BAB TIGA PULUH EMPAT PIPER

BAB TIGA PULUH EMPAT PIPER

SERIGALA," UJAR PIPER. "MEREKA KEDENGARANNYA dekat." Jason bangkit dan memunculkan pedangnya. Leo dan Pak Pelatih Hedge berdiri juga. Piper mencoba, tapi titik-titik hitam menari-nari di depan matanya. "Diam di sana," perintah Jason. "Kami akan melindungimu." Piper mengertakkan gigi. Dia benci merasa tak berdaya. Dia tidak mau dilindungi. Pertama-tama pergelangan kaki bego. Sekarang hipotermia bego. Piper ingin berdiri tegak sambil membawa belati di tangan. Kemudian, tepat di luar jangkauan sorot api unggun, di pintu gua, Piper melihat sepasang mata merah yang menyala-nyala di kegelapan. Oke, pikir Piper. Mungkin sedikit perlindungan tidak ada salahnya. Semakin banyak serigala yang menghampiri cahaya api unggun —makhluk yang lebih besar daripada anjing gembala Jerman, es dan salju menempel di bulu mereka. Taring mereka berkilat, sedangkan mata merah mereka yang menyala-nyala, SERIGALA," UJAR PIPER. "MEREKA KEDENGARANNYA dekat." Jason bangkit dan memunculkan pedangnya. Leo dan Pak Pelatih Hedge berdiri juga. Piper mencoba, tapi titik-titik hitam menari-nari di depan matanya. "Diam di sana," perintah Jason. "Kami akan melindungimu." Piper mengertakkan gigi. Dia benci merasa tak berdaya. Dia tidak mau dilindungi. Pertama-tama pergelangan kaki bego. Sekarang hipotermia bego. Piper ingin berdiri tegak sambil membawa belati di tangan. Kemudian, tepat di luar jangkauan sorot api unggun, di pintu gua, Piper melihat sepasang mata merah yang menyala-nyala di kegelapan. Oke, pikir Piper. Mungkin sedikit perlindungan tidak ada salahnya. Semakin banyak serigala yang menghampiri cahaya api unggun —makhluk yang lebih besar daripada anjing gembala Jerman, es dan salju menempel di bulu mereka. Taring mereka berkilat, sedangkan mata merah mereka yang menyala-nyala,

