunjam ke jantung gunung. Dalamnya berangkali lebih dari tiga perempat kilometer, dipenuhi gua-gua yang berbentuk seperti sarang tawon. Sebagian terowongan barangkali langsung mengarah ke luar. Jason ingat dia pernah melihat semburan angin keluar dari sana ketika mereka berada di Pikes Peak. Gua-gua lain disegel oleh bahan mengilap seperti kaca atau Jilin. Gua-gua itu dipenuhi harpy, aura, dan pesawat ken as yang berseliweran, namun bagi seseorang yang tidak bisa terbang, terjerumus ke sana sama artinya dengan jatuh dari tempat yang sangat tinggi dan akibatnya bakal fatal.

"Ya ampun," Mellie terkesiap. "Aku benar-benar minta maaf." Dia mengambil walkie-talkie dari dalam gaunnya dan berbicara ke alat komunikasi itu: "Halo, Set? Nuggets, ya? Hai, Nuggets. Tolong, bisakah kami minta lantai di studio utama? Ya, lantai yang padat. Terima kasih." Beberapa detik kemudian, sepasukan harpy membubung dari lubang —kira-kira tiga lusin wanita ayam menyeramkan, semua membawa petak-petak yang terbuat dari aneka bahan bangunan. Mereka langsung bekerja, memalu dan mengelem —serta menggunakan banyak sekali selotip, yang tidak menenangkan Jason sama sekali. Dalam waktu singkat, lantai buatan telah mengular di atas jurang. Lantai tersebut terbuat dari kayu lapis, bilah marmer, lembaran karpet, dan petak rumput —apa saja. "Itu tidak mungkin aman," kata Jason. "Oh, tentu saja aman!" Mellie meyakinkannya. "Para harpy sangat terampil." Mudah baginya berkata begitu. Dia bisa mengapung ke seberang tanpa menyentuh lantai, tapi Jason memutuskan bahwa dialah yang punya peluang bertahan hidup paling besar, karena dia bisa terbang. Jadi Jason menapak duluan. Hebatnya, lantai tersebut bergeming. Piper mencengkeram tangan Jason dan mengikutinya. "Kalau aku jatuh, tangkap aku." "Eh, baiklah." Jason berharap dia tidak tersipu. Berikutnya Leo yang melangkah. "Tangkap aku juga ya, Superman. Tapi aku tidak mau menggandeng tanganmu." Mellie menuntun mereka ke tengah-tengah ruangan. Di sana, layar-layar video melayang-layang mengitari semacam pusat kendali. Seorang pria mengapung di dalam, mengecek monitor dan membaca pecan di pesawat kertas. [ 434 ]

1 JASON Pria itu tidak mengacuhkan mereka saat Mellie membawa mereka ke depan. Mellie mendorong layar Sony 42" sehingga tidak menghalangi mereka dan membimbing mereka ke area kendali. Leo bersiul. "Aku harus punya kamar seperti ini." Layar-layar yang mengapung menunjukkan segala macam program televisi. Sebagian dikenali Jason —siaran berita, terutama—tapi sebagian program agak aneh: adu gladiator, demigod bertarung melawan monster. Mungkin itu film, tapi tampilannya lebih mirip reality show. Di ujung lingkaran itu ada latar belakang biru licin seperti layar bioskop, dengan kamera dan lampu studio melayang-layang di sekitarnya. Pria di tengah-tengahnya masih bicara ke gagang telepon. Dia memegang pengendali jarak jauh di kedua tangan dan mengarahkan pengendali jarak jauh tersebut ke berbagai layar, sepertinya secara acak. Dia mengenakan setelan bisnis yang menyerupai langit — hampir berwarna biru seluruhnya, tapi diselingi oleh awan-awan yang berubah, menggelap, dan bergerak melintasi kain. Dia kelihatannya berusia enam puluhan, berambut putih lebat, tapi rias wajahnya tebal dan mukanya kencang seperti sudah dioperasi plastik, jadi dia kelihatannya tidak terlalu muda, tidak terlalu tua, hanya terlihat ganjil —seperti boneka Ken yang setengah leleh karena dimasukkan ke microwave. Mata hitamnya jelalatan dari layar ke layar, seolah dia sedang berusaha 1 JASON Pria itu tidak mengacuhkan mereka saat Mellie membawa mereka ke depan. Mellie mendorong layar Sony 42" sehingga tidak menghalangi mereka dan membimbing mereka ke area kendali. Leo bersiul. "Aku harus punya kamar