Para serigala membuka jalan, dan seorang pria pun melangkah ke tengah sorotan api unggun. Rambutnya gimbal dan tidak rata, sewarna jelaga perapian, dipuncaki mahkota yang kelihatan seperti tulang jari. Jubahnya berupa bulu compang-camping —serigala, kelinci, rakun, rusa, dan beberapa jenis lain yang tidak bisa diidentifikasi Piper. Bulu-bulu tersebut sepertinya tidak disamak, dan dari baunya, bulu-bulu tersebut pastilah sudah lama. Perawakannya luwes dan berotot, seperti pelari jarak jauh. Tapi yang paling mengerikan adalah wajahnya. Kulit pucat tipisnya seperti ditarik kencang di batok kepalanya. Giginya tajam-tajam seperti taring. Matanya berbinar merah terang seperti mata serigala —dan matanya menatap Jason dengan kebencian yang teramat sangat. "Ecce," kata pria itu, "fill Romani." "Bicaralah dalam bahasa Inggris, Manusia Serigala!" raung Hedge. Si Manusia Serigala menggeram. "Suruh faun-mu menjaga lidahnya, Putra Romawi. Atau dia akan jadi kudapan pertamaku." Piper teringat bahwafitun adalah nama Romawi untuk satir. Bukan informasi bermanfaat. Nah, kalau saja Piper bisa mengingat siapa manusia serigala ini dalam mitologi Yunani, dan bagaimana cara mengalahkannya, itu Baru bermanfaat. Si manusia serigala mengamati kelompok kecil mereka. Lubang hidungnya kembang kempis. "Jadi benar," komentarnya. "Anak Aphrodite. Putra Hephaestus. Seekor faun. Dan anak Romawi, putra Dewa Jupiter pula, tidak kurang. Bersama-sama, tanpa saling bunuh. Sungguh menarik." "Kau diberi tahu tentang kami?" tanya Jason. "Oleh siapa?" Pria itu menggeram —barangkali tertawa, barangkali menantang. "Oh, kami telah berpatroli di barat untuk mencari kalian semua, Demigod, berharap kami akan menjadi yang pertama menemukan kalian. Raja raksasa akan memberiku hadiah ketika dia bangkit. Aku Lycaon, Raja Serigala. Dan kawananku lapar." Para serigala menggeram di kegelapan. Dari ekor matanya, Piper melihat Leo meletakkan godam dan mengeluarkan barang lain dari sabuk perkakasnya —botol kaca berisi cairan bening. Piper memutar otak, mencoba mencocokkan nama si manusia serigala dengan latar belakangnya. Piper tahu dia pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi dia tidak ingat detailnya. Lycaon memelototi pedang Jason. Dia bergerak ke kanan dan ke kiri seolah untuk mencari celah, tapi Para serigala membuka jalan, dan seorang pria pun melangkah ke tengah sorotan api unggun. Rambutnya gimbal dan tidak rata, sewarna jelaga perapian, dipuncaki mahkota yang kelihatan seperti tulang jari. Jubahnya berupa bulu compang-camping —serigala, kelinci, rakun, rusa, dan beberapa jenis lain yang tidak bisa diidentifikasi Piper. Bulu-bulu tersebut sepertinya tidak disamak, dan dari baunya, bulu-bulu tersebut pastilah sudah lama. Perawakannya luwes dan berotot, seperti pelari jarak jauh. Tapi yang paling mengerikan adalah wajahnya. Kulit pucat tipisnya seperti ditarik kencang di batok kepalanya. Giginya tajam-tajam seperti taring. Matanya berbinar merah terang seperti mata serigala —dan matanya menatap Jason dengan kebencian yang teramat sangat. "Ecce," kata pria itu, "fill Romani." "Bicaralah dalam bahasa Inggris, Manusia Serigala!" raung Hedge. Si Manusia Serigala menggeram. "Suruh faun-mu menjaga lidahnya, Putra Romawi. Atau dia akan jadi kudapan pertamaku." Piper teringat bahwafitun adalah nama Romawi untuk satir. Bukan informasi bermanfaat. Nah, kalau saja Piper bisa mengingat siapa manusia serigala ini dalam mitologi Yunani, dan bagaimana cara mengalahkannya, itu Baru bermanfaat. Si manusia serigala mengamati kelompok kecil mereka. Lubang hidungnya kembang kempis. "Jadi benar," komentarnya. "Anak Aphrodite. Putra Hephaestus. Seekor faun. Dan anak Romawi, putra Dewa Jupiter pula, tidak kurang. Bersama-sama, tanpa saling bunuh. Sungguh menarik." "Kau diberi tahu tentang kami?" tanya Jason. "Oleh siapa?" Pria itu menggeram —barangkali tertawa, barangkali menantang. "Oh, kami telah berpatroli di barat untuk mencari kalian semua, Demigod, berharap kami akan menjadi yang pertama menemukan kalian. Raja raksasa akan memberiku hadiah ketika dia bangkit. Aku Lycaon, Raja Serigala. Dan kawananku lapar." Para serigala menggeram di kegelapan. Dari ekor matanya, Piper melihat Leo meletakkan godam dan mengeluarkan barang lain dari sabuk perkakasnya —botol kaca berisi cairan bening. Piper memutar otak, mencoba mencocokkan nama si manusia serigala dengan latar belakangnya. Piper tahu dia pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi dia tidak ingat detailnya. Lycaon memelototi pedang Jason. Dia bergerak ke kanan dan ke kiri seolah untuk mencari celah, tapi