seperti ini." Layar-layar yang mengapung menunjukkan segala macam program televisi. Sebagian dikenali Jason —siaran berita, terutama—tapi sebagian program agak aneh: adu gladiator, demigod bertarung melawan monster. Mungkin itu film, tapi tampilannya lebih mirip reality show. Di ujung lingkaran itu ada latar belakang biru licin seperti layar bioskop, dengan kamera dan lampu studio melayang-layang di sekitarnya. Pria di tengah-tengahnya masih bicara ke gagang telepon. Dia memegang pengendali jarak jauh di kedua tangan dan mengarahkan pengendali jarak jauh tersebut ke berbagai layar, sepertinya secara acak. Dia mengenakan setelan bisnis yang menyerupai langit — hampir berwarna biru seluruhnya, tapi diselingi oleh awan-awan yang berubah, menggelap, dan bergerak melintasi kain. Dia kelihatannya berusia enam puluhan, berambut putih lebat, tapi rias wajahnya tebal dan mukanya kencang seperti sudah dioperasi plastik, jadi dia kelihatannya tidak terlalu muda, tidak terlalu tua, hanya terlihat ganjil —seperti boneka Ken yang setengah leleh karena dimasukkan ke microwave. Mata hitamnya jelalatan dari layar ke layar, seolah dia sedang berusaha

"Tunggu dulu!" Pria itu mengangkat tangan untuk mem-bungkam Mellie, lalu menunjuk salah satu layar. "Saksikanlahr Layar tersebut menunjukkan program kejar-kejaran dengan badai, yaitu acara yang menampilkan para pencari tantangan edan, bermobil untuk memburu tornado. Saat Jason menonton, sebuah jip sedang terseret ke tengah-tengah angin ribut dan dilemparkan ke angkasa. Aeolus memekik girang. "Saluran Bencana. Orang-orang sengaja melakukan itu!" Dia berpaling kepada Jason sambil nyengit sinting. "Bukankah itu mengagumkan? Mari kita saksikan lagi." "Pak," ujar Mellie, "ini Jason, putra —" "Ya, ya, aku ingat," kata Aeolus. "Kau sudah kembali, Bagaimana jadinya?" Jason ragu-ragu. "Maaf? Saya rasa Bapak keliru mengenali —' "Tidak, tidak, kau Jason Grace, Ian? Kejadiannya—kapan-1 tahun lalu? Kau sedang dalam perjalanan untuk melawan seekor monster laut, kalau tidak salah." "Saya —saya tidak ingat." Aeolus tertawa. "Pasti bukan monster laut yang hebat! Tidak aku ingat semua pahlawan yang pernah datang untuk mint. pertolonganku. Odysseus —demi para dewa, dia berlabuh ke pulauku selama sebulan! Setidaknya kau hanya menginap beberarn hari. Nah, sekarang saksikan video ini. Bebek-bebek ini terisar langsung ke —" "Pak," potong Mellie. "Dua menit lagi Anda mengudara." "Udara!" pekik Aeolus. "Aku suka sekali udara. Bagaimam rupaku? Juru rias!" Kuas-kuas, spons-spons, dan bola-bola kapas seketika mengerubungi Aeolus bagaikan angin ribut. Perlengkapan rias tersebut mengabur di wajahnya laksana kabut asap sewarna kulit dan membuat penampilan Aeolus bahkan lebih menakutkan [ 436 ] JASON daripada semula. Angin memutar-mutar rambut Aeolus dan meninggalkannya dalam keadaan mencuat ke atas seperti pohon Natal beku. "Pak Aeolus." Jason melepaskan ransel emasnya. "Kami membawakan roh-roh badai liar ini untuk Bapak." "Begitukah!" Aeolus memandang tas tersebut seolah barang itu adalah hadiah dari penggemar —sesuatu yang sesungguhnya tidak dia inginkan. "Wah, baik sekali kau." Leo menyikutnya, dan Jason pun menyodorkan tas tersebut. "Boreas mengutus kami agar menangkap mereka untuk Bapak. Kami harap Bapak bersedia menerima mereka dan mencabut —Bapak tahu— instruksi yang memerintahkan agar demigod dibunuh." Aeolus tertawa, dan memandang Mellie tak percaya. "Demigod dibunuh —apa aku memerintahkan itu?" Mellie memeriksa komputer tabletnya. "Ya, Pak, tanggal lima belas September. `Roh-roh badai dilepaskan akibat kematian Typhon, para demigod harus bertanggung jawab,' dll ya, perintah umum agar mereka semua dibunuh." "Oh, sudahlah," ujar Aeolus. "Mungkin aku sedang kesal waktu itu. Cabut perintah itu, Mellie, dan mmm, siapa yang bertugas jaga —Teriyaki?—Teri, bawa roh-roh badai ini ke sel blok 14E, ya?" Seekor harpy melesat entah dari mana, menyambar tas emas itu, dan berpusing ke dalam jurang. Aeolus menyeringai kepada Jason. "Nah, maaf soal bunuh di tempat itu. Demi para dewa, waktu itu aku memang benar-benar marah, ya?" Wajahnya tiba-tiba jadi mendung, dan setelannya menampakkan gejala serupa, kelepak jasnya berkilat- kilat gara-gara petir. "Kalian tahu aku ingat sekarang. Rasanya ada sebuah