"Dan membunuh putra-putraku!" lolong Lycaon. Para serigala di belakangnya melolong juga. "Alhasil Zeus mengubahnya jadi serigala," kata Piper. "Orang-orang menyebut orang-orang menyebut manusia serigala lycanthropes, dinamai dari dia, manusia serigala pertama." "Raja serigala," simpul Pak Pelatih Hedge. "Makhluk kekal dungu, bau, dan buas." Lycaon menggeram. "Akan kucabik-cabik kau, Faun!" "Oh, kau mau kambing, Sobat? Biar kuberi kau kambing." "Hentikan," ujar Jason. "Lycaon, kaubilang kau ingin mem-bunuhku lebih dulu, tapi ...?" "Sayangnya, Anak Romawi, kau sudah diminta. Karena yang ini" —dia menggoyangkan cakar ke arah Piper —"gagal membunuhmu, kau harus diantarkan hidup-hidup ke Rumah Serigala. Salah satu rekanku telah meminta kehormatan untuk membunuhmu sendiri." "Siapa?" tanya Jason. Sang raja serigala meringis. "Oh, seorang pengagummu. Rupa-nya, kau menimbulkan kesan mendalam baginya. Perempuan itu akan segera membereskanmu, dan sungguh, aku tak boleh mengeluh. Menumpahkan darahmu di Rumah Serigala semestinya cukup untuk menandai wilayah baruku. Lupa harus berpikir dua kali untuk menantang kawananku." Jantung Piper serasa meloncat keluar dari dadanya. Dia tidak memahami semua yang diucapkan Lycaon, tapi seorang perempuan yang ingin membunuh Jason? Medea, pikir Piper. Entah bagaimana, dia ternyata selamat dari ledakan. Piper berjuang untuk berdiri. Bintik-bintik hitam menari-nari di depan matanya lagi. Gua tersebut seolah berputar-putar. "Kahan harus pergi sekarang," kata Piper, ,"sebelum kami membinasakan kalian." [ 400 ] PIPER, Piper mencoba mencurahkan kekuatan ke dalam kata-katanya, namun dia terlalu lemah. Menggigil dalam balutan selimutnya, pucat dan berkeringat serta nyaris tak sanggup memegang pisau, Piper pastilah tak tampak terlalu mengancam. Mata merah Lycaon berkerut geli. "Percobaan yang berani, Non. Kukagumi itu. Barangkali akan kubuat kau mati dengan cepat. Hanya putra Jupiter yang dibutuhkan hidup-hidup. Sisanya, aku khawatir, akan dijadikan makan malam." Pada saat itu, Piper tahu dia bakal mati. Tapi setidaknya dia akan mati sambil berdiri, bertarung di camping Jason. Jason melangkah maju. "Kau takkan membunuh siapa-siapa, Manusia Serigala. Tidak tanpa mengalahkanku." Lycaon menggeram dan menjulurkan cakarnya. Jason menyabet manusia serigala itu, tapi pedang emasnya lewat begitu saja seolah-olah sang raja serigala tak berada di sana. Lycaon tertawa. "Emas, perunggu, baja —tak satu pun mempan untuk melawan serigala-serigalaku, Putra Jupiter." "Perak!" pekik Piper. "Bukankah manusia serigala bisa dilukai oleh perak?" "Kita tidak punya perak!" ujar Jason. Para serigala melompat ke tengah sorotan api unggun. Hedge menerjang maju disertai teriakan "Ciaaat!" girang. Tapi

Leo menyerang lebih dulu. Dia melemparkan botol kaca dan botol itu pun pecah di tanah, memercikkan cairan ke sekujur tubuh para serigala, menyebarkan bau yang tak mungkin salah dikenali —bensin. Leo menembakkan api ke genangan bensin, dan dinding api pun merekah. Serigala mendengking dan mundur. Beberapa terkena api dan harus lari kembali ke salju. Lycaon sekali pun memandang pembatas api yang kini memisahkan serigala-serigalanya dan para demigod dengan resah.