suara yang menyuruhku agar mengeluarkan perintah itu. Bulu kudukku jadi merinding." Jason menegang. Bulu kudukku jadi merinding Kenapa perkataan itu kedengarannya tidak asing? "Sebuah mmm, suara

dalam kepala Bapak?" "Ya. Sungguh aneh. Mellie, haruskah kita bunuh mereka?" "Tidak, Pak," kata Mellie sabar. "Mereka baru saja membawakan kita roh-roh badai, yang menebus segalanya." "Tentu saja." Aeolus tertawa. "Maaf. Mellie, mari kita kirimi sesua.tu yang indah untuk para demigod. Sekotak cokelat, barangkali." "Sekotak cokelat untuk semua demigod di dunia, Pak?" "Tidak, terlalu mahal. Sudahlah, lupakan saja. Tunggu, sudah waktunya! Aku mengudara!" Aeolus terbang ke layar biru saat musik latar mulai mengalun. Jason memandang Piper dan Leo, yang sepertinya sama bingungnya seperti dia. "Mellie," kata Jason, "apakah beliau selalu seperti itu?" Mellie tersenyum sungkan. "Yoh, kalian tahu apa kata orang. Jika kita tidak suka suasana hatinya, tunggu lima menit. Ungkapan `ke mana pun angin bertiup' —didasarkan pada beliau." "Dan mengenai monster Taut itu," kata Jason. " Pernahkah aku ke sini sebelumnya?" Mellie merona. "Maafkan aku, aku tak ingat. Aku asisten baru Pak Aeolus. Aku sudah bertahan lebih lama bersamanya daripada sebagian besar asisten, tapi tetap saja —belum terlalu lama." "Biasanya asisten beliau tahan berapa lama?" tanya Piper. "Oh ..." Millie berpikir sebentar. "Aku sudah mengerjakan ini selama dua belas jam?" [ 438 ] JASON Sebuah suara menggelegar dari speaker yang melayang-layang. "Dan sekarang, cuaca tiap dua belas menit! Inilah penyiar Anda untuk saluran OW! —Olympian Weather—Aeolus!" Lampu-lampu menyorot Aeolus, yang kini berdiri di depan layar biru. Senyumnya begitu ceria sehingga tampak tak wajar, dan wajahnya terlihat hampir meledak, seperti seseorang yang kebanyakan mengonsumsi kafein. "Halo, Olympus! Saya Aeolus, Penguasa Angin, dalam acara `cuaca tiap dua belas menit'! Akan ada udara bertekanan rendah yang bergerak di atas Florida hari ini, mendatangkan suhu sedang karena Demeter ingin memberkahi para petani jeruk!" Dia memberi isyarat ke layar biru, tapi ketika Jason mengecek monitor, dia melihat gambar digital yang diproyeksikan ke belakang Aeolus sehingga mengesankan bahwa dia tengah berdiri di depan peta AS dengan simbol animasi berupa matahari tersenyum dan awan mendung cemberut. "Di sepanjang pesisir timur —oh, tunggu sebentar." Aeolus menepuk earphone-nya. "Maaf, Saudara-saudara! Poseidon sedang marah pada Miami hari ini, jadi kelihatannya Florida akan kembali membeku! Maaf, Demeter. Di atas wilayah Midwest, aku tak yakin apa yang diperbuat St. Louis sehingga menyinggung perasaan Zeus, tapi akan ada badai musim dingin! Boreas sendiri yang dipanggil untuk menghukum area itu dengan es. Kabar buruk, Missouri! Tidak, tunggu. Hephaestus merasa kasihan pada Missouri bagian tengah, jadi kalian semua akan mendapatkan suhu yang relatif sedang dan langit cerah." Aeolus terus saja bicara seperti itu —memprakirakan cuaca di masing-masing kawasan di seluruh negeri dan mengubah prediksinya dua atau tiga kali saat dia memperoleh pesan lewat earphone-nya —para dewa rupanya menyampaikan perintah untuk memunculkan angin dan cuaca yang berlainan.

"Ini tak mungkin benar-benar terjadi," bisik Jason. "Cuaca kan tidak seacak ini." Mellie menyeringai. "Dan seberapa seringkah manusia fana tepat dalam memprakirakan cuaca? Mereka bicara mengenai perenggan dan tekanan udara serta kelembapan, tapi cuaca mengejutkan mereka sepanjang waktu. Setidaknya Aeolus memberi tahu kita apa sebabnya cuaca mustahil diprediksi. Pekerjaan yang sangat berat, berusaha menyenangkan semua dewa sekaligus. Bisa membuat orang jadi ..." Mellie tidak menyelesaikan ucapannya, tapi Jason tahu artinya. Gila. Aeolus memang gila segila-gilanya. "Sekian prakiraan cuaca saat ini," pungkas Aeolus. "Sampai ketemu dua belas menit lagi, karena aku yakin cuaca

pasti berubah!" Lampu dipadamkan, monitor-monitor video kembali menayangkan acara secara acak, dan selama sesaat, wajah Aeolus tampak kusut karena kelelahan. Kemudian dia tampaknya ingat dirinya kedatangan tame, dan dia kembali menyunggingkan senyum. "Jadi, kalian membawakanku roh-roh badai liar," kata Aeolus. "Kalau begitu terima kasih! Apa kalian ingin hal lain? Kuasumsikan demikian. Demigod selalu menginginkan sesuatu." Mellie berkata, "Mmm, Pak, dia ini putra Zeus." "Ya, ya. Aku tahu itu. Kubilang aku ingat dia dari kunjungan sebelumnya." "Tapi, Pak, mereka ke sini dari Olympus." Aeolus kelihatan terperanjat. Kemudian dia tertawa begitu tiba-tiba sehingga Jason hampir-hampir terlompat ke dalam jurang. "Maksudmu kali ini kau kemari atas nama ayahmu? Akhirnya! Aku tahu mereka bakal mengutus seseorang untuk renegosiasi kontrakku!" "Eh, apa?" tanya Jason. [ 440 ] JASON "Oh, syukur kepada para dewa!" Aeolus mendesah lega. "Sudah berapa lama, tiga ribu tahun sejak Zeus menjadikanku penguasa angin. Bukan berarti aku tidak berterima kasih, tentu saja! Tapi sungguh, kontrakku begitu rancu. Jelas bahwa aku ini kekal, tapi `penguasa angin.' Apa pula maksudnya? Apakah aku ini roh alam? Demigod? Dewa? Aku ingin menjadi Dewa Angin, sebab bonusnya jauh lebih besar. Bisakah kita rnulai dengan itu?" Jason memandang teman-temannya, kebingungan. "Maaf," kata Leo, "Bapak kira kami ke sini untuk menaikkan jabatan Bapak?" "Jadi, memang benar?" Aeolus nyengir. Setelan bisnisnya berubah warna menjadi biru cemerlang —tanpa satu awan pun di kain tersebut. "Luar biasa! Maksudku, menurutku aku sudah menunjukkan inovasi brilian berupa saluran cuaca, kan? Dan tentu saja aku muncul di media sepanjang waktu. Sudah banyak sekali buku yang ditulis mengenai diriku: Into Thin Air, Up in the Air, Gone with the Wind —" "Hmm, saya rasa buku-buku itu bukan tentang Bapak," kata Jason, sebelum dia menyadari bahwa Mellie menggeleng-geleng-kan kepala. "Omong kosong," kata Aeolus. "Mellie, buku-buku itu adalah biografiku, kan?" "Betul sekali, Pak," ujar Mellie dengan suara melengking. "Nah, kaudengar sendiri? Aku tidak pernah membaca. Mana ada waktu? Tapi jelas bahwa manusia fana mencintaiku. Jadi, akan kita ganti gelar resmiku menjadi dewa angin. Lalu, mengenai gaji dan sebagainya —" "Pak," ujar Jason, "kami bukan dari Olympus." Aeolus berkedip. "Tapi —"