"Aw, ayolah," keluh Pak Pelatih Hedge. "Aku tidak bisa menghajar mereka kalau mereka ada di sebelah sana." Setiap kali seekor serigala mendekat, Leo menembakkan gelombang api baru dari tangannya, tapi setiap upaya tampaknya membuat Leo semakin lelah, dan bensin yang terbakar sudah mulai padam. "Aku tak bisa buang gas lagi!" Leo memperingatkan. Lalu mukanya jadi merah. "Wow, sepertinya aku salah ngomong. Maksudku gas untuk bahan bakar. Sabuk perkakas butuh waktu pendinginan. Kau punya apa, Bung?" "Tak punya apa-apa," kata Jason. "Bahkan senjata yang bermanfaat juga tidak." "Petir?" tanya Piper. Jason berkonsentrasi, tapi tak ada yang terjadi. "Kurasa badai salju ini mengganggu atau apalah." "Bebaskan saja para ventus!" kata Piper. "Kalau begitu, kita bakalan talc punya apa-apa untuk diberikan pada Aeolus," kata Jason. "Percuma saja kita datang jauh-jauh." Lycaon tertawa. "Aku bisa mencium rasa takut kalian. Hidup kalian tinggal beberapa menit lagi, Pahlawan. Berdoalah kepada dewa mana pun yang kalian mau. Zeus tidak memberiku ampun, dan kalian juga takkan kuberi ampun." Nyala api mulai padam. Jason menyumpah dan menjatuhkan pedangnya. Dia berjongkok, seakan siap untuk bertarung dengan tangan kosong. Leo mengeluarkan godam dari tasnya. Piper menghunus belatinya — cuma senjata cemen, tapi hanya itu yang dia punyai. Pak Pelatih Hedge mengangkat pentungannya, dialah satu-satunya yang tampak tak sabar ingin mati. Kemudian suara mendesing membelah angin — seperti bunyi kardus robek. Sepotong batang panjang mencuat dari leher serigala terdekat —buluh panah perak. Si serigala kejang-kejang dan terjatuh, meleleh menjadi genangan salju. Semakin banyak panah. Semakin banyak serigala yang jatuh. Kawanan tersebut kocar-kacir. Anak panah melesat ke arah Lycaon, namun sang raja serigala menangkapnya di tengah udara. Lalu dia menjerit kesakitan. Ketika dia menjatuhkan panah tersebut, panah itu meninggalkan sayatan gosong berasap di telapak tangannya. Satu anak panah lagi mengenai bahunya, dan raja serigala itu pun terhuyung-huyung. "Terkutuklah mereka!" teriak Lycaon. Dia menggeram kepada kawanannya, dan para serigala pun berbalik lalu kabur. Lycaon menatap Jason dengan mata merahnya yang menyala-nyala. "Ini belum selesai, Bocah." Sang Raja Serigala pun menghilang ke dalam gelapnya malam. Beberapa detik kemudian, Piper mendengar lolongan serigala, tapi suara ini lain —tidak terkesan mengancam, lebih menyerupai anjing pemburu yang membaui sesuatu. Seekor serigala putih berukuran lebih kecil melesat masuk ke gua, diikuti oleh dua ekor serigala lain. Hedge berkata, "Bunuh dia?" "Jangan!" kata Piper. "Tunggu." Serigala-serigala itu menelengkan kepala dan memperhatikan para pekemah dengan mata besarnya yang keemasan. Sekejap kemudian, muncullah para majikan mereka: sepasukan pemburu yang mengenakan baju kamuflase musim dingin putih-kelabu, berjumlah setidaknya setengah lusin. Mereka semua membawa busur, dengan wadah berisi panah perak berkilauan di punggung mereka. Wajah mereka ditutupi tudung jaket, tapi jelas mereka semua adalah gadis remaja. Seorang, agak lebih tinggi daripada yang lain, berjongkok di tengah sorotan api unggun dan memungut panah yang telah melukai tangan Lycaon.

"Hampir saja." Cewek itu menoleh kepada rekan-rekannya. "Phoebe, temani aku di sini. Jaga pintu "Hampir saja." Cewek itu menoleh kepada rekan-rekannya. "Phoebe, temani aku di sini. Jaga pintu