"Saya putra Zeus, memang benar," kata Jason, "tapi kami ke sini bukan untuk menegosiasikan kontrak Bapak. Kami sedang menjalani misi dan butuh pertolongan Bapak." Ekspresi Aeolus mengeras. "Seperti terakhir kali itu? Seperti semua pahlawan yang datang ke sini? Dasar demigod! Kahan selalu saja datang demi kepentingan kalian sendiri, ya?" "Pak, mohon maklum, saya tidak ingat tentang kunjungan saya yang terakhir kali itu, tapi jika Bapak pernah menolong saya sebelumnya —" "Aku selalu menolong! Yah, kadang-kadang aku menghancur-kan, tapi biasanya aku menolong, dan terkadang aku diminta melakukan keduanya pada saat bersamaan! Malah, Aeneas, yang pertama dari kaummu —" "Kaum saya?" tanya Jason. "Maksud Bapak, demigod?" "Oh, sudahlah, jangan berlagak pilon!" kata Aeolus. "Maksudku demigod aliranmu. Kautahu, Aeneas, putra Venus —satu-satunya pahlawan Troya yang selamat. Ketika orang-orang Yunani membumihanguskan kotanya, dia kabur ke Italia. Di sana, dia mendirikan kerajaan yang kelak menjadi Romawi, bla, bla, bla. Itulah yang kumaksud." "Saya tetap tidak paham," Jason mengakui. Aeolus memutar-mutar bola matanya. "Intinya, aku terjebak di tengah-tengah konflik itu juga! Juno memanggil: 'Oh, Aeolus, hancurkan kapal Aeneas untukku. Aku tidak menyukainya.' Kemudian Neptunus berkata, Tidak, jangan lakukan! Itu wilayahku. Redakan angin.'

Kemudian Juno bilang, hancurkan kapalnya, atau kulaporkan kepada Jupiter bahwa kau tidak kooperatiff Menurutmu mudah menuruti permintaan yang bertentangan seperti itu?" "Tidak," kata Jason. "Saya rasa tidak." [ 442 1 "Belum lagi Amelia Earhart! Aku masih mendapat telepon marah-marah dari Olympus karena menjatuhkannya dari langit!" "Kami hanya menginginkan informasi," kata Piper dengan suaranya yang paling menenangkan. "Kami dengar Bapak mengetahui segalanya." Aeolus meluruskan kelepak jasnya dan amarahnya tampak agak reda. "Yah ... itu benar, tentu saja. Contohnya, aku tahu bahwa perkara ini" —dia menggoyang-goyangkan jarinya kepada mereka bertiga—"siasat nekat Juno untuk menyatukan kalian semua, kemungkinan akan berakhir dengan pertumpahan darah. Sedangkan kau, Piper McLean, aku tahu ayahmu sedang terjebak dalam masalah serius." Dia mengulurkan tangan, dan secarik kertas terbang ke telapaknya. Kertas tersebut memuat foto Piper dengan seorang laid-laid yang pasti adalah ayahnya. Wajah laki-laki itu memang tampak tidak acing. Jason lumayan yakin dia pernah melihat ayah Piper dalam sejumlah film. Piper mengambil foto tersebut. Tangannya gemetaran. "Ini —ini dari dompet ayah saya." "Ya," kata Aeolus. "Semua benda yang hilang ditiup angin akhirnya datang kepadaku. Foto itu tertiup ketika Anak Bumi menangkapnya." "Apa Bumi?" tanya Piper. Aeolus mengesampingkan pertanyaan tersebut dan me-mandang Leo sambil menyipitkan matanya. "Nah, sedangkan kau, putra Hephaestus ... ya, aku melihat masa depanmu." Selembar kertas lainnya jatuh ke tangan sang dewa angin —kertas tua usang bergambar krayon. Leo mengambilnya seakan kertas tesebut dilapisi racun. Dia terhuyung-huyung ke belakang. "Leo?" ujar Jason. "Apa itu?"

"Sesuatu yang ku —kugambar waktu aku kecil." Leo melipat kertas itu cepat-cepat dan memasukkannya ke mantel. "Ini iya, bukan apa-apa kok." Aeolus tertawa. "Sungguh? Itu adalah kunci menuju keber- hasilanmu! Nah, sampai di mana kita? Ah, ya, kalian menginginkan informasi. Apa kalian yakin? Kadang- kadang informasi bisa berbahaya." Dia tersenyum kepada Jason seakan sedang menantangnya. Dia belakangnya, Mellie menggeleng-gelengkan kepala untuk memperingatkan. "Iya," kata Jason. "Kami harus menemukan sarang Enceladus." Senyum Aeolus meluruh. "Si raksasa? Buat apa kalian ingin pergi ke sana? Dia mengerikan! Dia bahkan tidak menonton programku!" Piper mengangkat fotonya. "Pak Aeolus, dia menahan ayah saya. Kami harus menyelamatkan ayah saya dan mencari tahu di mana Hera ditawan." "Wah, itu mustahil," kata Aeolus. "Aku sendiri tidak dapat melihatnya padahal, percayalah padaku, aku sudah mencoba. Ada tabir sihir yang menyembunyikan lokasi Hera —sangat kuat, mustahil ditemukan." "Hera berada di sebuah tempat yang disebut Rumah Serigala," Jason berkata. "Tunggu dulu!" Aeolus menempelkan tangan ke dahinya dan memejamkan mata. "Aku mendapat sesuatu! Ya, dia berada di tempat yang disebut Rumah Serigala! Sayangnya, aku tak tahu di mana letaknya." "Enceladus tahu," Piper berkeras. "Jika Bapak membantu kami menemukannya, kami bisa mencapai lokasi penahanan sang dewi —" [ 444 1 JASON "Iya," kata Leo menimpali. "Dan jika kami menyelamatkan Hera, dia pasti sangat berterima kasih pada Bapak —"Dan Zeus mungkin saja menaikkan jabatan Bapak," pungkas Jason. Alis Aeolus terangkat. "Kenaikan jabatan —dan kalian hanya ingin aku memberitahukan lokasi si raksasa?" "Yah, seandainya Bapak bisa mengantarkan kami ke sana juga," Jason mengoreksi, "kami akan sangat tertolong." Mellie "Sesuatu yang ku —kugambar waktu aku kecil." Leo melipat kertas itu cepat-cepat dan memasukkannya ke mantel. "Ini iya, bukan apa-apa kok." Aeolus tertawa. "Sungguh? Itu adalah kunci menuju keber- hasilanmu! Nah, sampai di mana kita? Ah, ya, kalian menginginkan informasi. Apa kalian yakin? Kadang- kadang informasi bisa berbahaya." Dia tersenyum kepada Jason seakan sedang menantangnya. Dia belakangnya, Mellie menggeleng-gelengkan kepala untuk memperingatkan. "Iya," kata Jason. "Kami harus menemukan sarang Enceladus." Senyum Aeolus meluruh. "Si raksasa? Buat apa kalian ingin pergi ke sana? Dia mengerikan! Dia bahkan tidak menonton programku!" Piper mengangkat fotonya. "Pak Aeolus, dia menahan ayah saya. Kami harus menyelamatkan ayah saya dan mencari tahu di mana Hera ditawan." "Wah, itu mustahil," kata Aeolus. "Aku sendiri tidak dapat melihatnya padahal, percayalah padaku, aku sudah mencoba. Ada tabir sihir yang menyembunyikan lokasi Hera —sangat kuat, mustahil ditemukan." "Hera berada di sebuah tempat yang disebut Rumah Serigala," Jason berkata. "Tunggu dulu!" Aeolus menempelkan tangan ke dahinya dan memejamkan mata. "Aku mendapat sesuatu! Ya, dia berada di tempat yang disebut Rumah Serigala! Sayangnya, aku tak tahu di mana letaknya." "Enceladus tahu," Piper berkeras. "Jika Bapak membantu kami menemukannya, kami bisa mencapai lokasi penahanan sang dewi —" [ 444 1 JASON "Iya," kata Leo menimpali. "Dan jika kami menyelamatkan Hera, dia pasti sangat berterima kasih pada Bapak —"Dan Zeus mungkin saja menaikkan jabatan Bapak," pungkas Jason. Alis Aeolus terangkat. "Kenaikan jabatan —dan kalian hanya ingin aku memberitahukan lokasi si raksasa?" "Yah, seandainya Bapak bisa mengantarkan kami ke sana juga," Jason mengoreksi, "kami akan sangat tertolong." Mellie

Dari pintu masuk, Jason mendengar bunyi serdawa nyaring. Pak Pelatih Hedge terseok-seok masuk dari lobi, rumput menghiasi seluruh wajahnya. Mellie melihat sang satir menghampiri lantai buatan dan terkesiap. "Siapa itu?" Jason menahan batuk. "Itu? Itu cuma Pak Pelatih Hedge. Mmm, Gleeson Hedge. Dia ..." Jason tidak yakin harus menyebutnya apa: guru, teman, biang kerok? "Pemandu kami." "Sungguh kambing yang jantan," gumam Mellie. Di belakang sang aura, Piper menggembungkan pipinya, seperti mau muntah. "Apa kabar, semuanya?" Pak Pelatih Hedge berderap menghampiri "Wow, tempat yang bagus. Oh! Petak rumput." "Pak Pelatih, Bapak baru saja makan," ujar Jason. "Dan kami menggunakan petak rumput ini sebagai lantai. Ini, ah, Mellie —" "Aura." Hedge tersenyum memikat. "Secantik angin musim panas. Mellie merona. "Dan ini Aeolus. Beliau baru saja hendak menolong kita," kata Jason. "Ya," gerutu sang Penguasa Angin. "Tampaknya demikian. Kalian akan menemukan Enceladus di Gunung Diablo." "Gunung Iblis?" tanya Leo. "Kedengarannya tidak bagus." "Aku ingat tempat itu!" ujar Piper. "Aku pernah ke sana sekali bersama ayahku. Letaknya di timur Teluk San Fransisco." "Area Teluk lagi?" Sang pelatih menggeleng-gelengkan kepala. "Tidal( bagus. Tidak bagus sama sekali." "Nah ..." Aeolus mulai tersenyum. "Selagi kalian menuju sana —" Tiba-tiba wajahnya jadi kuyu. Dia membungkuk dan menge-tuk-ngetuk earphone-nya seolah alat itu mengalami malfungsi. [ 446 ] JASON Ketika tubuhnya tegak kembali, matanya jadi liar. Terlepas dari rias wajahnya, dia terlihat seperti pria tua —pria tua yang sangat ketakutan. "Wanita itu sudah berabad-abad tidak pernah bicara kepadaku. Aku tak bisa —ya, ya, aku mengerti." Dia menelan ludah, memandangi Jason seakan pemuda itu tiba-tiba berubah menjadi kecoa raksasa. "Maafkan aku, Putra Jupiter. Perintah baru. Kalian semua harus mati." Mellie memekik. "Tapi —tapi, Pak! Zeus memerintahkan agar menolong mereka. Aphrodite, Hephaestus —" "Mellie!" bentak Aeolus. "Pekerjaanmu sudah di ujung tanduk. Lagi pula, ada perintah yang melampaui kehendak para dewa sekalipun, terutama ketika perintah tersebut berasal dari kekuatan alam." "Perintah dari siapa?" ujar Jason. "Zeus akan memecat Bapak jika Bapak tidak menolong kami!" "Aku ragu." Aeolus menyentakkan pergelangan tangannya, dan jauh di bawah mereka, sebuah pintu sel terbuka di dalam lubang. Jason bisa mendengar roh-roh badai menjerit selagi mereka keluar, berputar-putar ke arah mereka, melolong-lolong haus darah. "Zeus sekalipun memahami tatanan alam semesta," kata Aeolus. "Dan jika wanita itu terbangun —demi dewa-dewi—dia takkan bisa ditolak.

Selamat tinggal, Pahlawan. Aku betul-betul menyesal, tapi aku harus bekerja cepat. Aku mengudara empat menit lagi." Jason memunculkan pedangnya. Pak Pelatih Hedge menge-luarkan pentungannya. Mellie sang aura berteriak, "Jangan!" Mellie terjun ke kaki mereka tepat pada saat roh-roh badai menghantam sedahsyat topan, menghancurkan lantai hingga berkeping-keping, merobek-robek karpet dan marmer serta linoleum. Serpihan dari lantai pastilah sudah menjadi proyektil mematikan seandainya gaun Mellie tidak terkembang bagaikan tameng dan menyerap dampak ledakan itu. Mereka berlima jatuh ke lubang, dan Aeolus berteriak-teriak di atas mereka, "Mellie, kau dipecat!" "Cepat," teriak Mellie. "Putra Zeus, apa kau punya kuasa atas udara?" "Sedikit!" "Kalau begitu, bantu aku atau kalian semua bakal mati!" Mellie mencengkeram tangan Jason, dan aliran listrik pun merambati lengan Jason. Dia memahami apa yang dibutuhkan Mellie. Mereka harus mengontrol kecepatan jatuh mereka dan menuju salah satu terowongan yang terbuka. Roh-roh badai mengikuti mereka turun, menyusul dengan cepat, membawa serta sekumpulan mortir mematikan. Jason mencengkeram tangan Piper. "Pelukan kelompok!" Hedge, Leo, dan Piper berusaha merapat, berpegangan pada Jason dan Mellie selagi mereka jatuh. "Ini TIDAK BAGUS!" teriak Leo. "Sini kalau berani, Kantong Kentut!" teriak Pak Pelatih Hedge kepada roh-roh badai di atas. "Biar kuremukkan kalian!" "Dia luar biasa," desah Mellie. "Tolong konsentrasi," desak Jason. "Baik!" ujar Mellie. Mereka mengarahkan angin sehingga kejatuhan mereka lebih menyerupai gerakan memantul ke saluran terbuka yang paling dekat. Walau begitu, tetap saja mereka terempas ke dalam terowongan dengan kecepatan tinggi dan terguling-guling menuruni saluran curam yang tidak dirancang untuk dilewati manusia. Tak mungkin mereka bisa berhenti. Gaun Mellie berkibar-kibar di sekeliling dirinya. Jason dan yang lain berpegangan erat-erat pada sang peri angin, dan mereka [ 448 ] JASON pun mulai melambat, namun roh-roh badai masuk ke terowongan di belakang mereka sambil menjerit- jerit. "Tak bisa —tahan—lama-lama," Mellie memperingatkan. "Tetaplah bersama! Ketika angin menghantam —" "Kerjamu hebat, Mellie," kata Hedge. "Ibuku juga aura, kautahu. Dia tak mungkin mengatasi krisis seperti ini dengan lebih baik." "Kirimi aku pesan-Iris, ya?" pinta Mellie. Pak Pelatih Hedge berkedip. "Bisa tidak kalian merencanakan kencan nanti saja?" teriak Piper. "Lihat!" Di belakang mereka, terowongan jadi gelap. Jason bisa merasakan telinganya berdenging saat tekanan udara meninggi. "Aku tak bisa menahan mereka," Mellie memperingatkan. "Tapi akan kucoba melindungi kalian, membantu kalian sekali lagi." "Makasih, Mellie," kata Jason. "Kuharap kau dapat pekerjaan Baru." Sang aura tersenyum, kemudian terbuyarkan, melingkupi mereka dengan angin hangat sepoi-sepoi. Kemudian angin yang sesungguhnya menghantam mereka, melontarkan mereka ke langit begitu cepat sampai-sampai Jason pingsan. []